Maman-Nainaine bilang, ketika buah ara sudah matang Babette boleh pergi mengunjungi para
sepupunya di Bayou-Lafourche, tempatnya tebu tumbuh. Tidak berarti ada hubungannya dengan matangnya buah ara,
tapi begitulah Maman-Nainaine.
Tampaknya waktu yang lama bagi Babette untuk menunggu. Dedaunan di pohon
belum melunak. Buahnya masih serupa kelereng kecil yang hijau dan keras.
Namun datanglah hujan yang lembut dan cukup sinar mentari. Kendati
Maman-Nainaine setenang patung Madona, dan Babette seresah burung kolibri,
mereka tahu bahwa musim panas telah tiba. Setiap hari Babette menari-nari,
menuju barisan panjang pohon ara di balik pagar. Ia berjalan lambat-lambat di
bawahnya, dengan saksama mengamati celah di antara bonggol-bonggol dahan yang
menyebar. Tiap kali ia datang, kesedihan menjauh lagi. Apa yang ia lihat
akhirnya membuatnya menyanyi dan menari sepanjang hari.
Pagi berikutnya Maman-Nainaine duduk dalam wibawanya untuk sarapan. Topi
muslinnya bak lingkaran yang memancarkan cahaya di wajahnya yang putih dan
tenang. Babette menghampiri. Ia menyangga talam porselin yang rawan pecah. Ia
taruh di hadapan ibu baptisnya itu. Talam tersebut berisi selusin buah ara ungu, dedaunan hijau terang
berjumbai-jumbai di tepinya.
“Ah,” Alis Maman-Nainaine melengkung, “betapa cepatnya buah ara matang tahun ini!”
“Oh,” kata Babette, “Menurutku mereka matang dengan sangat lambat.”
“Babette,” lanjut Maman-Nainaine, seiring ia menguliti buah ara paling
montok dengan pisau-buah peraknya yang tajam, “kau akan menyampaikan cintaku
pada mereka semua di Bayou-Laforche. Dan beritahu Tante Frosinemu, aku akan menemuinya di Touissant—ketika serunai sedang
mekar.”[]
Alih bahasa dari cerpen Kate Chopin, "Ripe Figs" (1893)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar