Sepertinya aku kewalahan gara-gara
kegirangan, sebab aku terkantuk-kantuk ketika di jalan. Aku mengalami mimpi
sangat aneh. Di situ kami semua terkubur dalam longsor parah. Namun kemudian
aku terbangun dan mendapati kami telah berhenti di luar rumah tua itu,
sedangkan longsornya tidak lebih daripada sekadar gemuruh dari perut Frank.
Entah siapa yang Bunda harapkan
kedatangannya pada larut malam ini, namun ia tampak terkejut saat menyambut di
pintu dan mendapatiku. Malah ia menjadi pucat, dan gelasnya terlepas dari
tangan hingga menumpahkan sherry ke
lantai.
“Aku baik-baik saja, Charles, biarkan saja,” Bunda memulihkan diri. “Bunda
sudah tidak mengharapkan ada tamu lagi yang datang, itu saja. Bukannya Bunda
sudah kasih tahu jam delapan pas? Dan sejujurnya, apakah begitu yang dinamakan
pakaian bersih menurutmu akhir-akhir ini?
Aku hendak menjelaskan tentang sewa kos
dan balapan anjing, namun Bunda menyela. “Charles,” ucapnya, sembari
mencari-cari ke bawah, “tampaknya ada yang menetes-netes di kakiku.”
“Itu yang mau aku beritahukan ke
Bunda—Bun, aku mau memperkenalkan anggota terbaru di, di geng—Malam Perpisahan
yang Panjang.”
“Bunda harap kamu enggak akan bawa itu ke dalam.”
“Yah, iya, ini semacam hadiah selamat
jalan buat Bel, mengerti kan.”
“Charles, kalau kamu mengira Bunda akan
membiarkanmu membawa masuk hewan gelandangan berkutu supaya mati di lantai
kayuku sementara ada tamu di rumah ….”
“Anjing ini enggak bakalan mati. Ia cuma luka-luka. Kasih dia makan
dan ia bakal baik-baik saja—iya, ya, Bun?”
Bunda mendesah berat dan menegakkan
diri. Dari dalam rumah mengalir suara-suara riang yang teredam. “Di mana
Patsy?” tanya Bunda. Sembari mengangkat kaca mata bergagangnya, ia menatap ke
arah kegelapan, lantas kembali kepadaku. “Charles,” sahutnya dengan sotto voce[1],
“itu bukan Patsy Olé.”
“Bukan Bunda, itu Frank, Bunda ingat Frank—“
“Bukan bujang dari ruang penitipan
barang itu?”
“Ya, iya, itu dia.”
Lagi-lagi bibir Bunda tersungging ke
bawah. “Ada beberapa orang yang akan sangat tertarik untuk mendengar pendapat
dia mengenai keberadaan tas mereka.”
“Ah, itu konyol,” aku berkeberatan.
“Frank itu orang yang lurus. Ah, lihat saja dia ….”
Sekali lagi kami mengamati Frank yang
menunggu di samping van. Ia mengibas-ngibaskan jemarinya pada kami dan
menyeringai seram.
“Aku berjanji akan mengawasi dia ….”
Sayup terdengar siulan ketika Bunda
menghela napas. “Baiklah,” ucapnya. “Tetapi kalau sampai ada masalah …” Ia
sengaja tidak meneruskan ancamannya itu. “Dan bawa barang itu ke dekat dapur.”
Aku tidak yakin yang Bunda maksudkan itu
Frank atau anjing, namun aku tidak mendesaknya. Aku menganggukkan kepala kepada
Frank. Dengan gontai ia menghampiri. Seraya mengangkat si grehon babak belur
masing-masing di pangkal dan ujung, kami mengarah ke taman yang lembap.
Dekorasi Natal bergaya Rokoko
menggantung di jendela-jendela. Setiap lampu di dalam rumah menyala,
melontarkan cahaya berkepak-kepak pada rumput serta pepohonan tanpa daun di
kebun. Mercedes hijau botol berdiam dengan menterengnya di depan garasi, seperti
singa gunung yang tengah memantau kerajaannya. Dari luar, dapur menyerupai
acara pemakaman ala Yunani. Para petugas katering berpakaian hitam bergegas di
mana-mana, membawa perabot makan, dan menurunkan panci-panci menjadi tumpukan
berbuih sabun yang bergetar. Tidak ada yang memerhatikan kami ataupun bawaan
kami yang aneh—tidak hingga kami mendapati Mbok P, sedang iseng di
kamar kecil dekat kulkas.
“Tuan Charles!” jeritnya, seraya
mendekapku. “Tuan punya wajah lagi! Wajah yang tampan!” Lantas ia melihat si
anjing. “Ay, Tuan Charles, Tuan habis menabrak anjing itu?”
“Bukan,” kataku, jengkel. “Ini hadiah
perpisahan buat Bel.”
Ia berkata-kata dalam bahasa Bosnia lalu
Zoran, putranya yang berkepala bundar, menghampiri dan mulai menekan-nekan
rusuk anjing itu dengan jemari.
“Aku pikir ini anjing sekarat, ya?”
“Ia enggak sekarat. Kuharap orang-orang
berhenti mengatakan begitu, kamu bikin dia cemas
saja,” walaupun memang Malam Perpisahan yang Panjang tidak terlihat baik. Ia
menggeletak di lantai tanpa bergerak. “Ia cuma luka-luka. Ia membutuhkan
makanan, dan … sedang apa kamu?” Zoran telah menempelkan kepitan logam tipis ke
sisi anjing itu dan tengah menderak-derakkan alat yang terlihat mengerikan itu.
“Tidak apa-apa,” Mbok P berbisik di
telingaku. “Ia dokter yang terlatih.”
Ini berita baru bagiku, karena selama
ini yang kulihat cuma ia minum bir dan pemain terompet yang buruk. Lagi pula,
Malam Perpisahan yang Panjang tidak terlihat begitu senang pada jarum-jarum
yang tahu-tahu muncul. Walaupun begitu, Zoran terlihat memahami yang ia lakukan
dan, dipikir-pikir, mungkin memang lebih baik anjing itu diberi sedikit
pertolongan pertama sebelum kami mengejutkan Bel dengan dia.
“Charlie …” sebuah tangan loyo mencakar
lengan bajuku.
“Oh, ya ampun, bung, jangan melodramatis
begitu ah—Mbok P, masih ada sisa makan malam enggak? Frank merasa agak ….”
Mbok P ragu, namun mengatakan ia akan
mencari dan memikirkan yang dapat dilakukannya. Sementara itu, ia mengarahkan
kami untuk membersihkan diri lalu bergabung dengan yang lainnya di dalam.
“Eh, Charlie, kok Mbok P enggak diajak
ikut pesta sih?” tanya Frank selagi kami melalui koridor.
“Eh dia … eh maksudku bukannya dia enggak diajak, begitu. Ia lebih suka ada
di balik layar ketika acara-acara begini. Enggak suka bermewah-mewahan,
mengerti kan.”
“Oh gitu. Aku heran aja sih kenapa tadi
dia nangis.”
“Ia menangis?”
“Yeah, waktu kita masuk tadi.”
“Mungkin lagi memotong bawang atau
apalah. Atau mungkin ia khawatir soal Bel. Mbok P tuh keibuan banget, mengerti
kan, biasalah tukang masak.”
Suara-suara perorangan dapat terdengar
begitu kami mendekati ruang makan. Suara Niall O’Boyle yang paling terdengar di
antara mereka: “ … logam campuran baru yang kami gunakan berarti ketika kita
menjatuhkannya ke toilet, sebagai contoh saja, ponselnya tidak akan rusak, dan
kalau kita menginjaknya—cobalah, injak—lihat kan? Itulah masa depan komunikasi
yang Anda injak itu. Malah, misalkan saja, kalau kita lempar ini ke dinding ….”
Kami mendorong pintu membuka dan memasuki harem berisi cahaya teduh dengan
warna-warna merah dan emas paling memesona.
“Subhanallah!” seruku, seraya menggamit
lengan Frank. “Indah, bukan? Eh, awas—“
“Hah?” sahut Frank, sementara ponsel
Niall O’Boyle mendesing di udara dan mengena tepat di pelipisnya, kemudian
tumbanglah ia ke lantai bak pohon roboh. Dua lusin pasang mata menyorot kami,
dan di ujung meja Niall O’Boyle serta Harry, si pelempar ponsel, tegak
menganga dengan rasa bersalah. Tatapan Bunda mengancam ke arahku. Segera
kujumput ponsel itu dan memperlihatkan layarnya yang bercahaya. “Masih hidup,
tuan dan nyonya.” Semua orang mengembuskan desah lega bergembira dan
melanjutkan obrolan.
“Saya cuma hendak menunjukkan,” Niall
O’Boyle bergaduh.
“Ia akan baik-baik saja,” Bunda
meyakinkan dia, seraya menariknya agar kembali duduk. “Bel, sayang, ambilkan
dia es atau sesuatunya, ya?”
Dengan enggan Bel beranjak dari ujung
tempat duduk. Cahaya remang dari kandil menangkap kalung emas tipis yang
melingkari lehernya. Ia juga berpakaian hitam. Ia menghampiri dan berlutut di
samping Frank, yang tengah menggeliat kesakitan dengan mata terpejam, sembari
bergumam tidak jelas. “Kalian dari mana?” tanya Bel. “Kamu habis berbuat apa
sama dia?”
“Aku enggak berbuat apa-apa sama dia,”
kataku. “Hari ini agak menguras tenaga, itu saja.”
“Kalian berdua baunya seperti tempat
penyulingan alkohol.”
“Ambilkan saja dia makanan … apa masih
ada yang tersisa?”
“Apaan tuh bisque?” sahut Frank, sembari membuka mata.
Kami membimbing Frank ke kursi. Bel
keluar lalu kembali dengan kantung es serta sepiring makanan sisa yang telah
dikumpulkan Mbok P, yang tampaknya menenangkan Frank. Aku duduk di seberang
Frank. Aku sendiri merasa agak pusing. Aku belum makan apa-apa selain crêpe
yang sudah dibuang Frank ke tempat sampah dan aku mulai berandai-andai menuruti
nasihatnya tadi sehingga kami berhenti lebih dahulu di Chicken Balls dan
membawa pulang pesanan sekembalinya kami dari balapan anjing. Namun sekarang
sudah terlambat, sehingga aku mencukupkan diri dengan sebotol Rioja yang sedang
diedarkan, menyalakan pipa, dan ikut duduk di meja. Bunda duduk di ujung meja,
dengan tamu kehormatan, Niall O’Boyle, di sampingnya sementara Harry di sisi
satunya lagi mengenakan beskap bergaya bangsawan pedesaan yang menjijikkan.
Mirela duduk di samping Harry; tak kubiarkan tatapanku berkeliaran. Di samping
Niall O’Boyle ada wanita berbaju lavendel yang agak kurang cocok—asisten
pribadinya, ternyata—dan kemudian, Geoffrey, akuntan keluarga yang berkepala
kusut. Aku belum melihat dia lagi di rumah ini sejak ia menjalankan wasiat
ayah. Geoffrey terlihat gelisah, seakan-akan ada yang menyangkut di
tenggorokannya. Tempat kami dalam tataan yang baru ini sudah jelas. Kami
diberikan tempat duduk yang tidak glamor di tengah-tengah, tembus pandang melewati
rombongan teater yang telah merendahkan diri menjadi aktor berkukuk-kukuk serta
manajer panggung.
“Pasti enggak mengira kami bakal
datang,” kataku pada Bel dengan riang.
“Barang
apaan tuh?” Ia kembali mendudukkan
dirinya di sampingku diiringi batuk-batuk mencekik. “Sejak kapan kamu mengisap
pipa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar