Seperti
yang sudah dikatakan, sebagian besar emosi dan kebiasaan negatif terbit dari
rasa takut. Dan rasa takut paling melumpuhkan yang kita miliki adalah rasa
takut akan kematian. Semakin kita membiarkan takut menuntun kehidupan kita,
semakin tidak bebas kita karenanya. Takut mencegah kita dari mengalami
kehidupan, melihatnya sebagaimana adanya, suatu petualangan yang
menggembirakan. Albert menceritakan bagaimana ia tiba pada kesadaran ini pada
perjalanan pertama dia ke luar negeri saat berusia 15 tahun:
“Karena kehabisan
uang, saya belajar menebeng dan mulai tidur di taman serta pantai. Saya
mendapati bahwa saya tidak perlu uang untuk bepergian. Saya memahami jauh di
lubuk hati bahwa saya sanggup menghabiskan sisa hidup saya dengan mengembara dan saya tidak akan memerlukan uang untuk melakukannya, bahwa hidup saya
dapat menjadi petualangan tanpa akhir jika memang saya mengharapkan demikian.
Saat itu merupakan salah satu momen paling membahagiakan dalam hidup saya.”
Albert
yang kini berusia dua puluhan tahun telah menulis dua buku, membuat sebuah film
dokumenter[1], dan
mengunjungi lebih dari sekitar 80 negara. Kelihatannya tidak akan
ada penghabisannya. Ia bertujuan untuk memaksimalkan kebahagiaannya. Rupanya
kuncinya adalah menerima ketidakpastian serta mensyukuri apa yang dimiliki,
tanpa rasa takut mengalami kehidupan sebagaimana adanya:
“Saya senang saja tidak mengetahui di mana saya tidur nanti, apakah saya
akan kedinginan atau tidak, serta di mana saya akan makan. Setelah lima hari
tidur di jalan, saya mendapati bahwa saya sungguh-sungguh bahagia hanya karena
malam ini saya dapat tidur di kasur. Kalau saya tidur di kasur yang sama setiap
hari, setelah sebulan saya akan kurang merasa bersyukur sehingga tidak merasa
bahagia lagi. Rasanya akan menjadi biasa-biasa saja.
“Tujuan yang sebenarnya mengendalikan hidup saya adalah untuk mengalami
kebahagiaan semaksimal mungkin sebelum waktu saya habis dan saya mati. Karena
itulah, saya tidak bisa merasa puas bila saya sekadar berusaha untuk
menyesuaikan diri dan bertahan hidup dalam masyarakat tertentu. Saya merasakan
dorongan untuk menjelajah dan menyelidiki, untuk berpikir dan menimbang, untuk
memahami dan menemukan sebanyak-banyaknya cara hidup selagi saya bisa, demi
mendapatkan cara terbaik yang cocok dengan saya dan paling membahagiakan saya,
berdasarkan setiap aspek keadaan hidup saya, mengingat karakteristik saya yang
khas.
“Mudah-mudahan ini tidak terdengar egois atau mementingkan diri sendiri.
Justru sebaliknya! Kehidupan standar yang dianjurkan masyarakat kita bagi saya
tampak jauh lebih individualis dan egois, kurang rasa kebersamaan daripada yang
telah saya dapati optimal bagi kebahagiaan saya sendiri.
“Mencari kebahagiaan yang sebesar mungkin telah menggiring saya untuk
mencintai seluruh dunia, untuk memberikan semua uang saya ke badan amal, untuk
hidup dalam kebersamaan dan berbagi segalanya dengan kawan-kawan saya—segalanya
mulai dari kesenangan-kesenangan yang terbesar bagi saya hingga ke hal
remeh-temeh paling tidak berarti seperti pakaian atau sedikit bawaan yang
kebetulan saya miliki.
“Saya percaya bahwa, bagi kebanyakan orang, secara sadar mencari
kebahagiaan maksimal tidaklah membawa pada kehidupan yang egosentris tapi,
justru sebaliknya, untuk lebih memahami dan menghargai dunia serta orang-orang
di sekitarnya, untuk mengalami keindahan Bumi, kenyataan, serta segala makhluk
yang merupakan bagian dari padanya.”
Pemikiran
semacam ini tidak diperuntukkan hanya bagi beberapa nomad dan penebeng yang
beruntung. Siapa pun dapat mendekati kehidupan dengan sikap penuh rasa percaya
dan keingintahuan. Bukan berarti Anda mesti menjadi orang dungu bermata biru
lagi mudah tertipu yang mudah dimanfaatkan. Bukan. Anda mesti mempertahankan
baik hak Anda sendiri maupun hak orang lain. Namun cara terbaik untuk
memperoleh kepercayaan adalah dengan memberikan kepercayaan. Dan cara terbaik
untuk memperoleh kembali serta mempertahankan keingintahuan ala kanak-kanak adalah dengan
menjadi melit, pergi ke luar sana, dan melihat apa yang ditawarkan dunia kepada
Anda.
Apakah
Anda masih merasa ada yang menahan Anda? Adakah sederet alasan yang mencegah
Anda mengejar mimpi? Apakah Anda punya anak-anak? Apakah Anda lahir di negara
yang salah? Apakah Anda punya utang? Adakah penyakit yang membuat Anda mandek?
Apakah tubuh Anda terlalu lemah?
Keluarkanlah
semuanya! Tulislah tiga alasan terbesar Anda:
1.
_______________________________________________
2.
_______________________________________________
3.
_______________________________________________
Nah, ada
sedikit tentang Albert Casals yang belum saya sampaikan pada Anda. Ia telah
bepergian melewati rimba, pegunungan, gurun, pantai, salju, dan hutan. Sebagai
contoh, sewaktu di pulau Santorini, ia mendaki 588 anak tangga sendiri, padahal
ia berkursi roda. Benar. Ia tidak takut mengembara sekalipun tanpa uang, dan
meskipun ia tidak mampu menggunakan kedua kakinya akibat kemoterapi yang
diterimanya sewaktu masih kecil. Albert merupakan orang paling bahagia, hangat,
dan menginspirasi yang saya kenal. Ia tidak mau menjadikan disabilitas sebagian
tubuhnya sebagai alasan dan tidak ingin orang-orang mengasihani dia:
“Saya telah
berkelana di bak belakang truk. Saya telah memanjat derek serta bangunan
telantar. Kasus saya sesungguhnya tidak begitu representatif, sejauh menyangkut
mobilitas penyandang cacat, sebab saya punya kekuatan penuh di atas pinggang
dan saya berkesempatan belajar cara memanjat serta melakukan segala macam trik
untuk membawa kursi roda saya ke mana-mana.”
Memang,
salah mengatakan bahwa Albert menggunakan kursi roda. Bukan, kursi roda itu
ikut saja bersama dia. Albert sudah hampir mati berkali-kali.
Ia pernah
terperangkap dalam kastel telantar di Skotlandia pada musim dingin.
Ia pernah
tidak bisa tidur akibat topan selama musim hujan di Thailand.
Ia pernah
terjatuh di perairan yang berbadai saat menebeng kapal motor milik penyelundup
yang menghindari polisi untuk menyeberangi Celah Darien di antara Kolombia dan
Panama.
Seekor
serangga menggigit dia di Indonesia dan dia hampir mati akibat reaksi alergi.
Ia pernah
jatuh dari atas truk yang bergerak dan meluncur turun dari bukit setinggi empat
puluh meter.
Setelah
semua ini, takutkah dia? Apa pendapat Albert soal kematian? Ia menyimpulkan:
“Satu-satunya hal
yang benar-benar saya tidak sukai adalah mati. Biasanya begitu menyadari bahwa
saya bisa saja mati, sudah terlambat untuk merasa takut, atau saya tengah
terlalu repot berusaha menghindari kematian.”
Meski
kedengarannya suram, merenungkan kematian setiap hari merupakan latihan
spiritual yang mendalam. Apakah yang Anda ingin orang-orang katakan
tentang Anda di pemakaman Anda? Bagaimanakah Anda ingin dikenang? Bagaimanakah
sikap Anda terhadap kematian? Sudahkah Anda menjadi orang yang selalu Anda
inginkan? Sudahkah Anda memastikan bahwa hubungan Anda bebas dari dendam yang
tak perlu, sehinga Anda tidak akan menyesali apa pun di pembaringan terakhir?
Apakah yang Anda syukuri?
Bahaslah
hal-hal ini bersama orang-orang terkasih Anda, atau kalau mau tuliskanlah
pemikiran Anda. Kalau Anda menemukan ada hal yang mesti diperbaiki, barangkali
sekaranglah waktu terbaik untuk melakukannya. Menunggu tak ada gunanya bagi
siapa-siapa.
Saya
pernah menonton film dokumenter berisi wawancara dengan orang-orang yang
berusia 100 tahun atau lebih. Dari sekitar selusin lansia itu semuanya tinggal
menunggu mati kecuali satu orang. Satu orang yang tidak terburu-buru ingin
keluar dari dunia ini masih menjalani kehidupan sepenuhnya, bermain musik,
menikmati perempuan dan anggur. Bagi dia, kehidupan adalah petualangan.
Pastikan Anda ingat untuk hidup sebelum Anda mati.
Lebih baik
mempertahankan kegembiraan dan keingintahuan seperti anak kecil atau
menghindari risiko sama sekali dan berjuang untuk menunda kematian yang pada
akhirnya datang juga? Tidak ada yang luar biasa soal kematian. Itu terjadi pada
siapa saja. Proses yang disebut kematian itu dimulai begitu Anda lahir. Itu
berarti penurunan tubuh Anda dan tidak ada hubungannya dengan diri Anda yang
lebih tinggi, jiwa dan ruh Anda. Kematian sama alamiahnya dengan kelahiran dan
di beberapa kebudayaan keduanya masih dirayakan.
Tapi apa
yang terjadi setelah mati? Kebahagiaan murni ataukah kutukan abadi? Kenangan
Anda mengabur dan, pada taraf tertentu, masa lalu bukanlah apa-apa melainkan
hanya kilasan khayal, kisah yang Anda bangun demi hiburan sendiri. Di sisi
lain, masa depan belum terjadi. Kecuali saat ini. Dan sekarang. Dan kini. Maka,
pentingkah yang terjadi sesudah mati apabila satu-satunya saat yang
dapat Anda sebut kenyataan terjadi saat ini juga?
Tidak ada
sesuatu pun di alam semesta ini yang mati. Energi sekadar bertransformasi,
berubah bentuk. Asal tahu saja, pemikiran ini bukan soal metafisika. Ini murni
sains. Kalau Anda lebih suka pendekatan metafisika, apakah kemungkinannya malah
sementara jasad fisik Anda berkelana “di bawah sana” diri Anda yang lebih tinggi
sudah berada “di atas sana”? Bagaimanapun juga, buat apa takut mati jika sedari
mula tidak ada kematian?
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar