Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170306

An Evening of Long Goodbyes, Bab 5 (Paul Murray, 2003)

Hal pertama yang kuingat—setelah potongan batu yang memelesat itu—yaitu rencanaku telah terwujud, sebab selama beberapa waktu setelah terbakarnya Folly, aku mengalami kesan bahwa aku tengah berdiam di Cile, di suatu hacienda[1] dari masa yang memikat, bersama penyair dan pemenang Nobel, W. B. Yeats. Kedengarannya mustahil, ya, tetapi mimpi kan memang begitu, kita tidak tahu itu mimpi saat kita sedang mengalaminya. Lagi pula, aku dan Yeats bersenang-senang, dan aku tidak merasa seperti yang sedang berbuat onar. Kami tinggal dinaungi keteduhan Andes, di lereng Lembah Casablanca. Santiago berada di sebelah timur adapun Samudera Pasifik di barat. Aku bisa menyaksikan laut dari beranda, garis biru samar di seberang kebun anggur. 

Saat itu memasuki musim panas, sehingga siangnya panjang, dan segalanya di lembah terasa bergairah oleh warna-warni kehidupan. Adakalanya hawa begitu panas sehingga aku merasa sedang dibekap, seperti ada selimut tebal membungkus wajahku, sementara urat-uratku nyeri seolah-olah habis dilumatkan. Namun penderitaan itu tidak pernah berlangsung lama-lama. Ketika sudah tidak terasa panas lagi, aku biasa pergi ke kebun di belakang rumah dan berjalan-jalan dengan riang di antara lebah-lebah serta kembang-kembang sepatu yang mekar. Pepohonan limau yang tumbuh di sudut kebun merebakkan aromanya. Yeats suka memetiki buahnya untuk membuat gimlet yang rasanya lain daripada yang lain, begitu segar, kuat, dan dingin hingga aku termegap-megap meminumnya, seperti meloncat ke lautan es.

Hari-hari menggelingsir dengan damainya, sedikit saja selingannya. Aku mulai mengerjakan, akhirnya, monografku tentang Gene Tierney, dan begitulah aku menghabiskan sebagian besar waktuku. Biasanya aku bangun agak siang lalu, setelah sarapan ringan ditemani secangkir kopi gunung, kuhampiri meja tulisku. Sementara Yeats mengerjakan tugasnya, aku menulis, mengisi halaman demi halaman tanpa jeda—mengkhayalkan Gene Tierney menjelma di hadapanku, merasakan terima kasih dan kelegaannya karena telah dihidupkan kembali setelah berpuluh-puluh tahun menjadi hantu gentayangan.

Pada penghujung hari aku mengutus Yeats ke bodega[2] untuk membeli anggur setempat, lalu menghibur diri dengan mengerjakan teka-teki silang hingga aku melihat dia, sosok jangkung kurus dengan sejumput rambut putih, tiba kembali di jalan yang berdebu. Aku membantunya menyiapkan makan malam dan kemudian, setelah makan, kami duduk-duduk di beranda, mengobrol dan memandangi luruhnya malam. Matahari terbenam di luar sini bagaikan opera Italia, peristiwa yang sungguh menggugah perasaan lagi menggerahkan yang berlangsung selama lebih dari tiga jam, bergayut di langit bagaikan istana yang terbakar. Adakalanya Yeats memerengut—saat itu 1930-an, dan ia sudah tua—namun ia koki yang ulung serta pengurus rumah yang teliti, dan kami punya banyak persamaan. Misalnya saja, kami sama-sama punya Folly. Folly milik Yeats dinamakan Thoor Ballylee, menara batu di County Galway yang mula-mula didirikan oleh bangsa Norman namun telah rusak. Seperti aku, ia ada masalah besar dengan para tukang bangunan yang semestinya memugar bangunan itu.

“Apa mereka berjiwa sosial?” tanyaku. “Apa mereka suka mogok kerja?”

“Entah, ya, soal jiwa sosial,” ujarnya, “tetapi mereka itu orang-orang setempat dan semuanya punya ladang kecil penyakitan, jadi kapan pun mereka ingin ada waktu sela mereka bilang padaku mereka harus pergi dan menghidupkan lagi tanahnya. Menyelamatkan panen, itu alasan paling sering. Januari, bayangkan, pertengahan Juni. Mereka pasti mengira aku ini gampang dibodohi. Tikus juga, semuanya bilang mereka takut sekali pada tikus. Mandornya, siapa itu namanya, Raftery, terus saja mengirim surat pada istriku, ‘Nyonya Yates yang terhormat, kami ingat terakhir kali kami mengatakan bahwa plesternya akan selesai pada musim gugur, tetapi kemajuannya sangat lambat karena ada tikus, tiap malam terdengar cicitan dan derap menakutkan sehingga orang-orang saya tidak bisa tidur barang sebentar, saya harap Tuan Yates sudah mengirim perangkap tikus yang akan segera tiba, pembangunan atapnya juga berjalan lambat sekali ….’” Ia mendesah. “Meski begitu, kurasa itu sepadan. Lagi pula, apalah pria tanpa Folly.”

“Benar sekali,” sahutku, tersengat oleh rindu.

Ia hampir tak punya waktu untuk bujuk rayu dunia modern maupun tata caranya yang hambar. Ia tidak percaya orang harus bekerja, ataupun pada kesuksesan bendawi. Ia bilang ia benci bekerja. Ia bangga tidak pernah menjadi orang gajian, dan menyatakan bahwa bekerja demi penghidupan itu sepenuhnya gagasan kaum Bolshevik.

“Lagi pula,” ucapnya, “menurutku, hidup itu sendiri suatu pekerjaan, kan? Maksudku, jika kita harus bersusah payah supaya bisa hidup, kita pun hendaknya menyempatkan diri untuk menjalaninya dengan benar, hidup dengan sikap yang bergaya—“

Sprezzatura,” sahutku.

“Tepat,” ujarnya.

Aku menjelaskan betapa ketimbang mencari kerja aku berusaha untuk memperkenalkan kembali semangat sprezzatura dalam mengawasi Amaurot sehari-hari. Yeats tidak kaget saat ceritaku sampai pada kejadian dengan bank. Malah, ia membenci modernitas lebih dari padaku. “Manusia menjalani kehidupan yang picik dewasa ini,” keluhnya. “Begitu kerdil dan sembrono. Pada masa aristokrasi orang punya kesempatan untuk berkembang, untuk membentuk dirinya menjadi sesuatu yang kekal.” Ia menggeleng muram, dan menggenggam dagunya. “Saat aku berdiri di Jembatan O’Connell dalam temaram hari, dan memerhatikan hasil pembangunan yang tanpa harmoni, semua lampu listrik yang mengejawantahkan keragaman modern, samar-samar kebencian timbul dari sisi gelap diriku ….”

“Ya, ya,” ia bisa terus sampai semalam suntuk jika dibiarkan, “eh, sudah menulis syair baru?”

Ia selalu ragu-ragu pada awalnya, tetapi sejenak kemudian ia batuk-batuk dan bergumam bahwa ia sedang mengutak-utak sejumlah hal. Lantas ia berdiri di dekat perapian dengan sebelah tangan memegang lembaran kertas sementara tangan satunya menyangga tasmak ke mata, sambil membaca dengan suaranya yang lembam lagi muram: “Ehem. Telah kudengar para wanita histeris itu berkata, Mereka muak akan palet dan penggesek biola—[3]

“Tahan—“

“Ya?” sambil tengadah—

“Yang satu ini enggak bakal jadi syair yang rumit, apa ini, salah satu dari syairmu yang isinya tentang para-pemalas-mengarah-ke-Betlehem-gong-lautan-derita[4], yang sulit dimengerti itu?

Yeats pun terdiam disertai senyuman dingin lagi ganjil.

“Maksudku, syair-syairmu yang itu bagus, jangan salah tangkap,” aku cepat-cepat menjelaskan, “tetapi kenapa kau enggak menulis seperti yang dulu-dulu? Seperti yang tentang peri itu, Kemarilah, O anak manusia, ke telaga dan rimba belantara[5], yang semacam itulah.” Sebab yang seperti itulah yang biasa dideklamasikan Ayah padaku dan Bel, sambil berdiri di puncak tebing.

“Sayangnya,” ujar Yeats disertai seringai sopan, “inilah pemikiran yang merundung orang-orang tua.”

“Ya, tetapi, syair-syair yang baru ini tidak menarik bagi siapa pun untuk membaca dan merenunginya, yah, tidak menggugahku, mengerti kan, untuk bertemu dengan Yeats yang menuliskannya dan mungkin minum-minum bersama dia—“

“Itu,” tukasnya, “bukanlah tujuan dari puisi.” Ia pun berbalik dan masuk ke dapur, lantas dengan gaduhnya mulai menggemeretakkan perabot makan ke bak cuci.

Seringnya toh kami menghindari topik sensitif seperti perpuisian, dan obrolan kami pun dapat berlangsung hingga berjam-jam, molor sampai larut malam. Yeats paling suka mendengar tentang pekerjaan Ayah, betapa dari deretan polimer di papan tulis ia mengetahui cara mengubah seraut wajah polos menjadi seratus tampang yang berbeda-beda sehingga gambar tersebut seolah-olah bergema umpama baja menghantam batu. Adakalanya Yeats menjadi bersemangat dan mencondongkan badannya padaku hingga sikunya menempel di lututnya dan mulai merepet tentang topeng serta antidiri dan betapa, untuk hidup sepenuhnya di dunia ini, orang perlu membina kepribadian baru yang sama sekali berlainan dengan jati dirinya. Ayah juga suka membicarakan hal-hal seperti ini, dan aku pun tidak pernah berlagak mengerti maksud perkataannya.

Kami sering membicarakan soal cinta, walau tampaknya kami sama-sama tak berbakat dalam hal ini. Aku menceritakan tentang Laura padanya, serta segala omong kosong bersama Patsy dan Hoyland, serta gadis cantik di Folly yang kujumpai sesaat sebelum meninggalkan tanah air untuk selama-selamanya. Adapun Yeats telah dibikin kesengsem oleh seorang wanita di dunia ini yang kebal terhadap syair-syairnya. Nama wanita itu Maud Gonne, aktris terkenal pada masanya dengan kecantikan yang tersohor. Selama bertahun-tahun ia menggantung Yeats secara mentah-mentah sebelum menikahi polisi bernama MacBride, pemabuk yang selalu dibenci penyair kita.

“Aku enggak mengerti kenapa kau enggak menyerah saja. Maksudku, sudah jelas dia enggak tertarik denganmu.”

“Tidak segampang itu,” ujar Yeats, seraya menatap acuh tak acuh pada balok atap. Saat itu sudah sangat larut. Kami tengah duduk-duduk di kursi kayu keras di dekat tungku dapur.

“Gampang kok, hati wanita itu terbuat dari bakelit murni yang enggak bisa dileburkan dengan obor las. Dan kecantikan-tersohor apanya. Aku pernah melihat foto dia. Dia enggak cantik-cantik amat ah.”

“Ah, foto,” cemoohnya, “apanya yang bisa dilihat dari foto ….” Namun suaranya tersendat-sendat. Ia tidak pernah bisa sungguh-sungguh melupakan kekasihnya. Sungguh wanita itu sangat mengingatkanku pada Patsy. “Semua yang kita pelajari,” ucapnya, “kita peroleh dari kegagalan. Kembali bicara soal topeng, Charles. Penyair menemukan jati dirinya dalam kekecewaan, dalam kekalahan. Begitulah caranya kita belajar menghadapi dunia. Maud Gonne merupakan pencarianku, cita-cita utamaku yang gagal kucapai.”

“Puncak yang gagal kau daki,” sindirku, yang tidak begitu kena.

“Ia perempuan hebat,” ujarnya pelan, sambil mengamati hiasan pada jam sakunya. Barangkali ia sedang mengenang masa indah mereka berdua, saat mereka mendirikan Teater Abbey[6] yang akhirnya mengarah pada Kebangkitan Paskah[7], atau saat ia dan kekasihnya itu mendorong peti mati melintasi Dublin lalu melemparnya ke Sungai Liffey untuk memprotes kunjungan Raja.

“Aku heran kau selalu membela dia,” sahutku, sambil menggusah ngengat yang menggelepar di seputar lentera. “Enggak apa-apa sih bicara tentang topeng, jayanya kegagalan, dan seterusnya, tetapi nyatanya ia merayumu saat ia suka, dan mencampakkanmu saat ia enggak suka. Kau harus waspada terhadap perempuan seperti itu, Yeats. Apalagi kalau dia itu aktris, maksudku betulan deh kau itu cari gara-gara saja.”

Ia mengambil saputangan dari saku dadanya, membentangkannya di pangkuan, melipatnya lagi secara hati-hati, dan mengembalikannya ke saku. “Barangkali setiap perempuan itu aktris bila cinta menjadi panggungnya,” ia merenung. Sebelum aku dapat memecahkan maksud ucapannya itu, ia menyambung, “Tetapi bagaimana dengan aktris yang jadi obsesimu itu? Perempuan yang namanya seperti laki-laki?”

Apakah Gene yang dia maksud? Karena itu sungguh berbeda. Karena yang memikatku dari Gene yaitu—walau ia mengencani para pangeran, berdansa dengan Picasso, menghadiri pesta-pesta mentereng di Hollywood pada 1940-an—ia baru sungguh-sungguh hidup saat berada di layar, ketika ia muncul hanya sebagai dirinya seorang, apa pun peran yang diberikan padanya, ia tampak berkilauan dari adegan ke adegan seakan-akan gambarnya digabung dengan gambar lain, bagaikan makhluk halus yang diperangkap di antara cahaya dan kaca—

“Aha!” Yeats bersandar kembali pada kursinya dengan wajah berseri-seri gembira, bagaikan guru yang mendapati murid bandelnya keceplosan. “Jadi kau suka dia karena kemampuan berlakonnya yang jelek! Dan adikmu, ia juga bukan aktor sungguhan, ya kan?”

Aku tidak benar-benar menangkap olok-olokannya, dan kurasa pipiku bersemu merah tua. “Yah, memang dia bukan aktor betulan,” sahutku defensif. “Aku tahu dia mengira dirinya memang aktor. Tetapi kurasa Bel itu terlalu asyik dengan kehidupannya sendiri ketimbang benar-benar menjalani cita-citanya. Maksudku ia selalu saja terlalu sibuk berantem sama Bunda atau berpidato padaku atau berkeluyuran bareng cowok-cowok tolol. Menurutku, itulah panggilan sejatinya. Walau memang sih aku enggak bisa menyampaikan ini padanya karena aku keder.”

“Kau tahu, Charles, kurasa selama ini diam-diam kita senasib sepenanggungan …” dan diiringi kikih menjemukan ia bangkit untuk memangkas sumbu lilin.

Pada malam-malam tertentu, setelah kami mengobrol, ia khusyuk dalam keheningan. Aku tahu ia tengah memenungkan Maud serta membayangkan kemungkinan indah bersama dirinya yang tak pernah terwujud. Pada saat-saat seperti inilah aku mengingatkan dia pada Penghargaan Nobelnya, yang biasanya cukup dapat menghiburnya, atau kalau tidak kami pergi ke balapan anjing dan menonton grehon-grehon. 

Balapannya tidak seperti yang kutonton bersama Frank kapan itu. Treknya berupa jalur-jalur kapur yang ruwet, dengan bendera pada titik-titik tertentu mengitarinya. Nama anjing-anjingnya terdengar seram, berbau okultisme seperti Hekate dan Isis. Mataharinya amat terik dan Yeats bersikeras mengenakan sombrero konyol yang tepiannya sangat lebar hingga menutupi hampir seluruh wajahnya. Bukan berarti ia tidak menganggap serius segala permainan ini. Ia selalu membawa serta semacam almanak, yang dicoret-coretnya dengan gugup sepanjang balapan. Almanak itu sangat dirahasiakannya, dikepitnya dengan waspada. Kuduga itu semacam formulir balapan, namun sesekali aku berhasil mengintip dari balik bahunya. Yang bisa kulihat cuma diagram nujum serta huruf-huruf rune yang ganjil. Ia tidak mau menjelaskan tentang hal-hal tersebut, ataupun mengungkapkan sebabnya ia tampak jauh lebih tertarik dengan pola yang diperbuat oleh berbagai anjing selama balapan ketimbang anjing mana yang benar-benar menang. Rahasia yang diutarakannya sebatas mengenai keterhubungan.

“Apa kaitannya keterhubungan dengan semua ini? Ini balapan, kan? Maksudku, persoalannya cuma akankah si Siwa ini menang dan kita bisa membeli samovar[8] kesenanganmu itu, atau kalahkah dia, yang berarti kita harus tetap menggunakan teko biasa—“

“Pengejawantahan dari berbagai hal, Charles,” sahutnya, sesimpul senyum tercetus dari balik pinggiran sombrero. “Bukankah itu persoalan yang lebih menarik? Bagaimana kita mengenali si penari dari tariannya?”

“Entah, ya,” sahutku. “Lihat, yang jual camilan di sebelah situ. Bagaimana kalau kau ke sana dan belikan roti sosis untuk kita berdua.” Sekembalinya ia, sambil mengunyah daging pedas hangat-hangat, aku bertanya-tanya penerangan apa lagi yang hendak ia cari, sementara kami telah memiliki segala yang mungkin diinginkan oleh siapa pun tepat di hadapan kami. Para pribumi berkulit sawo matang bersorak-sorai di sekitarku, mengangkat tangan mereka sementara anjing-anjing mendekati garis finis. Aku memandang matahari yang tenggelam di seberang lautan, dan serta-merta berharap Ayah ada di sini menyaksikannya. Ia bakal menyukainya, berada di kandang kecil ini di timur pegunungan bersamaku dan Yeats: para penjelajah kawakan, sambil mengobrol dengan dewa-dewi.

Kemudian pada suatu hari, sungguh tak disangka, Yeats memintaku berbalik karena ia harus menaruh sesuatu di dubur. Saat aku mengedarkan pandang demi memastikan yang kudengar itu benar, ia telah menjelma seorang suster bermuka tirus. Adapun Cile menjadi ruangan berpenerangan suram yang dindingnya dicat hijau sementara plafonnya berlubang-lubang. Ada yang membebat erat kepalaku. Sosok-sosok misterius mengelilingiku. Aku bertahan semampuku. Kupejamkan mata, kumohon mereka supaya pergi baik-baik. Tetapi rasanya seperti berada di dalam air. Sekuat apa pun bergeliang-geliut, aku malah semakin terdesak ke permukaan. Serta-merta Cile, rumah kecil kami, pohon-pohon limau terlepas menjauh .




[1] Tanah perkebunan/peternakan yang luas di Amerika Selatan
[2] Warung Hispanik yang menjual anggur dan bahan pangan
[3] “I have heard that hysterical women say, They are sick of the palette and fiddle-bow—“—dari “Lapis Lazuli”
[4] “Slouches towards Bethlehem to be born?”—dari “The Second Coming” (1919); “That dolphin-torn, that gong-tormented sea”—dari “Byzantium”
[5] “Come away, O human child, to the waters and the wild”—dari “The Stolen Child” (1889)
[6] National Theater (of Ireland), bangunan teater di Irlandia yang merupakan persemaian bagi banyak aktor dan dramawan Irlandia ternama pada abad ke-20, salah satunya William Butler Yeats
[7] Easter Rising (24 – 29 April 1916), pemberontakan bersenjata di Irlandia selama minggu Paskah, dilakukan oleh kaum republiken Irlandia untuk mengakhiri kekuasaan Inggris di Irlandia serta mendirikan Republik Irlandia yang berdiri sendiri
[8] Cerek logam dari Rusia