Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20161218

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Aku melihat Mbok P sewaktu melewati supermarket, larut dalam percakapan dengan seorang wanita bertampang asing. Wanita itu mengenakan kartu pengenal dan menjual majalah. “Anak-anak saya ada di satu kamar yang sempit,” ucapnya, “di atas toko jagal, kami bayar terus, dan ketika dia bilang, oh, ada polisi, masalah nih, kami bayar lagi--“ Kututupi wajahku dengan tangan dan menyelinap di dekat mereka, sambil bernapas pendek-pendek yang serasa menusuk-nusuk. Apa yang tengah terjadi? Apa yang mereka maksudkan dengan penyimpangan-penyimpangan itu? Mungkinkah persoalannya begitu rumit sampai-sampai mereka tidak bisa mulai membereskannya? Sebab bagiku tampaknya jelas-jelas saja; pemecahannya ada pada Ayah, ia punya aset, uangnya ada banyak, harusnya ada-- Dengan terengah-engah, aku bersandar pada pilar Korinthos imitasi, dibanjiri bayang-bayang mengerikan: gerombolan orang bersetelan biru hasil jahitan mesin meruah ke rumah, merobohkannya dengan mata Golem mereka yang tak bernyawa, membangunnya kembali sebagai aparthotel mewah, kompleks rekreasi, lubang kedelapan belas untuk lapangan golf lintas-kota ....

Toh tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Kulepaskan diriku dari pilar dan, setelah memutuskan mudah-mudahan berjalan pulang menenangkanku, aku menuju Jalan Ballinclea dan melewati gerbang besi Taman Bukit Killiney. Tetapi bukannya menenangkanku, jalan itu--jalanku, yang telah kutapaki seribu kali--tampak bergulir menjauh dari diriku dengan acuh tak acuhnya. Pepohonan dibungkukkan angin bagai orang-orang tua dengan kepala yang berguncang-guncang menuduh. Burung-burung menciut-ciut dan mendengking seolah-olah membunyikan tanda bahaya. Dan gemunung, langit, sesemakan nan gelap, laut biru keabuan yang bergulung-gulung, mereka tetap terbenam dalam mendungnya senja, menyembunyikan keindahannya dari diriku seakan aku ini pelintas yang tak berarti.

Seketika hujan mulai turun, dan sesampai di Amaurot sekujur tubuhku basah kuyup. Selagi mendaki jalan di halaman, tirai hujan bergeser menampakkan rumahku. Sudah terasakan saja bebannya di pundakku. “Aku tidak bisa melakukannya!” batinku berbisik. “Kau terlalu berat!” Dan rumah itu pun, semakin aku mendekat, semakin mundur jauhnya dalam hujan.

Kini hujan menderas. Aku masuk ke dapur mencari handuk. Dari jendela kulihat Mbok P berjalan menuju tali jemuran, menyusup hati-hati ke bawah naungan Folly, dengan sekeranjang cucian. Sembari menutupi kepalaku dengan majalah teater milik Bel, aku keluar mengejarnya. "Mbok mau apa?” Mbok P terpaku. Pundaknya melonjak hingga ke leher. “Sini keranjangnya,” ucapku, seraya memegang benda itu. “Jangan menjemur pakaian saat hujan.” Ia menyerahkan keranjang itu tanpa berkata-kata. Kuamati isinya--selimut, handuk, seprai, dan lagi-lagi celana kolor yang mengerikan itu, yang ukurannya menimbulkan rasa takut dan misteri--semuanya sudah kering dan disetrika. “Masuklah,” titahku keras. Mbok P memandang seakan-akan mau menangis. “Masuk dan tidurlah. Mbok lagi sakit. Mbok jangan dulu bekerja sampai ada dokter dipanggil.”

Lalu ia mulai menangis. Kuletakkan keranjang itu di tanah dan menuntun Mbok P kembali ke rumah sembari menggandeng lengannya. Ia terus saja tersedu-sedu dan selagi kami melangkahi rumput yang basah aku benar-benar merasa seperti menuntun tahanan ke tiang gantungan. Di dapur aku mendudukkan dirinya dan membuatkan teh.

“Ada masalah apa?” pintaku. “Ada masalah apa denganmu?” Tetapi ia cuma mengibas-ngibaskan tangan di hadapan wajahnya, lantas mencucurkan air mata lagi.

Aku berdiri di wastafel dan memandang pada hujan serta langit, yang sama redupnya dengan bata penyusun menara. Mendadak aku merasa tercekik, seperti sewaktu di bank. “Aku perlu berpikir,” ucapku, seraya hendak membuka pintu belakang. “Mbok bisa pergi dan beristirahat?”

Mbok P terlihat seperti belum tidur berminggu-minggu, namun ia melonjak dan menarikku dari pintu. “Tolong, Tuan Charles, janganlah kembali keluar!”

“Aku harus mengambil keranjangnya,” ucapku. “Pakaiannya jadi basah.”

Namun ia tak mendengar. “Hujan,” ujarnya terus-terusan, “Tuan masuk angin.”

“Baiklah, baiklah ...” sembari duduk lagi di meja dapur. “Senang?”

“Bagus.” Ia menyeka pipinya dan berlagak ceria lagi. “Nah, segalanya baik-baik saja. Kita di sini, aman dan kering. Saya buatkan cokelat hangat dan Tuan menonton televisi, ya?”

Sayang sekali, aku tak mampu membujuk Mbok P merebahkan diri hingga ia menempatkanku di kursi malas, beserta secangkir cokelat yang diletakkan di lantai tempat meja semula berada. Kebetulan, ada film sedang tayang: The Killers, atau A Man Alone, si kawakan nan tampan Burt Lancaster dibunuh oleh Ava Gardner yang khianat dalam kilas balik yang semakin berkembang. Kuturunkan kepalaku pelan-pelan ke belakang dan berusaha membenamkan diriku ke alam tersebut, apartemen kosong nan gelap tempat Lancaster duduk dan merokok, menanti kedatangan para pembunuh. Tetapi aku tak bisa melakukannya. Aku memikirkan hipotek yang absurd itu, percakapan melelahkan dengan si pegawai bank. Bagiku rasanya semua itu entah bagaimana kembali pada Frank: bahwa setelah bertahun-tahun ini, segala pertahanan Ayah, sebutir sel kecil kanker kenyataan akhirnya terlincir jua; dan kini bermetastasis tanpa terelakkan.

Sejam kemudian Bel dan Frank masuk disertai ribut-ribut. Frank memegangi rahangnya. Memar ungu besar menyebar di sekujurnya. Bel mereweli Frank, membawakannya obat merah serta kapas dari kamar mandi.

“Ada apa?” tanyaku.

“Uh ugh,” gumam Frank, “gigan alan.”

“Si bajingan itu,” adikku menerjemahkan. “Kamu ingat, Charles, si bajingan di pub waktu itu?”

Ingat? Wajah pucat menjendul bajingan itu telah tertanam dalam mimpi burukku belakangan ini. Bel menjelaskan bahwa bajingan itu dan rekannya mengikuti Frank pulang dari tempat kerja lalu menyergapnya dalam perjalanan menjumpai adikku. Malah, seandainya si tukang pos tidak meronda lebih telat daripada biasa, Frank mungkin akan lebih celaka. Karena itulah, Bel terpaksa membawa Frank ke Unit Rawat Jalan supaya rusuknya dibalut.

“Agu hagu haga gingan guh,” sergah Frank, berusaha bangkit dari kursi, “gah gu gegang guh ga ga gegang.”

Bel mendorong Frank kembali ke kursinya. “Kamu enggak boleh ke mana-mana,” titahnya. “Itu bisa nanti. Kondisimu lagi enggak bagus buat menendang kepala siapa pun.”

Bola mata Frank berputar hingga putih, seperti kuda tumbang. Selama sepersekian detik, sebelum ketenangan beku si Golem menegakkan dirinya lagi dan Frank kembali duduk, entah mengapa rasanya seperti memandang cermin. Aku mengenali rasa kemanusiaan yang terdesak seperti yang menjerit serupa wewe menembus hatiku. Selama sepersekian detik itu pula aku merasakan simpati pada si makhluk buas nan malang, dan bertanya-tanya apakah bukannya akan lebih baik jika kita semua berupa Golem: patuh, teguh, dan tak mempan nyeri.

Kutinggalkan mereka dan menuju ruang sarapan. Berbagai ancaman dan pemberitahuan masih tergeletak di sudut meja. Aku pun duduk dan membaca surat-surat itu sampai habis dengan kegirangan masokis. Pemain utamanya berupa angka-angka: nomor rekening, tingkat bunga, jumlah yang belum dilunasi, tanggal yang sudah lama berlalu. Sosok-sosok inilah yang kisahnya berpusar di atas halaman-halaman berkop; sementara kami disebutkan sambil lalu saja, dalam sudut pandang orang ketiga, hanya diberi sedikit bagian, peran yang kedengarannya cuma sesaat saja penampilannya sebagai “penghuni”.

Kubaca surat yang terakhir. Sewaktu meletakkan surat itu di meja dengan posisinya menghadap ke bawah, aku mengalami sensasi kekacauan total, seakan-seakan semua ini terjadi berjuta-juta tahun cahaya jauhnya, di jagat paralel yang karut-marut. Namun itu digantikan oleh semacam kekinian yang berkobar-kobar, kesadaran yang sureal akan situasi familier di sekitarku: tirai tebal yang menjuntai lemas, pola pada kertas dinding yang diam-diam mengoceh, jam bandul antik serta peti teh yang berdiam tanpa dosa pada bayangan mereka bagaikan bocah lelap yang sebentar lagi menjadi yatim piatu. Aku merenungkan Amaurot beserta semua rumah besar lainnya, kebesaran hati mereka yang kini berjuang untuk tetap berdetak diiringi encernya darah modernitas. Bangunan-bangunan ini didirikan untuk masa yang lebih sederhana ketika pria memakai topi sementara wanita mengenakan saputangan, perabot perak dipoles demi menyambut tamu, api menderu di perapian ....

Di lorong, Frank meracau di telepon, seperti jenderal simpanse yang tengah mengumumkan situasi darurat. Melalui pintu, tampak Bel duduk menyisi dengan tangan menopang dagu. Aku menatapnya, dan kembali menatap Frank dan semua pacar Bel sebelum dia, dan mendadak mendapat firasat akan keputusasaan adikku itu demi menemukan tempat bagi dirinya di dunia ini.

“Minggu depan Bunda bakal keluar,” ucap Bel kuyu, sembari melambaikan surat dari Cedars.

“Bertepatan dengan waktu pelelangan,” sambil duduk di sampingnya. “Tampaknya itu solusi yang pas.”

“Wawancara dengan petugas banknya enggak berhasil?”

“Yah, jadi, kami membuat beberapa kesepakatan. Tetapi, agaknya mereka kukuh sekali memperoleh kembali uang mereka.” Televisi menyala dengan suara dipelankan: dalam bisu roket-roket ditembakkan melintasi gurun yang berguncang. “Mereka menyatakan bahwa kalau kita bisa bicara dengan akuntan kita, ia mungkin saja dapat sedikit menguraikan masalah ini.”

“Aku sudah berusaha menemukan akuntan kita. Ia lenyap dari muka bumi. Lagian dokumen Ayah itu enggak masuk akal. Isinya seperti kode. Di situ enggak ada nama yang berulang. Aku bahkan enggak tahu kalau itu dokumen yang benar.”

“Kukira Bunda bakal tahu.”

“Oh Tuhan,” Kedua tangan Bel menutupi wajahnya, “seramnya melibatkan Bunda dalam persoalan ini ....”

“Yah, akan ada sesuatu yang muncul.” Kutarik pelan rambutnya. “Barangkali diam-diam kita punya paman yang kaya raya.”

“Kedengarannya itu bukan rencana,” ujarnya murung, sambil mencabuti tambalan pada celana korduroi yang ia kenakan. “Ini mengerikan, Charles. Bahkan sedari pagi ini aku sudah merasa seperti penyerobot, aku merasa seolah-olah aku tidur di tempat tidur orang lain, dan makan menggunakan perabot orang lain. Tiap kali aku menutup pintu suaranya terdengar menggaung nyaris untuk selama-lamanya. Dan sekarang Bunda akan kembali dan membuat segalanya tampak akibat kesalahan kita, dan terus mempersoalkan betapa kita telah mengecewakan Ayah serta membuang-buang hak waris kita dan semua--“

“Ah, kamu tuh selalu saja terlalu serius menanggapi Bunda ....”

“Pasti begitu, Charles, begitulah yang dia pikirkan, enggak ada seorang pun yang cukup layak untuk tinggal di sini, kita semua cuma kelayapan sejak Ayah meninggal.” Ia melonggarkan seutas benang, mengabaikannya, lantas menyesap brendi. “Kuharap ini semua bakal benar-benar, benar-benar berakhir. Aku muak sekali menjalani hidupku di bawah perintah rumah tolol ini. Rumah ini mengisap jiwamu, memperbudakmu, begitulah caranya terus hidup ....”

“Yah, tentu ini bakal berakhir, Bel, kita akan menemukan solusi, lihat saja.”

“Yang kumaksud bukan masalah hipotek ini. Yang kumaksud itu, segalanya.”  Kedua kakinya menendang ke depan. “Aku enggak bisa terus-terusan tinggal di sini, Charles. Aku enggak bisa terus hidup begini. Ini terlalu janggal. Ini bukan hidup, tidakkah kamu mengerti?”

“Hidup,” sahutku pahit.

“Sebab sekalipun kita menjual sebagian barang antik kita--mobil edan itu, misalnya, mengumpulkan debu saja, aku merasa diriku kasihan mobil itu terkurung di luar sana--maksudku kalau kita mengusahakannya secara tepat, aku yakin kita bisa melunasi utang. Tetapi ... tetapi cara semuanya ini berakhir, tidakkah menurutmu barangkali ini harus terjadi? Sebab tempat seperti Amaurot tidak seharusnya tetap ada--“ Mendadak ia berhenti, menunduk menatap gelas brendi yang bergulir di tangan kirinya, seolah-olah dengan sendirinya benda itu merasa gentar akan pentingnya yang ia ucapkan barusan. Lantas sambil menyapukan tangan dengan kencang, ia melanjutkan: Rasanya seperti cerita jelek yang tidak mau berakhir, dan telah berlangsung seperti ini sejak lama sekali--lama sekali sejak permasalahannya jadi masuk akal dan yang kita perbuat cuma berusaha dan berpura-pura keadaannya tetap sama seperti sewaktu kita masih kecil. Semestinya hidup enggak terasa seperti itu, Charles, apalagi ketika kita masih muda. Ayah meninggal, Bunda menggila, dan sekarang ada ini--rasanya dunia sedang berusaha memberi tahu kita suatu hal. Lakukan sesuatu, katanya, keluarlah dari sini selagi bisa ....” Tatapannya terangkat, berkeliaran, dan berlabuh pada ornamen kaca bergambar Actaeon[1], sementara di baliknya Frank berjalan gontai di lorong. “Dan ini benar. Mungkin kamu bisa hidup di alam mimpi ini, Charles, tanpa apa-apa, tetapi aku tidak bisa, tidak lagi.”

Selama sesaat yang terasa panjang lagi suram, tidak ada yang bisa kukatakan padanya. Di luar Frank menyalak dan meraungkan rencana pertempuran. Bel duduk meringkuk di ujung dipan, menatap sedih pada perapian yang padam.

“Pasti menurunkan semangat, ya,” aku mencoba perlahan, “perusahaan itu menolakmu begitu ....”

Ia berputar sengit. “Bagaimana kamu tahu soal itu?” desaknya.

Aku mengangkat bahu. Aku tidak mau membocorkan tentang mulanya aku berbicara dengan MacGillycuddy, atau bahwa ia yang memberitahuku soal ini. “Aku tahu saja. Kamu bisa menceritakan kejadiannya padaku, kalau kamu mau.”

Ia menyilangkan kedua lengannya di atas lutut dan mencondongkan badan, agak cemberut. Aku tahu ia ingin bercerita pada seseorang, walau tidak sepenuhnya senang orang itu aku. “Yah, aku mengikuti audisi dan mereka benar-benar menyukaiku,” ucapnya, sambil menarik kedua lengannya tinggi-tinggi mengelilingi badannya seakan-akan ia kedinginan, “dan aku mendapat panggilan. Baru beberapa hari lalu--ketika kita pergi ke balapan grehon, pagi itu. Kukira aku akan memperoleh perannya, aku benar-benar berhasil. Kukira ini akan menjadi kesempatan emas bagiku. Bukan berarti itu peran yang hebat atau apalah, tetapi hanya sebagai awal, akhirnya--dan lagi ini Chekhov, Charles, aku paham lakon ini luar dalam. Tetapi lalu hari ini aku mendapat surat ini ....” Ia terdiam. Ia memalingkan kepalanya, namun aku bisa melihat setetes air mata berkilau dan bergetar di bola matanya. “Mereka sangat terus terang, mereka sangat membantu, sungguh ....”

“Jadi mereka bilang apa?”

“Mereka bilang bahwa meski secara teknis pembacaanku sangat baik, mereka khawatir--“ Ia menarik napas gentar, sedalam-dalamnya, “bahwa itu tidak cukup hidup bagi realitas sosial kontemporer. Mereka bilang aku tidak memiliki cukup pemahaman terhadap ... terhadap dunia. Mungkin kamu enggak berpikir itu penting bagi seorang aktris, Charles, tetapi kamu harus berpikir demikian, mereka ingin mengeluarkan segala unsur dalam lakon itu yang menyerupai kehidupan saat ini, kamu mengerti kan, dan menurut mereka aku enggak mampu melakukannya. Maksudku, mereka benar, sudah terlalu banyak peran untuk putri palsu--“ kalimat terakhir ini terpuntir pahit seiring air mata akhirnya terlepas mengalir dengan deras menuruni pipinya. Aku dibiarkannya duduk dan mengamati dirinya, sambil berharap supaya aku tidak sebegitunya sia-sia dan agar beberapa inci pada dipan yang memisahkan kami ini tidak terasa bagaikan ribuan mil jauhnya, sehingga barangkali aku bisa mengatakan sesuatu untuk menenangkan Bel bukannya bangkit, melihat-lihat rak perapian dan memeriksa bunga-bunga yang kering. Aku selalu merasa gelisah dengan impian orang lain, apalagi ketika itu tidak tercapai.

Audisi: itulah yang dimaksud MacGillycuddy, yang menjelaskan perbuatan Bel mengunci diri bersama Frank tiap pagi saat kukira ia sedang memberi orang itu pelajaran membaca. Malah, barangkali itu menjelaskan soal Frank sendiri. Tidak ada yang senyata dirinya, dan Bel bukanlah orang yang suka setengah-setengah. Begitu banyak yang diinginkannya dari dunia ini, saking banyaknya ia ingin dunia mengerti: kalau perlu, ia akan berpaling dari kehidupannya sendiri demi mewujudkannya--ia akan meledakkan masa lalunya, ia akan tidur bersama penjahat, berbaring dan memenungkan realisme ....

Dan Chekhov inilah yang selalu digilai Bel, bahkan sejak masa sekolah ketika mereka mementaskan salah satu dramanya. Dari berminggu-minggu sebelumnya Bel sudah berkeliaran di rumah mengenakan kimono peraknya serta membawa-bawa bebungaan jambon yang besar sekali, sambil terus-menerus menggumamkan dialognya bak semacam rahib keliling (walhasil malam itu ia benar-benar lupa). Bahkan sekarang ini, jika kau berbuat kesalahan dengan menanyakan padanya apa hebatnya Chekhov, Bel akan berpidato panjang lebar tentang bukan saja ia telah menulis drama yang melukiskan abad kedua puluh, tetapi ia juga dokter dan mengobati ribuan petani yang menderita tuberkulosis, dan ia mendirikan teater, dan ia menyokong keluarganya yang pemabuk heboh, dan ia mencintai istrinya walau perempuan itu berselingkuh, dan terlepas dari apa pun ia benar-benar berhasil menyukai orang dan mendengarkan kisah mereka dan berusaha jujur pada mereka ....

“Rumah inilah,” ucapnya kini dengan nada datar yang lamban, seperti Bunda saat suasana hatinya buruk. “Rumah ini membuatku merasa aku telah usang, seolah-olah selama aku di sini aku enggak pernah bakal bisa merasa diterima di mana pun ....” Tahu-tahu ia menatapku dengan raut berkerut-kerut serta ekspresi yang bercampur antara menuduh dan memohon. “Tidakkah kamu mengerti, Charles? Mungkin lebih baik bagi kita berdua jika permasalahan dengan bank tidak teratasi. Mungkin kemudian kita bisa bebas dari tempat ini.”

Aku melongo menatapnya. Bebas dari tempat ini? Tidakkah ia paham bahwa Amaurot itu istimewa, bahwa yang kami miliki di sini istimewa? Tidakkah ia tahu bahwa di luar sana segalanya itu berkekurangan, lebih kecil, lebih keji, dan biasa-biasa saja? Namun ia serius: dan ia masih menanti jawaban, menjepitku ke dinding dengan tatapan ganjil itu, seolah tengah menilai hakikat diriku. Lantas, untunglah, Frank terhuyung masuk, dan aku pun mengambil kesempatan untuk kabur. Aku menuju lemari minuman dan meracik Scotch dengan soda, yang kuminum dengan suasana tenang, sambil berlagak mengalihkan perkataan Bel tadi dalam benakku. Sejenak kemudian aku merasa lebih anteng. Aku menurunkan gelas dari bibirku dan mulai memberitahu Bel secara bijaksana dan berimbang, bahwa meski audisi kali ini memang mengecewakan, tidak semestinya itu mengeruhkan pandangannya--bahwa daripada merusuhkan segala hal, kami sebaiknya mencoba dan menangani bank lebih dulu lalu lihat bagaimana yang kami rasakan sesudahnya. Namun ia sudah berpaling di tempat duduknya demi mencurahkan seluruh perhatian pada Frank, yang, lewat perpaduan antara dengkur dan kepakan tangan, tengah memberi Bel perincian mengenai rencana balas dendamnya. Aku tidak peduli untuk mencampuri, dan aku tidak perlu Bel menerjemahkannya juga. Entah mengapa omelan buas Frank terdengar begitu lancar: aku bisa memahami semuanya secara terlalu jelas mengenai jendela yang pecah, buku-buku jari meluncur cepat, bakar-bakaran. Karena keadaanku sendiri sudah terguncang, suasananya jadi agak seperti mau kiamat. Aku mengisi minumanku dan memberi tahu Bel aku akan bicara padanya nanti. Entah apakah ia mendengarku.

Selagi menaiki tangga, kurenungkan lagi perkataan Bel tadi. Kukatakan pada diriku bahwa ia sedang kacau. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah fase canggung—lagi pula, kehidupan Bel kurang lebih rangkaian fase canggung yang bersinambungan. Namun dari matanya aku mengerti bahwa masalah audisi ini lebih dari sekadar kemunduran sementara. Ia bermimpi dalam skala besar, dan ia menempatkan seluruh dirinya di dalam mimpi itu. Adanya kejadian-kejadian kecil, kemunduran, menjelma gelombang tinggi yang membanjirinya, mengancam akan menenggelamkannya. Jika lewat suatu proses pemikiran yang bulat ia sampai pada kesimpulan bahwa rumah inilah yang menjadi penghalang antara dirinya dan peran itu—antara dirinya dan masa depan cerah yang ia impikan bagi dirinya sendiri—maka hampir mustahil membujuknya supaya tetap tinggal.

Tugasku jelas. Aku harus menemukan suatu cara untuk menyelamatkan Amaurot. Aku harus menunjukkan pada Bel bahwa cara itu bekerja, bahwa tidak seperti dunia luar yang goyah dan berubah-ubah, Amaurot akan selalu menjadi perlindungan, tempat kami dapat hidup sepenuhnya, tempat tahun demi tahun bergerak maju, mundur, atau diam sesuka kami. Kukatakan pada diriku kulakukan ini demi dia, namun dalam hati aku tahu bahwa jika ia pergi, aku pun sudah tidak ada harapan. Apa jadinya Amaurot tanpa dia? Tidak lebih daripada sekadar tempat pengambilan film yang telantar, dan aku bayangan pudar seorang aktor, yang ditinggalkan setelah sutradara, penata suara, serta kamerawan berlalu, dan membawakan dialognya tidak pada seorang pun …. Sambil rebah di tempat tidur dengan gelas wiski berdiam pada perut, aku merancang strategi demi strategi di langit-langit. Namun setiap gagasan yang timbul memiliki cacat yang tak mungkin teratasi, hingga akhirnya tinggal satu yang tersisa, kengerian yang menggentarkanku hingga es batu dalam gelas bergerincing ….



[1] Tokoh dalam mitologi Yunani