Semalam, ketika kami
hendak berpisah, Misaki berbisik, “Besok, giliranku hadir di sekolah
misionaris, tapi aku enggak mau.”
“Apa itu?” tanyaku, dan terbata-bata Misaki menjelaskannya.
Sekolah misionaris tampaknya semacam pertemuan tempat “siswa kajian” dapat
menyempurnakan kecakapannya dalam “aktivitas pelayanan”. Besok, Misaki harus
memberikan pidato di depan semua orang.
Dia menggunakan begitu banyak istilah teknis keagamaan sehingga orang luar
seperti aku tidak bisa betul-betul mengerti ucapannya. Ketika aku mencoba
meminta dia untuk menjelaskan secara lebih lengkap, Misaki serta-merta bangkit
dari bangkunya untuk pulang. Dia pergi dengan hanya mengatakan, “Omong-omong,
karena aku ada urusan ini besok, baru lusa kita bisa pergi ke kota. Jangan lupa
sama janjimu.”
Itu semalam. Hari ini kelompok keagamaan Misaki akan mengadakan pertemuan,
dan di pertemuan itu ia harus memainkan peran yang sungguh sulit. Setelah
merangkai semua ini, sebuah gagasan menyambarku. Hari ini merupakan kesempatan
yang sempurna untuk mengetahui siapa Misaki sebenarnya! Dengan mengerahkan
keberanianku, aku memohon kepada para pencari sumbangan itu, “Tolong,
izinkanlah kami ikut bersama kalian untuk melihat-lihat!”
Tampaknya, sudah aturan bahwa biasanya pengamat dari luar pertama-tama
mesti menghadiri “kajian literatur” yang diadakan tiap Rabu. Karena itu, kedua
pencari sumbangan ini terlihat tak yakin bagaimana mesti menanggapiku. Aku pun
terus memohon kepada mereka dengan sangat, “Harus hari ini! Tolong, bawalah kami ke pertemuan
hari ini!”
Setelah aku mengemis-ngemis kepada mereka beberapa lama lagi, akhirnya mereka menyerah.
Mereka membeberkan lokasi “Aula Kerajaan” dan waktu pertemuannya. “Mulainya jam
enam sore. Kalau masnya bilang datang atas ‘dukungan dari Kaneda’, masnya boleh
masuk.”
Saat itu di penghujung
petang. Setelah menyamarkan diri dalam pakaian yang ganjil, cepat-cepat kami
mendaki jalan menuju Aula Kerajaan.
Alasan kami menyusup ke pertemuan itu adalah untuk mengamati kehidupan pribadi
Misaki, sehingga aku bisa mengetahui motivasi dia sebenarnya. Inilah alasannya
aku memutuskan untuk menyamar. Pada awalnya, Yamazaki keras kepala menolak
upayaku memaksa dia agar ikut dengan aku, tapi akhirnya ia teryakinkan.
“Menyusup ke organisasi keagamaan itu kesempatan sekali-seumur-hidup, tahu!
Bakal seru!” Akhirnya ia mengalah pada argumen setengah-hatiku dan kemudian
dengan girang menyamarkan diri.
Aku mengenakan setelan hitam yang kubeli sewaktu masuk kuliah supaya aku terlihat seperti
anggota baru yang berharga. Aku menarik topi tulip merah muda menutupi mataku
serta memakai kacamata ungu gelap. Sekalipun aku merasa terlihat menggelikan.
Sementara itu Yamazaki mengenakan sepatu bersol tebal supaya tingginya
bertambah empat inci, memasang lensa kontak hijau pada kedua matanya—dan
ditambah lagi, mewarnai rambutnya jadi emas. Entah bagaimana dia sampai punya
benda tolol semacam sepatu bersol tebal itu. Meski begitu, penyamarannya
sempurna.
Tapi, aku agak cemas. Aku khawatir suara kami bisa mengungkap identitas
asli kami. “Bagaimana menurutmu, Yamazaki? Kan enggak mungkin kita mengubah
suara?”
Ketika aku menampakkan kekhawatiranku soal ini, Yamazaki
menyeretku ke supermarket di dekat stasiun, dan kami menuju ke arah toko mainan
di lantai empat. Di bagian perlengkapan pesta, ia mengambil gas helium. Benda
itu dulu sempat populer, sebab jika menghirupnya, suara kita bakal terdengar
seperti bebek.
“Ah! Pintar kamu!” aku
menggebuk punggung Yamazaki.
Ia mengacungkan jempol
sembari menyengir. Ia bersukaria.
Dengan begini, komplet sudah persiapan kami dan dengan jaya kami menuju ke
arah Aula Kerajaan, yang terletak di tepi pusat perbelanjaan dekat stasiun. Orang-orang yang berpapasan dengan
kami—pasangan yang terang-terangan mencurigakan, meleter dengan suara “bebek” yang
nyaring—melontarkan lirikan bingung ke arah kami. Biasanya, kami akan merasa
terintimidasi oleh tatapan mereka. Tapi untuk kali ini saja, kami tidak takut
pada orang. Kacamataku yang gelap membentengi lirikan-lirikan itu, dan aku
ditemani Yamazaki yang gagah berani melangkah di sampingku.
Terlebih lagi, “obat pemberi energi” yang kubeli lewat pos berkhasiat
cukup manjur. Baru setengah hari lalu, aku menderita kecemasan yang sepertinya
tidak bakal dapat kulepas—tapi sekarang aku diliputi energi. Tampaknya cuma
beberapa miligram obat generik bisa secara drastis mengubah emosi orang.
“Ini bukan?” tanya Yamazaki dengan suara bebeknya begitu kami keluar dari
gang sempit yang menjulur di sebelah rel, berujung pada bangunan empat lantai
di samping sebuah minimarket.
Aku memeriksa peta yang dibuatkan oleh si pencari sumbangan untukku. Papan
informasi di pintu masuk bangunan itu juga memberitahukan, “Lantai Ketiga, Aula
Kerajaan”. Tidak salah lagi, inilah dia. Hebat kami sampai di tujuan, tapi
tahu-tahu aku merasa kecewa.
Kebalikan dari namanya yang terdengar berkuasa, Aula Kerajaan merupakan
bangunan tua agak kumuh yang menyewakan ruang kantor untuk usaha kecil. Lantai
pertama berupa perusahaan lahan yasan sedangkan lantai kedua dihuni kantor
pengacara pajak, menyisakan lantai ketiga yang diisi kelompok keagamaan itu.
Diwarnai merahnya matahari terbenam, ruang sewaan itu terlihat semakin kusam.
Tadinya aku membayangkan kuil amat besar yang dihiasi daun emas dan semacamnya,
sehingga aku terkejut.
Biar begitu, inilah saatnya kami mulai menyusup. “A—ayo, Yamazaki.”
“Yah, ayo, Satou.”
Dengan menguatkan kehendak, kami memanjat tangga sempit bangunan itu.
Pada akhirnya, penyusupan kami ke aula
itu berhasil dengan mudahnya.
Bahkan tak seorang pun
yang kami lewati menyinggung penyamaran kami yang janggal. Biarpun aku sudah
mengatakan kebohongan besar lainnya: “Sebenarnya, penglihatanku buruk, aku
perlu kacamata.” Aku mengatakannya padahal tidak ada yang tanya. Dan semua
orang bilang, “Ya ampun, parah, ya,” dan mengasihaniku.
Benar: Mereka betul-betul
orang yang baik.
“Selamat malam.”
“Selamat datang.”
“Terima kasih sudah
hadir.”
Seorang ibu rumah
tangga, seorang siswi SMP, dan seorang pengusaha menyambut kami diiringi senyum menyegarkan di wajah. Sembari
menundukkan kepala kepada mereka, kami terus menaiki tangga sempit itu dan melangkah masuk ke
ruang pertemuan. Dan sekali lagi, kami mengecap kekecewaan.
Tidak ada nuansa
keagamaan pada bagian dalam ruangan itu. Hiasan seperti lilin, salib, dan altar
tidak kelihatan di mana pun. Alih-alih, di dalam ruangan itu, sebuah podium
seperti yang lazimnya ada di auditorium sekolah mengisi panggung di tengah,
berhadapan dengan berderet-deret kursi lipat logam yang tertata rapi. Ruangan
itu bisa memuat sekitar seratus orang. Lantai dan dindingnya dicat seragam
dengan warna krem yang lembut, dan penerangan lampu neonnya benderang. Ruangan
yang lega ini, tempat pertemuan ini, pada dasarnya menyerupai balai pertemuan biasa.
Sementara waktu, kami
duduk di kursi lipat paling belakang, sembari membungkuk supaya tidak
kelihatan. Tapi sedihnya upaya itu serta-merta kandas. Aku dan Yamazaki
dikelilingi orang-orang tersenyum yang ramah-tamah—tua dan muda, pria dan
wanita. Kelihatannya seolah-olah si pemuda pencari sumbangan yang kami temui
kemarin sudah memberi tahu semua orang bahwa akan ada pengunjung.
“Dengar-dengar masnya
tertarik sama Alkitab,” ucap seorang ibu rumah tangga yang merangkul seorang
anak. “Lagi pula, keyakinan itu memang persoalan yang mesti dihadapi setiap
orang.”
Seorang pemuda
seusiaku berkata, “Silakan, santai saja dan nikmati.”
Seorang gadis seusia
SMA berkata—
Mereka semua berbicara
kepada kami pada waktu bersamaan.
Seraya membalas
sambutan mereka dengan suara bebekku, aku merasa semakin gelisah. Buruk ini. Kalau begini, kami akan menonjol.
Atau jangan-jangan, kami memang sudah menonjol. Misaki kelihatannya belum
datang. Tapi kalau begini terus, tinggal tunggu waktunya sampai dia melihat
penyamaran kami.
Sesaat, kami memutuskan untuk mundur sejenak. Setelah menanyai si ibu
rumah tangga letak kamar mandi, terburu-buru kami undur dari aula pertemuan
itu.
“Enggak bagus ini,
Satou.”
“Buruk, ya, Yamazaki?”
Kami megap-megap
sementara menenangkan diri di kamar mandi yang bersih berkilauan itu.
“Kenapa sih
orang-orang itu ramah banget sama orang mencurigakan kayak kita?”
“Aku agak tersentuh
sih.” Aku agak kaget sendiri. Ini kali pertama sepanjang hidupku aku mengalami yang seperti
ini. Sejumlah besar orang menyambutku dengan tangan terbuka diiringi senyum di
wajah. Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya.
“Ha ha ha ha, mungkin
sebaiknya aku masuk ke agama ini!”
Aku mendengar Yamazaki, yang sudah masuk ke bilik pribadi, mendadak
terbahak. Berikutnya terdengar kertas toilet diulurkan. Aku mendengar dia
membersihkan hidungnya, lalu dia keluar dari bilik. Pupil matanya membesar di
balik lensa kontak yang berwarna. Bubuk putih menempel pada lengan bajunya.
“Kamu mau, Satou?” Yamazaki menjulurkan kemasan plastik berisi narkoba
itu. Aku menolak halus. Karena aktivitas mata-mataku baru akan dimulai, aku
tidak mau sampai kehilangan pertimbangan akal sehat.
Dengan meletakkan
beberapa lembar tisu dalam mulutku, aku mengubah bentuk mukaku agar
penyamaranku kian sempurna. Sementara itu, Yamazaki, dengan senyum super-lebar
meliputi wajahnya, menyibukkan diri dengan berjalan berputar-putar di sekitar
kamar mandi.
Sebentar kemudian, kami mendengar lagu pujian dinyanyikan bersama dari
luar dinding kamar mandi. Pertemuan itu sepertinya sudah dimulai.
Dengan santai, kami
menuju ke arah aula pertemuan.
Seperti yang sudah
kusebutkan, bagian dalam aula pertemuan itu tidak ada nuansa religiusnya sama
sekali. Tempat itu terlihat seperti pusat pelatihan pemuda. Biar begitu ….
Kenapa sekujur
punggungku jadi terasa merinding? Aku merasa tersentuh. Jangan-jangan ini efek
samping obat yang kuminum sebelum meninggalkan apartemen. Jangan-jangan
penguatan emosiku ini tidak lebih daripada sekadar efek samping. Tapi ….
Hampir seratus orang
telah berkumpul di aula ini, dan mereka sedang bernyanyi tanpa sangsi, dengan
semangat yang hebat. Pria-pria tua, wanita-wanita tua, pria-pria muda,
wanita-wanita muda—serempak mereka telah menghadap mimbar dan bersatu-padu
menyanyikan himne yang memuji Tuhan. Di sinilah, aku bisa merasakan kekudusan
secara pasti. Oh, inilah agama yang
benar! Luar biasa!
Terbalut dalam nyanyi pujian itu, aku bergerak cepat di sepanjang dinding
ruang pertemuan dan tiba kembali di barisan tempat duduk paling pinggir. Ketika
nyanyian berakhir, seorang pria paruh baya yang berdiri di podium mulai mendoa.
Sepertinya dia orang paling penting di sini.
“Sang Pencipta Agung, yang telah menjadikan surga dan juga Bumi ini,
bersama kita manusia, semoga puji dan kemuliaan kembali pada namamu yang
agung.” Semuanya menatap ke depan, mendengarkan dengan penuh perhatian pada
doanya. Tak seorang pun melihat kepada kami.
Ini berlangsung
seperti yang direncanakan.
Atau begitulah yang
kukira. Begitu dia mengakhiri doanya, pria penting di podium itu mengatakan
yang seperti, “Berkat pertolongan ruh kudus, kalian semua bisa kembali
berkumpul di sini hari ini. Banyak anak-anak, begitu juga orang-orang baru ….”
Orang-orang baru? Siapa? Siapa mereka?
Mereka adalah kami.
Serta-merta tatapan setiap orang beralih kepada kami. Aku menarik topi
tulipku semakin ke bawah menutupi mataku. Yamazaki, seakan-akan sedang bersaing
dengan setiap orang selainnya, mengilaskan senyum edannya.
Di tepi jangkauan pandangku bisa kulihat Misaki. Ia ada di depanku, di tempat duduk yang paling dekat
dengan fondasi. Ia belum menyadari kami ada di sini. Sembari menyantaikan diri,
aku menghentikan Yamazaki yang sedang mencoba melambai kepada setiap orang.
“Dengan demikian, kami menyampaikan terima kasih kami kepada kalian semua
atas nama sang Putra, Tuhan Yesus Kristus, dan mempersembahkan doa kami untuk Anda.”
“Amin.” Jemaah
berbicara sebagai kesatuan. Hanya suara bebek kami yang menonjol dalam paduan
suara itu.
Tujuan pertemuan ini
yaitu untuk meningkatkan teknik-teknik misi. Itu sebabnya ini disebut “sekolah
misionaris”.
Pertama-tama, seorang pengikut pria yang sudah berpengalaman berdiri di
podium dan berbicara sebagai contoh untuk diikuti. Setelah itu, para siswa
misionaris menyampaikan uraian tentang berbagai topik selama enam menit per
giliran. Pada akhirnya, si “pemimpin” memberikan tiga tingkat penilaian
(“baik”, “berusahalah lebih keras”, dan “perlu perbaikan”) untuk tiap-tiap
bahasan dari murid.
Setidaknya, begitulah penjelasan si ibu rumah tangga yang duduk di
sebelahku.
Setelah membungkuk sopan kepadanya, dengan santai aku menaksir pemandangan
itu. Walaupun saat itu malam hari kerja, jumlah orang yang berkumpul lumayan
juga. Yang pertama-tama menarik perhatianku yaitu banyaknya ibu rumah tangga.
Mereka semua perempuan paruh baya yang sangat lazimnya, semacam yang biasa kita
temui lagi berbelanja di supermarket sekitar. Selain itu, ada para pengusaha,
yang langsung datang ke pertemuan dalam perjalanan pulang dari kerja. Terakhir,
ada muda-mudi yang baru pulang sekolah. Berbagai macam orang telah berkumpul di
aula pertemuan ini.
Para pengikut pria yang lebih senior memasang tampang serius di podium,
dan aku terpesona oleh bahasan mereka. Sebagian orang bahkan mencatat isi
kuliah ini di buku tulis. Pidato-pidato itu lagi-lagi memuat suatu perbendaharaan kata yang bikin pusing
orang biasa. “Armagedon” dan “Setan” dan istilah-istilah hebat lainnya terus-terusan
muncul, dan perutku mulai nyeri.
Pokoknya, aku yakin bahwa ada sekitar seratus orang berkumpul di sini, dan
mereka semuanya sangat serius sekali.
“Umat manusia lahir
pada enam ribu tahun yang lalu.”
“Bahtera Nuh berada di
Gunung Ararat.”
“Perang Setan akan
segera dimulai.”
“Berdasarkan pada
Kitab Wahyu ….”
Apa kalian semua dari Gakken Mu!?[1] Aku ingin berteriak,
tapi aku dan Yamazaki kalah jumlah.
Akhirnya, kuliah
pertama selesai. Ringkasnya, beginilah pesannya: Kerusakan dunia ini merebak nyata.
Kerusakan politik tiada akhirnya, perselisihan pecah tak berkesudahan di
sekeliling dunia, dan kejahatan brutal di perkotaan terus saja berlangsung.
Kaum muda kecanduan hubungan tak bermoral, orang dewasa hanya mencari nilai
bendawi, dan kesusilaan jatuh kian terpinggirkan. Singkatnya, ini perbuatan Setan. Mereka di dunia ini yang
dikuasai oleh Setan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan perintahnya,
dan inilah persisnya yang menyebabkan Armagedon semakin dekat. Sebelum
Armagedon tiba, kita mesti menyelamatkan sebanyak mungkin orang dari siksa yang
kekal di neraka. Inilah tujuan misi kita.
Sepertinya, ada pertentangan di antara Tuhan dan Setan, dan mereka yang
tidak punya keyakinan akan jatuh ke neraka.
Kuliah para murid yang
menyusul kemudian agaknya mengangkat tema serupa. “Pujilah Tuhan, bencilah
Setan” tampaknya merupakan kebijakan umum. Mereka semua sepertinya telah banyak
berlatih untuk hari ini dan dengan cakap menyitir bagian-bagian dari Alkitab,
berbicara tanpa ragu. Aku bisa melihat ada yang gugup; biar begitu, mereka
berbicara dengan penuh kebanggaan. Tiap kali bel berbunyi, menandai akhir dari
enam menit yang dijatahkan, setiap orang bertepuk tangan. Aku juga bertepuk
tangan. Terus-menerus seperti ini, akhirnya pidato anak-anak muda ini selesai.
Selanjutnya … aku dan
Yamazaki bertukar lirikan: tibalah giliran Misaki. Aku memendam harap. Aku
ingin melihat dia menyampaikan kalimat-kalimat konyol seperti yang kudengar
tiap malam saat konseling. Aku ingin dia membuatku tertawa dan merasa riang.
Tapi, di podium itu,
Misaki agak gemetar, wajahnya pucat. Sepanjang waktu itu, tidak ada hal menarik
yang dia sampaikan. Dengan nada datar lagi samar-samar, ia sekadar memberikan
pidato tentang Alkitab yang lumayan juga, sembari memandangi sepatunya sepanjang waktu.
Ia tampak teriksa.
Sikapnya mengingatkanku pada seorang cewek yang sedari SD selalu ditindas oleh
semua orang.
Usailah sekolah misionaris.
Setelah jeda sepuluh menit, “pertemuan pelayanan” dijadwalkan. Selama jeda
itu, setiap orang mengobrol ramah-tamah—sekelompok ibu rumah tangga, anak-anak
lelaki, dan para pemuda. Tiap kelompok berkumpul bersama-sama, berbicara dan
tersenyum dengan riangnya.
“Kazuma sedang berada
di Bethel—“
“—menjadi sukarelawan
pelayan—“
“Di pekerjaan
reklamasi yang pernah kami lakukan—“
“—saudaranya Satomi
akhirnya dibaptis.”
Istilah-istilah teknis yang khusus sering kali digunakan, sehingga aku
tidak bisa sungguh-sungguh mengikuti percakapan dengan baik.
Aku melihat ke arah pojok aula pertemuan tempat Misaki duduk sendirian,
membungkuk di kursi baja. Ia mengkeret, berusaha keras supaya tidak menonjol.
Di sana, pojok ruangan itu, ia menghancurkan jejak dirinya. Ia benar-benar
pucat. Tiap kali ada orang melewati dia, Misaki menatap ke bawah. Kelihatannya
seolah-olah dia takut ada orang yang hendak mengajak dia mengobrol. Selama jeda
itu, tidak seorang pun yang bicara pada dia. Sepertinya itulah yang dia
inginkan.
Di aula pertemuan yang bersahabat ini, ia sendiri yang menyembul dari
sekitarnya.
“Pulang yuk.” Aku mendorong Yamazaki ke arah pintu.
“Bicara apa kamu ini, Satou? Pertemuan pelayanan baru mau mulai!” Mata
Yamazaki memerah, dan aku tahu sebabnya. Dalam istilah-istilah teknis yang paling
kami akrabi—yaitu, kosakata gim erotis—pelayanan berarti “jenis pijatan istimewa
penuh kasih sayang yang diberikan seorang pelayan berapron kepada tuannya.”
“Ini pertemuan pelayanan! Cewek-cewek di sana bakal memberikan
pelayanannya kepada kita!”
“Mana mungkin itu
terjadi!”
Sembari menyeret Yamazaki yang marah-marah dengan pitingan lengan, aku
memaksa dia keluar. Hampir sampai kami di pintu keluar utama bangunan, ketika
ada suara memanggil dari belakang, “Hei, kalian!”
Dia anak yang lebih muda dari dua pencari sumbangan yang kami temui
sebelumnya, si bocah SMP. Dengan kedua tangannya dimasukkan ke saku blazer, ia
membelalak pada kami. “Kalian ke sini cuma untuk mengolok-olok, kan?”
Mendadak Yamazaki lolos. Ia kabur tanpa sekalipun menengok ke belakang.
Lagi-lagi aku
ditinggal sendirian.
Tapi anak itu tidak
berteriak padaku. Malah kami mulai melangkah menyusuri jalan gelap itu bersama.
Walaupun pada waktu itu sudah musim panas, angin malam tidak musimnya terasa
dingin. Anak itu mengisap rokok. Ia mengembuskan napas, “Ah ….”
“Sepertinya itu
melawan firman.”
Mendahuluiku, anak itu menarik Zippo dari sakunya dan menyalakan rokok
baru dengan gerakan tangan yang tampak terlatih.
Sembari berjalan di sisi kananku, ia menerangkan, “Kadang, orang-orang
seperti kalian ingin melihat yang aneh-aneh, jadi mereka datang untuk mengamati
pertemuan. Mahasiswa-mahasiswa tolol, seperti kalian. Baiklah, bagaimana menurutmu?
Lucu, enggak, tadi?”
Aku diam saja.
“Aku melakukan kegiatan keagamaan begini bukan berarti aku suka, tahu.”
“Maksudmu?”
“Gara-gara orang
tuaku. Ayah dan ibuku sama-sama cinta agama. Di rumah kami, aku satu-satunya
yang masih berpikiran waras. Kalau aku bilang ingin meninggalkan gereja,
menurutmu apa yang bakal terjadi? Pernah aku bilang sama ibuku, ‘Aku mau ikut
ekskul, aku ingin main ke rumah teman.’ Ketika aku bilang begitu, mak lampir
tua itu mulai menjerit-jerit, ‘Dasar setan!’ Dia bahkan enggak membuatkanku makan siang sampai
berhari-hari.”
Anak itu tertawa. “Aku menuruti orang tuaku sekadar supaya mereka enggak
marah. Setelahnya, ketika di luar rumah, aku berbuat sesukaku.”
Aku berkesimpulan, dia menghabiskan waktunya di sekolah seperti anak sewajarnya,
dan selagi di rumah ia menjadi orang religius yang taat. Ia menjalani kehidupan
ganda.
“Maksudku tuh, kalian mesti memastikan supaya enggak salah bergabung.” Ia
terdengar serius. “Semua orang peduli padamu hari ini, kan? Semua orang
kelihatan bahagia, kan? Kamu mungkin punya anggapan bodoh seperti, ‘mungkin aku
bisa bergaul dengan orang-orang baik seperti ini,’ benar kan? Kamu salah. Itu trik mereka. Mereka bertingkah
begitu bukan karena cinta tanpa pamrih. Itu cara supaya kamu masuk ke agama
mereka.
“Begitu kamu masuk, keadaannya seperti dalam masyarakat yang biasanya
saja. Setiap orang ingin jadi pemimpin. Setiap orang ingin pergi ke tanah suci.
Ayahku berusaha mati-matian melakukan berbagai hal supaya dirinya bisa
maju—mengirimkan hadiah ke para pemimpin, berusaha meningkatkan posisinya,
tidak peduli apa pun. Itu sangat bodoh. Kamu menyaksikan kejadian hari ini,
kan? Cewek yang tampil terakhir itu awalnya cuma pengkaji biasa sampai
baru-baru ini, tapi keluarganya terus menyuruh dia untuk masuk sekolah
misionaris sampai akhirnya dia menurut. Ketika dia sebagai anggota keluarga
hadir di sekolah misionaris, bibinya mendapat status.”
Aku memancing lebih
banyak keterangan tentang Misaki.
“Eh?” Anak itu
mengejap. “Yah, cewek itu baru-baru ini saja jadi pengkaji. Dia cewek
biasa—anak adopsi, atau semacam anak yang diperwalikan oleh si ibu-ibu tua itu.
Pamannya sepertinya enggak tertarik sama agama, yang mungkin ternyata jadi
berkat penyelamat. Eh, enggak, sepertinya cewek itu terbelah di antara dua hal,
sehingga situasinya semakin sulit. Ia selalu terlihat gelisah, entah kenapa.”
Aku merasa sangat
berterima kasih kepada anak ini atas informasi dari dalam ini.
Ketika kami berpisah,
anak itu memperingati, “Seperti yang kubilang, jangan deh. Kamu jangan masuk ke
agama ini. Yah, aku enggak benar-benar peduli juga sih kalau kamu mau masuk.
Tapi, kalaupun kamu masuk, jangan punya anak.”
Aku mengangguk pelan
lalu kembali ke apartemenku.
[1] Gakken Mu adalah
sekelompok orang yang terobsesi pada yang supranatural dan ganjil, berdasarkan
pada majalah dengan nama yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar