“Hei, manis, bokongmu bagus,” ucap si sopir taksi bermata sendu
dari balik meja pemesanan kedai 24 jam itu. Sepotong donat menggeliat dalam
rahangnya yang tak dicukur. Si pramusaji mendelik padanya. Ia muak
dilirik-lirik, ataupun ditatap dengan jijik, kapanpun ia membungkuk untuk
memungut lap. “Kalau ada kambing yang kesasar, mereka bakal lirak-lirik dan
mengatakan kekonyolan serupa,” keluhnya pada wanita tua di dekat mesin kas.
Sebelumnya ia telah memberi semangkuk gratis sup panas pada wanita itu. “Aku
sudah muak. Kuharap tidak ada yang bisa melihatku.” Ternyata wanita itu adalah
ibu peri yang sedang menyamar, dan sebagai rasa terima kasihnya atas sup
gratis, ia mengangkat sendoknya seperti tongkat dan mengabulkan permintaan si
pramusaji. Ketika pramusaji itu hendak menyerahkan tanda terima pembayaran pada
si sopir taksi, kepala lelaki itu seketika berpaling. Apa lelaki itu
menolaknya? Si pramusaji bergeser ke jangkauan pandang si sopir taksi dan
kepala lelaki itu menyeruduk ke arah lain. “Ya Tuhan, sakit tahu,” sungutnya.
Si pramusaji membelalak ke arah wanita tua, namun lansia baik hati itu telah
raib.
Sejak itu, orang-orang berpaling dari dirinya—mereka tidak
bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Sret,
sret, sret, berputar kepala mereka begitu ia lewat. Kadang bunyinya menyerupai
dengkingan, yang membuatnya tambah terhibur saja. Ia senang berjalan-jalan
melintasi pusat perbelanjaan yang riuh, taman-taman kota, dan stasiun pada jam
sibuk, mengamati kepala demi kepala bekertak dengan kompaknya. Kadang ia lucuti
pakaiannya, iseng saja, mengenang sensasi yang dirasakannya semasa kecil kala
bugil di depan jendela kamarnya. Tapi kemudian, begitu mendapati bayangannya di
jendela toko (dengan dingin manekin-manekin di situ menatap tepat ke arahnya),
ia menyadari betapa gembrot dan tolol dirinya dan kembali berpakaian.
Di kedai, bosnya, dengan kepala yang berpaling, menyerahkan
beberapa helai uang pecahan kecil dan mengatakan kalau ia benar-benar bikin
sakit leher. Para pelanggan mengeluh. Ia harus pergi. Ini mengingatkannya pada
segala peringatan agar berhati-hati kala mengajukan permintaan. Maka, setelah
kehilangan pekerjaannya, ia pergi ke bar untuk minum semabuk-mabuknya dengan gaji
pemberian bosnya yang kikir, sambil berharap dapat bertemu teman curhat yang
tidak akan berpaling dari dirinya. Di luar bar, ia bertemu seorang lelaki yang
terus memandanginya, seorang pengemis berewokan, menggelongsor di depan
bangunan seraya menggenggam kantong kertas dan cangkir timah. Apa sihirnya
sudah pudar? Bukan, tebaknya seketika: lelaki itu buta. Ia tidak yakin, tapi
kemungkinan ia baru saja mengajukan permintaan yang kedua, sebab—sepintas ia
menengok ke belakang—ia melihat punggung si wanita tua, tertatih-tatih di sudut
jalan.
Ia membawa pulang si pengemis buta, seakan-akan lelaki itu
hadiah yang dimenangkannya dari undian. Ia memberi makan dan memandikan lelaki
itu, dan bersenang-senang bersamanya hingga berjam-jam. “Luas,” begitulah
pendapat lelaki itu setelah memperlakukannya bak membaca huruf Braille. Namun
selanjutnya perempuan itu mesti memikirkan masa depan. Sekarang ia menganggur
sementara ada dua mulut yang mesti diberi makan, serta dua tubuh yang mesti
diberi pakaian dan dirawat. Cangkir timah si pengemis buta tidak ada isinya,
begitu juga botol dalam kantong kertasnya—karier lelaki itu, sebagaimana si
pramusaji, telah raib entah ke mana. Barangkali wanita tua tunawisma itu dapat
membantu jika ia dapat menemukannya. Mungkin ia telah mengajukan dua
permintaan, dan kalau begitu, pada dasarnya ia telah membuang-buang keduanya.
Tapi, kalau dongeng itu benar, ia masih punya kesempatan yang ketiga. Kalau ia
menemukan wanita tua itu, ia mesti berhati-hati dengan selera humornya yang
nakal. Meminta supaya hidup selamanya, misalnya, bisa menjadi pilihan yang
mengerikan. Tidak ada gunanya meminta kecantikan kalau tidak ada yang bisa melihatnya.
Kesehatan yang baik juga tidak bagus kalau ia ditakdirkan miskin. Jadi ia
memutuskan untuk meminta kekayaan yang banyak saja, dan terus
mengulang-ulangnya supaya tidak keceplosan mengatakan sesuatu yang konyol.
Ia memeriksa jalanan dekat kedai tempat dirinya pertama kali
berjumpa wanita itu, sambil terus mengucapkan permintaannya. Tapi wanita tua
itu tidak terlihat di manapun. Akhirnya, ia menyerah dan malahan menuju toko
miras untuk menghabiskan sisa gajinya dengan sebaik-baiknya. Ia melewati bank
yang kebetulan sedang dirampok. Kepala-kepala para perampok itu tersentak ke
samping dengan amat kerasnya sewaktu mereka terburu-buru keluar dari bank
menuju ke arahnya, sampai-sampai mereka tersandung dan menumpahkan bawaan
mereka ke jalan. Sirene berbunyi, para perampok itu lari, sementara uang hasil
jarahan mereka tertinggal menanti diambil, bertumpuk-tumpuk banyaknya. Ia
bahkan tidak perlu membuang satu permintaan lagi. Lalu disadarinya kalau,
sebaliknya, ia justru baru saja menghabiskan permintaannya. Entah di mana, si
gaek cerdik itu tertawa lagi. Kalau ia mengambil uang curian itu, ia akan masuk
ke dalam daftar buronan. Tapi kalau ia berlalu saja, hasil dari permintaan
terakhirnya itu akan terbuang percuma. Ia mendongak dan melihat kamera pengawas
telah putus dan bergayut pada kabel. Segenggam saja dari uang yang berserakan
itu tidak akan terasa hilangnya. Tapi ia tidak meminta segenggam. Kalau ia
menjumput sedikit saja, boleh jadi ia mendapat masalah yang lebih besar
ketimbang kalau ia mengambil seluruhnya.
Beberapa kantong belanja besar yang amat kotor
melayang-layang dibawa angin ribut yang datang seketika, menari-nari serirama
sirene yang meraung-raung. Wanita tua itu rupanya masih memedulikannya. Atau
menggodanya. Si pramusaji mengisi kantong-kantong itu, tapi masih ada uang yang
tertinggal. Rok, baju, dan pakaian dalamnya bisa ditalikan hingga menyerupai
kantong, jadi ia lepaskan semuanya, mengikatnya, dan memuatinya juga. Sekarang
jumlah kantongnya lebih banyak daripada yang dapat diseretnya sendirian ke
rumah. Namun sewaktu ia mencoba memanggil taksi, sopirnya tidak bisa
melihatnya. Untunglah, ia melihat ada orang yang sedang tidur dalam taksi yang
sedang diparkir. Apa barusan ia memintanya? Kelihatannya orang itu si dungu
berewokan di kedai pada malam segalanya bermula. Ia menghela kantong-kantong
uangnya ke bangku belakang, merangkak masuk di samping bawaannya itu, dan
memberi alamatnya pada si sopir, yang terbangun sambil mendengus. Lelaki itu
berusaha melihat barang bawaan si pramusaji, namun kepalanya terus-terusan
berbalik lagi. “Oh, oh,” gerutunya, seraya menggapai pintu. “Tunggu!” seru
perempuan itu, dan mengempaskan beberapa uang pecahan besar ke bangku di
samping si sopir. Barangkali itu uang mentah paling banyak yang pernah dilihat
lelaki itu. Sambil bersiul tanda terima kasih, si sopir menutup pintu dan
menanyakan alamatnya lagi. Tidak mudah menuju ke sana. Kepala para pengemudi
lain, yang sedang mengawasi jalan, tersentak ke samping, akibatnya di tanjakan
dan turunan jalan terjadi kecelakaan. Sopirnya merunduk, mengelak, dan merutuk.
“Hei, dunia ini memang penuh bahaya,” ucap si pramusaji, sambil berjongkok di
balik kursi depan untuk memudahkan sopirnya, dan lelaki itu menertawakannya
dengan masam.
Bagaimanapun juga, di rumah ia akan menggumuli
kantong-kantongnya itu, lalu menelepon untuk memesan piza dan satu-dua peti
dari toko miras, menyalakan musik dan berdansa dengan si pengemis buta
semalaman. Tidak pasti akan bahagia selama-lamanya, tapi si wanita tua memang
tidak pernah menjanjikan itu padanya.[]
Robert Coover, lahir di Iowa,
Amerika Serikat, pada 1932. Karya-karyanya dekat dengan realisme magis dan
metafiksi; meliputi novel, novela, cerpen, drama, dan esai. Penghargaan yang
telah diperolehnya yaitu William Faulkner
Foundation Award (1967) dan Rea Award
for the Short Story (1987). Cerpen ini diterjemahkan dari “The Waitress”
yang dipublikasikan di The New
Yorker edisi 19 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar