Suatu pagi yang hangat di bulan Juli, ada hantu
ikut sarapan bersama kami.
Hantu
itu berwujud seorang gadis, usianya sekitar dua belas atau tiga belas tahun.
Hanya sedikit lebih muda daripada aku. Rambutnya hitam panjang seperti sabut,
wajahnya bundar, dan ia mengenakan kimono biru bergambar bunga krisan putih
besar. Ayah dan ibuku mematung saat ia keluar dari kamarku. Di pojok,
orang-orang di televisi terus mengoceh tentang cuaca dan politik, namun ayah
dan ibuku hening sementara si gadis hantu berjingkat-jingkat melintasi ruangan,
seolah-olah mereka tidak hendak menakut-nakuti dia.
Ha.
Berusaha tidak menakuti yang menakutkan.
Aku menahan napas sementara si gadis hantu berlutut di sampingku di meja. Kami semua mengamati dia namun pura-puranya tidak, sebagaimana lazimnya dengan orang di kereta. Si gadis hantu duduk dan menatap ruang kosong pada meja hingga ayahku menyenggol ibuku.
“Mangkuk,”
bisiknya. “Ambil mangkuk.”
Ibuku
sedikit membentur meja saat ia berdiri dan tergopoh-gopoh ke dapur. Secepatnya
ia kembali bersama semangkuk nasi serta sepasang sumpit, namun begitu menyadari
bahwa ia mesti mendekati si gadis hantu untuk meletakkannya, ia ragu. Ayahku
mengangguk tak sabar kepada ibuku agar melakukannya. Perlahan-lahan sekali,
ibuku pun meletakkan mangkuk di depan si hantu, seakan-akan gadis itu bisa saja
hendak menjangkau dan menyergap dia.
Si
gadis hantu mengangguk tanda terima kasih tanpa mengangkat wajah kemudian
menyodokkan nasi ke mulutnya seperti yang belum makan berminggu-minggu.
Ibuku
membawakan dia semangkuk lagi, dan lagi. Kami sendiri tidak makan. Kami cuma
mengamati si gadis hantu makan seraya berpura-pura memandangi mangkuk kami
sendiri. Sepertinya tidak seorang pun dari kami bernapas hingga gadis itu memancangkan
sumpitnya ke sisa mangkuk nasinya yang ketiga, membungkukkan badannya sekilas,
lantas bergegas kembali ke kamarku untuk bersembunyi.
“Kalian
lihat?” tanya ibuku. “Kimononya dibelitkan dari kanan ke kiri? Sumpitnya
ditegakkan di nasi?”
“Ya,
ya,” sahut ayahku. “Jelas dia itu hantu. Tapi apa dia zashiki warashi?”
Kejadiannya
dimulai dua minggu lalu. Awalnya peristiwa-peristiwa kecil saja. Bantal-bantal
ditumpuk di sudut. Selimut diempaskan dari tempat tidur. Suatu hari stereoku
mulai memainkan lagu Unicorn Lemon sekencang-kencangnya saat aku pergi,
sehingga tetangga memukuli dinding sampai ibuku menemukan cara untuk mematikannya.
Ibu dan ayah menyalahkanku tentu saja, padahal aku tidak ada di situ.
Kemudian
suatu malam aku terbangun oleh suara terkikih-kikih. Setengah terjaga, setengah
tertidur, dalam gelap aku melihat semua boneka hewanku ditumpuk bersusun satu
demi satu di kaki tempat tidur. Lalu aku melihat dia. Si gadis hantu. Ia
berdiri di pojok sembari tangannya menutupi mulut, terkikih-kikih.
Aku
menjerit. Saking kencangnya aku menjerit, penghuni satu apartemen itu pada
terbangun. Ibu dan ayah berlari menghampiri dan menyalakan lampu kamarku. Kalau
merasa takut, biasanya kita mengira menyalakan lampu bakal mengusir si monster
serta menakut-nakuti segala hantu, tapi dia bergeming di sana saat lampu
menyala, si gadis berambut sabut hitam serta berkimono biru putih. Aku menunjuk
padanya, sambil menjerit-jerit, namun orang tuaku tidak dapat melihat dia.
Belum. Mereka pun marah dan mematikan lampu dan menyuruhku diam dan kembali
tidur, sementara si gadis hantu masih berdiri di sana mengawasiku.
Aku
terjaga sepanjang malam, balik memandanginya.
Orang
tuaku mulai memercayaiku saat ayahku terbangun suatu malam karena merasa ada
benda gaib yang menindih dadanya. Ia berteriak, dan saat aku mengintip ke kamar
orang tuaku aku bisa melihat dia, sedang duduk di atas ayahku seraya
terkikih-kikih. Besok malamnya ibuku menebarkan abu di lantai, seperti cara orang
zaman dulu, katanya, dan paginya ada jejak kaki.
Jejak
kaki itu berasal dari kamarku, tapi bukan dari tempat tidurku.
Ada
hantu di rumah ini, kata ibuku. Sebagaimana yang sudah kusampaikan pada mereka.
Tapi tentu saja mereka tidak ada yang meminta maaf karena tidak memercayaiku.
“Sepertinya
zashiki warashi,” kata ibu. Ia besar di desa yang banyak salju, dan
ibunya suka membacakan dia dan saudari-saudarinya semua cerita yokai
dari Hikayat Tono. “Kalau memang begitu, kita beruntung. Zashiki
warashi membawa keberuntungan ke rumah yang dia pilih.”
Pada
hari si gadis hantu ikut sarapan, ayahku mendapat kejutan besar dipromosikan di
kantor sedang sekolahku memberikan surat bahwa aku akan dipindahkan ke kelas
unggulan tahun depan. Ibuku tak tahan lagi.
“Zashiki
warashi! Pasti itu. Asalkan kita gembira dan menunjukkan rasa hormat, dia
akan tinggal dan membawakan kita keberuntungan. Kita tidak boleh marah-marah,
atau cekcok. Kalau tidak, dia bakal pergi dan kita tidak beruntung lagi.”
Ayah
dan ibuku pun sama-sama memandangku, seakan-akan akulah satu-satunya yang bakal
mengacau.
“Kamu
harus berjanji untuk jaga sikap,” kata ayah. “Demi keluarga.”
“Baiklah,”
kataku. Padahal mereka yang suka ribut tanpa sebab dan menyalahkanku
atas segala-galanya.
Si
gadis hantu ikut sarapan lagi keesokan harinya, dan kali ini ayah dan ibuku
tersenyum terus, yang lebih menyeramkan daripada si gadis hantu yang tinggal di
kamarku. Ibu dan ayahku tidak pernah tersenyum.
“Lihat,
Mayumi,” kata ibuku. “Sepertinya kamu punya teman baru.”
Ayah
mengangguk padaku, bibirnya tertarik memperlihatkan gigi kuningnya yang seperti
rubah, dan aku berusaha sekeras-kerasnya agar tersenyum.
=
Aku sudah berusaha. Aku sungguh-sungguh berusaha.
Aku mengenakan pakaian yang paling sopan. Aku mendengarkan album Unicorn Lemon
baruku setengah kali lebih pelan daripada yang kusuka. Aku mendekam di kamarku
siang malam membaca manga padahal aku bisa saja menongkrong bareng
teman-temanku di terowongan bawah rel stasiun kereta. Semua demi keluarga.
Memang
ada hasilnya. Atau kelihatannya begitu. Promosi besar ayah disertai dengan
kenaikan gaji yang tinggi, sedangkan petak ibu di kebun warga subur ditumbuhi
sayuran padahal punya yang lain pada layu karena panas. Keluarga kami pun
segera saja menjadi yang paling sukses di bangunan apartemen kami, malah
mungkin di seluruh lingkungan pemukiman. Ayah dan ibuku sangat senang.
Kemudian,
suatu pagi, si gadis hantu ikut sarapan sambil mengenakan seragam sekolahku.
Seragam
sekolahku.
Cara
mengenakannya pun berbeda dari aku. Lengan panjangnya ditarik sepenuhnya ke
bawah, yang bukan gayaku sekalipun pada musim dingin, dan bagian atas roknya
pun diulur sehingga menutupi lutut, yang sama sekali bukan gayaku. Pita
lehernya dijalin sempurna melewati lubang pada kerah blus, sedangkan kaus
kakinya ditarik sepenuhnya menutupi betis, alih-alih diturunkan hingga longgar
sebagaimana gayaku.
“Rapinya!”
kata ibuku padanya. Ibu memandang sepintas pakaian yang kukenakan—kaus ketat
Sumo Sumo kuning, rok tule mini merah jambu di atas celana pendek wol
kotak-kotak merah-jambu-putih, serta kaus kaki merah jambu bergambar
kucing-kucing pelangi—lantas mengerutkan bibir. Ia tidak perlu mengungkapkan
pikirannya. Aku sudah pernah mendengarkannya. Gayamu itu seperti pelacur,
Mayumi! Tidak tahu malu! Sebelum kehadiran si zashiki warashi, ia
mengatakannya padaku terang-terangan; sekarang ia menjaga lidahnya.
Demi
keluarga.
“Sudah
dengar tentang Nakayama-san? Kemarin ia diberhentikan tanpa hormat,” kata ayah.
Pak Nakayama tinggal di lantai tiga bangunan apartemen kami dan bekerja
sekantor dengan ayah. “Ada cacat di program basis datanya. Ratusan ribu rekam
medis terbuka ke publik. Kabarnya sudah tersebar. Sekarang tidak akan ada yang
mau mempekerjakan dia.”
“Ah!
Parah sekali,” kata ibu. “Istrinya juga sakit. Dia di opname karena keracunan
makanan. Ibu Wada bilang dia mungkin tidak akan bertahan hidup. Mereka juga
punya anak perempuan seusia kamu, bukan, Mayumi? Siapa namanya?”
“Hotaru,”
kata si gadis hantu. Kami semua menjengit. Ini pertama kalinya ia bicara. Ia
bergeming menatap mangkuknya, sebagaimana sewaktu pertama kali ia ikut kami
sarapan.
“Ya.
Ya, sepertinya itu namanya,” kata ibu.
Kami
pun tidak berkata-kata lagi selama makan. Selesai makan, aku bangkit kembali ke
kamar mau duduk-duduk saja seharian membaca manga seperti biasanya. Si gadis
hantu membantu membereskan sisa makan.
“Ah!
Kamu suka membantu, ya!” kata ibu.
Sepanjang
hari itu sementara aku duduk di kamar sambil mendengarkan musik dan membaca, si
gadis hantu bekerja. Ia mencuci piring. Ia menyapu lantai. Ia menjemur pakaian.
Selesai melakukan segala pekerjaan rumah, ia mengeluarkan buku-buku sekolahku
lalu duduk di meja belajar. Padahal lagi liburan musim panas!
Aku
menyalakan album Unicorn Lemon lalu bersembunyi di balik tumpukan manga di
tempat tidurku.
Saat
ayahku pulang kerja, si gadis hantu membawakannya bir serta memijat kakinya.
“Anak
yang baik sekali!” kata ayah. “Kamu mestinya belajar dari dia,” katanya padaku.
“Hormati orang tua.”
Malam
itu, aku mengecat rambutku jadi merah jambu.
Ayah
dan ibuku memojokkanku di kamar saat mereka melihatnya, sambil berteriak-teriak
padaku.
“Apa-apaan
sih kamu ini?”
“Kamu
mau mempermalukan orang tuamu, ya?”
“Kita
kan sudah bersepakat. Jangan sampai ada masalah. Demi keluarga.”
“Kamu
mau zashiki warashi itu pergi? Kamu mau kita kehilangan berkah?”
“Iya!”
kataku pada mereka. Iya. Aku benci dia!”
Ayahku
mengangkat tangan mau memukulku, namun ia terhenti. Si gadis hantu sedang
mengamati dari ambang pintu. Entah sejak kapan dia di situ, atau sebanyak apa
yang sudah dia dengar. Tidak seorang pun dari kami yang tahu.
“Jangan
cekcok,” bisik ibuku putus asa. “Jangan sampai ada cekcok!”
Ayahku
menurunkan tangannya lalu memperlihatkan senyum palsu bergigi kuningnya.
“Jangan cekcok,” ucapnya. Ia dan ibuku bersama-sama tertunduk keluar dari
kamar.
Si
gadis hantu bergeming di tempatnya sembari memandangku.
Sisa
minggu itu, orang tuaku menghindari bertatapan dengan aku, dan mereka cuma
bicara padaku untuk menyuruh ini itu. Si gadis hantu juga mengabaikanku. Aku
mengira ia marah padaku, atau mengerjaiku, tapi ia berkeliaran di rumah
seakan-seakan aku tidak ada. Setelah beberapa lama, orang tuaku juga tidak lagi
bicara padaku sama sekali. Terserah lah. Aku juga tidak mau bicara sama mereka.
Aku diam saja di kamar, mendengarkan musik, dan membaca majalah. Demi keluarga.
Pada
pagi hari ulang tahunku yang keempat belas, aku hendak sarapan namun hanya
menemukan jatah untuk tiga orang. Hatiku melonjak. Apa si zashiki
warashi itu akhirnya pergi?
“Selamat
pagi!” kata ibuku dengan senyuman palsunya. Itulah kata-kata pertama yang dia
ucapkan padaku setelah berhari-hari.
“”Selamat
pagi,” kata suara di belakangku. Suara si gadis hantu. Kepada dia lah ibuku
tadi berkata, bukan aku. Si gadis hantu berjalan melewatiku dan mengambil
tempatku di meja bersama kedua orang tuaku, dan mereka pun mulai makan.
Tanpa
aku.
Aku
duduk di meja dan memandang kedua orang tuaku, menanti mereka menyadari bahwa
aku belum diberi makan.
“Jangan
kira ayah lupa hari apa ini,” kata ayahku. Ia mengeluarkan kado perak dan emas
ke meja dengan kedua tangannya dan membungkuk. “Selamat ulang tahun!”
Aku
tertegun. Mereka lupa memberiku sarapan, tapi ingat hari ulang tahunku? Aku
menjangkau hadiah itu, namun si gadis hantu menyambar dan membukanya.
“Wadah
bento Monster Island Zero!” serunya. Wadah itu berbentuk seperti
kura-kura di serial animenya, dengan cangkang yang bisa diangkat dan di
bawahnya ada kompartemen-kompartemen. Bagus buat wadah makan siang. Aku
menginginkan wadah yang persis seperti ini sejak tahun ajaran kemarin.
“Hari
ini bukan ulang tahun dia, tapi aku,” aku mengingatkan mereka.
“Nah,
sekarang kamu bisa ganti yang lama,” kata ibu kepada si gadis hantu.
“Wadah
makanku yang lama, maksud ibu,” kataku.
“Terima
kasih! Terima kasih!” ucap si gadis hantu.
“Bukan
apa-apa,” kata ayahku. “Kamu anak perempuan terbaik yang dapat kami harapkan.”
“Aku
anak perempuan kalian!” kataku. Aku menghantamkan tinjuku pada meja, sehingga
mangkuk dan gelas pada bekertak-kertak.
“Kenapa
ini?” tanya ayah. Ia mengulurkan tangan untuk mendiamkan peralatan makan.
“Ada
gempa bumi?” sahut si gadis hantu.
“Kalian
tahu ini bukan gempa bumi!” teriakku. “Aku di sini! Aku lah anak
perempuan kalian, bukan dia!”
“Mungkin
itu tetangga di bawah,” kata ibu. “Mereka selalu bertengkar.”
“Kenapa
sih kalian ini?” tanyaku. “Apa aku lagi dihukum?”
Ayahku
berdiri. “Malam ini aku lembur lagi di kantor. Wakil direktur memintaku untuk
lembur bersama dia, menyiapkan konferensi. Sepertinya dia merencanakan agar aku
jadi penggantinya saat ia pensiun.”
“Ah,
beruntung sekali,” kata ibuku. Ia tersenyum kepada si gadis hantu, kemudian
mereka bangkit mengantar ayahku ke pintu.
Aku
pergi ke kamar dan menyalakan stereoku sekencang-kencangnya, meledakkan Unicorn
Lemon sekeras mungkin sehingga patung-patung mainanku pada bergetar di rak. Ibu
dan si gadis bergegas masuk.
“Nah!
Kalian tidak bisa mengabaikanku sekarang!” kataku. Aku berdiri tepat di depan
tombol-tombol pengaturan. Mereka harus bicara padaku atau menggeserku untuk
mematikannya.
Alih-alih
ibu berjalan menembusku.
Rasanya
seperti melangkah masuk ke spa air dingin sehabis berendam di onsen. Aku
bergidik dan terhuyung-huyung, kulitku tertusuk oleh tegaknya bulu roma. Ibuku
pastilah merasakannya juga. Ia menggigil dan menarik yukata-nya hingga
menutupi leher.
“Ah!
Anginnya dingin! Pasti mau ada badai,” ucapnya.
Si
gadis hantu mematikan stereo, sehingga ruangan mendadak hening. Aku menatap
kedua tangan dan lenganku, heran bagaimana ibuku bisa lewat menembusku. Aku
merasa seperti sedang bermimpi.
“Kok
bisa musiknya nyala padahal kamu tidak sedang di dalam?” tanya ibuku.
“Enggak
tahu,” kata si gadis hantu. “Mungkin stereonya rusak. Dijual saja besok.
Soalnya ganggu belajar.”
“Anak
baik,” ucap ibuku. Ia mengecup dahi si gadis hantu. “Selamat ulang tahun,
Mayumi.”
Aku
mundur sampai menabrak pojok kamar lantas menggelongsor ke lantai. Ia
menyebut gadis hantu itu Mayumi. Padahal aku Mayumi.
Benarkah?
Si
gadis hantu naik ke tempat tidurku bersama setumpuk manga. Ia membuka salah
satunya lalu mulai membaca. Entah berapa lama aku memandang dia sampai akhirnya
ia merasakan tatapanku padanya dan mengangkat kepala.
“Eh,
kamu masih di sini?” kata si gadis hantu. “Pergi sana. Pergi. Kamu tidak
diterima di sini.”
Malam
itu, ibu membiarkan pintu depan terbuka selagi menurunkan sampah dan barang
daur ulang ke bawah untuk dikumpulkan, sementara aku menyelinap keluar bersama hal-hal
lain yang tidak diinginkan keluargaku lagi.
=
Kejadiannya dimulai pada musim gugur setelah Yumiko
kembali bersekolah, dan berupa peristiwa-peristiwa kecil. Manga Yumiko
tertumpuk menjulang setinggi badannya. Dasi ayahnya semua tersimpul sendiri.
Tiap sepatu dikeluarkan dari lemari dekat pintu depan dan dijejalkan ke kandang
kucing. Pada awalnya Yumiko yang disalahkan—usianya hampir tiga belas tahun,
tapi orang tuanya masih suka menyalahkan dia untuk segala hal—namun
segera saja ternyata tidak mungkin dia yang melakukan semua itu.
“Sepertinya
zashiki warashi,” kata ayah Yumiko. “Tapi kita harus memastikannya.”
Neneknya pernah menebarkan abu di lantai untuk menangkap basah yokai,
cerita si ayah. Mereka hanya punya tepung, tapi ampuh juga. Keesokan paginya
tampak jejak kaki melintasi dalam rumah. Asalnya dari lemari Yumiko.
Zashiki
warashi itu pertanda baik, kata ayah Yumiko. Saat zashiki warashi
ikut tinggal bersama kita, nasib baik akan menghampiri seluruh rumah. Memang
sudah ada keberuntungan terjadi. Yumiko berhasil masuk tim sepak bola di
sekolah karena ada anak lain yang kakinya patah, sementara ibunya sukses
menjual enam lukisan ke sebuah galeri di Shibuya.
“Tapi
kita harus selalu harmonis,” ayah menerangkan. “Kalau kita bertengkar atau
mengeluh atau marah-marah, zashiki warashi akan pergi, sehingga
keberuntungan kita bakal jadi kesialan.”
“Itu
artinya tidak boleh curi-curi main papan luncur di luar sama teman-temanmu,”
kata ibu pada Yumiko. “Dan tidak boleh membantah perkataan guru lagi.”
“Demi
keluarga,” kata ayah.
“Baiklah,”
ujar Yumiko. Dia akan berusaha. Demi keluarga.
Keesokan
paginya, si gadis hantu ikut sarapan. Usia dan ukuran tubuhnya kurang lebih
sama dengan Yumiko, dan ia mengenakan kimono biru putih. Dan apa itu yang merah
jambu pada rambutnya? Ayah dan ibu Yumiko mematung, terbelah antara
berpura-pura tidak mengindahkan si gadis hantu dan tidak hendak menyinggung
dia. Akhirnya ibu Yumiko meletakkan semangkuk sup miso di depan dia, dan gadis
hantu itu pun menyeruputnya seperti yang belum makan berminggu-minggu.
“Lihat,
Yumiko,” kata ibunya. “Tampaknya kamu punya teman baru."
Ayah
dan ibu Yumiko memasang senyuman lebar yang palsu, berpura-pura gembira.
“Oh!
Sudah dengar tentang keluarga Aoki di lantai lima?” kata ayah. “Aoki-san mabuk
terus sekarang, tidurnya pun di taman. Katanya satu pagi dia ketiduran,
sehingga gagal membawakan presentasi bosnya di konferensi besar. Ia
diberhentikan tanpa hormat.”
“Menyedihkan
sekali,” kata ibu Yumiko. “Aku juga dengar istrinya tersandung tanaman anggur
petaknya di kebun warga sehingga lehernya patah. Sungguh ironis! Padahal
tadinya punya dia satu-satunya yang tumbuh waktu cuaca panas.”
“Bukannya
mereka punya anak perempuan?” tanya ayah Yumiko. “Sepertinya anaknya
seumuranmu, Yumiko. Siapa, ya, namanya?”
Si
gadis hantu tersenyum, mengejutkan mereka semua. “Namanya,” sahut dia,
“Mayumi.”[]
Alan Gratz mengarang sejumlah buku bagi pembaca muda, termasuk Samurai Shortstop.
Fiksi pendeknya terbit di majalah Metropulse Knoxville, Alfred
Hitchcock’s Mystery Magazine, serta antologi praremaja Half-Minute
Horrors. Ia pernah tinggal dua bulan di Tokyo pada 2010 mengajarkan
penulisan fiksi sejarah di Sekolah Amerika di Jepang. www.alangratz.com
Cerpen ini diterjemahkan dari "The Ghost Who Came to Breakfast" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar