Aku melihat
Mbok P sewaktu melewati supermarket, larut dalam percakapan dengan seorang
wanita bertampang asing. Wanita itu mengenakan kartu pengenal dan menjual
majalah. “Anak-anak saya ada di satu kamar yang sempit,” ucapnya, “di atas toko
jagal, kami bayar terus, dan ketika dia bilang, oh, ada polisi, masalah nih,
kami bayar lagi--“ Kututupi wajahku dengan tangan dan menyelinap di dekat
mereka, sambil bernapas pendek-pendek yang serasa menusuk-nusuk. Apa yang
tengah terjadi? Apa yang mereka maksudkan dengan penyimpangan-penyimpangan itu?
Mungkinkah persoalannya begitu rumit sampai-sampai mereka tidak bisa mulai
membereskannya? Sebab bagiku tampaknya jelas-jelas saja; pemecahannya ada pada
Ayah, ia punya aset, uangnya ada banyak, harusnya ada-- Dengan terengah-engah,
aku bersandar pada pilar Korinthos imitasi, dibanjiri bayang-bayang mengerikan:
gerombolan orang bersetelan biru hasil jahitan mesin meruah ke rumah,
merobohkannya dengan mata Golem mereka yang tak bernyawa, membangunnya kembali
sebagai aparthotel mewah, kompleks rekreasi, lubang kedelapan belas untuk
lapangan golf lintas-kota ....
Toh tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Kulepaskan diriku dari pilar dan,
setelah memutuskan mudah-mudahan berjalan pulang menenangkanku, aku menuju
Jalan Ballinclea dan melewati gerbang besi Taman Bukit Killiney. Tetapi
bukannya menenangkanku, jalan itu--jalanku,
yang telah kutapaki seribu kali--tampak bergulir menjauh dari diriku dengan
acuh tak acuhnya. Pepohonan dibungkukkan angin bagai orang-orang tua dengan
kepala yang berguncang-guncang menuduh. Burung-burung menciut-ciut dan
mendengking seolah-olah membunyikan tanda bahaya. Dan gemunung, langit,
sesemakan nan gelap, laut biru keabuan yang bergulung-gulung, mereka tetap
terbenam dalam mendungnya senja, menyembunyikan keindahannya dari diriku seakan
aku ini pelintas yang tak berarti.
Seketika
hujan mulai turun, dan sesampai di Amaurot sekujur tubuhku basah kuyup. Selagi
mendaki jalan di halaman, tirai hujan bergeser menampakkan rumahku. Sudah
terasakan saja bebannya di pundakku. “Aku tidak bisa melakukannya!” batinku
berbisik. “Kau terlalu berat!” Dan rumah itu pun, semakin aku mendekat, semakin
mundur jauhnya dalam hujan.
Kini hujan
menderas. Aku masuk ke dapur mencari handuk. Dari jendela kulihat Mbok P
berjalan menuju tali jemuran, menyusup hati-hati ke bawah naungan Folly, dengan
sekeranjang cucian. Sembari menutupi kepalaku dengan majalah teater milik Bel,
aku keluar mengejarnya. "Mbok mau apa?” Mbok P terpaku. Pundaknya melonjak hingga
ke leher. “Sini keranjangnya,” ucapku, seraya memegang benda itu. “Jangan
menjemur pakaian saat hujan.” Ia menyerahkan keranjang itu tanpa berkata-kata.
Kuamati isinya--selimut, handuk, seprai, dan lagi-lagi celana kolor yang
mengerikan itu, yang ukurannya menimbulkan rasa takut dan misteri--semuanya
sudah kering dan disetrika. “Masuklah,” titahku keras. Mbok P memandang
seakan-akan mau menangis. “Masuk dan tidurlah. Mbok lagi sakit. Mbok jangan dulu
bekerja sampai ada dokter dipanggil.”
Lalu ia
mulai menangis. Kuletakkan keranjang itu di tanah dan menuntun Mbok P kembali ke
rumah sembari menggandeng lengannya. Ia terus saja tersedu-sedu dan selagi kami
melangkahi rumput yang basah aku benar-benar merasa seperti menuntun tahanan ke
tiang gantungan. Di dapur aku mendudukkan dirinya dan membuatkan teh.
“Ada masalah apa?” pintaku. “Ada masalah apa denganmu?” Tetapi ia cuma
mengibas-ngibaskan tangan di hadapan wajahnya, lantas mencucurkan air mata lagi.
Aku berdiri
di wastafel dan memandang pada hujan serta langit, yang sama redupnya dengan
bata penyusun menara. Mendadak aku merasa tercekik, seperti sewaktu di bank.
“Aku perlu berpikir,” ucapku, seraya hendak membuka pintu belakang. “Mbok bisa pergi dan beristirahat?”
Mbok P
terlihat seperti belum tidur berminggu-minggu, namun ia melonjak dan menarikku
dari pintu. “Tolong, Tuan Charles, janganlah kembali keluar!”
“Aku harus
mengambil keranjangnya,” ucapku. “Pakaiannya jadi basah.”
Namun ia
tak mendengar. “Hujan,” ujarnya terus-terusan, “Tuan masuk angin.”
“Baiklah,
baiklah ...” sembari duduk lagi di meja dapur. “Senang?”
“Bagus.” Ia
menyeka pipinya dan berlagak ceria lagi. “Nah, segalanya baik-baik saja. Kita
di sini, aman dan kering. Saya buatkan cokelat hangat dan Tuan menonton
televisi, ya?”
Sayang
sekali, aku tak mampu membujuk Mbok P merebahkan diri hingga ia menempatkanku di
kursi malas, beserta secangkir cokelat yang diletakkan di lantai tempat meja
semula berada. Kebetulan, ada film sedang tayang: The Killers, atau A Man Alone,
si kawakan nan tampan Burt Lancaster dibunuh oleh Ava Gardner yang khianat
dalam kilas balik yang semakin berkembang. Kuturunkan kepalaku pelan-pelan ke
belakang dan berusaha membenamkan diriku ke alam tersebut, apartemen kosong nan
gelap tempat Lancaster duduk dan merokok, menanti kedatangan para pembunuh.
Tetapi aku tak bisa melakukannya. Aku memikirkan hipotek yang absurd itu,
percakapan melelahkan dengan si pegawai bank. Bagiku rasanya semua itu entah
bagaimana kembali pada Frank: bahwa setelah bertahun-tahun ini, segala
pertahanan Ayah, sebutir sel kecil kanker kenyataan akhirnya terlincir jua; dan
kini bermetastasis tanpa terelakkan.
Sejam
kemudian Bel dan Frank masuk disertai ribut-ribut. Frank memegangi rahangnya.
Memar ungu besar menyebar di sekujurnya. Bel mereweli Frank, membawakannya obat
merah serta kapas dari kamar mandi.
“Ada apa?”
tanyaku.
“Uh ugh,”
gumam Frank, “gigan alan.”
“Si
bajingan itu,” adikku menerjemahkan. “Kamu ingat, Charles, si bajingan di pub
waktu itu?”
Ingat?
Wajah pucat menjendul bajingan itu telah tertanam dalam mimpi burukku
belakangan ini. Bel menjelaskan bahwa bajingan itu dan rekannya mengikuti Frank
pulang dari tempat kerja lalu menyergapnya dalam perjalanan menjumpai adikku.
Malah, seandainya si tukang pos tidak meronda lebih telat daripada biasa, Frank
mungkin akan lebih celaka. Karena itulah, Bel terpaksa membawa Frank ke Unit
Rawat Jalan supaya rusuknya dibalut.
“Agu hagu
haga gingan guh,” sergah Frank, berusaha bangkit dari kursi, “gah gu gegang guh
ga ga gegang.”
Bel
mendorong Frank kembali ke kursinya. “Kamu enggak boleh ke mana-mana,” titahnya.
“Itu bisa nanti. Kondisimu lagi enggak bagus buat menendang kepala siapa pun.”
Bola mata
Frank berputar hingga putih, seperti kuda tumbang. Selama sepersekian detik,
sebelum ketenangan beku si Golem menegakkan dirinya lagi dan Frank kembali
duduk, entah mengapa rasanya seperti memandang cermin. Aku mengenali rasa
kemanusiaan yang terdesak seperti yang menjerit serupa wewe menembus hatiku.
Selama sepersekian detik itu pula aku merasakan simpati pada si makhluk buas
nan malang, dan bertanya-tanya apakah bukannya akan lebih baik jika kita semua
berupa Golem: patuh, teguh, dan tak mempan nyeri.
Kutinggalkan
mereka dan menuju ruang sarapan. Berbagai ancaman dan pemberitahuan masih
tergeletak di sudut meja. Aku pun duduk dan membaca surat-surat itu sampai
habis dengan kegirangan masokis. Pemain utamanya berupa angka-angka: nomor
rekening, tingkat bunga, jumlah yang belum dilunasi, tanggal yang sudah lama
berlalu. Sosok-sosok inilah yang kisahnya berpusar di atas halaman-halaman
berkop; sementara kami disebutkan sambil lalu saja, dalam sudut pandang orang
ketiga, hanya diberi sedikit bagian, peran yang kedengarannya cuma sesaat saja
penampilannya sebagai “penghuni”.
Kubaca
surat yang terakhir. Sewaktu meletakkan surat itu di meja dengan posisinya
menghadap ke bawah, aku mengalami sensasi kekacauan total, seakan-seakan semua
ini terjadi berjuta-juta tahun cahaya jauhnya, di jagat paralel yang
karut-marut. Namun itu digantikan oleh semacam kekinian yang berkobar-kobar, kesadaran yang sureal akan situasi
familier di sekitarku: tirai tebal yang menjuntai lemas, pola pada kertas
dinding yang diam-diam mengoceh, jam bandul antik serta peti teh yang berdiam
tanpa dosa pada bayangan mereka bagaikan bocah lelap yang sebentar lagi menjadi
yatim piatu. Aku merenungkan Amaurot beserta semua rumah besar lainnya,
kebesaran hati mereka yang kini berjuang untuk tetap berdetak diiringi encernya
darah modernitas. Bangunan-bangunan ini didirikan untuk masa yang lebih
sederhana ketika pria memakai topi sementara wanita mengenakan saputangan,
perabot perak dipoles demi menyambut tamu, api menderu di perapian ....
Di lorong,
Frank meracau di telepon, seperti jenderal simpanse yang tengah mengumumkan
situasi darurat. Melalui pintu, tampak Bel duduk menyisi dengan tangan menopang
dagu. Aku menatapnya, dan kembali menatap Frank dan semua pacar Bel sebelum
dia, dan mendadak mendapat firasat akan keputusasaan adikku itu demi menemukan
tempat bagi dirinya di dunia ini.
“Minggu
depan Bunda bakal keluar,” ucap Bel kuyu, sembari melambaikan surat dari
Cedars.
“Bertepatan
dengan waktu pelelangan,” sambil duduk di sampingnya. “Tampaknya itu solusi
yang pas.”
“Wawancara
dengan petugas banknya enggak berhasil?”
“Yah, jadi,
kami membuat beberapa kesepakatan. Tetapi, agaknya mereka kukuh sekali
memperoleh kembali uang mereka.” Televisi menyala dengan suara dipelankan:
dalam bisu roket-roket ditembakkan melintasi gurun yang berguncang. “Mereka
menyatakan bahwa kalau kita bisa bicara dengan akuntan kita, ia mungkin saja
dapat sedikit menguraikan masalah ini.”
“Aku sudah berusaha menemukan akuntan kita. Ia
lenyap dari muka bumi. Lagian dokumen Ayah itu enggak masuk akal. Isinya seperti kode. Di situ enggak ada nama
yang berulang. Aku bahkan enggak tahu kalau itu dokumen yang benar.”
“Kukira
Bunda bakal tahu.”
“Oh Tuhan,” Kedua tangan Bel menutupi
wajahnya, “seramnya melibatkan Bunda dalam persoalan ini ....”
“Yah, akan
ada sesuatu yang muncul.” Kutarik
pelan rambutnya. “Barangkali diam-diam kita punya paman yang kaya raya.”
“Kedengarannya
itu bukan rencana,” ujarnya murung, sambil mencabuti tambalan pada celana
korduroi yang ia kenakan. “Ini mengerikan, Charles. Bahkan sedari pagi ini aku
sudah merasa seperti penyerobot, aku merasa seolah-olah aku tidur di tempat
tidur orang lain, dan makan menggunakan perabot orang lain. Tiap kali aku
menutup pintu suaranya terdengar menggaung
nyaris untuk selama-lamanya. Dan sekarang Bunda akan kembali dan membuat
segalanya tampak akibat kesalahan kita, dan terus mempersoalkan betapa kita
telah mengecewakan Ayah serta membuang-buang hak waris kita dan semua--“
“Ah, kamu
tuh selalu saja terlalu serius menanggapi Bunda ....”
“Pasti
begitu, Charles, begitulah yang dia pikirkan,
enggak ada seorang pun yang cukup layak untuk tinggal di sini, kita semua cuma
kelayapan sejak Ayah meninggal.” Ia melonggarkan seutas benang, mengabaikannya,
lantas menyesap brendi. “Kuharap ini semua bakal benar-benar, benar-benar berakhir. Aku muak sekali menjalani hidupku di bawah perintah rumah tolol ini. Rumah ini mengisap jiwamu, memperbudakmu, begitulah caranya
terus hidup ....”
“Yah, tentu
ini bakal berakhir, Bel, kita akan menemukan solusi, lihat saja.”
“Yang
kumaksud bukan masalah hipotek ini. Yang kumaksud itu, segalanya.” Kedua kakinya
menendang ke depan. “Aku enggak bisa terus-terusan tinggal di sini, Charles.
Aku enggak bisa terus hidup begini. Ini terlalu janggal. Ini bukan hidup, tidakkah kamu mengerti?”
“Hidup,”
sahutku pahit.
“Sebab
sekalipun kita menjual sebagian barang antik kita--mobil edan itu, misalnya,
mengumpulkan debu saja, aku merasa diriku kasihan
mobil itu terkurung di luar sana--maksudku kalau kita mengusahakannya
secara tepat, aku yakin kita bisa melunasi
utang. Tetapi ... tetapi cara semuanya ini berakhir, tidakkah menurutmu
barangkali ini harus terjadi? Sebab
tempat seperti Amaurot tidak seharusnya tetap ada--“ Mendadak ia berhenti, menunduk menatap gelas brendi yang
bergulir di tangan kirinya, seolah-olah dengan sendirinya benda itu merasa
gentar akan pentingnya yang ia ucapkan barusan. Lantas sambil menyapukan tangan
dengan kencang, ia melanjutkan: Rasanya seperti cerita jelek yang tidak mau
berakhir, dan telah berlangsung seperti ini sejak lama sekali--lama sekali sejak permasalahannya jadi masuk akal dan
yang kita perbuat cuma berusaha dan berpura-pura keadaannya tetap sama seperti
sewaktu kita masih kecil. Semestinya hidup enggak terasa seperti
itu, Charles, apalagi ketika kita masih muda. Ayah meninggal, Bunda menggila,
dan sekarang ada ini--rasanya dunia sedang berusaha memberi tahu kita suatu
hal. Lakukan sesuatu, katanya, keluarlah dari sini selagi bisa
....” Tatapannya terangkat, berkeliaran, dan berlabuh pada ornamen
kaca bergambar Actaeon[1], sementara di
baliknya Frank berjalan gontai di lorong. “Dan ini
benar. Mungkin kamu bisa hidup di alam mimpi ini, Charles, tanpa apa-apa, tetapi
aku tidak bisa, tidak lagi.”
Selama
sesaat yang terasa panjang lagi suram, tidak ada yang bisa kukatakan padanya.
Di luar Frank menyalak dan meraungkan rencana pertempuran. Bel duduk meringkuk
di ujung dipan, menatap sedih pada perapian yang padam.
“Pasti
menurunkan semangat, ya,” aku mencoba perlahan, “perusahaan itu menolakmu
begitu ....”
Ia berputar
sengit. “Bagaimana kamu tahu soal itu?” desaknya.
Aku
mengangkat bahu. Aku tidak mau membocorkan tentang mulanya aku berbicara dengan
MacGillycuddy, atau bahwa ia yang memberitahuku soal ini. “Aku tahu saja. Kamu
bisa menceritakan kejadiannya padaku, kalau kamu mau.”
Ia
menyilangkan kedua lengannya di atas lutut dan mencondongkan badan, agak
cemberut. Aku tahu ia ingin bercerita pada seseorang,
walau tidak sepenuhnya senang orang itu aku. “Yah, aku mengikuti audisi dan
mereka benar-benar menyukaiku,” ucapnya, sambil menarik kedua lengannya
tinggi-tinggi mengelilingi badannya seakan-akan ia kedinginan, “dan aku
mendapat panggilan. Baru beberapa hari lalu--ketika kita pergi ke balapan
grehon, pagi itu. Kukira aku akan memperoleh perannya, aku benar-benar
berhasil. Kukira ini akan menjadi kesempatan emas bagiku. Bukan berarti itu
peran yang hebat atau apalah, tetapi hanya sebagai awal, akhirnya--dan lagi ini Chekhov,
Charles, aku paham lakon ini luar dalam. Tetapi lalu hari ini aku mendapat
surat ini ....” Ia terdiam. Ia memalingkan kepalanya, namun aku bisa melihat
setetes air mata berkilau dan bergetar di bola matanya. “Mereka sangat terus
terang, mereka sangat membantu, sungguh ....”
“Jadi
mereka bilang apa?”
“Mereka
bilang bahwa meski secara teknis
pembacaanku sangat baik, mereka khawatir--“ Ia menarik napas gentar,
sedalam-dalamnya, “bahwa itu tidak cukup hidup bagi realitas sosial
kontemporer. Mereka bilang aku tidak memiliki cukup pemahaman terhadap ...
terhadap dunia. Mungkin kamu enggak
berpikir itu penting bagi seorang aktris, Charles, tetapi kamu harus berpikir
demikian, mereka ingin mengeluarkan segala unsur dalam lakon itu yang
menyerupai kehidupan saat ini, kamu mengerti kan, dan menurut mereka aku enggak
mampu melakukannya. Maksudku, mereka benar, sudah terlalu banyak peran untuk putri palsu--“ kalimat terakhir ini
terpuntir pahit seiring air mata akhirnya terlepas mengalir dengan deras
menuruni pipinya. Aku dibiarkannya duduk dan mengamati dirinya, sambil berharap
supaya aku tidak sebegitunya sia-sia dan agar beberapa inci pada dipan yang
memisahkan kami ini tidak terasa bagaikan ribuan mil jauhnya, sehingga
barangkali aku bisa mengatakan sesuatu untuk menenangkan Bel bukannya bangkit, melihat-lihat rak perapian dan memeriksa bunga-bunga yang kering. Aku selalu merasa
gelisah dengan impian orang lain, apalagi ketika itu tidak tercapai.
Audisi:
itulah yang dimaksud MacGillycuddy, yang menjelaskan perbuatan Bel mengunci
diri bersama Frank tiap pagi saat kukira ia sedang memberi orang itu pelajaran
membaca. Malah, barangkali itu menjelaskan soal Frank sendiri. Tidak ada yang
senyata dirinya, dan Bel bukanlah orang yang suka setengah-setengah. Begitu
banyak yang diinginkannya dari dunia ini, saking banyaknya ia ingin dunia mengerti: kalau perlu, ia akan berpaling
dari kehidupannya sendiri demi mewujudkannya--ia akan meledakkan masa lalunya,
ia akan tidur bersama penjahat, berbaring dan memenungkan realisme ....
Dan Chekhov
inilah yang selalu digilai Bel, bahkan sejak masa sekolah ketika mereka
mementaskan salah satu dramanya. Dari berminggu-minggu sebelumnya Bel sudah
berkeliaran di rumah mengenakan kimono peraknya serta membawa-bawa bebungaan
jambon yang besar sekali, sambil terus-menerus menggumamkan dialognya bak
semacam rahib keliling (walhasil malam itu ia benar-benar lupa). Bahkan
sekarang ini, jika kau berbuat kesalahan dengan menanyakan padanya apa hebatnya
Chekhov, Bel akan berpidato panjang lebar tentang bukan saja ia telah menulis
drama yang melukiskan abad kedua puluh, tetapi ia juga dokter dan mengobati
ribuan petani yang menderita tuberkulosis, dan ia mendirikan teater, dan ia
menyokong keluarganya yang pemabuk heboh, dan ia mencintai istrinya walau
perempuan itu berselingkuh, dan terlepas dari apa pun ia benar-benar berhasil menyukai orang dan mendengarkan kisah mereka
dan berusaha jujur pada mereka ....
“Rumah
inilah,” ucapnya kini dengan nada datar yang lamban, seperti Bunda saat suasana
hatinya buruk. “Rumah ini membuatku merasa aku telah usang, seolah-olah selama
aku di sini aku enggak pernah bakal bisa merasa diterima di mana pun ....”
Tahu-tahu ia menatapku dengan raut berkerut-kerut serta ekspresi yang bercampur
antara menuduh dan memohon. “Tidakkah kamu mengerti, Charles? Mungkin lebih baik
bagi kita berdua jika permasalahan dengan bank tidak teratasi. Mungkin kemudian
kita bisa bebas dari tempat ini.”
Aku melongo
menatapnya. Bebas dari tempat ini? Tidakkah ia paham bahwa Amaurot itu
istimewa, bahwa yang kami miliki di sini istimewa? Tidakkah ia tahu bahwa di luar sana segalanya itu
berkekurangan, lebih kecil, lebih keji, dan biasa-biasa saja? Namun ia serius:
dan ia masih menanti jawaban, menjepitku ke dinding dengan tatapan ganjil itu,
seolah tengah menilai hakikat diriku. Lantas,
untunglah, Frank terhuyung masuk, dan aku pun mengambil kesempatan untuk kabur.
Aku menuju lemari minuman dan meracik Scotch dengan soda, yang kuminum dengan
suasana tenang, sambil berlagak mengalihkan perkataan Bel tadi dalam benakku. Sejenak kemudian aku merasa lebih anteng. Aku menurunkan
gelas dari bibirku dan mulai memberitahu Bel secara bijaksana dan berimbang,
bahwa meski audisi kali ini memang mengecewakan, tidak semestinya itu
mengeruhkan pandangannya--bahwa daripada merusuhkan segala hal, kami sebaiknya
mencoba dan menangani bank lebih dulu lalu lihat bagaimana yang kami rasakan
sesudahnya. Namun ia sudah berpaling di tempat duduknya demi mencurahkan
seluruh perhatian pada Frank, yang, lewat perpaduan antara dengkur dan kepakan
tangan, tengah memberi Bel perincian mengenai rencana balas dendamnya. Aku
tidak peduli untuk mencampuri, dan aku tidak perlu Bel menerjemahkannya juga. Entah mengapa omelan buas Frank terdengar begitu lancar: aku
bisa memahami semuanya secara terlalu jelas mengenai jendela yang pecah,
buku-buku jari meluncur cepat, bakar-bakaran. Karena keadaanku sendiri sudah
terguncang, suasananya jadi agak
seperti mau kiamat. Aku mengisi minumanku dan memberi tahu Bel aku akan
bicara padanya nanti. Entah apakah ia mendengarku.
Selagi
menaiki tangga, kurenungkan lagi perkataan Bel tadi. Kukatakan pada diriku
bahwa ia sedang kacau. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah fase
canggung—lagi pula, kehidupan Bel kurang lebih rangkaian fase canggung yang
bersinambungan. Namun dari matanya aku mengerti bahwa masalah audisi ini lebih
dari sekadar kemunduran sementara. Ia bermimpi dalam skala besar, dan ia
menempatkan seluruh dirinya di dalam mimpi itu. Adanya kejadian-kejadian kecil,
kemunduran, menjelma gelombang tinggi yang membanjirinya, mengancam akan
menenggelamkannya. Jika lewat suatu proses pemikiran yang bulat ia sampai pada
kesimpulan bahwa rumah inilah yang menjadi penghalang antara dirinya dan peran
itu—antara dirinya dan masa depan cerah yang ia impikan bagi dirinya
sendiri—maka hampir mustahil membujuknya supaya tetap tinggal.
Tugasku
jelas. Aku harus menemukan suatu cara untuk menyelamatkan Amaurot. Aku harus
menunjukkan pada Bel bahwa cara itu bekerja, bahwa tidak seperti dunia luar
yang goyah dan berubah-ubah, Amaurot akan selalu menjadi perlindungan, tempat
kami dapat hidup sepenuhnya, tempat tahun demi tahun bergerak maju, mundur,
atau diam sesuka kami. Kukatakan pada diriku kulakukan ini demi dia, namun
dalam hati aku tahu bahwa jika ia pergi, aku pun sudah tidak ada harapan. Apa
jadinya Amaurot tanpa dia? Tidak lebih daripada sekadar tempat pengambilan film
yang telantar, dan aku bayangan pudar seorang aktor, yang ditinggalkan setelah
sutradara, penata suara, serta kamerawan berlalu, dan membawakan dialognya
tidak pada seorang pun …. Sambil rebah di tempat tidur dengan gelas wiski
berdiam pada perut, aku merancang strategi demi strategi di langit-langit.
Namun setiap gagasan yang timbul memiliki cacat yang tak mungkin teratasi,
hingga akhirnya tinggal satu yang tersisa, kengerian yang menggentarkanku
hingga es batu dalam gelas bergerincing ….
[1] Tokoh dalam mitologi
Yunani