Sedari tadi belum kusebutkan karena
takut terdengar kurang ajar, namun sejak aku duduk Mirela memandangiku. Pada
awalnya tatapannya itu sayu, semacam pengakuan dosa tiap kali kepala Harry
berpaling, yang dengan sopan kuabaikan. Akan tetapi Mirela bersikeras. Seiring
dengan merayapnya malam, tatapannya kian mendesak—berkedip terus-terusan dari
sisi lain meja seolah-olah ia punya pesan yang berusaha dikirimkannya lewat
sandi Morse berupa kejapan dan sorotan, hingga tatapannya itu menyerupai
permohonan ala tokoh-tokoh wanita yang diikat ke rel kereta dalam film-film
bisu. Namun sekarang, seiring dengan bergeraknya jam ke tengah malam, tampak
sekonyong-konyong ia menyerah. Duduknya merosot. Pada waktu bersamaan, gelas
anggur berdenting, kemudian Harry berdiri.
“Kawan-kawan.” Ia mengangkat sebelah
tangannya untuk menenangkan suasana. “Maafkan saya jika menahan kalian sebab
ada beberapa patah kata yang hendak saya sampaikan. Gaya rambutnya yang bodoh
terlihat semakin mengular lagi menjengkelkan daripada biasa. Malam Perpisahan
yang Panjang mulai menggeram. “Shhh,” desisku. “Anjing nakal. Diam, ya,” seraya
menyelipkan truffle untuk anjing itu
ketika Bunda teralihkan.
“Malam ini kita telah mendengar banyak
tentang ‘visi baru’, ‘kelahiran kembali’ serta ‘awal baru’—“
“Gnnnhhh,” Frank menggilingkan kedua bogemnya ke pelipis.
“Maka sehubungan dengan tema utama malam
ini,” lanjut Harry, “dan tanpa banyak basa-basi lagi, dengan senang hati saya
memberitahukan bahwa pada pukul setengah delapan malam ini, Nona Mirela
Pribicevic telah setuju untuk menerima pinangan saya—“
Sebelum ia menuntaskan kalimatnya,
kontingen perempuan di meja itu meletus dan tergopoh-gopoh melimpahi Mirela
dengan pekik dan rangkul. “Bagus sekali!” Bunda menangkupkan kedua tangannya ke
pipi sementara matanya digenangi air mata. “Oh, bagus sekali!”
Serta-merta aku memikirkan Bel, dan aku
pun berayun memutar dengan kedua lenganku separuh merentang, kalau-kalau ia
bakal pingsan. Namun tatapannya kalem seolah-olah ini terjadi nun jauh di sana,
pada sekelompok orang yang tidak pernah dijumpainya, dan aku pun terpaksa
kembali menghadapi emosiku sendiri.
Rasanya aneh: seandainya lima menit
sebelum ini ada orang yang menimpakan situasi ini kepadaku sebagai perumpamaan,
mungkin aku akan menjawab, dengan cukup terus terang, bahwa kurasa aku tidak
akan terusik sedikit pun. Tetapi ketika aku melihat Mirela kini, aku merasa
sedingin, semual, dan sekopong seandainya aku diberikan pukulan mematikan.
Ketika aku memandangi dia menyembul dari kerumunan tak beraturan orang-orang
yang mengucapkan selamat, dengan wajah segar merah muda, tertawa-tawa dan
sungguh terlihat bak gadis yang tengah jatuh cinta, segala yang pernah ia
katakan padaku pada sedikitnya kesempatan persinggungan kami yang bertentangan
melintas di benakku. Seketika itu, aku menyadari diiringi rasa pasti yang
mengerikan bahwa aku tidak tahu, dan aku tidak akan pernah tahu, cara kerja
dunia ini ataupun apa yang berlangsung di hati para penghuninya, bahwa hal itu memang
dan akan selalu sama sekali buram lagi misterius bagiku, dan bahwa apa pun yang
terjadi mulai saat ini tidak akan mengubah apa-apa, sebab tidak akan pernah ada
perubahan yang menjelang.
“Charlie,” dengan berkeringat diam-diam
Frank mengungkapkan, “aku enggak ngerasain apa-apa.”
“Aku juga, sobat,” kataku. “Aku juga.”
Sementara itu, Harry bohong soal hendak
menyampaikan beberapa patah kata saja. Alih-alih ia memanfaatkan pengumumannya
itu sebagai batu loncatan untuk memperpanjang pidato. “Pada kesempatan
penyatuan ganda ini,” ia membesarkan suaranya mengatasi keriuhan, “Saya hendak
menyampaikan ucapan terima kasih. Kalian sering mendengar akhir-akhir ini
tentang gagasan “berkeluarga” tidak lagi ada di dunia modern kita yang melaju
kencang. Namun sejak hari pertama saya datang kemari, setelah Bel meminta saya
bergabung dengan grup teater yang baru dirintisnya, rupanya grup ini sudah
merupakan keluarga. Akibatnya saya menyadari akan arti keluarga. Berasal dari latar belakang kelas menengah pada
umumnya, ‘priayi cilik’, sepertinya saya kurang cukup memiliki pandangan ….”
Dari posisinya yang menelungkup ke piring kosong, Frank memberitahuku
bahwa ia tidak sanggup bertahan lebih jauh.
“… menyadari bahwa keluarga dapat
menjadi sesuatu yang politis, politis
secara radikal, dapat menjadi suatu
kekuatan yang ditempatkan berlawanan
dengan kelompok-kelompok penguasa pada masa kita, suatu ‘zona bebas’ tempat
pendapat-pendapat yang berbeda dapat berjalan bersama-sama dan
kesatuan-kesatuan baru dapat dibuat—yang salah satunya dengan beruntung dapat
saya hasilkan pada malam ini.”
Aku meneguk segelas Rioja baru dan
merasakan keringat dingin melandaku bak semacam nekrosis. Kamu tidak bisa menghentikan takdir, begitulah yang dikatakan
Mirela, pada malam itu di apartemen Frank. Hidup akan terus melarungkanmu jauh
dari dirimu sendiri. Hidup akan terus memasuki masa lalumu dan mengubahnya juga
….
“… mempelajari bahwa pasar, seperti
pistol, tidak secara intrinsik baik
atau buruk, tetapi dapat kita manfaatkan untuk kebaikan, kita dapat
menggabungkan kekuatan dengannya. Seiring dengan bertumbuhnya kita, maka
Amaurot pun bertumbuh bersama kita pula ….”
Sementara itu yang dilakukan semua orang
hanyalah omong belaka! Rasanya seolah-olah ia tengah berjingkrak-jingkrak di
atas kuburan kami, ia dan kekuatan pasar, ia dan striptis aset, ia dan
Golem-golem kemajuan, namun tidak seorang pun berbuat apa pun, tidak seorang pun menyangkal atau menantang dia
atau mengatakan, Itu tidak benar, hal-hal yang kamu katakan itu tidak benar ….
“… sebuah rumah yang dibebani oleh, atau
alih-alih terperangkap dalam, sejarahnya sendiri, atau untuk
mengontekstualisasikannya ulang, menyejajarkannya kembali dengan modernitas,
dan pada dasarnya mengangkat tempat ini ke abad dua puluh satu—“
Aku mencapai titik di mana kurasa
fisikku tak sanggup tegak lagi, dan rupa-rupanya ada orang lain di ruangan ini
yang merasa demikian juga, sebab tahu-tahu ada suara keras lagi menggusarkan
yang berseru, “Ah, kontol!”
Semua orang terdiam. Harry memperbaiki
dasi pitanya, dan menyahut, “Maaf?” seolah-olah menawari si pelaku kejahatan
kesempatan untuk membebaskan diri dari kesalahan. Namun si pemrotes ini tidak
hendak dibungkam. “Kontol!” teriak suara itu, malah lebih keras daripada
sebelumnya. Aku menahan tawa. Aku sangat menikmati pemandangan Harry yang
menggeliat-geliut hingga baru sejenak kemudian menyadari bahwa akulah yang
berdiri, dan lebih-lebih lagi seluruh meja menatap padaku.
Sial.
“Charles, tolong tinggalkan tempat ini,”
sahut Bunda.
“Jangan,” sela Harry. “Kalau kalian
tidak berkeberatan—mari dengar yang hendak disampaikan Charles.”
Aku mengelap kedua telapak tanganku ke
celana, tidak menyangka akan mendapati diriku berurusan dengan seluruh ruangan.
“Eh, maksudku,” aku menggagap. “Maksudku … yah, rumah, ya, rumah, kan? Rumah
itu tempat orang tinggal. Entah apalah hubungannya dengan abad kedua puluh
satu. Aku enggak mengerti kenapa, hanya karena kalian memasang kertas dinding
baru, kalian boleh mengklaim tempat ini demi masa depan, seperti semacam … mengerti kan … perompak … yang
mengarungi waktu.”
“Memang seperti itulah Harry,” Niall
O’Boyle terkekeh-kekeh. “Saya suka pria yang punya pandangan ke masa depan.
Sebab di sanalah semua peristiwa terjadi, camkan kata-kata saya. Masa lalu
adalah satu hal, tetapi masa depan, di situlah uang berada.”
“Saya bukannya mau mencampuri,” kata
Harry. “Saya cuma bilang kita itu harus bergerak seiring dengan zaman. Semua
orang juga begitu. Kamu harus mengakui tempat ini mau ambruk sebelum kami
datang.”
Aku mengenang masa keemasan ketika hanya
ada aku, Bel, dan kabinet berisi botol-botol minuman keras. “Enggak begitu ah,”
kataku.
“Memang begitu,” Harry mengulang. “Cat
sudah mengelupas, lantai borok—ibumu memberi tahu kami bahwa selagi beliau di
rumah sakit bank hampir-hampir memanggil polisi untuk mengambil alih tempat ini
….”
“Itu semua kesalahpahaman,” tegasku.
“Tetapi kamu meledakkan Folly demi
asuransi,” kejar Harry, seraya jemarinya memainkan kancing beskap ala
pengacaranya. “Maksudku—kamu mencoba untuk memalsukan
kematianmu sendiri. Bagaimana keadaan rumah ini bakal membaik kalau
begitu?”
Aku mengejap kaget, dan melayangkan
pandangan mencari dukungan. Bel masih menerawang ke angkasa bak pasien dalam
pengaruh obat bius di kursi dokter gigi. Frank tergeletak tanpa daya di meja
bak boneka perca raksasa, sedari lima menit lalu. Yang lain semuanya menanti
responsku. Mata mereka memancangku bak seratus tusuk sate. “Itu ada maksudnya,”
gumamku.
Ada jeda sejenak, lantas, secara
serempak, para tamu di seputar meja meledakkan tawa. Hangat dan lepas. Semua
orang bergabung, bahkan orang-orang yang belum pernah kujumpai, seperti asisten
pribadi Niall O’Boyle, bahkan Bunda, marahnya lenyap ditelan keriangan massal.
Harry melontarkan kedua tangannya dengan
jenaka seakan-akan berkata, dengan ini pidato ditutup. Aku merosot di tempat
dudukku dan berpikir bahwa mungkin aku memang
tolol—kemungkinan besar aku memang begitu, aku tidak akan memperkarakannya.
Namun tetap saja agaknya salah orang diperlakukan begini, jangan di ruang makan
rumah masa kecilnya sendiri lah.
Lantas, serta-merta, bak robot, Frank
mengangkat kepala dari piring. Dengan ekspresi dungu namun penuh maksud yang
mengundang penasaran, seperti orang yang bergerak menurut perintah dari langit,
Frank bangkit dan memasukkan kursinya ke bawah meja. Lalu ia mengarungi lantai
dan mulai mencekik Harry.
Beberapa saat kami duduk menonton dengan
bego sementara piring-piring beterbangan, gelas-gelas terbanting, kursi-kursi
terjatuh. Lalu para perempuan mulai menjerit-jerit. Pada waktu bersamaan, para aktor
kecil di ujung meja menyoraki dan berdiri di bangku mereka untuk melihat lebih
jelas, si anjing menyalak, Mirela memucat, para bapak pengusaha gusar dan
melambai-lambaikan tangan ke sana kemari—
“Lakukan sesuatu, Charles!” pekik Bunda.
“Lakukan sesuatu!”
“Baik,” jawabku, sembari berdiri. “Siapa
mau brendi? Sepertinya cerutu juga ada ….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar