Besoknya, aku dan Misaki berjalan-jalan
melintasi jalanan kota. Langit biru tanpa awan. Karena hari itu Sabtu, ada banyak orang di dekat
stasiun, dan aku jadi agak pusing.
Seperti yang dijanjikan, aku bertemu dia di taman dekat rumah pada pukul
satu siang, dan kami langsung pergi ke stasiun. Sekitar dua jam berlalu, dan
kami masih berjalan. Kami terus saja berjalan. Walaupun Misaki berjalan di
depanku, seperti yang memimpin, aku merasa bahwa kami telah berjalan
berputar-putar di jalanan yang sama selama beberapa waktu.
Meski begitu, langkah kaki Misaki tetap mantap.
Akhirnya, aku tidak tahan lagi. “Mmm, kita mau ke mana sih?”
Misaki menoleh. “Apa?”
“Maksudku, tujuan kita ke mana?”
Kugulir mata ke arah
langit.
Misaki berhenti dan
bersedekap, larut dalam pemikiran. “Hm. Karena kamu bilang begitu, aneh juga,
ya. Kalau dipikirkan secara saksama, sepertinya kebanyakan orang memang punya
tujuan.”
Aku tidak tahu mesti
berkata apa.
“Eh, biasanya
orang-orang pada pergi ke mana sih?”
Kayak yang aku tahu saja. Dari mulanya saja, apa-apaan kami ini? Hari ini Sabtu, siang-siang, dan
kami bertemu untuk berputar-putar di kota. Memangnya
kita ini siapa? Kalau aku bisa jawab pertanyaan itu, mungkin tujuan kami
bakal berubah.
Bagaimanapun juga,
kutanya, “Misaki, ada tempat yang kamu ingin kunjungi?”
“Enggak.”
“Kamu sudah makan
siang?”
“Belum.”
Sementara, kami
putuskan untuk pergi ke restoran keluarga di sekitar.
Begitu kami memasuki restoran keluarga
tersebut, Misaki berkata, “Ini pertama kali aku makan-makan di tempat seperti
ini.”
Aku mengisap rokok. Ujungnya agak bergetar. Rasanya menyiksa buatku. Aku
ingin kacamata hitam. Kalau saja aku punya kacamata hitam, aku tidak mesti
khawatir soal orang-orang asing yang menatapku.
Misaki memesan paket istimewa makan siang. Ia makan dengan lahap sementara
aku menyesap kopi.
Sialan, batinku. Kafeinnya
bikin aku makin sulit untuk tetap tenang. Sebentar lagi, aku akan mulai
bertingkah mencurigakan.
Tapi, Misaki lumayan ceria. Ia terlihat seperti sedang bersenang-senang,
dengan membuat semacam origami dari serbet kertas yang ada di meja.
“Lihat, sudah jadi. Bagus, ya?” Ia membuat bangau.
“Bagus. Kamu jago, ya.” Kupuji dia.
Perutku mulai nyeri, maka kami meninggalkan restoran keluarga itu. Kami
berjalan-jalan sekitar setengah jam lagi sebelum menuju ke sebuah kafe. Aku
minum teh hitam, sedangkan Misaki makan keik. Aku berusaha mengingat-ingat
alasan awal kami bertemu seperti ini.
Pada malam itu, Misaki bilang, “Kita ke kota, yuk. Kalau kita
melakukannya, sepertinya kamu bakal pasti menuju ke arah yang baik.”
Ah, benar. Pendeknya, ini merupakan bagian dari program pelepasan
hikikomori, dan bukan berarti kami sedang berkencan atau sesuatunya. Lalu, ada
malam yang kemarin itu. Setelah mengamati Misaki semalam, aku malah semakin
bingung lagi dengan identitas dia sebenarnya. Pertama-tama, malam itu telah
memupus teoriku bahwa dia sekadar hendak melakukan rekrutmen keagamaan.
Mengingat betapa hampir tidak cocoknya dia dengan sekitarnya di pertemuan itu,
tidak mungkin dia bergiat mencoba memasukkan orang asing ke agamanya.
Jadi, dia itu siapa? Bahkan sekarang ini pun dia tetap misteri besar. Aku mesti apa, menongkrong begini dengan
cewek misterius begitu? Aku mesti apa? Akhirnya, karena tidak ada ide lain,
aku diam saja.
Misaki mengeluarkan buku lagi dari tas yang selalu dibawanya. Kali ini
berjudul Kata-kata yang Menuntun Anda:
Kumpulan Pepatah yang Akan Menggema di Hati Anda. Buku aneh lainnya …. Aku
sudah tidak kaget lagi.
Setelah menyisikan piring keiknya, Misaki membuka buku tersebut di meja.
“Let it be.” Sembari mengatakan
itu, ia menatapku dalam-dalam. “Kelihatannya ini ucapan seorang pria bernama
John. Menurutmu apa artinya?”
“Biarkan segala sesuatu terjadi sebagaimana adanya.”
“Ah, perkataan yang
hebat!”
Akhirnya, setelah
keluyuran kami kembali ke kafe manga tempat Misaki bekerja sesekali. Orang yang
duduk di meja kasir mengangguk pada dia. Dengan bersikap seperti pelanggan
biasa, aku mengambil tanda terima. Lalu, kami duduk di bagian paling belakang
ruangan itu.
Pada dasarnya itu
tempat yang terkucil.
Sembari minum kola, aku berkonsentrasi membaca manga. Misaki, yang duduk
di seberangku, mengamatiku sembari minum jus jeruk. Aku merasa amat terusik,
tapi bisa apa aku. Aku merasa seperti ada lubang yang hendak membuka di
perutku.
Akhirnya, aku tidak tahan lagi. Kalau begini bagaimana mungkin aku bisa
baca manga. Aku mencoba bicara. “Misaki?”
“Hm?”
“Di kafe manga ini
enggak banyak orang, ya?”
“Gara-gara penurunan
ekonomi baru-baru ini.”
Aku memandang ke arah
pria di balik konter. “Orang itu, apa hubungannya dengan kamu?”
“Dia pamanku. Aku selalu menyusahkan dia. Tapi karena sebentar lagi aku
bakal pergi, sepertinya dia bakal memaafkanku.”
Kedengarannya dinamika keluarga mereka cukup rumit. Tapi, aku tidak mau
mendengar cerita itu, maka aku mengubah arah pembicaraan. “Omong-omong, Misaki,
kamu suka dengan kegiatan keagamaanmu?”
“Enggak juga. Aku
terus menyusahkan orang.”
“Menyusahkan?”
“Tahu kan—bagaimana, ya, mengatakannya? Aku mengganggu suasananya. Yah,
kehadiranku di sana bikin suram banyak orang lainnya. Sebenarnya, sebaiknya aku
enggak berada di tempat mana pun.”
“Kamu kan bisa keluar saja dari kelompok itu.”
“Enggak bisa. Aku harus berbuat sesuatu untuk membalas bibiku.”
“Misaki, kamu enggak benar-benar percaya sama Tuhan, ya?”
Misaki meletakkan cangkir jusnya di meja. Timbul denting pelan. “Menurutku
bagus kalau Tuhan itu ada. Kalau bisa, aku ingin percaya, tapi cukup sulit.”
Ia terdengar kecewa.
Dengan nada berkecil hati, mendadak ia mengajukan suatu hipotesis.
“Pertama-tama, kalau Tuhan benar ada, pastilah Dia itu penjahat yang
mengerikan. Setelah memikirkannya secara menyeluruh, aku sampai pada kesimpulan
itu.”
“Heh?”
“Yah, bagi manusia, rasio antara hal yang menyakitkan dan hal yang nikmat
mestilah ada sekitar sembilan banding satu. Aku pernah menuliskan semuanya di
buku catatanku dan menghitungnya.” Misaki mengeluarkan buku catatan rahasia dan
membentangkannya di atas meja.
“Begini, ini diagram lingkarannya. Kalau kamu perhatikan, terlihat jelas
bahwa saat-saat yang menyenangkan—saat-saat ketika kamu berpikir, ‘Asyiknya!
Aku senang bisa hidup!’—bahkan tidak sampai satu per sepuluh kehidupan. Aku
menghitung ini secara cermat dengan kalkulator, jadi enggak ada yang salah.”
Aku malah heran cara penghitungan macam apa yang dia gunakan, tapi Misaki
tidak memperlihatkan halaman lain. Aku tidak ada niat hendak bersusah payah
melanggar urusan pribadinya lebih jauh.
Misaki melanjutkan,
“Itulah sebabnya. Tuhan mana pun yang sengaja menciptakan dunia menyakitkan ini
mestilah orang yang sangat mengerikan, bukan? Ini kesimpulan yang logis,
bukan?”
“Misaki, bukannya tadi
kamu bilang kamu ingin percaya Tuhan?”
“Ya. Aku memang ingin
percaya. Aku merasa berharap Tuhan memang sungguh ada. Maksudku ….”
“Maksudmu?”
“Kalau Tuhan yang jahat itu memang ada, maka kita bisa terus hidup waras.
Kalau kita bisa melimpahkan tanggung jawab atas kesengsaraan kita pada Tuhan,
maka kita akan merasa jauh lebih tenteram, bukan begitu?”
Ini diskusi yang sulit. Aku bersedekap dan berpura-pura merenungkannya,
tapi pikiranku tidak dapat bekerja dengan selayaknya.
Pertama-tama, Misaki, seberapa serius
kamu soal ini? Dari tadi kamu ini tersenyum ganjil. Dari awal sampai
akhir, aku merasa seolah-olah terperangkap dalam kabut yang menyesatkan.
Tapi, pada akhirnya, perkataan dia terdengar jujur dan tulus. “Kalau saja
aku bisa percaya sama Tuhan,” bisiknya, “Aku bisa bahagia. Tuhan itu jahat.
Biar begitu, aku tahu aku bisa bahagia.”
“Masalahnya,” ia
melanjutkan, “masalahnya adalah …. Imajinasiku jelek, jadi aku enggak bisa
memercayai Tuhan dengan sangat mudah. Begini, tidak bisakah Dia menciptakan
suatu keajaiban yang benar-benar berkesan buatku, seperti yang ada di Alkitab?”
Dia ini tipe cewek
yang suka mengatakan hal-hal tak masuk akal begini.
Setelah kami mengobrol selama sekitar satu jam lagi, aku memutuskan sudah
waktunya untuk pergi. Ketika aku hendak membayar, pria di balik meja kasir
berkata, “Jangan merisaukannya. Tolong, baik-baiklah sama dia.”
Aku merasa ini perkataan yang janggal untuk disampaikan pada orang yang
mengenal gadis seusia Misaki, tapi raut letih pria itu anehnya meyakinkan. Aku
menundukkan kepalaku sedikit lalu bergegas pulang.
Kembali ke apartemenku, aku terkejut
sekali.
Di tengah-tengah
kamarku, terpampang boneka serupa maneken seukuran manusia. Dengan setiap
langkahnya terhuyung-huyung, Yamazaki memutari boneka itu.
“Selamat datang kembali, Satou! Inilah objek pemujaan kita.” Aku
terbungkam.
“Kemarin, aku mendengar bahwa ada kakak kenalanku di kampus yang punya figur
Ruriruri[1]
seukuran manusia yang sudah lama dibelinya yang dia tidak tahu mau diapakan.
Langsung saja, aku berusaha supaya bisa mendapatkannya! Silakan, Satou, pujalah
dia juga! Ruriruri pucat, kecil belia, yang manis ini!”
Boneka itu sepertinya karakter dari suatu anime. Yamazaki bersujud di
hadapan boneka yang seukuran manusia yang modelnya dari gadis tahun-tahun atas
SD.
Celingukan, aku melihat kaleng logam tempat kami menyimpan narkoba sudah
kosong. Yamazaki menghabiskan sisanya.
“Ya, aku yakin sudah menggunakan obat itu! Aku mengalami halusinasi
terhebat abad ini. Ya! Kali ini, aku mengalami epifani sungguhan. Malah, Satou,
aku telah menyaksikan struktur dunia ini.” Setelah menggosok-gosokkan dahinya
pada kaki boneka itu, Yamazaki mendadak berdiri dan menghadapiku.
“Aku terus saja berpikir, ‘apa yang kita lewatkan?’ Ada suatu hal yang
kita lewatkan. Ada lubang besar di dada kita, jadi aku ingin menambal lubang
itu. Aku ingin sesuatu untuk memuaskanku. Itulah dia. Kemarin, pengamatan
keagamaan kita telah menguatkan meditasiku terhadap persoalan itu. Setiap orang
merasa goyah. Di dunia yang ruwet ini, kita ingin diatur oleh sesuatu yang
lain, dan itulah sebabnya kita menciptakan Tuhan. Pertentangan ganda antara
Tuhan dan Setan menjelaskan dunia ini secara lebih mudah. Mengerti kan? Kisah sederhana yang kuat
itu! Terus terang aku terpengaruh!
“Sayangnya, Tuhan itu
tidak sesuai bagi kita karena Tuhan yang itu luar biasa menyeramkan. Seperti
yang bisa kita lihat dari ilustrasi di ‘Bangkitlah!’—dia itu terlalu realistis
dan sama sekali enggak manis.” Yamazaki menjumput pamflet yang tergeletak di
pojok kamar dan menyerahkannya kepadaku.
“Silakan, lihatlah
artikel spesial edisi Juni, ‘Malaikat Pelindung: Mereka Selalu Menjagamu.’ Di
agama mereka, malaikat itu terlihat seperti ini.” Yamazaki membuka halaman yang
memuat ilustrasi realistis seorang pria berotot yang punggungnya bersayap.
Yamazaki merobek-robek pamflet itu. “Aku enggak butuh malaikat seperti ini!” teriaknya. “Apa-apaan dia itu, binaragawan?
Ketika dibilang ‘malaikat’, aku membayangkan sesuatu yang lebih, tahu kan,
cantik, dan moe moe, dan loli loli ….”
Mengilas di benakku banyak ingatan akan gim erotis yang di dalamnya gadis
serupa malaikat tampil sebagai tokoh utama perempuan.
“Benar itu! Sadarkah kamu,
Satou? Sekaranglah waktu yang tepat untuk reformasi keagamaan!”
Aku masih terbungkam.
“Objek pemujaan kita adalah boneka Ruriruri ini! Dan akulah pendiri sekte
ini!”
Aku menepuk pundak
Yamazaki pelan-pelan.
Setelah menepiskan tanganku, Yamazaki terus meracau. “Mereka yang percaya
akan diselamatkan! Kita harus membuat sesuatu yang bisa diyakini oleh kita
sendiri, untuk memberikan arti bagi kehidupan kita! Dan arti tersebut akan
berupa cara kita menjalani hidup dengan agama baru yang luar biasa ini!”
Seraya memburu berkeliling ruangan, ia mengangkat kedua tinjunya,
meraung-raung. Ia meneriakkan apa pun yang timbul di benaknya.
Sesudahnya, Yamazaki bergayut menyedihkan pada boneka seukuran manusia
itu. “Aku enggak bisa terus-terusan hidup begini,” bisiknya. Matanya terbuka
lebar.
Aku membuatkan dia kopi panas. Yamazaki meminum kopinya diiringi air mata.
Aku juga merasa ingin
menangis.
“Omong-omong,
Yamazaki, boneka ini mau kamu apakan lagi?”
“Aku berikan padamu,
Satou. Terserah mau kamu apakan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar