“Kau! Kau!
Kau!” Bel menghantam-hantam lantai pentas. Gelang-gelas emas bergemerincing di
bawah lengannya. “Kaulah yang membuatku kecanduan putauw!”
“Aku?”
ujar Mirela sangsi, seraya bangkit dari meja. “Bagaimana mungkin diriku?”
“Tidakkah
kau mengerti?” Bel merengek. “Kecanduanku itu jeritan memohon pertolongan.
Heroin menggantikan cinta yang kau, maupun masyarakat yang lebih luas, tidak
berikan padaku.”
Mirela
menjangkau punggung kursi untuk menopang diri. Gaun panjangnya menyapu lantai. “Bagaimana
bisa kau mengatakan aku tidak mencintaimu?” ujarnya perlahan-lahan. “Bukankah
aku yang memberimu makan dan pakaian selama ini? Bukankah aku yang menabung
supaya kau bisa selalu membeli buku untuk sekolah?”
“Ma,
kau masih tidak mengerti,” sahut Bel. “Kau tidak ubahnya pemerintah, tidak
mengerti generasi yang lebih muda. Kami butuh lebih dari sekadar klinik metadon[1]
dan rencana untuk kembali ke dunia kerja. Kami butuh menghormati diri kami
sebagai manusia yang sesungguhnya, selayaknya orang-orang lainnya. Ya, kau
telah berbuat segalanya untukku. Tetapi kau tidak pernah sanggup memberi kami
tiga kata sederhana yang merupakan hal terpenting bagi setiap anak.”
Tepat di hadapan kami, Mirela seolah-olah kehabisan tenaga. Sementara ia duduk kembali dengan susah payah di kursi, orang bisa mendengar ada peniti jatuh di ruangan dansa tua ini, menguras harapanku untuk menyelinap ke bar demi sedikit penyegaran.
Tepat di hadapan kami, Mirela seolah-olah kehabisan tenaga. Sementara ia duduk kembali dengan susah payah di kursi, orang bisa mendengar ada peniti jatuh di ruangan dansa tua ini, menguras harapanku untuk menyelinap ke bar demi sedikit penyegaran.
“Ini
lingkaran setan, Ma,” lanjut Bel, “Karena, mengertilah, kita tidak pernah
belajar mencintai diri kita sendiri. Itulah sebabnya Dougie suka berkeluyuran
dengan mobil orang tanpa izin—keasyikan yang dia alami dari merampok kendaraan,
ibarat pembebasan sementara yang dirasakan pecandu narkoba, sebagai pengganti
harga diri yang tidak diberikan masyarakat padanya dan menjadi pelarian baginya
dari kebosanan mengganggur sekian lama.”
“Kalau
saja aku menyadarinya sejak dulu ….” Mirela menggeleng-geleng sedih, hingga
mengembuskan kepulan talk dari wignya. “Barangkali dia tidak akan mati konyol.”
Bel
memegang pundak Mirela. “Belum terlambat untuk menyelamatkan yang lain. Jika
kita berusaha bersama-sama, dan mengingat pelajaran yang kita peroleh malam
ini.”
“Aku
bangga kau telah berhasil mengatasi ini,” ucap Mirela, “dan menjadi perempuan
yang lebih tangguh karenanya. Aku jadi memiliki asa untuk masa yang akan
datang.”
Aku
pun jadi punya asa untuk masa yang akan datang dan sudah meraih jasku. Tetapi
tirainya tidak kunjung turun, sebab Bel sedang mengatakan pada Mirela bahwa
omong-omong soal masa yang akan datang ia hamil. Tiap kali mengira pertunjukan
sudah berakhir, tahu-tahu ada yang hamil atau ditabrak pengendara liar.
Jantungku berdentam-dentam. Mereka sadar tidak sih ini sudah kelewatan? Gigiku
gemeretak. Kucarik kecil-kecil buku acara sandiwara Terbakar Habis persembahan Sanggar RH, menggumalkannya jadi bola-bola dan melemparkannya pada Frank di
deretan depan. Kukerutkan dahi dan kuharap alur cerita ini segera berakhir,
bikin kepalaku semakin pening saja, ditambah tetesan keringat menggenang di
balik perbanku.
Baru sore itu aku keluar dari rumah sakit. Kalau ada yang mau repot-repot menanyaiku, barangkali sudah kukatakan pada mereka bahwa dengan segala pertimbangan aku lebih suka menghabiskan malam pertamaku di rumah tanpa ditemani seratus orang asing yang melongo. Tetapi tidak seorang pun menanyaiku. Malah, ketika memasuki babak pertama, beberapa raut cemas masih menoleh ke deretan belakang untuk mengawasiku. Mungkin mereka menyangka aku ini salah satu dari sekian abang tiri pengendara liar yang lama hilang, atau khawatir aku bakal menampilkan semacam pertunjukan berani ala Hantu Opera[2] dan berayun-ayun dari kerekan, yang kuakui saat ini gagasan itu memang tidak jauh-jauh dari pikiranku. Tetapi, nah, sekarang, lampu-lampu pun padam, dan menyala lagi, dan para penonton berdiri bertepuk tangan. Bel dan Mirela melangkah maju dengan wajah berseri-seri lalu membungkuk. Aku berhenti sejenak dan bertepuk tangan lantas terburu-buru mendahului orang-orang ke ruang resital. Di balik bar Mbok P sedang membersihkan gelas. "Sodanya dong," kataku.
Baru sore itu aku keluar dari rumah sakit. Kalau ada yang mau repot-repot menanyaiku, barangkali sudah kukatakan pada mereka bahwa dengan segala pertimbangan aku lebih suka menghabiskan malam pertamaku di rumah tanpa ditemani seratus orang asing yang melongo. Tetapi tidak seorang pun menanyaiku. Malah, ketika memasuki babak pertama, beberapa raut cemas masih menoleh ke deretan belakang untuk mengawasiku. Mungkin mereka menyangka aku ini salah satu dari sekian abang tiri pengendara liar yang lama hilang, atau khawatir aku bakal menampilkan semacam pertunjukan berani ala Hantu Opera[2] dan berayun-ayun dari kerekan, yang kuakui saat ini gagasan itu memang tidak jauh-jauh dari pikiranku. Tetapi, nah, sekarang, lampu-lampu pun padam, dan menyala lagi, dan para penonton berdiri bertepuk tangan. Bel dan Mirela melangkah maju dengan wajah berseri-seri lalu membungkuk. Aku berhenti sejenak dan bertepuk tangan lantas terburu-buru mendahului orang-orang ke ruang resital. Di balik bar Mbok P sedang membersihkan gelas. "Sodanya dong," kataku.
“Sudah
selesai?” tanyanya.
“Ya,”
sahutku. “Sebenarnya, aku ingin ada Scotch-nya
juga.”
Mbok P meraih botol Scotch. Aku menjilat bibir, selagi mengamati botol tersebut
menyentuh tepian gelas. “Sebenarnya, enggak usah pakai soda saja dan Scotch-nya dobel,” kataku, sambil
berusaha supaya suaraku tidak sampai bergetar.
Mbok P terhenti, menatapku curiga.
“Tuan Charles, saya kira Tuan tidak boleh minum.”
“Eh,”
sahutku, berlagak tidak mengerti. Tetapi segala permainan lakon yang buruk tadi
mesti dienyahkan jauh-jauh dari diriku. Mbok P kembali menurunkan botol itu
diiringi tatapan menempelak. “Ya, dokternya bilang pada Tuan, jangan minum
miras.”
“Enggak
ada dia omong begitu, Mbok P, yang Mbok maksud itu pasti orang lain, Bunda kali ….”
Tidak berhasil. “Dengar, ya, masak sih aku bohong padamu?” Kuremas lengannya
sambil bermanis mulut. “Demi Tuhan, dasar perempuan!”
“Tuan Charles, sakit!”
“Peristiwa
khusus, eh?” pintaku gugup. “Penting, merayakan?”
Para
penonton mulai terseret-seret masuk dari seberang ruangan. Sambil menggeleng-geleng,
Mbok P menuangkan wiski dan menyorongkannya ke seberang meja bar. Aku pun
menjauh dengan penuh terima kasih bersama minuman itu ke sudut terpencil. Namun
tepat ketika aku hendak menandaskannya, gelas itu dirampas dari bibirku—oleh
Bel, betapa anehnya, diikuti serombongan teman aktornya yang berbisa.
“Kenapa
kamu ini?” ucapku. “Kembalikan.”
“Dia
enggak boleh minum selagi dalam pengobatan,” ujar Bel pada teman-teman
aktornya. “Dia lagi kalut. Dunia sudah enggak berarti lagi baginya.”
“Dia
kenapa?” tanya lelaki dengan kepang rambut konyol.
“Bukan
urusanmu,” kuajukan jawaban.
“Ceritanya
panjang,” sahut Bel, sembari menyesap minumanku. Riasannya masih seperti di
sandiwara tadi. Di luar panggung penampilannya tampak menor dan tidak pantas,
seakan-akan ia baru saja tersasar ke pub bergaya Victoria. “Pokoknya ia mencoba
meledakkan Folly demi asuransi lalu kepalanya terhantam oleh salah satu
pancuran gargoyle[3]
pesanan khususnya. Ia koma enam minggu.”
“Kasihan,”
decak seorang pirang bertampang tak menarik, seraya melimpahiku Kerlingan
Prihatin.
“Tak
perlu dipikirkan,” kuyakinkan gadis itu, “tua-tua keladi, kan?”
“Sekarang
dia sudah baik-baik saja,” ucap Bel. “Coba kalian melihat dia pada malam
kejadian itu, kepalanya kayak labu.”
“Parah
banget,” si pirang melagukan, seraya kembali menatapku prihatin.
“Dan
kamu ini …?” Aku mendesaknya, namun lagi-lagi ia telah berpaling pada Bel untuk
informasi lebih lanjut, seakan-akan aku ini cantelan topi rusak, atau anjing
pemburu yang salah satu kakinya diperban!
“Sebenarnya
kejadiannya lucu juga,” ujar Bel, “soalnya beberapa menit setelah terhantam ia
masih berlarian di pekarangan, memunguti kepingan-kepingan perabot perak dan
menaruhnya di van milik Frank—“
“Di
van?” sambut si orang berambut
konyol.
“Ya,
jadi aku menghampiri dia, mengerti kan, dan berusaha untuk memaksanya berbaring
sampai ambulans tiba, dan ia mengangkat tangannya seperti ini—“ wajahnya
memerah jambu dan sejenak ia menunggu kikihnya reda, “—dan menyuruhku supaya
tetap tenang. Ia tidak yakin Amerika
Selatan ada di sebelah mana, tetapi kami mungkin dapat menanyakan arah—“
“Yah,
tentu saja, maksudnya tuh—“ aku hendak menjelaskan, namun tawa mereka semua
terlalu keras sehingga ucapanku tak terdengar. Aku mulai merasakan suatu
firasat akan situasi yang dialami si Hantu Opera. Orang-orang teater ini bisa
sangat tidak berperasaan. Walau sudah berusaha menceritakan versiku, percakapan
itu bergulir melewatiku seperti lalu lintas jalan tol, dan karena tampaknya
tidak ada harapan untuk memperoleh kembali minumanku dari Bel, akhirnya aku
menyerah dan minggat.
Aku
nyaris berjalan ke arah Bunda. Ia sedang berdiri membelakangi kami menghibur
sekelompok lansia bertampang bebal dengan salah satu anekdotnya seputar teater,
tentang pertunjukan amal A Midsummer
Night’s Dream bersama anak-anak dari Sekolah Polio, saat ia pertama kali
berjumpa Ayah. “Aku memerankan Titania sedang ia Oberon, saat itu kupikir ia saaangat tampan. Lalu anak-anak di sana
hendak menjadi peri-perinya. Kami bingung sekali sebab mereka sangat bersemangat
ambil bagian padahal mereka umumnya tidak bisa berjalan, apalagi menari ….”
“Ada
orang berpenampilan aneh,” ucap pria berwajah kemerah-merahan di samping Bunda.
“Itu
Charles.” Serta-merta nada suara Bunda berubah. “Sebenarnya, ada yang ingin kubicarakan
dengan dia—Charles! Charles!”
Aku
sudah tahu benar Bunda ingin bicara. Itu sebabnya aku sangat berhati-hati
menghindari dia sepanjang sore ini, dan sekarang aku berlagak tidak
mendengarnya lantas menghilang ke keramaian, karena orang bisa menghilang
ketika seluruh kepalanya terbungkus oleh perban. Mata orang-orang terarah
padaku dan terlincir lagi bagaikan air. Malah mereka bercakap tanpa repot-repot
merendahkan suara, seolah-olah, karena mereka tidak benar-benar melihatku, mereka menganggap entah
bagaimana aku tidak benar-benar ada di
situ. Tak terlukiskan rasa khawatirku, apalagi sesekali aku menangkap
diriku di cermin, dan tersentak, dan berharap aku memang tidak kelihatan.
Beberapa
hari lalu, dengan lugunya aku terbangun dari koma dan mendapati seluruh duniaku
jungkir balik—bukan karena bank, seperti yang kuperkirakan sebelumnya,
melainkan Bel, yang selagi aku tidak sadar telah membuat-buat rencana sendiri
demi menyelamatkan Amaurot. “Kita akan mengubahnya menjadi teater,” katanya
padaku. Ini sewaktu kami di rumah sakit, pada hari ketika akhirnya aku sadar
kembali. Saat itu aku lagi kena jangar gara-gara obat penawar sakit, dan
gagasan tersebut rasanya begitu menggusarkan hingga walaupun Bel menjelaskannya
panjang lebar aku tidak mampu memercayainya. Dan malam itu, saat menghadapi
hasil awal rencana licik tersebut—ketika rumah penuh oleh para aktor serta
penyokong-seni yang kaya raya, dan ruangan dansa dibuka serta diperlengkapi
dengan panggung, tata cahaya, dan kursi-kursi plastik—aku masih belum mampu
memercayainya. Yang kupahami cuma teramat sangat penting bagiku saat itu supaya
bisa minum.
Toh,
belum sampai aku dua puluh kaki dari bar, ekspresi Mbok P sudah gamblang
menyatakan bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk membujuknya memberikan apa pun.
Kuangkat kedua tanganku, memohon belas kasih dari hati ke hati. Ia cuma
memandang, dengan kedua lengan terlipat rapat. Maka tidak ada pilihan lain
bagiku selain mengedari ruangan, sambil mengangkati gelas-gelas separuh kosong
milik tamu-tamu yang tak menaruh curiga. Sudah jelas aku tidak menghendaki ini.
Mana ada orang mesti mencuri miuman di rumahnya sendiri. Namun memang kusadari
aku cukup pandai melakukannya. Aku mendapati bahwa diam-diam orang lebih suka
mengorbankan minumannya ketimbang harus menghadapi kenyataan suram mengenai
penampilanku, dan aku pun memanfaatkan prinsip ini tanpa ampun. Setelah segelas
martini, dua gelas kosmopolitan[4],
dan segelas brendi Alexander, aku merasa agak seperti diriku lagi, cukup untuk
mendekati Mirela.
Ia
sedang berdiri di bar, agak meringis akibat serangan terbuka dari Frank dan
Laura. Ia juga belum membersihkan riasannya yang lepek, tetapi penampilannya
tidak semenyesatkan Bel. Malah, ia tampak semakin menarik. Rona wajahnya
semakin kuat dan cerah—seperti lukisan yang sudah dipugar, kurasa. Sewaktu di
Folly kapan itu aku belum begitu menyadari betapa cantik dirinya, dan—walau
mungkin ini cuma karena minumanku tadi yang campur aduk—semakin dipandang
semakin ia tampak bercahaya, tidak lagi pucat menyeramkan seperti yang kujumpai
malam itu.
“Pertunjukan
tadi benar-benar sangat … sangat …” Laura berucap, sementara kedua tangannya
saling meremas perlahan-lahan, seakan-akan sedang meraba banyaknya kenyataan
besar dan teresap yang disampaikan sandiwara tadi padanya.
“Yeah,”
Frank menegaskan.
“Itu
tuh kayak EastEnders[5],
Corronation Street[6],
dan Brookside[7]
digiling jadi satu,” lanjut Laura, “kecuali tempatnya di Dublin dan
orang-orangnya kayak orang-orang betulan di sini saja.”
“Aku
bisa ngaitin diri sama ceritanya,” sahut Frank, sambil mengucapkan perkataan
itu lambat-lambat seolah-olah baru melontarkannya untuk pertama kali.
“Yah,
baguslah,” ujar Mirela.
“Aku
menangis lo,” kata Laura seketika.
“Masak
sih?”
“Yeah.
Frank juga lo.”
“Enggak
kok!”
“Iya,
dasar pembohong.”
“Enggak,
kan aku bilang tadi, mataku jadi basah soalnya kemasukan talk terus.”
“Kamu
enggak bilang begitu oh ya Tuhan—“
“Charlie
doang kok, kalem. Baik-baik saja, Charlie, gimana kepala[8]nya?”
“Wah,
sukses menggaet nona-nona, ya …” Aku mengisi tempat di mana siku Laura
mengenaiku seketika ia terlonjak.
“Mungkin
kamu semestinya mengenakan giring-giring,” Mirela tertawa.
“Mungkin
… nih, coba bersihkan pakai tonik, Laura.”
“Aku
bisa kok sendiri,” gerutu Laura, seraya merenggut serbet dari tanganku dan
mengusap-usap noda gelap yang menyebar di seputar payudaranya. “Tinggal ini Top
Shop yang sesuai dengan ukuranku—dasar kontol, harus kucopot nih—“
“Aku
bantuin deh,” ujar Frank. Ia mengedip padaku selagi menggiring Laura sambil
terus menggosok-gosok blusnya dengan nakal menuju kamar mandi. Meski begitu,
ketika keduanya sampai di pintu, anehnya Frank terlihat melayangkan tatapan
rindu pada Bel, yang sedang merepet riang di tengah-tengah para kadernya. Si orang
dengan rambut menyebalkan dan jas kampungan sedang tertawa-tawa bukan main.
Semakin lama aku memandangi Frank, semakin aku yakin bahwa jalan kami telah
bersimpangan, namun entah di mana ….
“Ramai
sekali, ya,” ucap Mirela padaku. “Bukankah ini bagus?”
“Bunda
memang banyak kenalan,” aku menyetujui dengan lemah.
“Dan
semuanya orang-orang yang tepat,
mulai dari surat kabar, teater, Dewan Kesenian, sampai perusahaan pada
membicarakan tentang menyumbangkan uang untuk kami ….” Senyumnya polos dan
menancap bak kupu-kupu hinggap di tangan.
“Mmm.”
Seketika itu kuperhatikan bahwa selain orang-orang yang tepat, MacGillycuddy
pun hadir di sini. Ia sedang duduk di meja berpenyangga kaki dengan gelas
tinggi.
“Kurasa
ini sungguh dapat berhasil,” ujar Mirela. “Kurasa teater ini bisa menjadi
sesuatu yang penting—boleh permisi sebentar, Charles? Aku harus bicara dengan
orang di sebelah sana, sepertinya ia dari Teater Gate[9].”
“Tentu,”
sahutku. Kuamati seorang pria berambut kelabu yang terkemuka menyalakan rokok
sementara Mirela menahannya untuk bercakap-cakap.
Sejenak
aku bergeming saja, mengamati kalau-kalau Mirela akan kembali. Karena ia tidak
kunjung kembali, aku mengambil sisa minumannya dan menyusuri bar sampai ujung,
ke tempat MacGillycuddy bertengger. “Berani benar kamu unjuk tampang di sini,”
ucapku.
Ia
menatapku tanpa ekspresi. “Maaf, ya, kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Sialan,
MacGillycuddy, jangan main-mainlah denganku.”
Ia
mengerutkan dahi, bingung, lantas sambil berbisik takjub, “C? Betulan itu
sampean?”
“Oh,
berengsek—“ Aku sudah lupa betapa berbelit-belitnya bicara dengan dia. “Kamu
tahu benar siapa ini.”
“Kukira
sampean mengincar minumanku,” sahutnya dengan nada menjemukan, dan menyorongkan
gelasnya ke arahku. “Ambillah kalau mau, Charlie. Lagi pula, kita kan kawan
lama.”
“Kamu
bukan kawanku,” tukasku. “Lagian, sedang apa kamu di sini?”
“Aku
kan diundang,” sahut MacGillycuddy dengan tampang terluka. “Aku ini konsultan.”
“Begitukah?
Sebab aku mau berkonsultasi padamu tentang suatu hal, kalau boleh. Seberapa
banyak kamu memperdayaiku, itulah yang ingin kuketahui.”
“Memperdayai?”
ucap MacGillycuddy. Tampangnya dibikin sepolos bayi Yesus di palungan.
“Maksudku,
sewaktu aku menyewamu supaya mengamati Frank karena kukira ia mencuri
perabotku.”
“Yang
kulaksanakan,” sahut MacGillycuddy.
“Yang
kamu laksanakan, itulah persisnya maksudku, sebab dari awal bukan saja kamu ini
kenalan pribadinya—“
“Mungkin
bukan kenalan, ya,” MacGillycuddy
menyela. “Aku bertemu dengan dia di pub beberapa kali, mungkin juga pernah
beberapa kali main lempar panah bareng ….”
“Bukan
saja kamu ini kenalannya,” aku
bersikeras, “tetapi kamu juga mengenal
semua orang di Follyku, dan kamu terus saja bekerja serta membiarkanku membuat
perangkap untuk Frank sekalipun kamu sudah tahu
bahwa merekalah yang pasti ada di baliknya.”
"Aku tidak tahu kok," tukas MacGillycuddy. "Itu firasat saja."
"Aku tidak tahu kok," tukas MacGillycuddy. "Itu firasat saja."
“Hei,
keparat, kamu enggak berpikiran untuk memberitahuku
semua ini? Maksudku, apa gunanya aku membayarmu secara layak supaya menjerat
Frank, kalau dari awal kamu tahu itu bukan Frank?”
“Begini,
ya,” ujar MacGillycuddy disertai celaan tersirat, “Aku cuma melaksanakan yang
sampean minta. Mata Penerawang-Segala menerawang banyak hal buruk. Makanya
penting untuk mengajukan pertanyaan yang tepat.”
Aku
sudah hampir frustrasi. “Sebagai Mata Penerawang-Segala kamu ini pilih-pilih
banget, ya, buat kasih keterangan, tahu enggak sih?”
"Mungkin sampean ini mestinya menyewa Congor Pembeber-Segala," sahut MacGillycuddy dengan raut datar.
"Ah, berengsek," tukasku lagi. Aku berpaling seraya menopang sikuku pada meja bar. Sekarang Mirela telah dikelilingi beberapa orang. Para penyokong teater berkuku cantik serta para aktor kawakan penggertak berdiri dan menyeringai tolol di sekitarnya bagaikan ngengat bertemu nyala api. Di tengah-tengah mereka, Mirela menggerak-gerakkan tangan, memperdebatkan keadaan dirinya, dan menakar senyumnya secara demokratis. Di pojok seberang Mirela, abang-abangnya yang mirip beruang sedang bergurau gaduh dalam bahasa Bosnia. Mereka memainkan koin yang diletakkan pada tisu di atas segelas bir. Sementara itu Bel sedang batuk-batuk yang kemungkinan dibuat-buat supaya si orang dengan rambut kepang dan jas kampungan itu memijati punggungnya. Kemudian ada yang lain-lainnya, para tokoh masyarakat: para direktur bank beserta istri mereka yang cantik-cantik, para filantropis ternama, kalangan seniman, orang-orang penting dari perusahaan serta pemerintahan, nama-nama yang menjelma hidup dengan pembawaan rada mirip satu sama lain, serta rombongan tetap penulis catatan harian yang dipuja-puja. Sementara percakapan mereka kembali riuh, memusingkan lagi tanpa kepalang tanggung, aku merasakan hasrat membara untuk merenggut kelepak baju salah seorang dari mereka dan berseru: Apa-apaan ini? Bukankah ini rumahku? Bukankah piano Steinway di pojok sana yang, pada masa yang lebih bahagia, kugunakan untuk menggubah "Aku Lekat padamu" serta "Wih, Sepatu Kedap Air!"? Bukankah aku, di balik perban ini, masih Charles Hythloday?
Namun seketika itu aku melihat Bunda berjalan mendekatiku disertai raut memendam maksud tertentu lagi menggelisahkan yang akhir-akhir ini ditampakkannya. Aku menyadari bahwa, siapa pun aku ini, sudah waktunya aku kabur.
"Mungkin sampean ini mestinya menyewa Congor Pembeber-Segala," sahut MacGillycuddy dengan raut datar.
"Ah, berengsek," tukasku lagi. Aku berpaling seraya menopang sikuku pada meja bar. Sekarang Mirela telah dikelilingi beberapa orang. Para penyokong teater berkuku cantik serta para aktor kawakan penggertak berdiri dan menyeringai tolol di sekitarnya bagaikan ngengat bertemu nyala api. Di tengah-tengah mereka, Mirela menggerak-gerakkan tangan, memperdebatkan keadaan dirinya, dan menakar senyumnya secara demokratis. Di pojok seberang Mirela, abang-abangnya yang mirip beruang sedang bergurau gaduh dalam bahasa Bosnia. Mereka memainkan koin yang diletakkan pada tisu di atas segelas bir. Sementara itu Bel sedang batuk-batuk yang kemungkinan dibuat-buat supaya si orang dengan rambut kepang dan jas kampungan itu memijati punggungnya. Kemudian ada yang lain-lainnya, para tokoh masyarakat: para direktur bank beserta istri mereka yang cantik-cantik, para filantropis ternama, kalangan seniman, orang-orang penting dari perusahaan serta pemerintahan, nama-nama yang menjelma hidup dengan pembawaan rada mirip satu sama lain, serta rombongan tetap penulis catatan harian yang dipuja-puja. Sementara percakapan mereka kembali riuh, memusingkan lagi tanpa kepalang tanggung, aku merasakan hasrat membara untuk merenggut kelepak baju salah seorang dari mereka dan berseru: Apa-apaan ini? Bukankah ini rumahku? Bukankah piano Steinway di pojok sana yang, pada masa yang lebih bahagia, kugunakan untuk menggubah "Aku Lekat padamu" serta "Wih, Sepatu Kedap Air!"? Bukankah aku, di balik perban ini, masih Charles Hythloday?
Namun seketika itu aku melihat Bunda berjalan mendekatiku disertai raut memendam maksud tertentu lagi menggelisahkan yang akhir-akhir ini ditampakkannya. Aku menyadari bahwa, siapa pun aku ini, sudah waktunya aku kabur.
*
[1] Obat pengganti narkoba tanpa
efek sedatif yang kuat, untuk mengalihkan kecanduan
[2] The Phantom of the Opera,
cerita karangan Gaston Leroux, pertama kali dipublikasikan pada 1909-1910
kemudian diadaptasi ke berbagai media pertunjukan
[3] Pancuran yang dirancang
berbentuk makhluk fantastis, untuk menyalurkan air hujan dari atap supaya tidak
mengenai sisi dinding bangunan dari batu sehingga mengikis mortarnya.
[4] Cosmopolitan, jenis koktail
[5] Judul sinetron populer di
Inggris
[6] Idem
[7] Idem
[8] “Noggin”, bisa berarti “kepala”, bisa juga “cairan” dan diasumsikan
sebagai minuman beralkohol mengingat kegemaran Charles
[9] Teater di Dublin, didirikan pada
1928