Sepanjang perjalanan saya, orang-orang terus menanyai saya: “Sudahkah kamu menonton film Into the Wild? Kamu mengingatkan saya pada orang itu, Alexander Supertramp.” Sebelum menonton film itu, saya tidak tahu maksud mereka. Film itu berdasarkan pada kisah nyata Christopher McCandless, lulusan kampus bisnis yang memencil ke alam liar untuk mencari pemahaman akan kehidupan. “Kebahagiaan baru nyata bila dibagi,” katanya. Kutipan itu masih saya camkan baik.
Kita adalah binatang sosial yang semestinya tidak lepas dari umat manusia lainnya, betapapun mungkin acap kali terlihat berbelit-belit oleh kita. Kita membutuhkan satu sama lain, rasa saling memiliki, sebagaimana halnya kita butuh makanan, air, kehangatan, dan naungan untuk tetap hidup.
Saya tidak pernah hendak mengasingkan diri dari orang lain dan menjadi pertapa yang ketus. Ketika saya melepaskan uang, prinsip-prinsip tolol saya memang menggiring saya pada tempat yang agak terpencil, secara emosial. Kadang-kadang sulit merasa sebagai bagian dari masyarakat selebihnya. Orang-orang lain sepertinya berjalan dari sudut pandang yang sangat berbeda dan sering kali melelahkan harus menjelaskan tentang diri saya berkali-kali.
Bagaimana pandangan orang lain terhadap gaya hidupmu yang tanpa uang? Bagaimana tanggapan orang tuamu? Bagaimana pendapat teman-temanmu? Bagaimana dengan keluarga masa depanmu; memangnya kamu tidak mau punya anak? Tidak terhitung berapa kali saya mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Anehnya, para kenalan baru hampir tidak pernah menanyakan sisi lainnya yang ada pada identitas saya ketimbang fakta kecil bahwa saya menolak menggunakan uang.
Orang senang sekali memberikan label pada diri mereka sendiri dan juga satu sama lain, kemudian terkotak-kotakkan dalam kategori sempit lagi membatasi. Acap kali saya pun tak terkecuali. Terlepas dari betapa banyaknya saya berusaha merefleksikan diri dan menghindarkan perjalanan tanpa uang saya menjadi pelancongan ego, boleh jadi saya mendapatkan kepuasan aneh dari merasa berbeda, bahkan unik.
Pada awal 2014 saya mulai merasakan bahwa saya tidak lagi memperoleh pelajaran hidup baru dari jalanan dan bahwa saya tidak dapat menggunakan potensi saya sepenuhnya bagi kepentingan orang lain. Saya berhenti menyebut diri saya sebagai pengembara tanpa uang. Tapi baru nantinya pada tahun itu, setelah sekali lagi mencoba hidup di jalan dan mengacaukan hubungan menjanjikan lainnya, saya menyadari bahwa saya benar-benar harus menyudahi sprint dalam perjalanan hidup saya ini.
Meskipun begitu, lewat kehidupan tanpa uang saya berhasil untuk terhubung kembali dengan sifat sejati kemanusiaan. Ketika tidak ada alat pertukaran di antara kita, orang di balik meja kasir berhenti menjadi sekadar robot pelayan dan Anda tidak lagi dilabeli sebagai konsumen pasif. Kalian berdua hanyalah manusia. Tahu-tahu, begitu saja ada kesempatan untuk terhubung, sebagai orang yang berbagi harapan, impian, kebutuhan, aspirasi, bahkan ketakutan yang serupa—bagaimanapun kisah hidup ataupun latar belakang Anda. Inilah sejatinya empati. Inilah yang menghubungkan kita. Ini menciptakan rasa saling memiliki yang sejati.
Di bab selanjutnya kita menelusuri hubungan yang dimiliki orang tanpa uang dan berusaha untuk memahami berbagai hal pada taraf yang lebih mendalam lagi. Prasangka apakah yang mungkin dihadapi orang tanpa uang? Bagaimana cara berurusan dengan orang lain? Bagaimana cara mengelola ekspektasi dan norma yang bertentangan? Apa saja dampak dari keputusan untuk hidup tanpa uang pada hubungan romantis, seks dan kasih sayang? Kesulitan macam apa saja yang bisa diantisipasi? Bagaimana kemungkinannya untuk terus mengembangkan diri dan berhubungan dengan orang lain?
Mari kita kumpul dan merasa baik-baik saja!
Teks asli dalam bahasa
Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar