Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20170206

An Evening of Long Goodbyes, Bab 4 (4/6) (Paul Murray, 2003)

“Sekarang memang sudah larut,” ucapku rancu, sambil mengitari ruangan memasang lilin-lilin pada kandil. Diiringi goyangan yang hampir tak kentara, ia mengikuti jalanku, sembari menganugerahiku senyuman ganjil penuh kasih.

“Sepertinya aku harus memanggil taksi.” Nada suaranya merendah jadi berat dan datar yang memanggil-manggil sisi tersembunyi dari diriku.

“Sepertinya,” sahutku. Ia bergeming. Aku terus memasang lilin-lilin. Seiring dengan api yang berturut-turut menyala pandanganku mengabur dan gairahku meningkat sedikit demi sedikit; hingga aku serasa dikelilingi api dalam pesta pora, yang melaluinya wajah Laura berlenggak-lenggok bak jarum kompas. Aku merasa seperti Nero, yang memimpin Roma melalui tarian wals Laura yang penghabisan. “Pasti menyenangkan, ya, mengobrol lagi dengan abang Frank seperti tadi,” ucapku begitu saja.

"Kuharap kerja bisa selalu semenyenangkan ini," sahutnya acuh tak acuh. Bibir atasnya mengilau merah tua akibat minuman Rigbert's tadi. Ia tengadah, sambil memiringkan dan menyapukan jemarinya pada sudut siku-siku pintu kabinet. "Meski kalau aku sekaya ini, aku enggak harus bekerja sehari pun.

Aku terkejut. Untuk sesaat yang terasa ganjil dan lama, sementara ia tersenyum padaku, wujudnya seakan semakin berkilauan entah dari mana arahnya sehingga cahaya lilin-lilin tampak meredup dibandingkan dengan dirinya; dan aku jadi takut bergerak kalau-kalau mengusik pemandangan itu. Apakah aku telah salah menilai dirinya? Apakah ini Laura yang asli, yang telah menyingkirkan debu kehidupannya sehari-hari? Sepintas kulihat jam. Sekarang sudah tengah malam: masih ada cukup waktu bagi kami untuk mengetahuinya.

“Selain itu,” imbuhnya asal. “Mungkin saja aku jadi bosan, menikmati kekayaan seorang diri.”

Kunyalakan sumbu lilin yang terakhir dan kupadamkan sumber apinya.

“Apa yang kamu perbuat,” ucapnya, “saat kamu bosan?”

“Entahlah.” Aku melangkah santai ke arahnya. “Mengasuransikan barang-barang.”

Ia merunduk lalu menatap lurus-lurus ke arahku. “Apa kamu sudah diasuransikan?”

Aku tersentak. “Kenapa memangnya?”

“Maksudku,” ia terkikih, “barangkali sebaiknya aku memeriksa dirimu … selagi aku di sini, yah. Sekalian saja.

Aku menggamit tangannya. Cahaya lilin-lilin terhalau ke sana kemari pada wajahnya. “Ke lantai atas, yuk,” kataku. Lengan kami merangkul pinggang satu sama lain, blusnya terangkat menyingkapkan secarik perut pucat keperakan. Di ambang pintu ia terhenti dan mendongak padaku. “Apa kamu akan membiarkan lilin-lilinnya menyala?”

“Penting, ya?”

“Ada risiko kebakaran,” gumamnya. “Empat puluh empat persen kebakaran disebabkan oleh … terbuka … terbuka[1] ….” Ia membenamkan kepalanya di dadaku. “Ya Tuhan, Charles, aku teler banget.”

“Omong kosong,” aku mendorongnya. “Kamu sama sekali enggak mabuk kok. Gara-gara makan berat saja.”

Kami mencapai tangga. Aku berusaha menyangga Laura dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya memegang lilin. Ia semakin limbung saja: mendadak aku menyadari bahwa ada bahaya nyata ia bakal tertidur sebelum kami dapat mulai berbuat apa pun. “Ceritakan tentang Titanic,” usulku sementara kami menaiki anak tangga ketiga dan keempat; ia tampak merusuhkan tentang itu tadi.

“Sedih banget,” desahnya, “sedih banget … semua orang di situ … mereka semua ada di kapal, Ti—, Ti—…. Aku sudah menonton film itu sedikitnya enam kali dan aku selalu mewek ….”

“Oh ya?” Aku terengah-engah. Ia jadi semakin berat juga.

“Leonardo DiCaprio pakai tuksedo, gantengnya … sedang Kate Winslet cantik banget, meski dia agak sedikit gendut, terus kenapa?” Kakinya berdebam di anak tangga. “Tetapi tunangannya Kate Winslet, ya, bajingan … bajingan tengik … pikirnya bisa menguasai Kate, bahkan enggak peduli pasangannya itu mencintai orang lain … benci sama orang-orang seperti itu dikiranya mereka itu lebih baik daripada orang lain ….” Alisnya berkerut. “Kayak Bel pikir dia itu spesial banget soalnya dia itu aktris—jangan salah paham, Charles,” sambil cepat-cepat berbalik demi menempelkan jari di bibirku dan nyaris menggulingkan kami berdua dari tangga, “jangan salah paham, aku sangat menyenanginya—tetapi sewaktu di sekolah pun dia pikir dia itu kayak aktris hebat dan semua orang lainnya terlalu membosankan untuk diajak mengobrol … tetapi dia tuh enggak asyik, Frank bakal tahu cepat atau lambat. Bahkan enggak pernah keluar minum-minum sama kami, sibuk sama dunia kecilnya sendiri, menyengsarakan dirinya sendiri dan berbuat yang aneh-aneh sama dirinya sendiri, itu urusan dia kalau dia pengin—“

Sekonyong-konyong ia terhenti, dan menarik badannya supaya bisa mengamati wajahku. Keringat berkilauan di atas bibirnya dan membasahi kemejaku. Kulitnya memucat, dan cahaya lilin terarah padanya, memberi lubang-lubang pada tubuhnya, membuatnya tampak ceking. “Charles, jangan salah paham,” seraya agak mengaburkan perkataannya, “maksudku dia itu hebat dan aku sangat menyenanginya … dan senang sekali akhirnya bertemu denganmu, ia selalu membicarakanmu di sekolah, kalian terkesan begitu megah, seperti raja dan ratu ….”

Suaranya sayup sampai. Kami menatap sayu pada satu sama lain.

“Kurasa,” sahutku lunak, “kita mesti memanggilkanmu taksi sekarang.”

“Charles,” ucapnya berurai air mata, sambil menggigit bibirnya.

“Ya?”

“Kurasa aku mau muntah.”

“Oh. Oh yah, cepat, lewat sini …” Aku menuntunnya mendengus-dengus menaiki sisa tangga lalu menyusuri koridor menuju kamar mandi. Di pintu aku menyerahkan lilin padanya. “Kamu mau aku menungguimu di luar sini?” Ia hendak menjawab, namun kemudian matanya membelalak dan ia menangkupkan tangan ke mulut lantas terburu-buru masuk.

“Kutunggu di kamarku saja kalau begitu,” seruku. “Susul aku ketika kamu selesai. Lurus lalu ke kanan, pintu kedua.”

Menyusul rentetan bunyi isi perut dikeluarkan. Aku mengangkat bahu dan berjalan menyusuri koridor gelap lalu duduk di tempat tidur dan mempermainkan kancing mansetku dengan gugup. Aku ingat sewaktu mengenakannya malam itu, begitu penuh harapan dan kegelisahan. Rasanya seakan sudah seminggu lalu. Aku meregangkan tubuh ke kasur, sembari menatap langit-langit yang tak kelihatan. Aku mulai merasa tertekan sepenuhnya. Bukan salah Laura dirinya cantik, ataupun terasa membosankan bagiku; ini salahku. Jika aku sama sekali keliru dalam memahami Laura, bagaimana dengan rencanaku selebihnya? Apakah rencana-rencana itu keliru pula? Boleh jadi Bel benar; boleh jadi, bagaimanapun juga, tidak ada yang bisa dipertahankan lagi di sini; boleh jadi Amaurot telah melampaui masanya, dan sekarang lebih baik membiarkan dunia mengambilnya, merenggutnya ke balik ombak.

Jam berdetak. Aku mengambil gambar Gene berukuran 8 x 10 dari kolong tempat tidur dan menyangganya di tepi jendela. Ada kemiripan yang tak terelakkan: bentuk keningnya yang pucat pualam, lekuk pipinya yang rupawan, kenaifannya yang merawankan bermain-main dengan begitu memikat terhadap kecantikannya. Dan nama itu sendiri, Laura: terkesan anggun lagi suram. Nama itu penting, kalau saja orang pandai mengartikannya. Aku memejamkan mata, memutar ulang adegan tersohor dalam film itu—Laura, maksudku—ketika si detektif menghabiskan malam di apartemen gadis itu—membaca surat-surat serta buku hariannya, membaui parfumnya, memeriksa lemari pakaiannya, meminum Scotch-nya; selalu diawasi oleh, selalu berbalik pada, potretnya di dinding. Ia sudah mati sebelum film dimulai, tentu saja, ditembak habis-habisan tepat di wajahnya: pada potretnyalah si detektif jatuh cinta. Tierney sangsi akan perannya dalam film itu—“siapa sih yang mau memerankan lukisan?” begitu katanya—namun penonton juga jatuh cinta pada Laura, dan ia pun menjadi bintang. Dan terlepas dari perkataannya itu, peran itu tampak sempurna padanya: sosok menakjubkan ini yang mampu menyingsing bak asap mengatasi intrik dan obsesi para penggemarnya—yang hadir di antara kasau, boleh dikatakan, celah antara hidup dan mati; bahkan sewaktu di balik layar perkawinan dan kewarasannya ambruk. The GET girl, yang kembali dari sekolah asrama di Swiss pada usia enam belas tahun dan mendapati rumah keluarganya telah diambil alih; yang berdiri pada birai jendela tingkat keempat belas gedung di New York pada 1958, melalui kabut keabsurdan menyadari bahwa apartemen di seberang merupakan milik Arthur Miller dan istri barunya, Marilyn Monroe, dan pada menit penghabisan khawatir akan menjadi mayat yang buruk ….

Sedikitnya lima menit telah berlalu, dan mengenai Lauraku, Laura dalam kehidupan nyata, masih belum ada tanda kehadirannya. Aku menuju pintu dan memandang koridor yang gelap gulita. Aku tidak dapat melihat apa pun. Apa ia masih berada di kamar mandi? Apa ia sudah berlalu entah ke mana? Atau—aku teringat caranya bersanding dengan Frank tadi. Apa ia telah menyelinap ke pojok bersama orang itu? Aku mulai panik: membayangkan Laura di belakang van putih karatan Frank, terguncang-guncang maju mundur dalam perjalanan menuju rak perapian makhluk itu—

Aku membabi buta ke arah tangga—tetapi kemudian dari salah satu pintu ada tangan menjangkau dan menangkap pergelangan tanganku, dan sebelum aku sempat memberitahunya kami salah kamar, ia menciumku. Jenis ciuman yang orang tak akan mau menyelanya; malah, begitu bibirnya bertemu bibirku, segalanya—segalanya—lenyap dari kepalaku. Jenis ciuman yang melingkupi diri orang yang dicium, rawan dan rusuh ibarat guguran salju mendadak disertai embusan angin; dan sementara kepingan salju itu luruh dengan meriah di sekitarku, aku seakan diberi tahu bahwa apa pun yang terjadi malam itu, janganlah aku berputus asa; bahwa akan selalu ada rumah-rumah tua berdinding batu serta ciuman-ciuman panjang bersipongang, hal-hal yang yang hidup abadi di sisi dunia yang berubah-ubah; hal-hal yang sesuai dengan diriku.

“Laura,” aku melagukan kata itu ke pipinya, “Laura ….”

Seketika aku mengucapkan itu, ada perubahan mencolok. Serentak tangan kami berhenti meraba-raba; kami terpaku dalam kesunyian menegangkan yang rasanya berlangsung terlalu lama ….

Charles?”

“Alamak!”

“Menjauh dari diriku!” jerit Bel, seraya mendorong tanganku dari pahanya dan melompat sekuat tenaga sampai aku terjungkal dan kepalaku terhantam oleh kosen. “Oh Tuhan, kamu baik-baik saja?” Ia mengulurkan tangan ke arahku sebelum dikuasai kengerian dan melompat lagi. “Oh Tuhan, oh Tuhan ….”

“Aduh ….” Aku mengangkat diriku sendiri dari lantai, sambil memijat-mijat benjol, dan berusaha berpijak. “Aduh ….”

“Oh Tuhan—Charles, ini … ini parah luar biasa—“

“Kurasa aku mengalami aneurisme,” aku terengah-engah. “Bel, panggilkan ambulans—“

“Charles, keluar dari sini!” Ia menjambaki rambutnya, mengentak-entakkan kaki. “Kumohon, bisakah kamu keluar?” Suaranya gemetar hampir menangis. “Tidakkah kamu mengerti ini parah, parah sekali?”

“Hei, jangan salahkan aku,” ujarku, mulai merasa agak tersinggung. “Kamulah yang menyeretku ke sini, maksudku kamu hampir-hampir menghajarku—“

“Ini kamarku, Charles, kukira kamu Frank lah.”

“Bisa-bisanya kamu salah mengira aku ini Frank?” Aku menyelipkan buntut kemejaku. “Pergelangan tangannya Frank kan kayak tabung pemadam kebakaran. Dan baunya juga khas ….”

“Tabung pemadam kebakaran?” Sekarang ia terdengar sangat geram. “Charles, masalahmu apa sih? Di mana Frank sekarang?”

“Hei, kukira dia bersamamu.” Meski sudah jelas posisinya pasti berada: di lantai bawah sedang menyikat pusaka keluarga. Kemungkinan Laura sedang membantunya, ia cukup berliur melihat barang-barang itu—

“Jangan bergerak dulu.” Bel menyisi dengan hati-hati melewatiku menuju lorong. “Charles, aku … aku enggak mau kamu sentuh-sentuh aku lagi, selamanya.”

“Iya, iya,” sahutku sementara sosok samarnya mengelakkan diri ke arah tangga, “tetapi begini deh, enggak ada gunanya melebih-lebihkan persoalan ini, lihatlah intinya, yang salah sasaran saja—“

“Pokoknya jangan bergerak,” ia memperingatkan dari jauh—lantas lepas landas cepat-cepat menuruni tangga, sambil memanggil-manggil Frank.

Entah bagaimana awalnya, aku mendapati diriku di ruang studi Ayah. Aku terhuyung-huyung ke jendela, mengangkat bingkai, dan ambruk di ambangnya, sambil menggilas-gilaskan kepalan tangan ke mata. Alkohol mengaduk-aduk kepalaku bagaikan badai tropis. Ingatanku terus mengolok-olokku dengan perincian indrawi: rasa lipstiknya, benturan lembut giginya—ugh, ugh, ugh! Aku menghirup udara malam, menggeleng kencang-kencang, namun semacam proses mundur yang mengerikan mulai bergerak, dan kini peristiwa-peristiwa malam itu muncul kembali di hadapanku bagaikan kirab yang menakutkan: pijar merah gelap pada patung perunggu Buddha di lemari rias, lengan gaib Bel melingkari Frank, tiram-tiram tak bernyawa mendekam lengket dalam cangkangnya—ujung jemariku menjejakkan keringat pada ambang jendela dan aku bertanya-tanya apakah aku telah kehilangan akal sehatku.

“Phf-wit!” suatu suara melintas menembus malam.

Apa lagi sekarang? Aku melepaskan pandang, namun tidak melihat siapa pun.

“Phf-wit!” suara itu berulang. “Charlie! Di bawah sini!”

Aku menjulurkan badan. Frank tengah berdiri dalam bayang-bayang tepat di bawah jendelaku.

“Baik-baik saja?” ucapnya.

“Ah, ha ha, ya, begitulah,” aku memutar tanganku dengan lemah bak raja penyakitan.

“Kelihatannya kamu rada tegang, Charlie, lagi muntah?”

“Enggak, enggak, baik-baik saja kok, cuma agak … agak kecapekan, sepertinya ….” Apa yang sedang dilakukannya di luar sini? Bukankah seharusnya ia di dalam, menuntaskan aksi pencuriannya?
“Aku dengar suara jadi aku keluar periksa. Lihat deh ada siapa di semak-semak!” Sebuah satelit timbul di dekat wajah rembulannya yang tengadah: Mbok P, jelas-jelas masih tampak mengidap somnambulisme. Aku sama sekali lupa padanya sementara aku mengejar-ngejar Laura tadi yang rupanya ditakdirkan buruk. “Oh iya,” sahutku malu-malu. “Ia memang, ah, berkeluyuran tadi, baru ingat aku.”

“Dia tadi lagi keliaran di semak-semak kayak orang gila, kayaknya dia lagi enggak sadar.”

“Yah, bawalah dia masuk, ya, anak baik—“

Mbok P menyumbang suara yang tidak terdengar jelas dari lantai dua.

“Dia terus-terusan bilang gitu, siapa itu Mirela, Charlie?”

“Aku enggak tahu, begini deh, bisa enggak kamu—“

“Tunggu—“ Ada pintu terbuka dan getaran cahaya menyentuh rerumputan.

“Hai Frank,” terdengar suara baru.

“Baik-baik saja?” sahut Frank. “Ngapain lu di luar sini?”

“Aku lagi mencari kamar mandi,” ujar Laura.

“Mungkin Charles tahu tempatnya,” Frank menuding padaku.

“Hai Charles!” Laura melambai.

“Halo, ya,” jawabku agak kasar, sambil bertanya-tanya sampai kapan pantomim ini akan terus berlangsung. “Kukira kamu sudah benar-benar berada di kamar mandi tadi, kalau kamu—“

“Enak, ya, di luar?” Laura kembali mengalihkan perhatian pada Frank. “Sangat menyegarkan, karena itu kamu keluar, ya?”

“Lihat semua bintang itu …” Frank merenung dengan gaya tak meyakinkan, sambil menjulurkan kepalanya ke belakang.

“Eh, Mbok P masuk angin nanti kalau kalian di situ lama-lama,” seruku ke bawah. “Dan Bel mencari kalian, omong-omong.”

“Benar, Charlie, benar.” Frank membukakan pintu untuk Mbok P dan Laura lalu mengekor masuk. Aku berpaling dari jendela dan duduk di meja Ayah. Pada selembar kertas terdapat coret-coret wajah dari pensil warna; perlu sesaat untuk menyadari bahwa tiap-tiap gambar merupakan wajah perempuan yang sama. Di balik kertas itu terdapat catatan mengenai pengaruh senyawa pada masing-masing wajah. Garis zigzag dan arsiran yang digurat Ayah dinyatakan lewat persamaan ruwet dalam tanda kurung, serta rangkaian huruf dan indeks yang mewakili warna, berat jenis, dan kereaktifan senyawa tersebut. Bagi kebanyakan orang, coret-coret itu sekadar alkimia; kuakui aku sendiri tidak mengerti. Potret Ayah menyorotiku dari dinding. Mengapa kau bukannya memiliki hipotek yang wajar-wajar saja? Dalam bisu aku mengecamnya. Mengapa kau meninggalkan kami bersama kekacauan ini? Ia balas menatapku dengan dingin.

Aku menenangkan diri, dan memikirkan sisa dari rencana agungku yang tercabik-cabik untuk menyelamatkan Amaurot. Tak ayal lagi bahwa peluang untuk meninggalkan pesan yang menginspirasi, atau kesan baik sekalipun, pada titik ini telah sirna. Mau mati atau tidak, tampaknya tidak lagi ada cukup kesempatan supaya Bel meninjau ulang pendapatnya atas diriku, mulai melihatku sebagai seorang yang mulia, kesatria, dan seterusnya. Yang berhasil kuperbuat cuma memperkuat pendapatnya bahwa Amaurot itu semacam Kediaman Keluarga Usher[2] di Dublin Selatan. Maka tidak mengherankan Frank tampak seperti pilihan lain yang aman dan bertanggung jawab. Justru akulah yang menggiring Bel ke dalam rengkuhan Frank. Seluruhnya telah gagal sedari awal hingga akhir, dan kurasa jika sepersepuluh dari kejadian ini telah menimpa Kristus selama perjamuan terakhirnya, bisa diperdebatkan apakah ia mau repot-repot bangkit dari kubur.

Meski begitu, kukira lebih baik aku segera menuntaskannya. Aku pun berdiri. Seketika itu, lukisan itu lagi-lagi memikat tatapanku. Aku lekas memutuskan untuk tidak akan membiarkannya diambil maling, ataupun dilelang. Aku meraih pisau pembuka surat dari meja dan mulai memotong kanvas di sisi bingkai. Di luar terdengar percakapan garau dari dunia lain: kubayangkan itu serigala-serigala sedang berkumpul, atau suatu kebalikan dari film horor di mana segerombolan monster yang berang menyerbu kastil Frankenstein. Kanvas itu pun lepas: aku menggulungnya, melipatnya, dan menyisipkannya di balik ikat pinggang pantalonku. Lantas, dengan perasaan agak mending, aku mengambil tas berisi barang-barang kepunyaanku dari kamar dan melangkah menuruni tangga, sambil berencana mengucapkan selamat malam pada yang lain-lain kemudian menanti maut di luar, di mana lebih kecil kemungkinan untuk terus merasa rikuh.

Terdengar suara-suara dari dapur: namun aku berlabuh dulu di ruang makan, di mana aku mengambil kandil dan merasa puas mendapati lemari rias, kabinet, dan meja bertingkat telah dikosongkan. Seraya mengangguk pada diri sendiri, aku pun meninggalkan ruangan itu.

“Iklan Budweiser tuh kocak-kocak, ya—Oh, hai Charles.”

“Wah, wah, enak, ya, di sini?”

Frank, Laura, Bel, dan Mbok P sedang duduk mengelilingi meja, diterangi sebatang lilin, dengan masing-masing secangkir teh di hadapan mereka. Bel bergumam sebal sewaktu aku masuk.

“Nyaman dan enak, ya,” ulangku, sambil memutari meja dengan kedua tangan di balik punggung dan menatap penuh maksud pada Frank.

“Baik-baik saja?” sahut Frank. Aku tersenyum ramah. Membiarkan dirinya berlagak polos sementara ini; besok pada waktu yang sama, harapannya akan kandas.

“Kamu mau teh, Charles?” tanya Laura. “Tadi kami rasa sebaiknya kami menyuguhkan teh pada pembantumu, supaya ia merasa hangat, lalu kata Frank, kenapa enggak kita sekalian minum juga?”

“Nemu Jaffa Cakes[3] juga nih,” ujar Frank, sambil mengulurkan kotaknya.

“Rambutmu sangat berkilau,” kata Laura pada Mbok P, yang tampak jelas mengalami katatonia dan tidak menyentuh tehnya.

“Sebenarnya aku mau ke tempat tidur,” ucapku sambil menguap. “Tetapi lantas aku teringat ada hal penting yang mau kusampaikan pada Bel.”

Bel sama sekali tidak menanggapi, selain dengan mengubah posisi kursinya supaya berpaling dari diriku.

“ … mmm, Bel?” aku kembali mencoba, sambil berusaha untuk melangkah ke hadapannya.

“Charles, tolonglah, aku enggak mau bicara denganmu sekarang—“

“Ya, tetapi singkat saja kok—eh, bisakah kamu berhenti memindah-mindahkan kursimu?”

“—ataupun melihatmu. Maaf, ya, tetapi aku enggak bisa.”

“Hanya saja persoalannya—“ sambil menggenggam punggung kursinya dan agak mencondongkan badan menghalanginya—

“Oh, kalau begitu apa?” serunya. “Ada apa?”

“Mmm ….” Aku menjadi gelagapan, tidak ingat yang mau kukatakan. Aku menegakkan badan, mengetuk-ngetukkan sebelah kaki, sambil berusaha memikirkan ucapan yang pas. “Yah, selamat malam, kurasa, pertama-tama—“

“Baiklah,” sahutnya. “Selamat malam.” Ia menyilangkan kedua lengan dan kembali menatap tajam cangkir tehnya.

“Yah,” ucapku bimbang, “itu saja, kalau begitu.”

“Yeah, met malam, ya, Charlie.”

“Selamat malam, Charles, terima kasih, ya, untuk makan malam yang menyenangkan tadi.”

“Baik.” Aku menyingkir dengan kaku ke pintu belakang, kaki terasa seberat timbal.

“Chales, kamu mau ke mana sih, persisnya?” Bel berkata gusar.

“Aku? Ah, cuma mau mampir ke Folly sebentar.[4]

“Sedini ini? Mau apa?”

“Enggak ada apa-apa kok,” sahutku samar, sementara tanganku berdiam di gagang pintu. “Cuma merasa aku pengin, ah, mampir ….” 

“Baiklah.” Ia berpaling lagi, terdengar kesal.

“Yah, selamat malam, ya, semuanya.” Aku membuka pintu. “Dan jika karena suatu sebab aku tidak berjumpa dengan kalian lagi, maka, ah … ya, cobalah mengasihi sesama, tahulah.” Aku mulai melangkah ke luar memunggungi ruangan itu. “Berusahalah demi esok yang lebih baik, dan seterusnya. Walau tentu saja, aku akan menjumpai kalian lagi. Jadi ini cuma, cuma untuk dicamkan, berusahalah sekuat tenaga—“ Karena disarati oleh emosi, aku bergegas keluar dan menutup pintu.

Di kebun hawanya sejuk dan segar. Aku bersandar pada rumah berdinding batu itu dan menggosok-gosok mata. Frank benar: langit terbungkus oleh bintang-bintang. Sejenak aku bergeming saja di situ menatap bintang-bintang: lilin-lilin dalam rumah angkasa yang agung, tempat para dewa saling bentrok dan berbantah, meminta maaf, dan mengucap selamat tinggal.

Aku mendapati MacGillycuddy di balik pohon akasia. Kedua tangannya terlipat dengan damainya di pangkuan. Di atasnya kamera video bertengger di percabangan sepasang dahan, mengarah pada jendela ruang makan. Aku menurunkan benda itu dan mengutak-atik tombolnya hingga gambar berputar kembali ke awal, lantas mendekatkan jendela bidiknya ke mata. Aku mempercepat adegan makan malam bersama Laura. Bahkan dalam kecepatan tinggi kejadian itu tampak amat membosankan. Manusia-manusia memalukan yang tampak menyerupai korek api melahap makanan dan anggur, dengan kepala terpatah-patah maju mundur seperti burung. Bel dan Frank tiba. Korek-korek api itu bergerak cepat di seputar ruangan. Kemudian terjadi korsleting: sehabis gelap sementara waktu, Laura kembali membawa lilin. Aku melihat Bel dan Frank pergi lalu aku kembali, menyalakan lilin-lilin lainnya; gairah sesaat antara aku dan Laura di dekat kabinet, tetek-bengek yang sekejap saja.

Segera sesudah itu kami keluar. Aku memperlambat rekaman itu ke kecepatan biasa. Beberapa menit berlalu dan kemudian muncul sosok putih serupa hantu: Mbok P, yang sedang berpatroli dalam tidurnya. Namun kemudian ia disertai oleh sosok-sosok lain. Mustahil mengenali wajah-wajah itu dalam cahaya lilin dan kualitas gambar yang buruk. Yang bisa kulihat cuma bayang-bayang—mengerikan, bayang-bayang itu membengkak, bergerak lambat-lambat di belakang Mbok P bak komplotan penyihir. Dalam raupan cakar kumbang mereka barang-barang mengilap dan raib. Keringat dingin merebak di sekujur punggungku. Aku mendorong-dorong MacGillycuddy. “MacGillycuddy! Eh, MacGillycuddy, bangun!”



[1] Salah satu penyebab kebakaran yaitu api terbuka (naked flame)
[2] Agaknya merujuk pada “The Fall of the House of Usher” cerpen klasik karya Edgar Allan Poe (pertama kali dipublikasikan pada 1839), mengisahkan tentang sepasang saudara yang tinggal di rumah yang diyakini hidup
[3] Bolu seukuran biskuit dengan selai rasa jeruk dan lapisan cokelat, diproduksi di Inggris
[4] “ … Oh, just popping over to the Folly for a minute.” “Pop” bisa berarti “meledakkan”.