Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

20151218

Bapak Boleh (Ann Beattie, 2015)

Si wanita tunawisma berambut merah ditahan setelah ambruk di jalan dan sebuah taksi nyaris menggilasnya. Tepat sebelum ia melesat keedanan ke jalan (siapa juga sih yang dapat menjelaskan tingkahnya?), ia menuding seekor anjing hitam yang sedang dirantai sebagai Iblis, tuduhan yang telah dibantah kuat-kuat oleh si pemilik hewan. Nama anjing itu Bapak Boleh, dan di lingkungan kami cerita tentang dia lebih terkenal ketimbang tentang si wanita berambut merah. Peternaknya menyebut anjing itu Bapak, dan keluarga yang mengadopsinya—yaitu tetangga sebelah kami, keluarga Leavell—ingin memanggilnya dengan sebutan yang mirip supaya dia tidak bingung. Mereka mencoba memanggilnya Blacky atau Bobby, tapi anjing itu tidak menanggapi nama apa pun yang diawali dengan huruf “B”, hingga anak perempuan keluarga tersebut, yang berusia empat tahun dan senang sekali bicara pada boneka-bonekanya, mengatakan pada mainannya itu bahwa mereka boleh pergi ke Barneys, dan mereka boleh pergi ke taman, dan mereka boleh makan kue kalau mereka jadi anak baik …. Seperti yang bisa ditebak, si kecil Corey Leavell telah mengajukan satu-satunya nama yang diterima anjing itu. Lantas, terpikir lucu juga memanggil anjing itu Bapak Boleh[1].

Pada waktu itu teman serumahku seorang mahasiswa seni peran bernama Eagle Soars—Elang Mengangkasa. Ayahnya orang Inggris yang menikah dengan orang Amerika, yang pernah mengatakan bahwa nenek buyutnya keturunan Indian. Sewaktu sekolah dulu, Eagle Soars dipanggil Eddie. Namun pada akta kelahiran nama depan dan nama tengahnya memang Eagle Soars (nama belakangnya Stevens, namun nantinya itu tidak dia gunakan.) Saat berusia dua puluh tahun ia pikir nama itu kemungkinan akan laku jika ia menjadi aktor. Ia menambah penghasilan dengan membawa Bapak Boleh berjalan-jalan sore ke Tenth Avenue, lalu menyeberang ke Twenty-first atau Twenty-second, menyusuri Eight Avenue, dan pulangnya melewati Twentieth.

Pada waktu itu Chelsea cenderung merupakan lingkungan keluarga. Tidak ada tempat-tempat yang berseni, paling-paling beberapa klub seks jauh di sebelah barat. Ada toko bunga yang bagus, namanya Howe. Kadang aku membeli setangkai bunga untuk dibawa pulang ke apartemen. Aku menaruhnya di altar kecilku di pojok kiri jendela yang menjorok ke dalam dan menghadap ke halaman belakang. Pada altar itu ada gambar ayah dan ibuku pada hari pernikahan mereka, dalam bingkai kecil berbentuk hati; foto adikku sedang rebah di permadani bulu, tampak kebingungan, pada hari mereka membawanya pulang dari rumah sakit; potret piaraan pertamaku yang sudah kabur warnanya, si kucing Doris; di dalam kotak bekas wadah kaca akrilik ada gelang korsase yang sudah kering yang kukenakan ke pesta prom; dan salah satu geraham bungsuku menggantung di rantai yang bergelung pada pegangan daun jendela. Aku mengumpulkan barang-barang ini berkompakan dengan Eagle Soars, yang punya etalase sendiri di sisi kanan ambang jendela. Etalasenya memamerkan bingkai dua foto yang memuat gambar kelulusannya saat SMA serta potret lelaki yang disukainya pada masa itu, yang wajahnya dibalut perban besar sehabis operasi pemulihan hidung (karena kecelakaan sepeda); serut pensil berbentuk kuda nil mengenakan rok tutu dalam posisi kedua—kedua kakinya menghadap arah berlainan; sendok teh yang dicuri dari Plaza; dan bingkai berisi surat pengusiran dari induk semangnya yang sebelum ini di Columbus, Ohio. Kapan pun aku punya bunga yang baru, ia akan memindahkan itu ke sisinya pada tengah malam, dan saat ia keluar membawa Bapak Boleh berjalan-jalan aku menaruhnya kembali ke sisiku; itu lelucon yang terjadi terus-menerus. Tiap minggu kami patungan anggur, sebab kami sama-sama tidak lebih doyan minum daripada yang lain. Ia lebih suka mariyuana, sedang aku lebih suka tidak gendut. Meski begitu, tiap minggu kami menandaskan segalon anggur putih Italia yang penjualnya selalu bilang itu takkan diperolehnya lagi dalam waktu yang lama (padahal tidak semua anggur dapat memaksa kami menghabiskan uang). Aku bekerja paruh waktu sebagai pramusaji, dan ibuku mengirim cek setiap bulan untuk menombok setengah biaya sewa tempat tinggalku.

Pada hari terjadinya peristiwa antara si anjing dan wanita berambut merah itu, aku dan Soars sedang duduk-duduk di kursi kecil yang terletak di sebelah dalam pagar besi yang menghadap rumah batu cokelat. Suasana bertambah semarak berkat jambangan berisi kembang sepatu besar berwarna merah muda yang ditanam pria yang tinggal di ruang bawah tanah apartemen. Dia juga menaruh bantal duduk berbentuk bundar di kursi-kursi itu sehingga makin enak untuk diduduki. Dia seorang psikolog yang berspesialisasi pada remaja. Mereka datang dan pergi dengan wajah amat kusut, sambil menjatuhkan rokok dan meremukkannya. Mereka jarang bersitatap dengan kami. Si psikolog pernah memberi tahu kami bahwa sebaiknya jangan menyapa para kliennya, sebab apa pun yang hendak kami katakan hampir tidak ada yang benar menurut mereka. Kami mengiyakan, dan mengabaikan letusan jerawat mereka, mengibas-ngibas asap rokok mereka, dan biasanya tidak mengacuhkan mereka, kecuali mereka tampak begitu susah payah terlihat ramah maka kami mengucapkan “halo”. Suatu kali ada ambulans menjemput salah seorang klien dari ruang bawah tanah. Setelahnya kami mengetahui bahwa (walau itu seharusnya antara dokter dan pasien saja) anak itu mengalami pendarahan dan menyumpalkan kain lap ke celananya supaya bisa datang ke janji temu mingguan. Ruangan bawah tanah itu disebut juga “apartemen taman”. Ketika tanaman wisteria miliknya berbunga, si psikolog memindahkan kursi-kursi kecil itu ke halaman belakang untuk menambah tempat duduk dan mengadakan pesta sampanye sungguhan. Kami selalu diundang. Kami tidak pernah melihat dia duduk-duduk di kursi itu saat ditaruh di luar. Lagi pula, kami sering sekali duduk di situ, sedang dia orang yang sopan dan menyenangkan, jadi mungkin dia tidak punya kesempatan.

Saat itu kami sedang berlatih sandiwara. Soars membaca dialognya, sementara aku bertugas menganggunya sewaktu-waktu, pura-pura terbatuk serejang atau bahkan mengucapkan komentar jahat seperti “Dasar homo celaka, kamu bukan Edward, apalagi Lear!” Maksudnya yaitu apa pun bisa saja terjadi sewaktu pertunjukan, dan si aktor mesti memendam reaksi alamiahnya dan terus melanjutkan tanpa terbata-bata. Soars hanya punya satu salinan naskah, karena memfotokopinya memerlukan uang, sehingga kami duduk berdekatan. Aku juga mencoba bersandiwara, sebab aku tidak mau ia tahu lebih dulu aku akan bersin atau berseru, yang bisa dirasakannya dari perubahan napasku saat aku mau bicara, atau dari gerakanku walau sedikit saja, atau dari suara bibirku yang nyaris tak terdengar saat membuka. Tugasku menyemangati dirinya tanpa memberi aba-aba. Suatu kali aku jatuh betulan dari kursi dan menggeliat seperti orang terkena serangan mendadak. Aku sengaja pakai baju lengan panjang dan jin, jadi tidak banyak cedera. Tapi seorang kurir yang sedang mengantarkan botol air soda ke rumah batu cokelat di sebelah berhenti dan menolongku. Kejadian itu lebih dari sekadar memalukan saat kami harus menjelaskan padanya. 



Aku sentimental sekali. Aku hampir tidak percaya pernah ada masa seperti itu. (Sekarang aku seorang dokter, dengan tim medis di Portland, Maine, sedang Soars duda dengan anak kembar, dan seorang penggemar arung jeram yang menjadi pemandu perjalanan bagi suatu perusahaan wisata di Barat, penulis artikel luaruang, serta pengajar di politeknik.)

Ini kenyataan yang tidak terpikir olehku hingga baru-baru ini: aku dan Soars bukan saja cocok tinggal bersama. Dulu kami begitu klop hingga menjelma pasangan yang sudah lama menikah, dengan waktu yang dipercepat. Selama bertahun-tahun, kami menyandiwarakan kehidupan pernikahan sehari-hari, diiringi ledakan emosiku yang tiba-tiba, kadang menggila, lelucon di antara kami yang bertahan lama berupa memindahkan cendera mata satu sama lain, serta dialog yang terus diulang-ulang (biarpun perkataannya mengutip Shakespeare, jika memungkinkan).

Sewaktu Soars masih tinggal di New York, ia menetapkan bahwa dirinya bukan homoseksual, seandainya tidak ada rasa kesengsem pada temannya sewaktu SMA itu. Ia berhenti memacari laki-laki dan mulai jalan-jalan denganku serta teman-teman perempuanku, lalu memacari salah seorang dari mereka, yang nantinya patah hati dengan dirinya, tapi itu lain cerita. Jikapun ia biseksual, ia memilih untuk menikahi perempuan.

Bagaimanapun juga, sewaktu aku dan Soars sedang berlatih hari itu, si wanita berambut merah bangkit dari tempatnya duduk di trotoar dan menyerapahi anjing teman kami sambil menjerit, “Iblis Lucifer! Lu-u-u-u-u-u-ucifer!” lantas menyerbu Bapak Boleh malang yang ketakutan. Anjing itu baru saja hendak mengangkat sebelah kaki untuk pipis di pohon favoritnya, dan merasa dipermalukan saat akibatnya dia terkencing-kencing di tengah jalan. Wanita berambut merah menjulurkan lengannya, barangkali hendak merobohkan Pak Leavell, yang cuma menyisi dan membiarkan angin ribut itu berlalu. (Bapak Boleh yang cinta damai telah merapatkan diri ke tanah.) Maka ia pun berputar-putar dengan heboh mulai dari kakinya yang kecil tak beralas hingga betisnya yang gempal. Roknya yang panjang dan kotor membelit kakinya hingga ia tersandung, akibatnya saat ia melanjutkan lintasannya di sela-sela mobil yang diparkir, masuk ke Twentieth Street, sambil melolong bahwa begitu Iblis muncul tak akan ada keselamatan, kain tersebut menggulung dirinya seperti permen kapas, dan ia pun terempas ke depan, seakan ada orang yang sungguh-sungguh tidak menikmati suguhan itu. Sebuah taksi mendecit berhenti. Sopirnya melompat keluar dan membungkuk di depan wanita itu seperti wasit memberi hitungan. Jarinya menuding-nuding. Wanita itu jatuh … hingga bangkit ia menerkam, mendekap pria itu dan berusaha menjepitnya sambil mati. Pak Leavell (pada waktu itu usianya lima puluhan tahun) dan seorang mahasiswa seminari yang melintas sama-sama berupaya menarik wanita itu. Saking malunya, rahang Bapak Boleh jadi lembek. Kekangnya tadi terlontar ke salah satu ujung gerbang besi yang runcing, yang melingkungi sedikit area bersemen di depan rumahnya. Kekang itu kependekan sehingga dia tidak bisa merebahkan diri tanpa tercekik, alhasil mau tak mau dia duduk dan menyaksikan pertunjukan itu. Langkahnya jadi ceria. Dia mengangkat kakinya dan pipis sedikit, lalu mengendus-endus dengan semangat. Nah, sekarang ada kegegeran akibat seorang gelandangan kiriman Fidel Castro, yang telah melepaskan orang-orang Kuba dari rumah sakit jiwa dan mengapalkan serta mengirimkan mereka kemari untuk berbaur dengan orang-orang gila di tempat kami. Keika suasana hatinya baik, si wanita berambut merah menyanyikan lagu-lagu pujian dalam bahasa Spanyol, dengan suara sopran yang bening dan merdu. Angin sepoi-sepoi mengembus rambutnya. Ia makan biskuit asin dan tidak menganggu orang. Ketika suasana hatinya buruk … yah.

Mana polisi? Mana polisi? Pada waktu itu belum ada ponsel. Saat polisi datang, mereka menangani wanita berambut merah itu secara kasar, sampai-sampai si mahasiswa seminari protes. (Itu tidak baik.) Pergelangan tangannya diborgol dan polisi mencemplungkan kepalanya ke dalam mobil seperti pemain basket memasukkan tembakan dengan satu tangan. Gampang. Tidak sulit sama sekali. Permainan segera dimulai lagi.

Latihan kami terhenti. Pak Leavell mengambil kekang anjingnya dan berderap pulang. Aku dan Soars naik tangga, membuka botol anggur putih Italia, dan duduk sejenak di kursi sutradara—harganya murah dan itu nyaris satu-satunya perabot yang kami miliki. Aku tidak menegur Soars yang memindahkan bungaku ke sisinya. Hari itu bunganya bakung merah. Serbuk sarinya yang berupa serpihan kuning besar-besar berjatuhan ke lantai di bawah jendela. Di luar, tampak sulur wisteria yang hijau dan gemuk, mengikal dengan pucuk hijau muda yang mencuat, seperti jari-jari penyihir, dan akan terus menjulur dengan cepat meski belum lagi berbunga. Kami pergi keluar. Kami membicarakan masa depan. Kami bertanya-tanya akankah kami gagal, pokoknya gagal: akankah ia mendapat peran yang bagus, akankah aku menentukan apa yang mau kuperbuat dalam hidup. Kami bertanya-tanya akankah AIDS menjalar di kota ini, akankah si wanita berambut merah cukup waras untuk merasa ketakutan di kantor polisi, berapa lama Bapak Boleh akan hidup.

Soars menyentuh tanganku. Kami jarang bergandengan tangan, sebab, ya, kami kan bukan pasangan. Kami saling menyusur jari, dan aku takjub betapa kurus tangannya. Telapaknya berkeringat. Setelah itu kami melakukan yang dilakukan banyak orang saat ada yang menikah, atau setelah ada yang dimakamkan, meski dalam hal ini kejadiannya saat ada gelandangan diangkut ke kantor polisi. Kami kembali ke apartemen dan bersanggama. Kami menikmatinya, tapi satu-satunya yang berubah setelah itu yakni, karena suatu sebab, kami sama-sama tidak melanjutkan permainan Mencuri Bunga. Tidak lama setelah itu aku berhenti membeli bunga. Uangnya kugunakan untuk membeli barang mewah kecil-kecilan lainnya, seperti maskara. Soars mulai memacari temanku.


  
Aku berjumpa pria yang kunikahi di pernikahan yang kuhadiri di Cape Neddick, Maine, pada Desember kala itu (gadis pengiring pengantinnya mengenakan sarung tangan dari bulu kelinci putih), meski baru delapan tahun setelahnya kami membicarakan pernikahan. Mulanya, aku ragu meninggalkan New York City. Lalu aku memutuskan untuk sekolah kedokteran, tapi aku tidak diterima di sekolah mana pun yang ada di New York, maka diambillah keputusan untuk pergi.

Jika kau berada di New York pada delapan puluhan, sekarang kau heran ke mana perginya orang-orang, lantas kau ingat bahwa sangat sedikit orang yang dulunya tinggal di situ yang memiliki properti sendiri dan bertahan, dan akhirnya mati. Ada yang mati karena AIDS. Ada yang pindah ke Brooklyn. Atau ke Barat, atau ke Atlanta. Setelah peristiwa 9/11, banyak sekali anak muda yang pindah dari New York City ke Portland, Maine. Di sana gedung-gedung di sisi laut telah diubah menjadi ruang seni serta kondominium dengan pertokoan di lantai dasar. Portland nan sejuk, dengan turis-turis musim panas mengendarai kapal dan berharap melihat anjing laut selagi berpesiar ke salah satu pulau. Di daratan, hippie-hippie salah zaman berselisih jalan dengan para penghuni rumah-rumah batu cokelat dan tidak harus memusingkan uang.  Ada pertunjukan seni jalanan, dan klub-klub musik menyediakan kursi lipat. Toko-toko buku bekas masih beroperasi. Bagi orang berusia rata-rata, Portland kurang lebihnya dibubuhi tanda petik yang ironis (walau, tentunya, mana ada hipster yang berani menyuarakan itu keras-keras).

Baru-baru ini, di situs Airbnb, aku melihat apartemen yang dulu kutinggali. Ada foto yang menampilkan jendela; tanaman wisteria di situ telah disingkirkan secukupnya supaya pemandangannya terlihat. Dapur telah dibuat, yang memakan sebagian ruang depan dan area yang dulunya lemari mantel. Lantainya seakan telah dicat hitam; di atasnya diletakkan permadani Oriental. Foto-foto itu diambil dengan lensa mata ikan. Padahal itu apartemen kecil. Posisinya di bubungan, sehingga orang tidak bisa berdiri di beberapa bagian kamar tidur. Jadi itu semua tipuan, bukan? Kau tahu gambar-gambar itu menampilkan ruang yang lebih luas daripada yang sebenarnya. Kau tertarik pada vas berisi bunga segar pada meja di tepi tempat tidur, padahal nyatanya bisa saja itu cuma seukuran wajan pastel.

Seluruh vas bunga itu terlihat di dalam foto. Sangat berlebihan, kemewahannya menguarkan lebih dari sekadar suatu nuansa romantis, atau bayangan akan kehidupan yang mewah di suatu apartemen nan hangat. Bunga-bunga itu akan dibawa pergi setelah pemotretan, sementara tirainya ditutup supaya permadaninya tidak pudar terkena cahaya matahari. Tutup tempat itu, datangkan pelancong, terangi lagi.

Serbuk-serbuk sari kuning itu masih ada di lantai.[]



[1] Cerpen karangan Ann Beattie ini aslinya berjudul “Mayor Maybe”, termuat dalam The New Yorker, 20 April 2015. Dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, ada perubahan yang terpaksa dilakukan, khususnya menyangkut judul sekalian asal-usul nama anjing yang tersebut dalam cerita, yakni Mayor Maybe. Jika diterjemahkan secara harfiah, Mayor Maybe dapat diartikan Mayor Mungkin—bahkan Walikota Mungkin. Atas pertimbangan rasa dan konteks, itu tidak nyaman digunakan. Saya terpikir untuk mengganti “Mayor” dengan “Bapak”, istilah yang sama-sama merujuk pada derajat tertentu. Dalam konteks Indonesia, terasa lebih wajar dan lucu (… it was thought funny …—teks) memanggil anjing dengan sebutan “Bapak” (meski terkesan kurang ajar). Adapun “Mayor”—bahkan “Walikota”—agaknya bukan kata yang lazim digunakan dalam keseharian apalagi untuk memanggil anjing. Untuk “Maybe”, dipilih kata “Boleh sebagai padanannya, selain menyesuaikan dengan bunyi judul aslinya (“Mayor Maybe”—“Bapak Boleh”), juga dengan konteks kalimat yang menjadi asal-usul pemilihan nama tersebut: maybe they would go to Barneys and maybe they would go to the park and maybe they would get a cookie if they were good … yang diucapkan oleh seorang anak perempuan berusia empat tahun pada boneka-bonekanya terasa lebih wajar jika diterjemahkan sebagaimana yang telah tertera di atas ketimbang secara harfiah: … mungkin mereka akan pergi ke Barneys dan mungkin mereka akan pergi ke taman dan mungkin mereka akan mendapat kue jika mereka baik …. Selain itu, dalam teks asli, keluarga Leavell telah memilih sejumlah nama berawalan huruf M sebelum memutuskan untuk memberi nama anjing itu Mayor Maybe. Maka, menyesuaikan dengan hasil terjemahan judul dan asal-usulnya sebagaimana yang telah dijelaskan, huruf M diganti dengan B, sehingga Mark dan Mason diganti pula dengan nama yang lazim digunakan untuk anjing dan berawalan huruf tersebut, seperti Blacky (kebetulan anjing itu memang berwarna hitam!) dan Bobby. 

Tidak ada komentar: