“Sekarang memang sudah larut,” ucapku rancu,
sambil mengitari ruangan memasang lilin-lilin pada kandil. Diiringi goyangan
yang hampir tak kentara, ia mengikuti jalanku, sembari menganugerahiku senyuman
ganjil penuh kasih.
“Sepertinya aku harus
memanggil taksi.” Nada suaranya merendah jadi berat dan datar yang
memanggil-manggil sisi tersembunyi dari diriku.
“Sepertinya,” sahutku. Ia
bergeming. Aku terus memasang lilin-lilin. Seiring dengan api yang
berturut-turut menyala pandanganku mengabur dan gairahku meningkat sedikit demi
sedikit; hingga aku serasa dikelilingi api dalam pesta pora, yang melaluinya
wajah Laura berlenggak-lenggok bak jarum kompas. Aku merasa seperti Nero, yang
memimpin Roma melalui tarian wals Laura yang penghabisan. “Pasti menyenangkan, ya, mengobrol lagi dengan abang
Frank seperti tadi,” ucapku begitu saja.
"Kuharap kerja bisa selalu semenyenangkan ini," sahutnya acuh tak acuh. Bibir atasnya mengilau merah tua akibat minuman Rigbert's tadi. Ia tengadah, sambil memiringkan dan menyapukan jemarinya pada sudut siku-siku pintu kabinet. "Meski kalau aku sekaya ini, aku enggak harus bekerja sehari pun.
Aku terkejut. Untuk sesaat
yang terasa ganjil dan lama, sementara ia tersenyum padaku, wujudnya seakan
semakin berkilauan entah dari mana arahnya sehingga cahaya lilin-lilin tampak
meredup dibandingkan dengan dirinya; dan aku jadi takut bergerak kalau-kalau
mengusik pemandangan itu. Apakah aku telah salah menilai dirinya? Apakah ini
Laura yang asli, yang telah menyingkirkan debu kehidupannya sehari-hari?
Sepintas kulihat jam. Sekarang sudah tengah malam: masih ada cukup waktu bagi
kami untuk mengetahuinya.
“Selain itu,” imbuhnya asal.
“Mungkin saja aku jadi bosan, menikmati kekayaan seorang diri.”
Kunyalakan sumbu lilin yang
terakhir dan kupadamkan sumber apinya.
“Apa yang kamu perbuat,”
ucapnya, “saat kamu bosan?”
“Entahlah.” Aku melangkah
santai ke arahnya. “Mengasuransikan barang-barang.”
Ia merunduk lalu menatap
lurus-lurus ke arahku. “Apa kamu sudah diasuransikan?”
Aku tersentak. “Kenapa
memangnya?”
“Maksudku,” ia terkikih,
“barangkali sebaiknya aku memeriksa dirimu
… selagi aku di sini, yah. Sekalian saja.
Aku menggamit tangannya.
Cahaya lilin-lilin terhalau ke sana kemari pada wajahnya. “Ke lantai atas,
yuk,” kataku. Lengan kami merangkul pinggang satu sama lain, blusnya terangkat
menyingkapkan secarik perut pucat keperakan. Di ambang pintu ia terhenti dan
mendongak padaku. “Apa kamu akan membiarkan lilin-lilinnya menyala?”
“Penting, ya?”
“Ada risiko kebakaran,”
gumamnya. “Empat puluh empat persen kebakaran disebabkan oleh … terbuka …
terbuka[1] ….” Ia
membenamkan kepalanya di dadaku. “Ya Tuhan, Charles, aku teler banget.”
“Omong kosong,” aku mendorongnya.
“Kamu sama sekali enggak mabuk kok. Gara-gara makan berat saja.”
Kami mencapai tangga. Aku
berusaha menyangga Laura dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya
memegang lilin. Ia semakin limbung saja: mendadak aku menyadari bahwa ada
bahaya nyata ia bakal tertidur sebelum kami dapat mulai berbuat apa pun.
“Ceritakan tentang Titanic,” usulku
sementara kami menaiki anak tangga ketiga dan keempat; ia tampak merusuhkan
tentang itu tadi.
“Sedih banget,” desahnya,
“sedih banget … semua orang di situ … mereka semua ada di kapal, Ti—, Ti—….
Aku sudah menonton film itu sedikitnya enam kali dan aku selalu mewek ….”
“Oh ya?” Aku terengah-engah.
Ia jadi semakin berat juga.
“Leonardo DiCaprio pakai
tuksedo, gantengnya … sedang Kate Winslet cantik banget, meski dia agak sedikit
gendut, terus kenapa?” Kakinya berdebam di anak tangga. “Tetapi tunangannya
Kate Winslet, ya, bajingan … bajingan tengik … pikirnya bisa menguasai Kate,
bahkan enggak peduli pasangannya itu mencintai orang lain … benci sama
orang-orang seperti itu dikiranya mereka itu lebih baik daripada orang lain ….”
Alisnya berkerut. “Kayak Bel pikir dia itu spesial banget soalnya dia itu
aktris—jangan salah paham, Charles,” sambil cepat-cepat berbalik demi
menempelkan jari di bibirku dan nyaris menggulingkan kami berdua dari tangga,
“jangan salah paham, aku sangat menyenanginya—tetapi sewaktu di sekolah pun dia
pikir dia itu kayak aktris hebat dan semua orang lainnya terlalu membosankan
untuk diajak mengobrol … tetapi dia tuh enggak asyik, Frank bakal tahu cepat atau lambat. Bahkan enggak pernah
keluar minum-minum sama kami, sibuk sama dunia kecilnya sendiri, menyengsarakan
dirinya sendiri dan berbuat yang aneh-aneh sama dirinya sendiri, itu urusan dia
kalau dia pengin—“
Sekonyong-konyong ia
terhenti, dan menarik badannya supaya bisa mengamati wajahku. Keringat
berkilauan di atas bibirnya dan membasahi kemejaku. Kulitnya memucat, dan
cahaya lilin terarah padanya, memberi lubang-lubang pada tubuhnya, membuatnya
tampak ceking. “Charles, jangan salah paham,” seraya agak mengaburkan
perkataannya, “maksudku dia itu hebat dan aku sangat menyenanginya … dan senang
sekali akhirnya bertemu denganmu, ia selalu membicarakanmu di sekolah, kalian
terkesan begitu megah, seperti raja dan ratu ….”
Suaranya sayup sampai. Kami
menatap sayu pada satu sama lain.
“Kurasa,” sahutku lunak,
“kita mesti memanggilkanmu taksi sekarang.”
“Charles,” ucapnya berurai
air mata, sambil menggigit bibirnya.
“Ya?”
“Kurasa aku mau muntah.”
“Oh. Oh yah, cepat, lewat
sini …” Aku menuntunnya mendengus-dengus menaiki sisa tangga lalu menyusuri
koridor menuju kamar mandi. Di pintu aku menyerahkan lilin padanya. “Kamu mau
aku menungguimu di luar sini?” Ia hendak menjawab, namun kemudian matanya
membelalak dan ia menangkupkan tangan ke mulut lantas terburu-buru masuk.
“Kutunggu di kamarku saja
kalau begitu,” seruku. “Susul aku ketika kamu selesai. Lurus lalu ke kanan,
pintu kedua.”
Menyusul rentetan bunyi isi
perut dikeluarkan. Aku mengangkat bahu dan berjalan menyusuri koridor gelap
lalu duduk di tempat tidur dan mempermainkan kancing mansetku dengan gugup. Aku
ingat sewaktu mengenakannya malam itu, begitu penuh harapan dan kegelisahan.
Rasanya seakan sudah seminggu lalu. Aku meregangkan tubuh ke kasur, sembari
menatap langit-langit yang tak kelihatan. Aku mulai merasa tertekan sepenuhnya.
Bukan salah Laura dirinya cantik, ataupun terasa membosankan bagiku; ini
salahku. Jika aku sama sekali keliru dalam memahami Laura, bagaimana dengan
rencanaku selebihnya? Apakah rencana-rencana itu keliru pula? Boleh jadi Bel
benar; boleh jadi, bagaimanapun juga, tidak ada yang bisa dipertahankan lagi di
sini; boleh jadi Amaurot telah melampaui masanya, dan sekarang lebih baik
membiarkan dunia mengambilnya, merenggutnya ke balik ombak.
Jam berdetak. Aku mengambil gambar Gene berukuran 8 x 10
dari kolong tempat tidur dan menyangganya di tepi jendela. Ada kemiripan yang
tak terelakkan: bentuk keningnya yang pucat pualam, lekuk pipinya yang rupawan,
kenaifannya yang merawankan bermain-main dengan begitu memikat terhadap kecantikannya. Dan nama itu sendiri, Laura: terkesan
anggun lagi suram. Nama itu penting, kalau saja orang pandai mengartikannya. Aku memejamkan mata, memutar ulang adegan
tersohor dalam film itu—Laura,
maksudku—ketika si detektif menghabiskan malam di apartemen gadis itu—membaca
surat-surat serta buku hariannya, membaui parfumnya, memeriksa lemari
pakaiannya, meminum Scotch-nya; selalu diawasi oleh, selalu berbalik pada,
potretnya di dinding. Ia sudah mati sebelum film dimulai, tentu saja, ditembak
habis-habisan tepat di wajahnya: pada potretnyalah si detektif jatuh cinta.
Tierney sangsi akan perannya dalam film itu—“siapa sih yang mau memerankan
lukisan?” begitu katanya—namun penonton juga jatuh cinta pada Laura, dan ia pun
menjadi bintang. Dan terlepas dari perkataannya itu, peran itu tampak sempurna
padanya: sosok menakjubkan ini yang mampu menyingsing bak asap mengatasi intrik
dan obsesi para penggemarnya—yang hadir di antara kasau, boleh dikatakan, celah
antara hidup dan mati; bahkan sewaktu di balik layar perkawinan dan
kewarasannya ambruk. The GET girl, yang kembali dari sekolah asrama di Swiss pada usia
enam belas tahun dan mendapati rumah keluarganya telah diambil alih; yang
berdiri pada birai jendela tingkat keempat belas gedung di New York pada 1958,
melalui kabut keabsurdan menyadari bahwa apartemen di seberang merupakan milik
Arthur Miller dan istri barunya, Marilyn Monroe, dan pada menit penghabisan
khawatir akan menjadi mayat yang buruk ….
Sedikitnya lima menit telah
berlalu, dan mengenai Lauraku, Laura dalam kehidupan nyata, masih belum ada
tanda kehadirannya. Aku menuju pintu dan memandang koridor yang gelap gulita.
Aku tidak dapat melihat apa pun. Apa ia masih berada di kamar mandi? Apa ia
sudah berlalu entah ke mana? Atau—aku teringat caranya bersanding dengan Frank
tadi. Apa ia telah menyelinap ke pojok bersama orang itu? Aku mulai panik:
membayangkan Laura di belakang van putih karatan Frank, terguncang-guncang maju
mundur dalam perjalanan menuju rak perapian makhluk itu—
Aku membabi buta ke arah
tangga—tetapi kemudian dari salah satu pintu ada tangan menjangkau dan
menangkap pergelangan tanganku, dan sebelum aku sempat memberitahunya kami
salah kamar, ia menciumku. Jenis ciuman yang orang tak akan mau menyelanya;
malah, begitu bibirnya bertemu bibirku, segalanya—segalanya—lenyap dari kepalaku. Jenis ciuman yang melingkupi diri
orang yang dicium, rawan dan rusuh ibarat guguran salju mendadak disertai
embusan angin; dan sementara kepingan salju itu luruh dengan meriah di
sekitarku, aku seakan diberi tahu bahwa apa pun yang terjadi malam itu,
janganlah aku berputus asa; bahwa akan selalu ada rumah-rumah tua berdinding
batu serta ciuman-ciuman panjang bersipongang, hal-hal yang yang hidup abadi di
sisi dunia yang berubah-ubah; hal-hal yang sesuai dengan diriku.
“Laura,” aku melagukan kata
itu ke pipinya, “Laura ….”
Seketika aku mengucapkan itu,
ada perubahan mencolok. Serentak tangan kami berhenti meraba-raba; kami terpaku
dalam kesunyian menegangkan yang rasanya berlangsung terlalu lama ….
“Charles?”
“Alamak!”
“Menjauh dari diriku!” jerit Bel, seraya mendorong tanganku dari
pahanya dan melompat sekuat tenaga sampai aku terjungkal dan kepalaku terhantam
oleh kosen. “Oh Tuhan, kamu baik-baik saja?” Ia mengulurkan tangan ke arahku
sebelum dikuasai kengerian dan melompat lagi. “Oh Tuhan, oh Tuhan ….”
“Aduh ….” Aku mengangkat
diriku sendiri dari lantai, sambil memijat-mijat benjol, dan berusaha berpijak.
“Aduh ….”
“Oh Tuhan—Charles, ini … ini
parah luar biasa—“
“Kurasa aku mengalami
aneurisme,” aku terengah-engah. “Bel, panggilkan ambulans—“
“Charles, keluar dari sini!” Ia menjambaki
rambutnya, mengentak-entakkan kaki. “Kumohon, bisakah kamu keluar?” Suaranya gemetar hampir menangis.
“Tidakkah kamu mengerti ini parah, parah sekali?”
“Hei, jangan salahkan aku,” ujarku, mulai merasa agak
tersinggung. “Kamulah yang menyeretku ke sini, maksudku kamu hampir-hampir menghajarku—“
“Ini kamarku, Charles, kukira kamu Frank lah.”
“Bisa-bisanya kamu salah
mengira aku ini Frank?” Aku
menyelipkan buntut kemejaku. “Pergelangan tangannya Frank kan kayak tabung
pemadam kebakaran. Dan baunya juga khas ….”
“Tabung pemadam kebakaran?”
Sekarang ia terdengar sangat geram. “Charles, masalahmu apa sih? Di mana Frank sekarang?”
“Hei, kukira dia bersamamu.”
Meski sudah jelas posisinya pasti berada: di lantai bawah sedang menyikat
pusaka keluarga. Kemungkinan Laura sedang membantunya, ia cukup berliur melihat
barang-barang itu—
“Jangan bergerak dulu.” Bel
menyisi dengan hati-hati melewatiku menuju lorong. “Charles, aku … aku enggak
mau kamu sentuh-sentuh aku lagi, selamanya.”
“Iya, iya,” sahutku sementara
sosok samarnya mengelakkan diri ke arah tangga, “tetapi begini deh, enggak ada
gunanya melebih-lebihkan persoalan ini, lihatlah intinya, yang salah sasaran
saja—“
“Pokoknya jangan bergerak,” ia
memperingatkan dari jauh—lantas lepas landas cepat-cepat menuruni tangga,
sambil memanggil-manggil Frank.
Entah bagaimana awalnya, aku
mendapati diriku di ruang studi Ayah. Aku terhuyung-huyung ke jendela,
mengangkat bingkai, dan ambruk di ambangnya, sambil menggilas-gilaskan kepalan
tangan ke mata. Alkohol mengaduk-aduk kepalaku bagaikan badai tropis. Ingatanku
terus mengolok-olokku dengan perincian indrawi: rasa lipstiknya, benturan
lembut giginya—ugh, ugh, ugh! Aku menghirup udara malam, menggeleng kencang-kencang,
namun semacam proses mundur yang mengerikan mulai bergerak, dan kini
peristiwa-peristiwa malam itu muncul kembali di hadapanku bagaikan kirab yang
menakutkan: pijar merah gelap pada patung perunggu Buddha di lemari rias,
lengan gaib Bel melingkari Frank, tiram-tiram tak bernyawa mendekam lengket
dalam cangkangnya—ujung jemariku menjejakkan keringat pada ambang jendela dan
aku bertanya-tanya apakah aku telah kehilangan akal sehatku.
“Phf-wit!” suatu suara
melintas menembus malam.
Apa lagi sekarang? Aku
melepaskan pandang, namun tidak melihat siapa pun.
“Phf-wit!” suara itu
berulang. “Charlie! Di bawah sini!”
Aku menjulurkan badan. Frank
tengah berdiri dalam bayang-bayang tepat di bawah jendelaku.
“Baik-baik saja?” ucapnya.
“Ah, ha ha, ya, begitulah,”
aku memutar tanganku dengan lemah bak raja penyakitan.
“Kelihatannya kamu rada
tegang, Charlie, lagi muntah?”
“Enggak, enggak, baik-baik
saja kok, cuma agak … agak kecapekan, sepertinya ….” Apa yang sedang
dilakukannya di luar sini? Bukankah seharusnya ia di dalam, menuntaskan aksi
pencuriannya?
“Aku dengar suara jadi aku
keluar periksa. Lihat deh ada siapa di semak-semak!” Sebuah satelit timbul di
dekat wajah rembulannya yang tengadah: Mbok P, jelas-jelas masih tampak mengidap
somnambulisme. Aku sama sekali lupa padanya sementara aku mengejar-ngejar Laura
tadi yang rupanya ditakdirkan buruk. “Oh iya,” sahutku malu-malu. “Ia memang,
ah, berkeluyuran tadi, baru ingat aku.”
“Dia tadi lagi keliaran di
semak-semak kayak orang gila, kayaknya dia lagi enggak sadar.”
“Yah, bawalah dia masuk, ya,
anak baik—“
Mbok P menyumbang suara yang
tidak terdengar jelas dari lantai dua.
“Dia terus-terusan bilang
gitu, siapa itu Mirela, Charlie?”
“Aku enggak tahu, begini deh,
bisa enggak kamu—“
“Tunggu—“ Ada pintu terbuka
dan getaran cahaya menyentuh rerumputan.
“Hai Frank,” terdengar suara
baru.
“Baik-baik saja?” sahut
Frank. “Ngapain lu di luar sini?”
“Aku lagi mencari kamar
mandi,” ujar Laura.
“Mungkin Charles tahu
tempatnya,” Frank menuding padaku.
“Hai Charles!” Laura melambai.
“Halo, ya,” jawabku agak
kasar, sambil bertanya-tanya sampai kapan pantomim ini akan terus berlangsung.
“Kukira kamu sudah benar-benar berada di kamar mandi tadi, kalau kamu—“
“Enak, ya, di luar?” Laura
kembali mengalihkan perhatian pada Frank. “Sangat menyegarkan, karena itu kamu
keluar, ya?”
“Lihat semua bintang itu …”
Frank merenung dengan gaya tak meyakinkan, sambil menjulurkan kepalanya ke
belakang.
“Eh, Mbok P masuk angin nanti
kalau kalian di situ lama-lama,” seruku ke bawah. “Dan Bel mencari kalian,
omong-omong.”
“Benar, Charlie, benar.”
Frank membukakan pintu untuk Mbok P dan Laura lalu mengekor masuk. Aku berpaling
dari jendela dan duduk di meja Ayah. Pada selembar kertas terdapat coret-coret
wajah dari pensil warna; perlu sesaat untuk menyadari bahwa tiap-tiap gambar
merupakan wajah perempuan yang sama. Di balik kertas itu terdapat catatan
mengenai pengaruh senyawa pada masing-masing wajah. Garis zigzag dan arsiran
yang digurat Ayah dinyatakan lewat persamaan ruwet dalam tanda kurung, serta
rangkaian huruf dan indeks yang mewakili warna, berat jenis, dan kereaktifan
senyawa tersebut. Bagi kebanyakan orang, coret-coret itu sekadar alkimia;
kuakui aku sendiri tidak mengerti. Potret Ayah menyorotiku dari dinding.
Mengapa kau bukannya memiliki hipotek yang wajar-wajar saja? Dalam bisu aku
mengecamnya. Mengapa kau meninggalkan kami bersama kekacauan ini? Ia balas
menatapku dengan dingin.
Aku menenangkan diri, dan
memikirkan sisa dari rencana agungku yang tercabik-cabik untuk menyelamatkan
Amaurot. Tak ayal lagi bahwa peluang untuk meninggalkan pesan yang
menginspirasi, atau kesan baik sekalipun, pada titik ini telah sirna. Mau mati
atau tidak, tampaknya tidak lagi ada cukup kesempatan supaya Bel meninjau ulang
pendapatnya atas diriku, mulai melihatku sebagai seorang yang mulia, kesatria,
dan seterusnya. Yang berhasil kuperbuat cuma memperkuat pendapatnya bahwa
Amaurot itu semacam Kediaman Keluarga Usher[2] di Dublin
Selatan. Maka tidak mengherankan Frank tampak seperti pilihan lain yang aman
dan bertanggung jawab. Justru akulah yang menggiring Bel ke dalam rengkuhan
Frank. Seluruhnya telah gagal sedari awal hingga akhir, dan kurasa jika
sepersepuluh dari kejadian ini telah menimpa Kristus selama perjamuan terakhirnya, bisa diperdebatkan apakah ia mau
repot-repot bangkit dari kubur.
Meski begitu, kukira lebih
baik aku segera menuntaskannya. Aku pun berdiri. Seketika itu, lukisan itu
lagi-lagi memikat tatapanku. Aku lekas memutuskan untuk tidak akan
membiarkannya diambil maling, ataupun dilelang. Aku meraih pisau pembuka surat
dari meja dan mulai memotong kanvas di sisi bingkai. Di luar terdengar
percakapan garau dari dunia lain: kubayangkan itu serigala-serigala sedang
berkumpul, atau suatu kebalikan dari film horor di mana segerombolan monster
yang berang menyerbu kastil Frankenstein. Kanvas itu pun lepas: aku
menggulungnya, melipatnya, dan menyisipkannya di balik ikat pinggang
pantalonku. Lantas, dengan perasaan agak mending, aku mengambil tas berisi
barang-barang kepunyaanku dari kamar dan melangkah menuruni tangga, sambil
berencana mengucapkan selamat malam pada yang lain-lain kemudian menanti maut
di luar, di mana lebih kecil kemungkinan untuk terus merasa rikuh.
Terdengar suara-suara dari
dapur: namun aku berlabuh dulu di ruang makan, di mana aku mengambil kandil dan
merasa puas mendapati lemari rias, kabinet, dan meja bertingkat telah
dikosongkan. Seraya mengangguk pada diri sendiri, aku pun meninggalkan ruangan
itu.
“Iklan Budweiser tuh
kocak-kocak, ya—Oh, hai Charles.”
“Wah, wah, enak, ya, di
sini?”
Frank, Laura, Bel, dan Mbok P
sedang duduk mengelilingi meja, diterangi sebatang lilin, dengan masing-masing
secangkir teh di hadapan mereka. Bel bergumam sebal sewaktu aku masuk.
“Nyaman dan enak, ya,”
ulangku, sambil memutari meja dengan kedua tangan di balik punggung dan menatap
penuh maksud pada Frank.
“Baik-baik saja?” sahut
Frank. Aku tersenyum ramah. Membiarkan dirinya berlagak polos sementara ini;
besok pada waktu yang sama, harapannya akan kandas.
“Kamu mau teh, Charles?” tanya
Laura. “Tadi kami rasa sebaiknya kami menyuguhkan teh pada pembantumu, supaya
ia merasa hangat, lalu kata Frank, kenapa enggak kita sekalian minum juga?”
“Nemu Jaffa Cakes[3] juga nih,” ujar
Frank, sambil mengulurkan kotaknya.
“Rambutmu sangat berkilau,”
kata Laura pada Mbok P, yang tampak jelas mengalami katatonia dan tidak
menyentuh tehnya.
“Sebenarnya aku mau ke tempat
tidur,” ucapku sambil menguap. “Tetapi lantas aku teringat ada hal penting yang
mau kusampaikan pada Bel.”
Bel sama sekali tidak
menanggapi, selain dengan mengubah posisi kursinya supaya berpaling dari
diriku.
“ … mmm, Bel?” aku kembali
mencoba, sambil berusaha untuk melangkah ke hadapannya.
“Charles, tolonglah, aku
enggak mau bicara denganmu sekarang—“
“Ya, tetapi singkat saja
kok—eh, bisakah kamu berhenti memindah-mindahkan kursimu?”
“—ataupun melihatmu. Maaf,
ya, tetapi aku enggak bisa.”
“Hanya saja persoalannya—“
sambil menggenggam punggung kursinya dan agak mencondongkan badan
menghalanginya—
“Oh, kalau begitu apa?” serunya. “Ada apa?”
“Mmm ….” Aku menjadi
gelagapan, tidak ingat yang mau kukatakan. Aku menegakkan badan,
mengetuk-ngetukkan sebelah kaki, sambil berusaha memikirkan ucapan yang pas.
“Yah, selamat malam, kurasa, pertama-tama—“
“Baiklah,” sahutnya. “Selamat
malam.” Ia menyilangkan kedua lengan dan kembali menatap tajam cangkir tehnya.
“Yah,” ucapku bimbang, “itu
saja, kalau begitu.”
“Yeah, met malam, ya,
Charlie.”
“Selamat malam, Charles,
terima kasih, ya, untuk makan malam yang menyenangkan tadi.”
“Baik.” Aku menyingkir dengan
kaku ke pintu belakang, kaki terasa seberat timbal.
“Chales, kamu mau ke mana sih,
persisnya?” Bel berkata gusar.
“Aku? Ah, cuma mau mampir ke
Folly sebentar.[4]”
“Sedini ini? Mau apa?”
“Enggak ada apa-apa kok,”
sahutku samar, sementara tanganku berdiam di gagang pintu. “Cuma merasa aku pengin,
ah, mampir ….”
“Baiklah.” Ia berpaling lagi,
terdengar kesal.
“Yah, selamat malam, ya,
semuanya.” Aku membuka pintu. “Dan jika karena suatu sebab aku tidak berjumpa
dengan kalian lagi, maka, ah … ya, cobalah mengasihi sesama, tahulah.” Aku
mulai melangkah ke luar memunggungi ruangan itu. “Berusahalah demi esok yang
lebih baik, dan seterusnya. Walau tentu saja, aku akan menjumpai kalian lagi. Jadi ini cuma, cuma untuk dicamkan,
berusahalah sekuat tenaga—“ Karena disarati oleh emosi, aku bergegas keluar dan
menutup pintu.
Di kebun hawanya sejuk dan
segar. Aku bersandar pada rumah berdinding batu itu dan menggosok-gosok mata.
Frank benar: langit terbungkus oleh bintang-bintang. Sejenak aku bergeming saja
di situ menatap bintang-bintang: lilin-lilin dalam rumah angkasa yang agung,
tempat para dewa saling bentrok dan berbantah, meminta maaf, dan mengucap
selamat tinggal.
Aku mendapati MacGillycuddy
di balik pohon akasia. Kedua tangannya terlipat dengan damainya di pangkuan. Di
atasnya kamera video bertengger di percabangan sepasang dahan, mengarah pada
jendela ruang makan. Aku menurunkan benda itu dan mengutak-atik tombolnya
hingga gambar berputar kembali ke awal, lantas mendekatkan jendela bidiknya ke
mata. Aku mempercepat adegan makan malam bersama Laura. Bahkan dalam kecepatan
tinggi kejadian itu tampak amat membosankan. Manusia-manusia memalukan yang
tampak menyerupai korek api melahap makanan dan anggur, dengan kepala
terpatah-patah maju mundur seperti burung. Bel dan Frank tiba. Korek-korek api
itu bergerak cepat di seputar ruangan. Kemudian terjadi korsleting: sehabis
gelap sementara waktu, Laura kembali membawa lilin. Aku melihat Bel dan Frank
pergi lalu aku kembali, menyalakan lilin-lilin lainnya; gairah sesaat antara
aku dan Laura di dekat kabinet, tetek-bengek yang sekejap saja.
Segera sesudah itu kami
keluar. Aku memperlambat rekaman itu ke kecepatan biasa. Beberapa menit berlalu
dan kemudian muncul sosok putih serupa hantu: Mbok P, yang sedang berpatroli
dalam tidurnya. Namun kemudian ia disertai oleh sosok-sosok lain. Mustahil
mengenali wajah-wajah itu dalam cahaya lilin dan kualitas gambar yang buruk.
Yang bisa kulihat cuma bayang-bayang—mengerikan, bayang-bayang itu membengkak,
bergerak lambat-lambat di belakang Mbok P bak komplotan penyihir. Dalam raupan
cakar kumbang mereka barang-barang mengilap dan raib. Keringat dingin merebak
di sekujur punggungku. Aku mendorong-dorong MacGillycuddy. “MacGillycuddy! Eh,
MacGillycuddy, bangun!”
[2] Agaknya merujuk pada “The Fall
of the House of Usher” cerpen klasik karya Edgar Allan Poe (pertama kali
dipublikasikan pada 1839), mengisahkan tentang sepasang saudara yang tinggal di
rumah yang diyakini hidup
[3] Bolu seukuran biskuit dengan
selai rasa jeruk dan lapisan cokelat, diproduksi di Inggris
[4] “ … Oh, just popping over to the Folly for a minute.” “Pop” bisa berarti “meledakkan”.