Untuk ketiga kalinya dalam tiga tahun ini, mereka
membicarakan hadiah ulang tahun apa yang pantas untuk putra perempuan itu, yang mengidap kelainan jiwa.
Begitu sedikit barang yang boleh dibawa ke dalam ruangannya. Hampir semuanya
dapat dijadikan senjata. Maka sering kali barang harus diserahkan di meja depan. Kalau ada
permohonan, barulah barang itu dibawa ke dalam oleh petugas—yang akan terlebih
dulu memeriksanya kalau-kalau dapat melukai. Pete membawa sekeranjang selai.
Namun karena wadahnya berupa toples kaca, barang itu tidak diperbolehkan untuk
dibawa masuk. “Aku lupa,” kata Pete. Toples-toples itu disusun berdasarkan
warna, dari yang paling terang yaitu selai jeruk, beri, lalu ara, seakan-seakan
isinya berupa urine milik orang yang sakitnya bertambah-tambah parah. Memang
sebaiknya disita saja, pikir perempuan itu. Mereka akan mencari hadiah lainnya.
Pete
sudah hadir dalam kehidupan mereka selama enam tahun, sewaktu putra perempuan
itu berusia dua belas tahun dan baru mulai linglung, berkomat-kamit diam-diam,
dan berhenti menyikat gigi. Kini empat tahun telah berlalu sejak itu. Cinta
mereka pada Pete panjang dan berlika-liku, dengan kelok-kelok tersembunyi tanpa
benar-benar ada pemberhentian. Putra perempuan itu menganggap Pete semacam ayah
tiri. Perempuan itu dan Pete menua bersama, walau tanda-tandanya lebih tampak pada
si perempuan. Ia mengenakan blus terusan berwarna hitam supaya terlihat
ramping. Rambutnya yang mulai kelabu tak disemir, sering kali dijepit dengan helai-helai
menjuntai bak lumut Spanyol. Segera setelah putranya ditelanjangi, dipakaikan
baju pasien, dan menetap di rumah sakit, ia juga melepaskan kalung, anting,
syal—segala perangkat artifisial untuk mengganti anggota tubuhnya yang rusak
atau hilang, begitu katanya mencoba menghibur Pete—dan menaruh semuanya itu di
dalam map berkantong banyak di bawah tempat tidur. Ia tidak diperbolehkan
mengenakan perhiasan selama kunjungan ke rumah sakit, maka ia tidak
mengenakannya lagi sama sekali, semacam tenggang rasa pada anaknya, seperti
menjanda kembali kendati ia memang sudah menjanda. Tidak seperti wanita lain
pada usianya (yang cenderung berusaha terlalu keras, dengan pakaian dalam
mengerikan dan perhiasan berkilauan), kini ia merasa bahwa upaya semacam itu
menggelikan. Maka sewaktu bepergian penampilannya pun menyerupai wanita Amish,
atau, bisa jadi lebih buruk bila cahaya musim semi yang tanpa ampun menyambar
wajahnya, seperti pria Amish. “Buatku, kamu selalu kelihatan cantik,” Pete
tidak pernah bilang begitu lagi.
Pete
kehilangan pekerjaannya akibat resesi ekonomi baru-baru ini. Pete sempat menetap
tinggal bersama perempuan itu, namun persoalan si anak yang menjadi-jadi
membuatnya mundur. Pete bilang ia mencintai perempuan itu, namun tak bisa
mendapatkan ruang yang dibutuhkannya untuk dirinya sendiri dalam hidup si
perempuan, atau di rumah si perempuan. (Pete tidak menyalahkan putranya—atau
iya?) Tampak sedikit kecemburuan dalam tatapan Pete, perkataannya pun masam,
terarah ke kamar depan—tempat putra perempuan itu selagi di rumah, mendekam
dalam balutan selimut tebal, dengan wadah es krim yang kosong, Xbox, dan DVD.
Perempuan
itu tak lagi mengetahui ke mana perginya Pete, kadang sampai berminggu-minggu.
Ia menganggapnya sebagai suatu kewaspadaan sekaligus cinta yang tak
terungkapkan, berusaha tidak memedulikannya. Pernah ia menjadi begitu haus
sentuhan hingga ia pergi ke salon di ujung jalan sekadar untuk mengeramas
rambutnya. Beberapa kali ia terbang ke Buffalo untuk menengok abangnya
sekeluarga, di bandara ia lebih suka diperiksa dengan ditepuk-tepuk dan
tongkat, ketimbang melewati mesin pemindai keamanan.
“Mana
Pete?” putranya menjerit-jerit sementara kunjungan yang dilakukannya sendirian.
Wajah anak itu kemerahan berkat jerawat, membengkak di mana-mana akibat efek
pengobatan yang berganti-ganti. Dikatakannya hari ini Pete sibuk, tapi nanti,
nanti, mungkin minggu depan, lelaki itu akan datang. Rasa keibuan membuatnya
dikepung pening. Ruangan berputar. Sesekali parut tipis pada lengan anak itu
menampakkan nama Pete, kehilangannya akan sosok ayah tercetak apa adanya dalam
bentuk tanda-tanda pada kulit. Dalam ruangan yang berputar bagai korsel,
garis-garis putih berjaring itu menyerupai grafiti kasar di area perkemahan,
seperti para pemuda yang doyan memahatkan kata-kata baik yang ayem maupun vulgar
pada meja piknik dan pohon. Sayatan menjadi cara untuk menyampaikan. Dan
sebaliknya. Perbuatan itu membuat anaknya disayangi anak-anak perempuan. Banyak
di antara mereka yang suka menyayat diri mereka sendiri dan jarang menjumpai
anak lelaki yang juga melakukannya, sehingga pada sesi kelompok putranya
menjadi populer—anak itu tidak berkeberatan, mungkin juga tidak benar-benar
menyadarinya. Ketika tidak ada yang melihat, kadang putranya menyayat telapak
kakinya—dengan kertas daur ulang dari sesi prakarya. Saat berkelompok, anak itu
berpura-pura membaca telapak kaki para anak perempuan seakan membaca telapak
tangan, memberitahukan akan kedatangan orang baru dan kemajuan dalam hubungan
percintaan, dan kadang yang tampak pada sayatan-sayatan itu adalah takdirnya
sendiri.
Kali ini
perempuan itu mengunjungi anaknya bersama Pete tanpa selai melainkan sebuah
buku bertepi geripis tentang Daniel Boone[1]. Buku itu berasal dari raknya sendiri dan boleh dibawa
masuk, meski putranya akan meyakini benda itu mengandung pesan. Cerita di
dalamnya bukan hanya tentang orang yang hidup pada masa lalu, tapi juga tentang
perjuangan dan penderitaannya sendiri dalam menghadapi setiap bentuk
kebiadaban, penaklukan, dan perampasan. Kehidupannya sendiri yang disangkutkan
pada buku itu, pengungkapan kisah mengenai dirinya
dalam bentuk yang adiluhung. Akan ada petunjuk dalam kata-kata pada halaman
dengan nomor yang berarti usianya: 97, 88, 466. Akan ada petunjuk-petunjuk
terselubung lainnya mengenai keberadaannya. Selalu ada.
Bersama-sama
mereka duduk di meja kunjungan. Putranya mengesampingkan buku itu dan berupaya
tersenyum pada keduanya. Masih tampak keramahan dalam mata anak itu, yang sudah
ada sejak ia dilahirkan, bahkan jika amarah melesat tak terarah di hadapan
keduanya. Seseorang telah memotong rambutnya yang cokelat terang—atau,
sedikitnya, telah mencoba. Barangkali si petugas tidak ingin guntingnya
berdekatan terlalu lama dengan anak itu, sehingga ia memangkas rambut dengan
cepat, lalu menarik guntingnya, mendekat lagi, menjumput dan memangkas, lalu
mengangkat guntingnya lagi. Kelihatannya seperti itu. Rambut anaknya yang
berombak perlu dipangkas dengan hati-hati. Sekarang rambut itu tak lagi terjun
bebas melainkan cepak saja, mencuat tajam yang kemungkinannya tak akan
diacuhkan siapapun selain ibunya.
“Om ke
mana aja?” tanya putranya pada Pete.
“Pertanyaannya
bagus,” ucap Pete, seakan dengan memuji ia tidak perlu menjawabnya lagi.
Bagaimana bisa orang tetap waras di dunia semacam ini?
“Om
kangen sama kami, enggak?” tanya anak itu.
Pete
tidak menjawab.
“Om
kepikiran sama aku enggak waktu lihat pohon malam-malam?”
“Sepertinya
begitu.” Pete menatap balik anak itu dan menjaga posisi duduknya agar tak
berubah-ubah. “Om selalu berharap kamu baik-baik saja, dan dirawat baik-baik di
sini.”
“Om
kepikiran sama mamaku enggak waktu lihat awan sama langit?”
Pete
membisu lagi.
“Sudah,
ya,” tukas perempuan itu pada anaknya, yang berpaling padanya dengan raut
berbeda.
“Sore
ini ada kue buat yang ulang tahun,” kata anak itu.
“Bagus
dong,” ujar perempuan itu seraya balas tersenyum.
“Lilinnya
pasti enggak ada. Garpunya juga. Jadi kita langsung ambil aja krimnya terus ditempelin
ke mata biar enggak bisa ngelihat. Pernah enggak kepikiran, waktu niup lilin,
waktu kayak enggak gerak, terus sampai asapnya pergi? Kayak cinta yang lagi
panas-panasnya. Pernah enggak penasaran kenapa sih banyak orang punya apa-apa
yang sebetulnya enggak pantas buat mereka, tapi enggak masuk akal juga gimana
awalnya bisa gitu? Benar enggak sih harapan bisa kekabul padahal kita sama
sekali enggak pernah ngomongin itu ke siapa-siapa?”
Dalam perjalanan pulang, perempuan itu dan Pete tidak
bertukar kata sepatahpun. Tiap kali perempuan itu menengok tangan Pete yang
keriput—mengenggam kemudi erat-erat akibat radang sendi, jempolnya bergantung
rendah seperti monyet sebagaimana biasanya—kembali ia menyadari keadaan mereka
yang menyedihkan, walaupun kesedihan mereka terpisah, tak terbagi. Desakan air
mata terasa menikam-nikam matanya.
Terakhir
kali putranya mencoba melukai diri dengan cara yang, menurut dokter, simpel
namun membahayakan. Anak itu hampir saja berhasil, namun temannya sesama
pasien, seorang gadis dari kelompoknya, menghentikannya sebelum terlambat.
Darahnya sudah telanjur menggenang. Sementara yang diinginkan anak itu hanyalah
mengalihkan rasa sakit, namun pada akhirnya ia ingin mengoyak dirinya dan
menghilang melalui lubang yang dibuatnya. Hidup baginya penuh dengan mata-mata
dan pengintaian yang menjerat. Sekalipun begitu, kadang para mata-mata juga
akan menghilang. Lalu ada yang harus mengikuti mereka—melalui padang mimpi yang berbukit-bukit, menembus
pegunungan makna yang menyingsing pada subuh hari—yang tujuannya justru untuk
menghindari mereka sama sekali.
Badai
membayang, dan muncul kilatan petir, berkelak-kelok menuju tempat tertentu di
antara mega-mega. Perempuan itu tak memerlukan gambaran keji bahwa ufuk dapat
meretak, akibat dijejali pesan dan sandi patah-patah, sekalipun ada. Salju
musim semi mulai berjatuhan sementara petir masih pecah. Pete menyalakan penyapu
kaca sehingga mereka dapat memandang jalanan yang
menggelap melalui bidang separuh lingkaran yang telah diseka. Perempuan itu
menyadari bahwa dunia tidaklah diciptakan untuk berbicara hanya padanya,
sekalipun kadang demikianlah yang terjadi pada putranya. Pohon-pohon buah telah
berbunga lekas, umpamanya—kebun-kebun buah yang mereka lewati tampak bersemu
merah—namun hangat yang datang sebelum waktunya tidak disertai lebah-lebah,
sehingga buahnya akan sedikit saja. Banyak dari bunga-bunga yang berjuntaian
itu akan gugur akibat badai ini.
Begitu
mereka sampai di rumah perempuan itu dan masuk, sepintas Pete memandang cermin
di sisi lorong. Barangkali ia butuh kepastian bahwa dirinya masih hidup dan
bukan hantu sebagaimana kelihatannya.
“Mau
minum?” tanya perempuan itu, berharap Pete akan tinggal. “Aku punya vodka yang
baik mutunya. Aku bisa membuatkanmu white
Russian yang enak!”
“Vodka
saja,” jawab Pete dengan berat. “Tidak pakai apa-apa.”
Perempuan
itu membuka kulkas dan mencari vodka. Setelah menutupnya lagi, ia berdiri saja
beberapa saat, memandangi foto magnet yang menempel di pintu kulkas. Sewaktu
bayi, putranya tampak bahagia lebih daripada bayi-bayi pada umumnya. Sewaktu
berusia enam tahun, anak itu masih dapat tersenyum lucu. Lengan dan kakinya
terentang bagai pancaran sinar bintang. Giginya yang renggang-renggang
berkilauan. Rambutnya mengikal indah. Pada usia sepuluh tahun, raut wajahnya
tampak kuyu dan ketakutan, walau matanya masih menyorotkan cahaya, dan di
sampingnya ada para sepupu kesayangan. Lalu ia menjadi remaja yang montok, lengannya
merangkul Pete. Dan, di ujung, ia menjadi kanak-kanak kembali, disangga ayahnya
yang tampan dan bermartabat, yang tidak dikenalinya, sebab lelaki itu sudah
meninggal lama sekali. Semua ini harus diterima. Hidup tidaklah berarti
kenikmatan yang satu di atas kenikmatan yang lainnya. Hidup hanyalah harapan
akan berkurangnya penderitaan. Harapan ibarat kartu mainan di atas harapan
lainnya, keinginan akan munculnya kebaikan dan belas kasih secara tak
terduga-duga seperti munculnya raja dan ratu dalam permainan. Bagaimanapun cara
memegangnya, kartu itu akan terempas jua. Tanpa kelembutan, kecuali kalau memang
sudah rusak.
“Tidak
mau pakai es?”
“Tidak,”
tanggap Pete. “Tidak, terima kasih.”
Perempuan
itu meletakkan dua gelas vodka di meja dapur, lalu menduduki kursi di hadapan
Pete.
“Mungkin
ini bisa mengatasi masalah tidurmu,” ucap perempuan itu.
“Entahlah
apa yang bisa mengatasinya,” ujar Pete, meneguk minumannya. Insomnia
merundungnya.
“Aku
akan membawanya pulang minggu ini,” kata perempuan itu. “Dia butuh kembali,
rumahnya, kamarnya. Dia tidak membahayakan siapapun.”
Pete
minum lagi. Seruputnya terdengar. Perempuan itu tahu Pete tidak mau ambil
bagian, namun ia merasa mau tak mau perlu melanjutkan. “Barangkali kamu bisa
membantu. Dia mengagumimu.”
“Membantu
bagaimana?” tanya Pete dengan sorot gusar. Gelasnya berdenting mengenai meja.
“Kita
bisa bergantian mendampinginya waktu malam,” jawabnya hati-hati.
Telepon
berdering. Telepon dindingnya itu hampir tidak pernah bersuara kecuali untuk
menyampaikan kabar buruk, begitupun bunyi deringnya, terlebih pada malam hari,
selalu membuatnya kaget. Ia menahan rasa merinding, namun bahunya masih runduk,
seakan sedang mengantisipasi ledakan. Ia bangkit.
“Halo?” jawabnya
pada dering ketiga. Jantungnya berdebar. Namun orang di ujung sambungan
memutusnya. Ia duduk kembali. “Mungkin salah sambung,” katanya, lalu
menambahkan, “Mungkin kamu mau tambah vodkanya.”
“Sedikit
saja. Habis itu aku harus pergi.”
Perempuan
itu menuangkan sedikit untuk Pete. Ia telah menyampaikan yang perlu-perlu saja
dan tidak ingin sampai harus mendesak lelaki itu. Ia hendak menanti lelaki itu
maju dengan kata-kata yang tepat. Tidak seperti beberapa temannya yang tak
berperasaan, yang terus memperingatkannya, ia yakin ada sisi baik dalam diri
Pete dan ia selalu sabar menantinya keluar. Apa lagi yang bisa diperbuatnya?
Telepon
berdering kembali.
“Mungkin
telemarketing,” kata Pete.
“Aku tak
suka mereka,” ujar perempuan itu. “Halo?” ucapnya dengan lebih keras pada
gagang telepon.
Kali ini
saat si penelepon memutus sambungan ia menatap panel bercahaya pada telepon,
yang agaknya memperlihatkan nomor orang yang membuat panggilan.
Ia duduk
kembali dan menuangkan vodka lagi untuk dirinya. “Ada yang menelepon ke sini
dari apartemenmu,” katanya.
Pete
mendorong sisa minumannya. “Aku harus pergi,” ucapnya, dan bangkit. Perempuan
itu mengikutinya. Di pintu, ia amati lelaki itu menggenggam kenop dan
memutarnya kuat-kuat. Pete membuka pintu lebar-lebar hingga menghalangi cermin.
“Selamat
malam,” ucapnya. Rautnya sudah berada di suatu tempat yang jauh sekali.
Perempuan
itu merangkulkan lengannya pada Pete, hendak mengecup. Namun tahu-tahu lelaki
itu memalingkan kepala sehingga mulutnya malah mendarat di telinga. Teringat
olehnya bahwa Pete pernah mengelak seperti ini juga sepuluh tahun yang lalu,
sewaktu mereka pertama kali berjumpa, dan lelaki itu sama-sama sedang dirundung
asmara.
“Terima
kasih sudah menemaniku,” ucapnya.
“Sama-sama,”
sahut Pete, lalu terburu-buru melangkah ke mobilnya yang diparkir di pinggir
jalan. Perempuan itu tidak mencoba mengiringi Pete lagi. Ia menutup pintu depan
dan menguncinya sementara telepon mulai berdering kembali.
Ia
menuju dapur. Ia tidak benar-benar dapat membaca nomor si penelepon tanpa
mengenakan kacamata, dan tadi mengarang saja kalau itu nomor Pete. Namun lelaki
itu menganggapnya betulan, menyiratkan dusta, tebakan untung-untungan, dan
lagak yang cekatan. Perempuan itu menguatkan dirinya kini. Ia pancangkan kaki.
“Halo?”
jawabnya pada dering kelima. Panel plastik yang semestinya menampilkan nomor
tampak kabur seakan tertutup oleh kain transparan, lembaran kulit bawang yang
melapisi bawang—atau, malah, gambar bawang. Gambaran yang satu di atas gambaran
yang lainnya.
“Selamat
malam,” ucapnya dengan keras. Kejutan apa yang menantinya? Tawaran untuk mengajukan
tiga permintaan. Seorang perempuan. Macan.
Namun
tidak terjadi apa-apa.[]
Lorrie
Moore adalah penulis fiksi asal Amerika Serikat. Beberapa cerpennya memenangkan
penghargaan seperti O. Henry Award, The Irish Times International Fiction
Prize, dan Rea Award for the Short Story. Selain cerpen, ia juga menulis novel,
buku anak-anak, dan esai. Cerpen ini diterjemahkan dari cerpennya yang berjudul
“Referential”,
yang mula-mula dimuat di
The New Yorker edisi 28 Mei 2012 dan termasuk dalam Best
American Short Stories 2013.
[1] Daniel Boone (1734-1820) seorang pengelana dan perintis daerah-daerah pemukiman di Amerika Serikat, merupakan sosok legendaris dalam sejarah negara tersebut.
[1] Daniel Boone (1734-1820) seorang pengelana dan perintis daerah-daerah pemukiman di Amerika Serikat, merupakan sosok legendaris dalam sejarah negara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar