Hal pertama
yang kuingat—setelah potongan batu yang memelesat itu—yaitu rencanaku telah
terwujud, sebab selama beberapa waktu setelah terbakarnya Folly, aku mengalami
kesan bahwa aku tengah berdiam di Cile, di suatu hacienda[1]
dari masa yang memikat, bersama penyair dan pemenang Nobel, W. B. Yeats.
Kedengarannya mustahil, ya, tetapi mimpi kan memang begitu, kita tidak tahu itu
mimpi saat kita sedang mengalaminya. Lagi pula, aku dan Yeats bersenang-senang,
dan aku tidak merasa seperti yang sedang berbuat onar. Kami tinggal dinaungi
keteduhan Andes, di lereng Lembah Casablanca. Santiago berada di sebelah timur
adapun Samudera Pasifik di barat. Aku bisa menyaksikan laut dari beranda, garis
biru samar di seberang kebun anggur.
Saat itu memasuki musim panas, sehingga siangnya panjang, dan segalanya di lembah terasa bergairah oleh warna-warni kehidupan. Adakalanya hawa begitu panas sehingga aku merasa sedang dibekap, seperti ada selimut tebal membungkus wajahku, sementara urat-uratku nyeri seolah-olah habis dilumatkan. Namun penderitaan itu tidak pernah berlangsung lama-lama. Ketika sudah tidak terasa panas lagi, aku biasa pergi ke kebun di belakang rumah dan berjalan-jalan dengan riang di antara lebah-lebah serta kembang-kembang sepatu yang mekar. Pepohonan limau yang tumbuh di sudut kebun merebakkan aromanya. Yeats suka memetiki buahnya untuk membuat gimlet yang rasanya lain daripada yang lain, begitu segar, kuat, dan dingin hingga aku termegap-megap meminumnya, seperti meloncat ke lautan es.
Hari-hari menggelingsir dengan damainya, sedikit saja selingannya. Aku mulai mengerjakan, akhirnya, monografku tentang Gene Tierney, dan begitulah aku menghabiskan sebagian besar waktuku. Biasanya aku bangun agak siang lalu, setelah sarapan ringan ditemani secangkir kopi gunung, kuhampiri meja tulisku. Sementara Yeats mengerjakan tugasnya, aku menulis, mengisi halaman demi halaman tanpa jeda—mengkhayalkan Gene Tierney menjelma di hadapanku, merasakan terima kasih dan kelegaannya karena telah dihidupkan kembali setelah berpuluh-puluh tahun menjadi hantu gentayangan.
Pada penghujung hari aku mengutus Yeats ke bodega[2] untuk membeli anggur setempat, lalu menghibur diri dengan mengerjakan teka-teki silang hingga aku melihat dia, sosok jangkung kurus dengan sejumput rambut putih, tiba kembali di jalan yang berdebu. Aku membantunya menyiapkan makan malam dan kemudian, setelah makan, kami duduk-duduk di beranda, mengobrol dan memandangi luruhnya malam. Matahari terbenam di luar sini bagaikan opera Italia, peristiwa yang sungguh menggugah perasaan lagi menggerahkan yang berlangsung selama lebih dari tiga jam, bergayut di langit bagaikan istana yang terbakar. Adakalanya Yeats memerengut—saat itu 1930-an, dan ia sudah tua—namun ia koki yang ulung serta pengurus rumah yang teliti, dan kami punya banyak persamaan. Misalnya saja, kami sama-sama punya Folly. Folly milik Yeats dinamakan Thoor Ballylee, menara batu di County Galway yang mula-mula didirikan oleh bangsa Norman namun telah rusak. Seperti aku, ia ada masalah besar dengan para tukang bangunan yang semestinya memugar bangunan itu.
Saat itu memasuki musim panas, sehingga siangnya panjang, dan segalanya di lembah terasa bergairah oleh warna-warni kehidupan. Adakalanya hawa begitu panas sehingga aku merasa sedang dibekap, seperti ada selimut tebal membungkus wajahku, sementara urat-uratku nyeri seolah-olah habis dilumatkan. Namun penderitaan itu tidak pernah berlangsung lama-lama. Ketika sudah tidak terasa panas lagi, aku biasa pergi ke kebun di belakang rumah dan berjalan-jalan dengan riang di antara lebah-lebah serta kembang-kembang sepatu yang mekar. Pepohonan limau yang tumbuh di sudut kebun merebakkan aromanya. Yeats suka memetiki buahnya untuk membuat gimlet yang rasanya lain daripada yang lain, begitu segar, kuat, dan dingin hingga aku termegap-megap meminumnya, seperti meloncat ke lautan es.
Hari-hari menggelingsir dengan damainya, sedikit saja selingannya. Aku mulai mengerjakan, akhirnya, monografku tentang Gene Tierney, dan begitulah aku menghabiskan sebagian besar waktuku. Biasanya aku bangun agak siang lalu, setelah sarapan ringan ditemani secangkir kopi gunung, kuhampiri meja tulisku. Sementara Yeats mengerjakan tugasnya, aku menulis, mengisi halaman demi halaman tanpa jeda—mengkhayalkan Gene Tierney menjelma di hadapanku, merasakan terima kasih dan kelegaannya karena telah dihidupkan kembali setelah berpuluh-puluh tahun menjadi hantu gentayangan.
Pada penghujung hari aku mengutus Yeats ke bodega[2] untuk membeli anggur setempat, lalu menghibur diri dengan mengerjakan teka-teki silang hingga aku melihat dia, sosok jangkung kurus dengan sejumput rambut putih, tiba kembali di jalan yang berdebu. Aku membantunya menyiapkan makan malam dan kemudian, setelah makan, kami duduk-duduk di beranda, mengobrol dan memandangi luruhnya malam. Matahari terbenam di luar sini bagaikan opera Italia, peristiwa yang sungguh menggugah perasaan lagi menggerahkan yang berlangsung selama lebih dari tiga jam, bergayut di langit bagaikan istana yang terbakar. Adakalanya Yeats memerengut—saat itu 1930-an, dan ia sudah tua—namun ia koki yang ulung serta pengurus rumah yang teliti, dan kami punya banyak persamaan. Misalnya saja, kami sama-sama punya Folly. Folly milik Yeats dinamakan Thoor Ballylee, menara batu di County Galway yang mula-mula didirikan oleh bangsa Norman namun telah rusak. Seperti aku, ia ada masalah besar dengan para tukang bangunan yang semestinya memugar bangunan itu.
“Apa
mereka berjiwa sosial?” tanyaku. “Apa mereka suka mogok kerja?”
“Entah,
ya, soal jiwa sosial,” ujarnya, “tetapi mereka itu orang-orang setempat dan
semuanya punya ladang kecil penyakitan, jadi kapan pun mereka ingin ada waktu
sela mereka bilang padaku mereka harus pergi dan menghidupkan lagi tanahnya.
Menyelamatkan panen, itu alasan paling sering. Januari, bayangkan, pertengahan
Juni. Mereka pasti mengira aku ini gampang dibodohi. Tikus juga, semuanya
bilang mereka takut sekali pada tikus. Mandornya, siapa itu namanya, Raftery,
terus saja mengirim surat pada istriku, ‘Nyonya Yates yang terhormat, kami ingat
terakhir kali kami mengatakan bahwa plesternya akan selesai pada musim gugur,
tetapi kemajuannya sangat lambat karena ada tikus, tiap malam terdengar cicitan
dan derap menakutkan sehingga orang-orang saya tidak bisa tidur barang
sebentar, saya harap Tuan Yates sudah mengirim perangkap tikus yang akan segera
tiba, pembangunan atapnya juga berjalan lambat sekali ….’” Ia mendesah. “Meski
begitu, kurasa itu sepadan. Lagi pula, apalah pria tanpa Folly.”
“Benar
sekali,” sahutku, tersengat oleh rindu.
Ia
hampir tak punya waktu untuk bujuk rayu dunia modern maupun tata caranya yang
hambar. Ia tidak percaya orang harus bekerja, ataupun pada kesuksesan bendawi.
Ia bilang ia benci bekerja. Ia bangga tidak pernah menjadi orang gajian, dan
menyatakan bahwa bekerja demi penghidupan itu sepenuhnya gagasan kaum
Bolshevik.
“Lagi
pula,” ucapnya, “menurutku, hidup itu sendiri suatu pekerjaan, kan? Maksudku,
jika kita harus bersusah payah supaya
bisa hidup, kita pun hendaknya menyempatkan diri untuk menjalaninya dengan benar, hidup dengan sikap yang bergaya—“
“Sprezzatura,” sahutku.
“Tepat,”
ujarnya.
Aku
menjelaskan betapa ketimbang mencari kerja aku berusaha untuk memperkenalkan
kembali semangat sprezzatura dalam
mengawasi Amaurot sehari-hari. Yeats tidak kaget saat ceritaku sampai pada
kejadian dengan bank. Malah, ia membenci modernitas lebih dari padaku. “Manusia
menjalani kehidupan yang picik dewasa ini,” keluhnya. “Begitu kerdil dan
sembrono. Pada masa aristokrasi orang punya kesempatan untuk berkembang, untuk
membentuk dirinya menjadi sesuatu yang kekal.” Ia menggeleng muram, dan
menggenggam dagunya. “Saat aku berdiri di Jembatan O’Connell dalam temaram
hari, dan memerhatikan hasil pembangunan yang tanpa harmoni, semua lampu
listrik yang mengejawantahkan keragaman modern, samar-samar kebencian timbul
dari sisi gelap diriku ….”
“Ya,
ya,” ia bisa terus sampai semalam suntuk jika dibiarkan, “eh, sudah menulis
syair baru?”
Ia
selalu ragu-ragu pada awalnya, tetapi sejenak kemudian ia batuk-batuk dan
bergumam bahwa ia sedang
mengutak-utak sejumlah hal. Lantas ia berdiri di dekat perapian dengan sebelah
tangan memegang lembaran kertas sementara tangan satunya menyangga tasmak ke
mata, sambil membaca dengan suaranya yang lembam lagi muram: “Ehem. Telah kudengar para wanita histeris itu
berkata, Mereka muak akan palet dan penggesek biola—[3]“
“Tahan—“
“Ya?”
sambil tengadah—
“Yang
satu ini enggak bakal jadi syair yang rumit, apa ini, salah satu dari syairmu
yang isinya tentang para-pemalas-mengarah-ke-Betlehem-gong-lautan-derita[4],
yang sulit dimengerti itu?
Yeats
pun terdiam disertai senyuman dingin lagi ganjil.
“Maksudku,
syair-syairmu yang itu bagus, jangan
salah tangkap,” aku cepat-cepat menjelaskan, “tetapi kenapa kau enggak menulis
seperti yang dulu-dulu? Seperti yang tentang peri itu, Kemarilah, O anak manusia, ke telaga dan rimba belantara[5],
yang semacam itulah.” Sebab yang seperti itulah yang biasa dideklamasikan Ayah
padaku dan Bel, sambil berdiri di puncak tebing.
“Sayangnya,”
ujar Yeats disertai seringai sopan, “inilah pemikiran yang merundung
orang-orang tua.”
“Ya,
tetapi, syair-syair yang baru ini tidak menarik bagi siapa pun untuk membaca
dan merenunginya, yah, tidak menggugahku, mengerti kan, untuk bertemu dengan
Yeats yang menuliskannya dan mungkin minum-minum bersama dia—“
“Itu,”
tukasnya, “bukanlah tujuan dari puisi.” Ia pun berbalik dan masuk ke dapur,
lantas dengan gaduhnya mulai menggemeretakkan perabot makan ke bak cuci.
Seringnya
toh kami menghindari topik sensitif seperti perpuisian, dan obrolan kami pun
dapat berlangsung hingga berjam-jam, molor sampai larut malam. Yeats paling
suka mendengar tentang pekerjaan Ayah, betapa dari deretan polimer di papan
tulis ia mengetahui cara mengubah seraut wajah polos menjadi seratus tampang
yang berbeda-beda sehingga gambar tersebut seolah-olah bergema umpama baja
menghantam batu. Adakalanya Yeats menjadi bersemangat dan mencondongkan
badannya padaku hingga sikunya menempel di lututnya dan mulai merepet tentang
topeng serta antidiri dan betapa, untuk hidup sepenuhnya di dunia ini, orang
perlu membina kepribadian baru yang sama sekali berlainan dengan jati dirinya.
Ayah juga suka membicarakan hal-hal seperti ini, dan aku pun tidak pernah berlagak
mengerti maksud perkataannya.
Kami
sering membicarakan soal cinta, walau tampaknya kami sama-sama tak berbakat
dalam hal ini. Aku menceritakan tentang Laura padanya, serta segala omong
kosong bersama Patsy dan Hoyland, serta gadis cantik di Folly yang kujumpai
sesaat sebelum meninggalkan tanah air untuk selama-selamanya. Adapun Yeats
telah dibikin kesengsem oleh seorang wanita di dunia ini yang kebal terhadap
syair-syairnya. Nama wanita itu Maud Gonne, aktris terkenal pada masanya dengan
kecantikan yang tersohor. Selama bertahun-tahun ia menggantung Yeats secara
mentah-mentah sebelum menikahi polisi bernama MacBride, pemabuk yang selalu
dibenci penyair kita.
“Aku
enggak mengerti kenapa kau enggak menyerah
saja. Maksudku, sudah jelas dia enggak tertarik denganmu.”
“Tidak
segampang itu,” ujar Yeats, seraya menatap acuh tak acuh pada balok atap. Saat
itu sudah sangat larut. Kami tengah duduk-duduk di kursi kayu keras di dekat
tungku dapur.
“Gampang
kok, hati wanita itu terbuat dari bakelit murni yang enggak bisa dileburkan
dengan obor las. Dan kecantikan-tersohor apanya. Aku pernah melihat foto dia.
Dia enggak cantik-cantik amat ah.”
“Ah,
foto,” cemoohnya, “apanya yang bisa dilihat dari foto ….” Namun suaranya
tersendat-sendat. Ia tidak pernah bisa sungguh-sungguh melupakan kekasihnya.
Sungguh wanita itu sangat mengingatkanku pada Patsy. “Semua yang kita pelajari,”
ucapnya, “kita peroleh dari kegagalan. Kembali bicara soal topeng, Charles.
Penyair menemukan jati dirinya dalam kekecewaan, dalam kekalahan. Begitulah
caranya kita belajar menghadapi dunia. Maud Gonne merupakan pencarianku,
cita-cita utamaku yang gagal kucapai.”
“Puncak
yang gagal kau daki,” sindirku, yang tidak begitu kena.
“Ia
perempuan hebat,” ujarnya pelan, sambil mengamati hiasan pada jam sakunya.
Barangkali ia sedang mengenang masa indah mereka berdua, saat mereka mendirikan
Teater Abbey[6] yang akhirnya
mengarah pada Kebangkitan Paskah[7],
atau saat ia dan kekasihnya itu mendorong peti mati melintasi Dublin lalu
melemparnya ke Sungai Liffey untuk memprotes kunjungan Raja.
“Aku
heran kau selalu membela dia,” sahutku, sambil menggusah ngengat yang
menggelepar di seputar lentera. “Enggak apa-apa sih bicara tentang topeng,
jayanya kegagalan, dan seterusnya, tetapi nyatanya ia merayumu saat ia suka,
dan mencampakkanmu saat ia enggak suka. Kau harus waspada terhadap perempuan
seperti itu, Yeats. Apalagi kalau dia itu aktris, maksudku betulan deh kau itu
cari gara-gara saja.”
Ia
mengambil saputangan dari saku dadanya, membentangkannya di pangkuan, melipatnya
lagi secara hati-hati, dan mengembalikannya ke saku. “Barangkali setiap
perempuan itu aktris bila cinta menjadi panggungnya,” ia merenung. Sebelum aku
dapat memecahkan maksud ucapannya itu, ia menyambung, “Tetapi bagaimana dengan
aktris yang jadi obsesimu itu? Perempuan yang namanya seperti laki-laki?”
Apakah
Gene yang dia maksud? Karena itu sungguh berbeda. Karena yang memikatku dari
Gene yaitu—walau ia mengencani para pangeran, berdansa dengan Picasso,
menghadiri pesta-pesta mentereng di Hollywood pada 1940-an—ia baru
sungguh-sungguh hidup saat berada di
layar, ketika ia muncul hanya sebagai dirinya seorang, apa pun peran yang
diberikan padanya, ia tampak berkilauan dari adegan ke adegan seakan-akan
gambarnya digabung dengan gambar lain, bagaikan makhluk halus yang diperangkap
di antara cahaya dan kaca—
“Aha!”
Yeats bersandar kembali pada kursinya dengan wajah berseri-seri gembira,
bagaikan guru yang mendapati murid bandelnya keceplosan. “Jadi kau suka dia
karena kemampuan berlakonnya yang jelek!
Dan adikmu, ia juga bukan aktor sungguhan,
ya kan?”
Aku
tidak benar-benar menangkap olok-olokannya, dan kurasa pipiku bersemu merah
tua. “Yah, memang dia bukan aktor betulan,” sahutku defensif. “Aku tahu dia
mengira dirinya memang aktor. Tetapi
kurasa Bel itu terlalu asyik dengan kehidupannya sendiri ketimbang benar-benar menjalani cita-citanya. Maksudku ia
selalu saja terlalu sibuk berantem sama Bunda atau berpidato padaku atau
berkeluyuran bareng cowok-cowok tolol. Menurutku, itulah panggilan sejatinya. Walau
memang sih aku enggak bisa menyampaikan ini padanya karena aku keder.”
“Kau
tahu, Charles, kurasa selama ini diam-diam kita senasib sepenanggungan …” dan
diiringi kikih menjemukan ia bangkit untuk memangkas sumbu lilin.
Pada malam-malam tertentu, setelah kami mengobrol, ia khusyuk dalam keheningan. Aku tahu ia tengah memenungkan Maud serta membayangkan kemungkinan indah bersama dirinya yang tak pernah terwujud. Pada saat-saat seperti inilah aku mengingatkan dia pada Penghargaan Nobelnya, yang biasanya cukup dapat menghiburnya, atau kalau tidak kami pergi ke balapan anjing dan menonton grehon-grehon.
Balapannya tidak seperti yang kutonton bersama Frank kapan itu. Treknya berupa jalur-jalur kapur yang ruwet, dengan bendera pada titik-titik tertentu mengitarinya. Nama anjing-anjingnya terdengar seram, berbau okultisme seperti Hekate dan Isis. Mataharinya amat terik dan Yeats bersikeras mengenakan sombrero konyol yang tepiannya sangat lebar hingga menutupi hampir seluruh wajahnya. Bukan berarti ia tidak menganggap serius segala permainan ini. Ia selalu membawa serta semacam almanak, yang dicoret-coretnya dengan gugup sepanjang balapan. Almanak itu sangat dirahasiakannya, dikepitnya dengan waspada. Kuduga itu semacam formulir balapan, namun sesekali aku berhasil mengintip dari balik bahunya. Yang bisa kulihat cuma diagram nujum serta huruf-huruf rune yang ganjil. Ia tidak mau menjelaskan tentang hal-hal tersebut, ataupun mengungkapkan sebabnya ia tampak jauh lebih tertarik dengan pola yang diperbuat oleh berbagai anjing selama balapan ketimbang anjing mana yang benar-benar menang. Rahasia yang diutarakannya sebatas mengenai keterhubungan.
“Apa kaitannya keterhubungan dengan semua ini? Ini balapan, kan? Maksudku, persoalannya cuma akankah si Siwa ini menang dan kita bisa membeli samovar[8] kesenanganmu itu, atau kalahkah dia, yang berarti kita harus tetap menggunakan teko biasa—“
Pada malam-malam tertentu, setelah kami mengobrol, ia khusyuk dalam keheningan. Aku tahu ia tengah memenungkan Maud serta membayangkan kemungkinan indah bersama dirinya yang tak pernah terwujud. Pada saat-saat seperti inilah aku mengingatkan dia pada Penghargaan Nobelnya, yang biasanya cukup dapat menghiburnya, atau kalau tidak kami pergi ke balapan anjing dan menonton grehon-grehon.
Balapannya tidak seperti yang kutonton bersama Frank kapan itu. Treknya berupa jalur-jalur kapur yang ruwet, dengan bendera pada titik-titik tertentu mengitarinya. Nama anjing-anjingnya terdengar seram, berbau okultisme seperti Hekate dan Isis. Mataharinya amat terik dan Yeats bersikeras mengenakan sombrero konyol yang tepiannya sangat lebar hingga menutupi hampir seluruh wajahnya. Bukan berarti ia tidak menganggap serius segala permainan ini. Ia selalu membawa serta semacam almanak, yang dicoret-coretnya dengan gugup sepanjang balapan. Almanak itu sangat dirahasiakannya, dikepitnya dengan waspada. Kuduga itu semacam formulir balapan, namun sesekali aku berhasil mengintip dari balik bahunya. Yang bisa kulihat cuma diagram nujum serta huruf-huruf rune yang ganjil. Ia tidak mau menjelaskan tentang hal-hal tersebut, ataupun mengungkapkan sebabnya ia tampak jauh lebih tertarik dengan pola yang diperbuat oleh berbagai anjing selama balapan ketimbang anjing mana yang benar-benar menang. Rahasia yang diutarakannya sebatas mengenai keterhubungan.
“Apa kaitannya keterhubungan dengan semua ini? Ini balapan, kan? Maksudku, persoalannya cuma akankah si Siwa ini menang dan kita bisa membeli samovar[8] kesenanganmu itu, atau kalahkah dia, yang berarti kita harus tetap menggunakan teko biasa—“
“Pengejawantahan
dari berbagai hal, Charles,” sahutnya, sesimpul senyum tercetus dari balik
pinggiran sombrero. “Bukankah itu persoalan yang lebih menarik? Bagaimana kita
mengenali si penari dari tariannya?”
“Entah, ya,” sahutku. “Lihat, yang jual camilan di sebelah situ. Bagaimana kalau kau ke sana dan belikan roti sosis untuk kita berdua.” Sekembalinya ia, sambil mengunyah daging pedas hangat-hangat, aku bertanya-tanya penerangan apa lagi yang hendak ia cari, sementara kami telah memiliki segala yang mungkin diinginkan oleh siapa pun tepat di hadapan kami. Para pribumi berkulit sawo matang bersorak-sorai di sekitarku, mengangkat tangan mereka sementara anjing-anjing mendekati garis finis. Aku memandang matahari yang tenggelam di seberang lautan, dan serta-merta berharap Ayah ada di sini menyaksikannya. Ia bakal menyukainya, berada di kandang kecil ini di timur pegunungan bersamaku dan Yeats: para penjelajah kawakan, sambil mengobrol dengan dewa-dewi.
“Entah, ya,” sahutku. “Lihat, yang jual camilan di sebelah situ. Bagaimana kalau kau ke sana dan belikan roti sosis untuk kita berdua.” Sekembalinya ia, sambil mengunyah daging pedas hangat-hangat, aku bertanya-tanya penerangan apa lagi yang hendak ia cari, sementara kami telah memiliki segala yang mungkin diinginkan oleh siapa pun tepat di hadapan kami. Para pribumi berkulit sawo matang bersorak-sorai di sekitarku, mengangkat tangan mereka sementara anjing-anjing mendekati garis finis. Aku memandang matahari yang tenggelam di seberang lautan, dan serta-merta berharap Ayah ada di sini menyaksikannya. Ia bakal menyukainya, berada di kandang kecil ini di timur pegunungan bersamaku dan Yeats: para penjelajah kawakan, sambil mengobrol dengan dewa-dewi.
Kemudian pada suatu hari, sungguh tak disangka, Yeats memintaku berbalik karena ia harus menaruh sesuatu di dubur. Saat aku mengedarkan pandang demi memastikan yang kudengar itu benar, ia telah menjelma seorang suster bermuka tirus. Adapun Cile menjadi ruangan berpenerangan suram yang dindingnya dicat hijau sementara plafonnya berlubang-lubang. Ada yang membebat erat kepalaku. Sosok-sosok misterius mengelilingiku. Aku bertahan semampuku. Kupejamkan mata, kumohon mereka supaya pergi baik-baik. Tetapi rasanya seperti berada di dalam air. Sekuat apa pun bergeliang-geliut, aku malah semakin terdesak ke permukaan. Serta-merta Cile, rumah kecil kami, pohon-pohon limau terlepas menjauh ….
[2] Warung Hispanik yang menjual
anggur dan bahan pangan
[3] “I have heard that hysterical
women say, They are sick of the palette and fiddle-bow—“—dari “Lapis Lazuli”
[4] “Slouches towards Bethlehem to
be born?”—dari “The Second Coming” (1919); “That dolphin-torn, that
gong-tormented sea”—dari “Byzantium”
[5] “Come away, O human child, to
the waters and the wild”—dari “The Stolen Child” (1889)
[6] National Theater (of Ireland),
bangunan teater di Irlandia yang merupakan persemaian bagi banyak aktor dan
dramawan Irlandia ternama pada abad ke-20, salah satunya William Butler Yeats
[7] Easter Rising (24 – 29 April 1916), pemberontakan bersenjata di
Irlandia selama minggu Paskah, dilakukan oleh kaum republiken Irlandia untuk
mengakhiri kekuasaan Inggris di Irlandia serta mendirikan Republik Irlandia
yang berdiri sendiri
[8] Cerek logam dari Rusia