“Charlie?”
“Iya, Frank?”
“Udah bangun?”
“Iya, Frank, aku sudah bangun.”
“Kita di mana, Charlie?”
“Kita di ruang studi Ayah. Kamu
pusing-pusing begitu tadi.”
“Oh iya. Tadi aku habis nonjok kuping
orang, ya.” Timbul jeda. Kegelapan kembali menyelimuti rak-rak, botol-botol,
terbitan-terbitan, serta portofolio-portofolio tebal berisi foto-foto.
“Kayaknya dia kaget.”
“Enggak, sepertinya ia sudah siap.”
“Nyokap lu marah banget, ya? Dia bilang
mau panggil polisi terus apa gitu.”
“Ah, Bunda mah memang suka begitu,
tahulah ….”
“Sori, Charlie. Enggak tahu kenapa tadi. Kayaknya aku enggak bisa ngontrol
diri.”
Dengan rela kubiarkan ini berlalu.
“Taik terus dia omongin. Aku jadi sebel.
Aku enggak bisa ngebiarin dia ngolok-ngolok kamu terus.”
Aku terbatuk. “Eh, enggak tahu, ya, kalau tadi tuh dia lagi mengolok-olok aku—“
“Aku enggak bisa ngebiarin dia bikin
kamu kelihatan kayak lonte yang enggak bisa bedain bujur sama sikut.”
“Eh … eh, terima kasih, bung.”
Hening.
“Charlie?”
“Tidur.”
“Dingin banget, ya, di sini?”
“….”
“Charlie … kamu pernah ketemu hantu
enggak di sini? Pasti di rumah tua kayak gini ada banyak hantunya … sial—“
kasur lipat berderit mengilukan, “kayak yang di dramanya Bel itu lo, yang ada
banyak muka ngeliatin dari pohon
terus—“
“Begini, di sini tuh enggak ada hantu,
oke?” kataku jengkel. “Kalaupun ada, mereka sudah ditangkap Harry buat
bantu-bantu acara makan malam, atau di sandiwara jeleknya. Demi Tuhan, kalau
aku yang jadi hantunya, aku bakal kabur begitu dia masuk ke rumah ini.”
“Ah yeah, mestinya sih ….” Frank kembali
membaringkan diri dengan amat berhati-hati. Aku kembali berpaling ke jendela.
Aku sedang berada di tempat favoritku di balik meja Ayah, tempat aku
biasa memandang keluar pada Folly dan sekali-sekali melihat seorang bidadari,
atau aktris. Malam ini tidak ada bidadari. Kuotanya sudah habis, mungkin, atau
para bidadari sudah pergi menunggangi para hantu.
Kami telah merusak pesta makan malam itu
habis-habisan, terang-terangan, hingga bahkan setelah kegemparan padam dan
paramedis pergi, tindakan paling bijaksana agaknya cuma mundur secara
memalukan. Aku tidak sepenuhnya yakin Bunda cuma bercanda soal mengajukan
tuntutan, maka dengan bantuan Mbok P aku menyelundupkan Frank ke atas sini,
maka di sinilah kami berdua tinggal. Hanya saja sekarang, selagi duduk di
ambang jendela, baru terlintas di benakku bahwa ini sudah berakhir: bahwa peran
kami di sini, akhirnya, telah dimainkan. Besok telah menjadi hari ini. Bel akan
berangkat ke Yalta dan Amaurot akan terlahir kembali sebagai Pusat Kesenian
Telsinor Hythloday. Pada akhirnya, kontribusi kami telah tuntas tanpa sedikit
pun perubahan.
Aku telah sama sekali ditaklukkan dari
segala arah. Dari segala momen, semestinya, pada momen itu, aku hanyut dalam
keputusasaan. Akan tetapi, selagi duduk di jendela, aku tidak merasakan diriku
berputus asa. Sebab dari kemuraman, ketakberdayaan, dan penghinaan pada hari
itu, terus melayang bayang-bayang yang membandel: Frank merangkul Droyd,
mengeluyur keluar dari ruang bawah tanah yang busuk; Frank mengetuki kaca akrilik,
menyoraki anjing-anjing; momen kejayaan Frank, sembari menggigit lidah, meninju
hidung Harry dengan renyah. Aku tidak meminta itu semua. Semua kejadian itu
tampaknya tidak mengubah apa-apa. Namun mereka ada, melayang-layang keluar dari
kegelapan di hadapan mataku, terus-menerus, dan bersamanya kini ada perkataan
yang pernah diutarakan Yeats: “Persahabatan adalah satu-satunya rumah yang
kumiliki.”
Rengutku menembus bayangan diri yang
serupa hantu pada pepohonan yang berayun, pada hujan. Persahabatan adalah satu-satunya rumah yang kumiliki. Sebelumnya
aku tidak pernah merenungkan kalimat itu. Meski begitu, bisa dipahami yang
dimaksudkan oleh Yeats, mengingat segala persoalan yang dihadapi seseorang
dengan rumah betulan—hipotek dan rekening yang menunggak, babu yang nakal,
induk semang dengan sewa yang semena-mena, para aktor yang ikut tinggal, semua
itulah. Rumah macam apakah yang dapat dibuat dari persahabatanku?
Kejadian-kejadian hari ini samar-samar berpawai kembali, bak permadani dinding
yang menggambarkan pertempuran bersejarah. Nyatanya tampak bahwa, terlepas dari
segala aspirasiku akan kehidupan bak istana, aku tidak memberikan banyak
perlindungan dari unsur-unsur tersebut. Bel, Amaurot, Droyd, dan orang-orang
Latvia itu … semakin dekat melihatnya semakin tampak bahwa, seandainya rumah,
yang macam Charles Hythloday inilah flat lusuh kemahalan dengan dinding goyah
dan saluran air meragukan, sementara Frank-Frank di dunia ini—sekalipun mereka
mengira suratkabar Perancis sebagai suatu gerakan gulat yang tak sopan,
sekalipun mereka menyangka Stockhausen[1]
itu toko mebel Swedia, sekalipun dengan telinga sendiri terdengar mereka
memberi tahu Droyd saat ditanya bahwa Donatella Versace itu Kura-kura
Ninja—orang-orang seperti Frank lah yang merupakan rumah besar tua megah
menghadap lautan. Baru terlintas di benakku bahwa terakhir kali kami semua
berbahagia—sungguh berbahagia, sekalipun kami tidak menyadarinya saat itu—yaitu
ketika Frank dan Bel masih bersama.
“Eh ….”
Tidak ada sahutan.
“Frank?”
“Nghhh?”
“Begini, aku sudah berpikir-pikir. Bel
pergi kan cuma enam bulan. Sebenarnya itu enggak lama ….”
“….”
“Aku cuma berpikir bahwa kalau—kalau
kamu mau, mengerti kan, mencoba lagi dengan dia ….”
“Iya, Charlie?”
“Yah, aku mungkin bisa bantu bilangnya,
begitu saja sih.”
Tidak pernah kuimpikan akan mengatakan
ini. Akan tetapi, tahu-tahu aku dapat membayangkannya secara jelas—aku kembali
ke kamarku dulu, teater buyar dan tersebar ke empat penjuru mata angin, aku dan
Bel tertawa ria sementara Frank hadir bantu-bantu aneka pekerjaan berat di
rumah, seiring dengan terembusnya segala elemen kehidupan kami yang kocar-kacir
kembali ke tempat semula, bak serpihan di dalam bola kaca miniatur salju ….
“Wah, Charlie,” sahut Frank. “Kamu baik
banget.”
“Yah, paling enggak itu yang bisa kulakukan.
Maksudku semestinya aku bilang itu dari awal.”
“Yeah,” ia menggaruk hidungnya penuh
pertimbangan. “Ingat, enggak, waktu kamu bilang banyak ikan di laut?”
“Ya?”
“Yeah, soalnya, eh, aku sama Laura, kita
tuh, eh, ngerti kan …."
“Kalian apa?”
“Yah, kamu mungkin merhatiin belakangan
ini dia sering di rumah ….”
“Kukira ia penggemar swakriya,” kataku
pelan.
“Kamu enggak keberatan, kan? Tadinya aku
tuh khawatir kamu juga suka sama dia.”
“Enggak tuh,” kataku, seiring dengan
surutnya Amaurot yang seperti sedia kala melintasi horizon ke Negeri
Angan-angan, dengan membawa serta Laura yang pemurah, sepasang melonnya yang
mengundang …. “Aku senang kok, bung. Senang.”
“Yeah, yang ceria, ya Charlie. Aku kasih
dia satu buat kamu, ha ha.”
“Ya,” sahutku redup.
Syukurlah napasnya memberat jadi
dengkur. Setelah kudengarkan dengkurannya selama kurang lebih sejam, kuputuskan
bahwa mungkin yang sebenarnya kuinginkan hanya minum. Maka, aku bangkit lagi
dan turun.
Para petugas katering sudah pulang
berjam-jam lalu. Semuanya sudah dibereskan. Meja panjang telah dikosongkan dari
hiasan-hiasan, kursi-kursi ditata dengan kecermatan geometris di seputarnya,
percikan darah dari hidung Harry sudah dipel, sedang perabot makan telah
dicuci, dikeringkan, dan ditumpuk di lemari. Ayah menunggu, menunggu, dalam
bingkainya di ruang masuk. Tanpa tahu sebabnya secara khusus, aku mulai keluar
masuk ruangan demi ruangan, mengangkati barang-barang kemudian menaruhnya lagi.
Dalam birunya kegelapan yang remang-remang, semuanya terasa menggelenyar. Aku
merasa agak seperti Pangeran di kisah Putri Tidur, yang mengendap memasuki
kastel yang terlelap. Kemudian aku mendapati diriku berada di samping kabinet
minuman, dan berpikir bahwa mumpung aku berada di lingkungan sendiri, mungkin
sebaiknya aku membuat gimlet. Setelah
berpikir sejenak, aku memutuskan bahwa aku akan membuatnya dobel. Kemudian aku
mengambil sebotol dan memasukkannya ke saku.
Bel sedang duduk sendirian di ruang
tamu, memandang ke luar jendela dengan lampu dimatikan.
“Enggak menyangka kamu masih bangun …”
kuupayakan nada gembira yang kepaman-pamanan.
“Taksinya datang jam empat. Tanggung
kalau mau tidur.”
“Tertarik buat …” aku mengangkat gelasku
dan menggoyang-goyangkan es batunya. Bel menoleh.
“Bisa-bisanya kamu masih minum?” ucapnya
datar, kembali jaga lilin.
“Sepertinya berkat bertahun-tahun
latihan …” aku duduk di kursi malas. Di ujungnya ada koper vinil merah muda. Di
luar guntur meresah dan langit menyala perak. “Gusti, malam ini ngeri banget.
Kalau cuacanya begini, bisa-bisa pesawatmu enggak jadi terbang.”
“Terbang kok,” sahut Bel.
“Aha,” balasku hampa. Aku menggeser diri
ke depan, seraya mencoba menyeimbangkan minumanku di lutut. “Sebenarnya, senang
ketemu sama kamu. Tadi kan belum salam perpisahan, gara-gara huru-hara sampai
ada paramedis segala. Astaganaga, yang hemofilia saja masih kuat kalau mimisan,
ha ha ….” Bel sepertinya tidak hendak berkomentar. Aku menggosok-gosokkan kedua
tanganku dengan nelangsa. “Pengin tanya tentang perasaan kamu sama Harry dan
Mirela juga. Pasti kamu rada syok, kan.”
Pundak yang ramping itu terangkat acuh
tak acuh. “Mirela kawin sama Harry supaya dapat kewarganegaraan. Kalaupun Harry
belum tahu itu, nanti juga dia sadar.”
“Ah. Yah, baguslah, kalau itu.” Aku
berdeham. “Kelihatannya acara makan malamnya enggak begitu terganggu, ya,
terlepas dari, cekcok yang tadi itu maksudku …. Contohnya saja, patung Ayah,
aku rasa itu sentuhan yang bagus.”
Setidaknya yang ini menuai respons. “Patung,” Bel bergumam, seraya memandang
malam. “Patung ….”
Aku meneguk gimlet-ku banyak-banyak. “Begini,” kataku. “Aku enggak suka
bertele-tele. Mungkin kamu mau dengar ini, mungkin juga enggak. Tetapi kamu
harus tahu bahwa kejadian antara aku dan Mirela, adalah kesalahan. Waktu itu
aku—maksudnya, aku enggak …” aku terdiam, berusaha dan gagal menguraikan
kata-kata yang berbelit di otakku seperti mainan Silly String.
“Kejadian antara kamu dan Mirela enggak
ada hubunganya denganku,” ujarnya.
“Oh,” ucapku sendu. “Baguslah. Soalnya
aku pikir, mengerti kan, aku khawatir kamu pergi ke Rusia gara-gara aku, ha ha.”
Bel menggelengkan kepala, seraya
beranjak dari gorden lalu mencabut setangkai azalea dari serangkaian besar
bunga di meja. “Anggaplah Rusia sebagai upaya penghabisan,” ucapnya.
“Persinggahan dari mimpi masa kecilku, sebelum aku memapankan diri dan
mengawini uang.” Ia menjepit tangkai dengan kedua tangannya lalu melambaikan
bunga itu kepadaku. “Sudah larut, Charles. Kamu harus tidur.”
“Baiklah, baiklah,” aku menyetujui,
sembari merangkak turun dari kursi malas. “Yah, bon voyage,” ucapku, lantas, secara impulsif, berjalan untuk
memeluknya. Rasanya canggung dan kaku. Kurasakan tubuhnya menarik diri.
“Baiklah,” kataku lagi, kemudian mundur sempoyongan ke luar ruangan.
“Oh, Charles?” Bel menahanku
begitu aku sampai di pintu. “Lempengan itu, ada di kamu?”
“Hah? Oh … iya.” Aku meraba-raba isi
sakuku. “Ponselmu juga ada di aku, kalau mau kamu ambil.”
Bel bilang ia tidak membutuhkannya. “Aku
ingin lempengannya saja. Buat kenang-kenangan. Konyol sih.”
“Enggak kok ….” Aku menemukan lempengan
untuk kalung anjing itu, lalu melontarkannya ke udara seperti koin. Ketika
menangkapnya, aku tertawa. “Waktu aku ingat-ingat kamu dulu sering khawatir soal anjing itu, siang malam.
Dari dulu kamu tuh pencemas. Seolah-olah kamu merasa dengan khawatir begitu dunia
akan tetap utuh, dan kalau kamu berhenti khawatir sebentar saja semuanya bakal
kocar-kacir. Aku enggak pernah benar-benar mengerti, masa itu sangat-sangat
indah ….” Bel telah mengambili beberapa bunga lagi dan memeganginya seperti
kipas di depan mukanya. “Kamu ingat enggak,” aku terkekeh, “dulu kita suka main
rakit-rakitan pakai kasur, tangga jadi sungai, terus pura-puranya kita
melarikan dari petani-petani miskin? Terus kita pernah memainkan adegan-adegan Eugene Onegin[2], dan kamu jadi sebal karena menurutmu aku kurang sedih sewaktu kamu
bilang kamu enggak cinta aku?” Kipas itu terangguk-angguk sedikit berayun oleh
angin sepoi pelan. Aku mengusap daguku bersemangat. “Ingat dulu kita suka bantu
Ayah menciptakan komestik? Ayah kasih kita cat poster, kamu berdandan jadi
Tinkerbell, sedang aku jadi Bela
Lugosi[3]. Waktu itu aku sungguh-sungguh merasa yakin
bakal untung dari pasar riasan ala Bela Lugosi yang belum termanfaatkan ini—apa
sih istilahnya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar