Mungkin sebenarnya ini
ada hubungannya dengan ketidakseimbangan hormon di otakku. Seperti ombak yang
mengempas dan menyurut, mania dan depresi silih berganti, dan begitulah setiap
hari berjalan. Ketika aku mengira telah membaik, besoknya juga aku sangat ingin
mati hingga merasa aku ini tidak ada bagus-bagusnya.
Walaupun menggunakan narkoba untuk memaksa diri lebih bersemangat, aku
tidak bisa meneruskannya sekali lagi begitu efeknya mereda. Rasa malu akan masa
laluku serta cemas akan masa depan, begitu pula banyak ketakutan lainnya,
menyerangku bersamaan. Depresi yang menyusul merupakan pantulan dari periode-periode
super-bersemangat dan dengan begitu benar-benar parah sekali.
Bahkan konseling malam bersama Misaki, yang mestinya aku menjadi terbiasa,
tetaplah mengerikan. Kecemasan yang entah dari masa asalnya melingkupiku, dan
ketidakpastian yang berasal dari situ kian mengipasi ketakutanku.
Gejala awal yang mudah terlihat adalah pandanganku mulai ke mana-mana dan aku jadi tidak bisa
menatap orang lain pada matanya selagi berbicara pada mereka. Oh, aku jadi
seperti anak SMP yang terlalu peka-diri. Aku merasa malu dari lubuk hati. Dan
karena kesadaranku akan rasa malu itu, tingkah lakuku bahkan menjadi semakin
aneh dan kian mencurigakan. Ini lingkaran setan.
Bagaimanapun juga, pada malam itu, aku mencoba merokok untuk menenangkan
diri di hadapan Misaki. Kedua tanganku, yang kini mudah gemetar, mengeluarkan
rokok dan menyalakannya, menggunakan pemantik murahan. Sial—isinya sudah habis!
Bisa-bisanya? Menyebalkan! Aku tidak
tahu mesti mengapakan tembakau dan pemantik yang kupegang, tapi aku akan
berbuat apa pun yang mungkin untuk menghindari kehinaan dari memasukkannya lagi
ke saku. Aku terus berusaha sekeras mungkin untuk menyalakannya. Klik, klik, klik, klik …. Aku terus
berjuang dan, akhirnya, aku berhasil—terima kasih Tuhan!
Cepat-cepat aku berpaling dari Misaki dan, alih-alih, terlalu berfokus mengisap
rokokku. Aku terus saja merokok, membuang-buang lima yen dengan setiap embusan.
Paru-paruku sakit dan isi perutku sakit juga. Buntut rokokku berguncang keras.
Di tengkukku, keringat dingin nan lengket—
“Kenapa?” tanya Misaki. Seperti biasanya pada sesi konseling, kami
berhadapan malam-malam di salah satu bangku taman.
“Masalah akibat
penyakit kronisku!” sahutku.
“’Masalah’ bagaimana
maksudmu?”
Inilah yang sungguh menjengkelkan. Cewek-cewek zaman sekarang tidak tahu
apa-apa. Makanya belajar lagi! Ingin
aku membentaknya. Tentu, itu tidak mungkin dilakukan. Sifat-sifat buruk tak
berguna yang diperoleh selama bertahun-tahun kehidupan hikikomori—agorafobiaku,
ketakutan akan kontak mata, dan segala gangguan cemas lainnya—kini menahanku
kuat-kuat.
Hm …. Apa tadi aku sudah kunci pintu
apartemen? Yakin, sudah mematikan rokok? Lebih penting lagi: Misaki, jangan
melihatku dengan mata yang menawan itu! Sudah begitu, jangan diam terus dong.
Berhentilah memandangiku tanpa suara! Aku jadi gugup bukan main. Perutku juga
benar-benar sakit.
Aku harus segera mengatakan sesuatu. “Omong-omong, Misaki, kamu suka mencamil?” Apa-apaan itu maksudnya?!
“Enggak.”
“Biasanya, cewek-cewek seusiamu suka mencamil seharian, kan? Kayak
binatang kecil … nyam, nyam, nyam, nyam. Kenapa itu, ya? Apa karena masih muda
dan metabolismenya tinggi, jadi mereka harus terus-terusan mengisi kalori atau
mati? Jangan-jangan begitu, ya?”
Haruskah aku mati saja?
Dia diam saja.
Haruskah aku mati saja?
“Aku enggak bakal
mati! Dan itu karena aku ini pria yang bersemangat! Limpahan energi ini yang
terbaik! Aku baru dua puluh dua tahun! Masa depanku terentang di hadapanku!
‘Esok yang baruuu di siniii, salah satu harapaaan …’” aku menyanyi.
Misaki menggenggam
lengan baju kausku.
“Hm?”
“Lusa kita ke kota yuk,” katanya, seraya terus menariki lengan bajuku,
“mungkin ke dekat stasiun. Bareng. Ada orang penting yang dulu sekali pernah
bilang, ‘Campakkan buku-bukumu dan pergilah ke kota,’ atau begitulah kira-kira.
Itu bukan bohong kok. Itu tertulis di buku yang kubaca baru-baru ini, jadi
inilah waktunya kita ke kota. Kalau kita melakukannya, sepertinya kamu bakal
pasti menuju ke arah yang baik. Oke?”
Tanpa berpikir, aku
mengangguk.
Permintaan Misaki
mengiang-ngiangkan ketakutan baru dalam batinku. Pergi ke kota, siang-siang,
dengan cewek misterius yang identitas aslinya masih belum kuketahui …. Tak ayal
lagi, tindakan gegabah ini akan menimpakan bobot tekanan yang luar biasa
padaku. Akibat kewalahan, aku pasti akan kembali berbuat yang memalukan. Mana
sempat aku menghindar dari berbuat yang entah bagaimana menyedihkan. Ah, aku
tidak mau pergi. Aku ingin terus mengurung diri di kamar.
Biar begitu, janji, ya, janji. Aku mengingatkan diri bahwa langkah awal untuk menjadi anggota
masyarakat yang keren adalah dengan setia menghargai janjiku kepada orang
lain—tapi kan aku bukan anggota masyarakat; aku cuma hikikomori.
Bagaimanapun juga, aku merasakan nyeri menusuk dalam perutku. Ketegangan
dan ketidaksabaran yang tak henti mengingatkanku pada perasaan yang biasa
kualami sehari sebelum ujian. Bagi orang berkemauan lemah seperti aku, tekanan
ini berat membebaniku dengan kekuatan yang nyata.
Tapi, seperti yang ditulis Dostoyevsky atau siapalah di suatu kisah,
bersama nyeri yang melampaui batas-batas kewajaran, ada kesenangan tak terelakkan.
Intinya, ketika stres melewati batas tertentu, entah bagaimana manusia bisa
mendapatkan kepuasan. Misalnya, karena saking terpuruknya, orang mungkin jadi
mudah bilang setuju. Perasaan ini sesudahnya akan membangkitkan gairah dan
kenikmatan.
“Benar, kan, Yamazaki?”
“Ya, pastinya. Tapi aku enggak mengerti kamu omong apa.”
Hari ini seperti biasanya sejak pagi sekali Yamazaki sudah bekerja keras
dengan gimnya. Bahasa tubuhnya entah bagaimana mengesankan bahwa kemungkinan ia
sedang menikmati sendiri dengan cara yang bikin bergidik.
“Lihat dong kamu sudah sejauh apa,” kataku, tapi tubuhnya menghalangi
komputer. Pasti ia sudah membuat gim erotis yang teristimewa.
Yah, apa pun gim
erotis aneh yang sedang Yamazaki kerjakan tidak berarti apa-apa buatku sekarang.
Aku memutuskan sebaiknya aku makan sarapan saat itu juga dan membuka kulkas.
“Hah? Hei, Yamazaki,
kamu enggak ada makanan?”
“Woi, dasar! Jangan tiap hari makan punya orang kayak yang punyamu saja!
Di apartemen yang punya, lagi!”
“Terserah mau bilang apa, soalnya aku sudah jual kulkas di kamarku ke toko
loak itu ….” Sembari berusaha memberikan alasan yang layak, aku mengambil ramen
instan dari tempat yang biasanya dalam kabinet.
Seketika itu, bel
pintu berbunyi. Tamu?
Yamazaki lambat-lambat
berdiri dari meja komputernya lalu membuka pintu di ruang depan. Di sana
berdiri dua pencari sumbangan keagamaan. Tapi, pencari sumbangan kali ini
bukanlah Misaki dan bibinya, melainkan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
tahun, yang mengenakan setelan, dan seorang anak yang kira-kira seusia SMP
dalam blazer biru laut. Aku bertanya-tanya apa jangan-jangan rutenya sudah
diubah.
Bagaimanapun juga,
yang dilakukan si pencari sumbangan tidaklah berubah.
“Mmm, kami hendak
menyerahkan majalah ini ….” Si pencari sumbangan menyerahkan dua pamflet kepada
Yamazaki. “Ah, begini, kami sedang mengabarkan tentang agama kami ….”
Yamazaki berusaha mengusir para pencari sumbangan itu dengan pidato yang
layak.
Selagi mengamati
mereka, mendadak aku mendapat ide bagus. Begitu bergabung bersama mereka di
pintu depan, aku menepuk-nepuk punggung Yamazaki sekeras mungkin sebelum
menyela, “Bicara apa kamu, Yamazaki?! Tadi bukannya kamu bilang sedang tertarik
sama bacaan begini?”
“Eh?”
Dengan mengabaikan
Yamazaki, yang telah berpaling untuk memberiku tatapan yang berarti, “Bicara
apa kamu, dasar idiot?” aku menghadapi para pencari sumbangan itu dan mengoceh,
dalam sekali tarikan napas: “Sebenarnya, selama ini kami tertarik pada kegiatan
kalian. Bolehkah kami menghadiri pertemuan kalian?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar