Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170320

An Evening of Long Goodbyes, Bab 6 (1/4) (Paul Murray, 2003)

“Kau! Kau! Kau!” Bel menghantam-hantam lantai pentas. Gelang-gelas emas bergemerincing di bawah lengannya. “Kaulah yang membuatku kecanduan putauw!”

“Aku?” ujar Mirela sangsi, seraya bangkit dari meja. “Bagaimana mungkin diriku?”

“Tidakkah kau mengerti?” Bel merengek. “Kecanduanku itu jeritan memohon pertolongan. Heroin menggantikan cinta yang kau, maupun masyarakat yang lebih luas, tidak berikan padaku.”

Mirela menjangkau punggung kursi untuk menopang diri. Gaun panjangnya menyapu lantai. “Bagaimana bisa kau mengatakan aku tidak mencintaimu?” ujarnya perlahan-lahan. “Bukankah aku yang memberimu makan dan pakaian selama ini? Bukankah aku yang menabung supaya kau bisa selalu membeli buku untuk sekolah?”

“Ma, kau masih tidak mengerti,” sahut Bel. “Kau tidak ubahnya pemerintah, tidak mengerti generasi yang lebih muda. Kami butuh lebih dari sekadar klinik metadon[1] dan rencana untuk kembali ke dunia kerja. Kami butuh menghormati diri kami sebagai manusia yang sesungguhnya, selayaknya orang-orang lainnya. Ya, kau telah berbuat segalanya untukku. Tetapi kau tidak pernah sanggup memberi kami tiga kata sederhana yang merupakan hal terpenting bagi setiap anak.”

Tepat di hadapan kami, Mirela seolah-olah kehabisan tenaga. Sementara ia duduk kembali dengan susah payah di kursi, orang bisa mendengar ada peniti jatuh di ruangan dansa tua ini, menguras harapanku untuk menyelinap ke bar demi sedikit penyegaran.

“Ini lingkaran setan, Ma,” lanjut Bel, “Karena, mengertilah, kita tidak pernah belajar mencintai diri kita sendiri. Itulah sebabnya Dougie suka berkeluyuran dengan mobil orang tanpa izin—keasyikan yang dia alami dari merampok kendaraan, ibarat pembebasan sementara yang dirasakan pecandu narkoba, sebagai pengganti harga diri yang tidak diberikan masyarakat padanya dan menjadi pelarian baginya dari kebosanan mengganggur sekian lama.”

“Kalau saja aku menyadarinya sejak dulu ….” Mirela menggeleng-geleng sedih, hingga mengembuskan kepulan talk dari wignya. “Barangkali dia tidak akan mati konyol.”

Bel memegang pundak Mirela. “Belum terlambat untuk menyelamatkan yang lain. Jika kita berusaha bersama-sama, dan mengingat pelajaran yang kita peroleh malam ini.”

“Aku bangga kau telah berhasil mengatasi ini,” ucap Mirela, “dan menjadi perempuan yang lebih tangguh karenanya. Aku jadi memiliki asa untuk masa yang akan datang.”

Aku pun jadi punya asa untuk masa yang akan datang dan sudah meraih jasku. Tetapi tirainya tidak kunjung turun, sebab Bel sedang mengatakan pada Mirela bahwa omong-omong soal masa yang akan datang ia hamil. Tiap kali mengira pertunjukan sudah berakhir, tahu-tahu ada yang hamil atau ditabrak pengendara liar. Jantungku berdentam-dentam. Mereka sadar tidak sih ini sudah kelewatan? Gigiku gemeretak. Kucarik kecil-kecil buku acara  sandiwara Terbakar Habis persembahan Sanggar RH, menggumalkannya jadi bola-bola dan melemparkannya pada Frank di deretan depan. Kukerutkan dahi dan kuharap alur cerita ini segera berakhir, bikin kepalaku semakin pening saja, ditambah tetesan keringat menggenang di balik perbanku. 

Baru sore itu aku keluar dari rumah sakit. Kalau ada yang mau repot-repot menanyaiku, barangkali sudah kukatakan pada mereka bahwa dengan segala pertimbangan aku lebih suka menghabiskan malam pertamaku di rumah tanpa ditemani seratus orang asing yang melongo. Tetapi tidak seorang pun menanyaiku. Malah, ketika memasuki babak pertama, beberapa raut cemas masih menoleh ke deretan belakang untuk mengawasiku. Mungkin mereka menyangka aku ini salah satu dari sekian abang tiri pengendara liar yang lama hilang, atau khawatir aku bakal menampilkan semacam pertunjukan berani ala Hantu Opera[2] dan berayun-ayun dari kerekan, yang kuakui saat ini gagasan itu memang tidak jauh-jauh dari pikiranku. Tetapi, nah, sekarang, lampu-lampu pun padam, dan menyala lagi, dan para penonton berdiri bertepuk tangan. Bel dan Mirela melangkah maju dengan wajah berseri-seri lalu membungkuk. Aku berhenti sejenak dan bertepuk tangan lantas terburu-buru mendahului orang-orang ke ruang resital. Di balik bar Mbok P sedang membersihkan gelas. "Sodanya dong," kataku.

“Sudah selesai?” tanyanya.

“Ya,” sahutku. “Sebenarnya, aku ingin ada Scotch-nya juga.”

Mbok P meraih botol Scotch. Aku menjilat bibir, selagi mengamati botol tersebut menyentuh tepian gelas. “Sebenarnya, enggak usah pakai soda saja dan Scotch-nya dobel,” kataku, sambil berusaha supaya suaraku tidak sampai bergetar.

Mbok P terhenti, menatapku curiga.

“Tuan Charles, saya kira Tuan tidak boleh minum.”

“Eh,” sahutku, berlagak tidak mengerti. Tetapi segala permainan lakon yang buruk tadi mesti dienyahkan jauh-jauh dari diriku. Mbok P kembali menurunkan botol itu diiringi tatapan menempelak. “Ya, dokternya bilang pada Tuan, jangan minum miras.”

“Enggak ada dia omong begitu, Mbok P, yang Mbok maksud itu pasti orang lain, Bunda kali ….” Tidak berhasil. “Dengar, ya, masak sih aku bohong padamu?” Kuremas lengannya sambil bermanis mulut. “Demi Tuhan, dasar perempuan!”

“Tuan Charles, sakit!”

“Peristiwa khusus, eh?” pintaku gugup. “Penting, merayakan?”

Para penonton mulai terseret-seret masuk dari seberang ruangan. Sambil menggeleng-geleng, Mbok P menuangkan wiski dan menyorongkannya ke seberang meja bar. Aku pun menjauh dengan penuh terima kasih bersama minuman itu ke sudut terpencil. Namun tepat ketika aku hendak menandaskannya, gelas itu dirampas dari bibirku—oleh Bel, betapa anehnya, diikuti serombongan teman aktornya yang berbisa.

“Kenapa kamu ini?” ucapku. “Kembalikan.”

“Dia enggak boleh minum selagi dalam pengobatan,” ujar Bel pada teman-teman aktornya. “Dia lagi kalut. Dunia sudah enggak berarti lagi baginya.”

“Dia kenapa?” tanya lelaki dengan kepang rambut konyol.

“Bukan urusanmu,” kuajukan jawaban.

“Ceritanya panjang,” sahut Bel, sembari menyesap minumanku. Riasannya masih seperti di sandiwara tadi. Di luar panggung penampilannya tampak menor dan tidak pantas, seakan-akan ia baru saja tersasar ke pub bergaya Victoria. “Pokoknya ia mencoba meledakkan Folly demi asuransi lalu kepalanya terhantam oleh salah satu pancuran gargoyle[3] pesanan khususnya. Ia koma enam minggu.”

“Kasihan,” decak seorang pirang bertampang tak menarik, seraya melimpahiku Kerlingan Prihatin.

“Tak perlu dipikirkan,” kuyakinkan gadis itu, “tua-tua keladi, kan?”

“Sekarang dia sudah baik-baik saja,” ucap Bel. “Coba kalian melihat dia pada malam kejadian itu, kepalanya kayak labu.”

“Parah banget,” si pirang melagukan, seraya kembali menatapku prihatin.

“Dan kamu ini …?” Aku mendesaknya, namun lagi-lagi ia telah berpaling pada Bel untuk informasi lebih lanjut, seakan-akan aku ini cantelan topi rusak, atau anjing pemburu yang salah satu kakinya diperban!

“Sebenarnya kejadiannya lucu juga,” ujar Bel, “soalnya beberapa menit setelah terhantam ia masih berlarian di pekarangan, memunguti kepingan-kepingan perabot perak dan menaruhnya di van milik Frank—“

“Di van?” sambut si orang berambut konyol.

“Ya, jadi aku menghampiri dia, mengerti kan, dan berusaha untuk memaksanya berbaring sampai ambulans tiba, dan ia mengangkat tangannya seperti ini—“ wajahnya memerah jambu dan sejenak ia menunggu kikihnya reda, “—dan menyuruhku supaya tetap tenang. Ia tidak yakin Amerika Selatan ada di sebelah mana, tetapi kami mungkin dapat menanyakan arah—“

“Yah, tentu saja, maksudnya tuh—“ aku hendak menjelaskan, namun tawa mereka semua terlalu keras sehingga ucapanku tak terdengar. Aku mulai merasakan suatu firasat akan situasi yang dialami si Hantu Opera. Orang-orang teater ini bisa sangat tidak berperasaan. Walau sudah berusaha menceritakan versiku, percakapan itu bergulir melewatiku seperti lalu lintas jalan tol, dan karena tampaknya tidak ada harapan untuk memperoleh kembali minumanku dari Bel, akhirnya aku menyerah dan minggat.

Aku nyaris berjalan ke arah Bunda. Ia sedang berdiri membelakangi kami menghibur sekelompok lansia bertampang bebal dengan salah satu anekdotnya seputar teater, tentang pertunjukan amal A Midsummer Night’s Dream bersama anak-anak dari Sekolah Polio, saat ia pertama kali berjumpa Ayah. “Aku memerankan Titania sedang ia Oberon, saat itu kupikir ia saaangat tampan. Lalu anak-anak di sana hendak menjadi peri-perinya. Kami bingung sekali sebab mereka sangat bersemangat ambil bagian padahal mereka umumnya tidak bisa berjalan, apalagi menari ….”

“Ada orang berpenampilan aneh,” ucap pria berwajah kemerah-merahan di samping Bunda.

“Itu Charles.” Serta-merta nada suara Bunda berubah. “Sebenarnya, ada yang ingin kubicarakan dengan dia—Charles! Charles!”

Aku sudah tahu benar Bunda ingin bicara. Itu sebabnya aku sangat berhati-hati menghindari dia sepanjang sore ini, dan sekarang aku berlagak tidak mendengarnya lantas menghilang ke keramaian, karena orang bisa menghilang ketika seluruh kepalanya terbungkus oleh perban. Mata orang-orang terarah padaku dan terlincir lagi bagaikan air. Malah mereka bercakap tanpa repot-repot merendahkan suara, seolah-olah, karena mereka tidak benar-benar melihatku, mereka menganggap entah bagaimana aku tidak benar-benar ada di situ. Tak terlukiskan rasa khawatirku, apalagi sesekali aku menangkap diriku di cermin, dan tersentak, dan berharap aku memang tidak kelihatan.

Beberapa hari lalu, dengan lugunya aku terbangun dari koma dan mendapati seluruh duniaku jungkir balik—bukan karena bank, seperti yang kuperkirakan sebelumnya, melainkan Bel, yang selagi aku tidak sadar telah membuat-buat rencana sendiri demi menyelamatkan Amaurot. “Kita akan mengubahnya menjadi teater,” katanya padaku. Ini sewaktu kami di rumah sakit, pada hari ketika akhirnya aku sadar kembali. Saat itu aku lagi kena jangar gara-gara obat penawar sakit, dan gagasan tersebut rasanya begitu menggusarkan hingga walaupun Bel menjelaskannya panjang lebar aku tidak mampu memercayainya. Dan malam itu, saat menghadapi hasil awal rencana licik tersebut—ketika rumah penuh oleh para aktor serta penyokong-seni yang kaya raya, dan ruangan dansa dibuka serta diperlengkapi dengan panggung, tata cahaya, dan kursi-kursi plastik—aku masih belum mampu memercayainya. Yang kupahami cuma teramat sangat penting bagiku saat itu supaya bisa minum.

Toh, belum sampai aku dua puluh kaki dari bar, ekspresi Mbok P sudah gamblang menyatakan bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk membujuknya memberikan apa pun. Kuangkat kedua tanganku, memohon belas kasih dari hati ke hati. Ia cuma memandang, dengan kedua lengan terlipat rapat. Maka tidak ada pilihan lain bagiku selain mengedari ruangan, sambil mengangkati gelas-gelas separuh kosong milik tamu-tamu yang tak menaruh curiga. Sudah jelas aku tidak menghendaki ini. Mana ada orang mesti mencuri miuman di rumahnya sendiri. Namun memang kusadari aku cukup pandai melakukannya. Aku mendapati bahwa diam-diam orang lebih suka mengorbankan minumannya ketimbang harus menghadapi kenyataan suram mengenai penampilanku, dan aku pun memanfaatkan prinsip ini tanpa ampun. Setelah segelas martini, dua gelas kosmopolitan[4], dan segelas brendi Alexander, aku merasa agak seperti diriku lagi, cukup untuk mendekati Mirela.

Ia sedang berdiri di bar, agak meringis akibat serangan terbuka dari Frank dan Laura. Ia juga belum membersihkan riasannya yang lepek, tetapi penampilannya tidak semenyesatkan Bel. Malah, ia tampak semakin menarik. Rona wajahnya semakin kuat dan cerah—seperti lukisan yang sudah dipugar, kurasa. Sewaktu di Folly kapan itu aku belum begitu menyadari betapa cantik dirinya, dan—walau mungkin ini cuma karena minumanku tadi yang campur aduk—semakin dipandang semakin ia tampak bercahaya, tidak lagi pucat menyeramkan seperti yang kujumpai malam itu.

“Pertunjukan tadi benar-benar sangat … sangat …” Laura berucap, sementara kedua tangannya saling meremas perlahan-lahan, seakan-akan sedang meraba banyaknya kenyataan besar dan teresap yang disampaikan sandiwara tadi padanya.

“Yeah,” Frank menegaskan.

“Itu tuh kayak EastEnders[5], Corronation Street[6], dan Brookside[7] digiling jadi satu,” lanjut Laura, “kecuali tempatnya di Dublin dan orang-orangnya kayak orang-orang betulan di sini saja.”

“Aku bisa ngaitin diri sama ceritanya,” sahut Frank, sambil mengucapkan perkataan itu lambat-lambat seolah-olah baru melontarkannya untuk pertama kali.

“Yah, baguslah,” ujar Mirela.

“Aku menangis lo,” kata Laura seketika.

“Masak sih?”

“Yeah. Frank juga lo.”

“Enggak kok!”

“Iya, dasar pembohong.”

“Enggak, kan aku bilang tadi, mataku jadi basah soalnya kemasukan talk terus.”

“Kamu enggak bilang begitu oh ya Tuhan—“

“Charlie doang kok, kalem. Baik-baik saja, Charlie, gimana kepala[8]nya?”

“Wah, sukses menggaet nona-nona, ya …” Aku mengisi tempat di mana siku Laura mengenaiku seketika ia terlonjak.

“Mungkin kamu semestinya mengenakan giring-giring,” Mirela tertawa.

“Mungkin … nih, coba bersihkan pakai tonik, Laura.”

“Aku bisa kok sendiri,” gerutu Laura, seraya merenggut serbet dari tanganku dan mengusap-usap noda gelap yang menyebar di seputar payudaranya. “Tinggal ini Top Shop yang sesuai dengan ukuranku—dasar kontol, harus kucopot nih—“

“Aku bantuin deh,” ujar Frank. Ia mengedip padaku selagi menggiring Laura sambil terus menggosok-gosok blusnya dengan nakal menuju kamar mandi. Meski begitu, ketika keduanya sampai di pintu, anehnya Frank terlihat melayangkan tatapan rindu pada Bel, yang sedang merepet riang di tengah-tengah para kadernya. Si orang dengan rambut menyebalkan dan jas kampungan sedang tertawa-tawa bukan main. Semakin lama aku memandangi Frank, semakin aku yakin bahwa jalan kami telah bersimpangan, namun entah di mana ….

“Ramai sekali, ya,” ucap Mirela padaku. “Bukankah ini bagus?”

“Bunda memang banyak kenalan,” aku menyetujui dengan lemah.

“Dan semuanya orang-orang yang tepat, mulai dari surat kabar, teater, Dewan Kesenian, sampai perusahaan pada membicarakan tentang menyumbangkan uang untuk kami ….” Senyumnya polos dan menancap bak kupu-kupu hinggap di tangan.

“Mmm.” Seketika itu kuperhatikan bahwa selain orang-orang yang tepat, MacGillycuddy pun hadir di sini. Ia sedang duduk di meja berpenyangga kaki dengan gelas tinggi.

“Kurasa ini sungguh dapat berhasil,” ujar Mirela. “Kurasa teater ini bisa menjadi sesuatu yang penting—boleh permisi sebentar, Charles? Aku harus bicara dengan orang di sebelah sana, sepertinya ia dari Teater Gate[9].”

“Tentu,” sahutku. Kuamati seorang pria berambut kelabu yang terkemuka menyalakan rokok sementara Mirela menahannya untuk bercakap-cakap.

Sejenak aku bergeming saja, mengamati kalau-kalau Mirela akan kembali. Karena ia tidak kunjung kembali, aku mengambil sisa minumannya dan menyusuri bar sampai ujung, ke tempat MacGillycuddy bertengger. “Berani benar kamu unjuk tampang di sini,” ucapku.

Ia menatapku tanpa ekspresi. “Maaf, ya, kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Sialan, MacGillycuddy, jangan main-mainlah denganku.”

Ia mengerutkan dahi, bingung, lantas sambil berbisik takjub, “C? Betulan itu sampean?”

“Oh, berengsek—“ Aku sudah lupa betapa berbelit-belitnya bicara dengan dia. “Kamu tahu benar siapa ini.”

“Kukira sampean mengincar minumanku,” sahutnya dengan nada menjemukan, dan menyorongkan gelasnya ke arahku. “Ambillah kalau mau, Charlie. Lagi pula, kita kan kawan lama.”

“Kamu bukan kawanku,” tukasku. “Lagian, sedang apa kamu di sini?”

“Aku kan diundang,” sahut MacGillycuddy dengan tampang terluka. “Aku ini konsultan.”

“Begitukah? Sebab aku mau berkonsultasi padamu tentang suatu hal, kalau boleh. Seberapa banyak kamu memperdayaiku, itulah yang ingin kuketahui.”

“Memperdayai?” ucap MacGillycuddy. Tampangnya dibikin sepolos bayi Yesus di palungan.

“Maksudku, sewaktu aku menyewamu supaya mengamati Frank karena kukira ia mencuri perabotku.”

“Yang kulaksanakan,” sahut MacGillycuddy.

“Yang kamu laksanakan, itulah persisnya maksudku, sebab dari awal bukan saja kamu ini kenalan pribadinya—“

“Mungkin bukan kenalan, ya,” MacGillycuddy menyela. “Aku bertemu dengan dia di pub beberapa kali, mungkin juga pernah beberapa kali main lempar panah bareng ….”

“Bukan saja kamu ini kenalannya,” aku bersikeras, “tetapi kamu juga mengenal semua orang di Follyku, dan kamu terus saja bekerja serta membiarkanku membuat perangkap untuk Frank sekalipun kamu sudah tahu bahwa merekalah yang pasti ada di baliknya.”

"Aku tidak tahu kok," tukas MacGillycuddy. "Itu firasat saja."

“Hei, keparat, kamu enggak berpikiran untuk memberitahuku semua ini? Maksudku, apa gunanya aku membayarmu secara layak supaya menjerat Frank, kalau dari awal kamu tahu itu bukan Frank?”

“Begini, ya,” ujar MacGillycuddy disertai celaan tersirat, “Aku cuma melaksanakan yang sampean minta. Mata Penerawang-Segala menerawang banyak hal buruk. Makanya penting untuk mengajukan pertanyaan yang tepat.”

Aku sudah hampir frustrasi. “Sebagai Mata Penerawang-Segala kamu ini pilih-pilih banget, ya, buat kasih keterangan, tahu enggak sih?”

"Mungkin sampean ini mestinya menyewa Congor Pembeber-Segala," sahut MacGillycuddy dengan raut datar.

"Ah, berengsek," tukasku lagi. Aku berpaling seraya menopang sikuku pada meja bar. Sekarang Mirela telah dikelilingi beberapa orang. Para penyokong teater berkuku cantik serta para aktor kawakan penggertak berdiri dan menyeringai tolol di sekitarnya bagaikan ngengat bertemu nyala api. Di tengah-tengah mereka, Mirela menggerak-gerakkan tangan, memperdebatkan keadaan dirinya, dan menakar senyumnya secara demokratis. Di pojok seberang Mirela, abang-abangnya yang mirip beruang sedang bergurau gaduh dalam bahasa Bosnia. Mereka memainkan koin yang diletakkan pada tisu di atas segelas bir. Sementara itu Bel sedang batuk-batuk yang kemungkinan dibuat-buat supaya si orang dengan rambut kepang dan jas kampungan itu memijati punggungnya. Kemudian ada yang lain-lainnya, para tokoh masyarakat: para direktur bank beserta istri mereka yang cantik-cantik, para filantropis ternama, kalangan seniman, orang-orang penting dari perusahaan serta pemerintahan, nama-nama yang menjelma hidup dengan pembawaan rada mirip satu sama lain, serta rombongan tetap penulis catatan harian yang dipuja-puja. Sementara percakapan mereka kembali riuh, memusingkan lagi tanpa kepalang tanggung, aku merasakan hasrat membara untuk merenggut kelepak baju salah seorang dari mereka dan berseru: Apa-apaan ini? Bukankah ini rumahku? Bukankah piano Steinway di pojok sana yang, pada masa yang lebih bahagia, kugunakan untuk menggubah "Aku Lekat padamu" serta "Wih, Sepatu Kedap Air!"? Bukankah aku, di balik perban ini, masih Charles Hythloday?

Namun seketika itu aku melihat Bunda berjalan mendekatiku disertai raut memendam maksud tertentu lagi menggelisahkan yang akhir-akhir ini ditampakkannya. Aku menyadari bahwa, siapa pun aku ini, sudah waktunya aku kabur.

*





[1] Obat pengganti narkoba tanpa efek sedatif yang kuat, untuk mengalihkan kecanduan
[2] The Phantom of the Opera, cerita karangan Gaston Leroux, pertama kali dipublikasikan pada 1909-1910 kemudian diadaptasi ke berbagai media pertunjukan
[3] Pancuran yang dirancang berbentuk makhluk fantastis, untuk menyalurkan air hujan dari atap supaya tidak mengenai sisi dinding bangunan dari batu sehingga mengikis mortarnya.
[4] Cosmopolitan, jenis koktail
[5] Judul sinetron populer di Inggris
[6] Idem
[7] Idem
[8]Noggin”, bisa berarti “kepala”, bisa juga “cairan” dan diasumsikan sebagai minuman beralkohol mengingat kegemaran Charles
[9] Teater di Dublin, didirikan pada 1928