Setelah 36 jam yang menyiksa dengan menebeng kapal angkut, akhirnya kami
mencapai Roatan, pulau surga di Honduras. Kami memenuhi kebutuhan hidup
sebagian besar dengan roti putih dan ayam tumbuk, makanan yang sepertinya
dimakan warga setempat setiap hari. Entah aku habis mengunyah makanan yang
tidak layak atau perutku saja yang tidak cocok dengan diet yang tak sehat ini.[1] Perutku bergeluduk seperti mesin pengering pakaian, seakan-akan menjerit minta
sayuran hijau. Tidak sempat. Seperti orang bilang, pengemis tidak bisa jadi
pemilih.
Kami menebeng mengitari pulau itu dan berangan-angan menyelam di perairan
berwarna pirus. Tapi kali ini itu tetaplah angan-angan. Diare parah menyerang
dan menguras energiku. Aku tidak bisa beraktivitas. Cuma istirahat, istirahat,
dan istirahat.
Selama beberapa hari, aku mengerang kesakitan, minum banyak air, dan
berusaha supaya tidak kena dehidrasi karena panas. Kami menghabiskan satu malam
di stasiun pemadam kebakaran setempat. Makan malam, mandi, dan tidur di ruangan
ber-AC agak menyegarkan setelah bermalam-malam di luar, tapi kesakitan fisik
itu menetap.
Aku sudah terbiasa dengan diare yang sesekali dialami pengembara, dan aku tahu pada suatu waktu ini akan berhenti. Tapi, kali ini,
sakitnya benar-benar parah dan aku perlu mendapatkan solusi. Teman
seperjalananku yang kusayangi menanyakan kalau-kalau ia boleh menggunakan
beberapa dolar miliknya untuk membeli obat. Atau akankah itu melanggar
prinsipku? Aku terlalu lemah untuk menolak.
Aku berbaring di pantai, tanpa daya, sementara ia pergi mencari obat. Ia
mendapatkannya di pusat informasi turis, di bawah konter. Kami tidak tahu obat
apa itu, tapi aku telan saja dengan beberapa sendok bubur gandum lalu tidur.
Paginya, aku merasa agak membaik. Aku buang air besar di kamar mandi
sebuah pujasera. Masih cairan berbau busuk. Aku hendak bangkit dari dudukan
toilet saat jantungku benar-benar berhenti berdegup dan kakiku tak dapat
menopangku. Aku jatuh ke lantai, seraya memegangi dadaku dan megap-megap.
Serangan jantung ringan, sepertinya.
Ini buruk. Dengan ketakutan, aku cuma bernapas di lantai selama 20 menit
sebelum aku berani bangun. Air mata mengaliri pipiku saat aku menyadari betapa
bisa saja aku tadi mati, jauh dari orang-orang paling penting dalam hidupku.
Aku berusaha merasionalisasi peristiwa barusan. Satu-satunya kambing hitam
yang dapat kupikirkan adalah tiga dekade kebiasaan hidup tidak sehat, tidak
memprioritaskan kesehatanku, serta obat mencurigakan semalam.
Aku bertahan hidup tapi merutuki kelemahanku: kenapa aku mencari jalan
keluar yang mudah alih-alih menunggu penderitaan itu berhenti dengan
sendirinya?
Tips untuk
kesehatan dan keselamatan:
Sedikit Keselamatan: Meminta Bantuan tanpa Malu
Dinding Penyelamat: Kepercayaan adalah Asuransi Terbaik Kita
Keselamatan Sepenuhnya: Menerima Kematian
[1] Baru bertahun-tahun
kemudian saya mengetahui bahwa saya ada semacam alergi gandum atau intoleransi
gluten. Ini juga semestinya tidak akan terus terjadi.
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar