Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20161127

An Evening of Long Goodbyes, Bab 3 (1/4) (Paul Murray, 2003)

Hari-hari berikutnya cukup damai. Bel menghabiskan sebagian besar waktu di rumah dengan membawa serta Proyeknya. Saat di rumah mereka cenderung di kamar saja belajar membaca. Hari berikutnya lagi yaitu saat segala masalah dengan bank terwujud, dan berbagai hal benar-benar mulai runtuh, walaupun paginya dimulai dengan amat manis, karena Mbok P membangunkanku tepat sebelum siang dengan membawa baki berisi telepon.

“Halo?” ucapku, setelah memastikan bahwa ini bukanlah muslihat pembunuhan dari Mbok P.

“Halo,” terdengar suara asing. “Charles?”

Dengan jantung berdebar, cepat-cepat aku turun dari kasur dan berpijak. Suara itu terdengar parau, penuh gairah, sekaligus halus dan mengundang skandal. Suara itu bisa saja berasal dari ribuan film hitam putih--milik wanita kawakan yang meminta macis di bar, waris perempuan disertai detektif yang parkir di jalanan gelap, atau janda muda gemetar memohon pertolongan dari mantan pelaut yang sakit hati. Suara monokrom yang boleh jadi milik seorang saja.

“Laura,” ucapku disertai ketenangan penuh syukur yang janggal, berikut perasaan akan berakhirnya satu hal dan bermulanya hal lain.

“Ya,” sahutnya. “Adikmu meneleponku semalam. Ia bilang ada yang perlu kamu bicarakan denganku ...?”

Sialan Bel, dia senang mempersulitku. “Benar,” ujarku. Ketegangan yang menggembirakan itu pun berlalu. 

“Jadi ada apa, ya?” ucap Laura.

Apa, ya? Mana mungkin kukatakan aku tertarik pada dia yang berusia dua belas tahun saat sedang melihat-lihat buku tahunan adikku. Bisa-bisa ia salah paham. Aku tidak mau gegabah saat menyangkut soal takdir. “Um ...” ucapku.

“Christabel bilang,” dengan lembut ia menyela, “kamu tertarik dengan asuransi?”

“Ya,” sahutku, meraih kata demi kata. “Ya memang. Sangat tertarik. Asuransi, dengan segala, ah, macamnya, dan, mmm, yang bikin penasaran ... aku, aku jadi tertarik ....”

“Dia bilang kamu tertarik mengasuransikan vas,” ucap Laura lambat-lambat, seakan tengah membimbing orang dengan kemampuan mental terbatas.

“Vas, ya, itu dia, aku punya vas dan aku mau mengasuransikannya. Aku ingin tahu kalau-kalau kamu mau datang malam kapan begitu dan membicarakannya? Setelah makan malam mungkin? Katakanlah Sabtu ini?”

Awalnya ia ragu. “Bisa enggak kamu saja yang datang ke kantor?”

“Enggak bisa,” kataku, “karena sebetulnya vasnya ada lebih dari satu, mengerti kan, malah ada beberapa vas, terlalu repot dibawa-bawa ke kantor--dan lagi pula aku lebih suka mengurusnya setelah makan malam. Supaya, ah, sudah pada kenyang.”

“Oh,” sahutnya. Lama hening saja. Aku menanti, sambil diam-diam menggemeretakkan gigi serta memaki-maki diri. Supaya sudah pada kenyang--apa gerangan yang kupikirkan? Apa aku masih lumpuh gara-gara dampak dari kejadian dengan Olé? Akankah aku tak mampu bicara dengan wanita lagi?

“Baiklah,” sambung Laura. “Ini bukan cara yang lazim, tapi kamu toh abangnya Christabel.”

“Ya,” ucapku dungu, seraya melawan desakan untuk melonjak-lonjak mencucurkan air mata syukur. “Jadi kita ketemu Sabtu? Jam delapanan?”

“Sepertinya,” terdengar suara berderak. “Oh, tapi aku intoleransi laktosa, enggak apa-apa? Jadi maksudnya, aku enggak bisa makan apa pun yang ada laktosanya.”

“Tentu, tentu ... enggak usah dipikirkan,” ucapku, dan meletakkan gagang telepon. Sesaat perasan senang itu masih menyinariku, belum siap kulepaskan segera. Kemudian, diiringi sorak bergembira, kuacungkan tinju. Kemenangan! Memang, aku belum menampilkan diriku sebagai perayu ulung. Aku mungkin terkesan agak nyentrik, atau edan. Tapi yang penting ia setuju. Begitu ia sudah di rumah, tempat akulah yang memegang kendali, segalanya akan berlangsung lancar. Ia akan menyadari bahwa di tempat ini tengah menanti sebuah dunia baru sebagaimana yang diidamkannya--gunung-gunung bergeser, lautan terempas, laktosa terembus hingga ke ujung dunia--semua itu akan terwujud demi dirinya, dan seketika ia pun paham bahwa kami ditakdirkan bersama.

Aku pun menuju ruang sarapan demi menyampaikan kabar baik ini, namun malah mendapati Frank separuh telanjang di ujung meja, yang mana agak merusak suasana. “Baik-baik aja, coy,” sapanya, seraya meregangkan tubuh ke belakang, diiringi kuap tanpa segan yang samar-samar menandakan bekas persanggamaan serta menampakkan perut putihnya yang lembek. Aku merinding. Bisa-bisanya Bel tahan melihat yang begituan, apalagi merasakan permukaan nan licin berminyak itu menampar-nampar--tetapi tidak. Bel telah menghormati perjanjiannya hingga aku memperoleh yang kuinginkan--kini genjatan senjata itu haruslah dihargai. Sambil menelan mual, aku membalas Frank dengan anggukan ramah semampuku, lalu menarik kursi dari meja.

Bel tengah duduk merosot di hadapan setumpuk surat yang terbuka. Ia terlihat rada gelisah. Pipinya merona sedang rambutnya bercerai-berai seakan habis dijambaki. Ia tidak menyahut sewaktu aku blakblakan menanyainya siapa yang telah menghabiskan seluruh selai jeruk. Aku mengganti haluan dan memberitahunya tentang Laura. “Rasanya aneh dia kerja di asuransi. Hampir enggak terbayang olehku dia tipe yang begitu, ya kan?”

“Mmm,” sahut Bel, terus saja merengut ke arah tumpukan surat.

“Selai jeruknya ada lagi enggak?” ucap Frank.

“Maksudku, rada aneh saja, ya enggak sih?”

“Enggak aneh sih buat yang kenal dia,” sentak Bel. “Eh, memangnya bagaimana bayanganmu tentang dia?”

“Enggak tahu juga sih,” ujarku jujur, meski dalam angan aku semacam membayangkan dirinya tengah berjalan di suatu rumah besar yang lengang, seraya menatap sendu pada hujan dengan secangkir kopi hitam dalam dekapan tangan, dilatari alunan jaz yang lamban, kurang lebih begitu teruslah dia sepanjang waktu.

“Terserah. Dengar, Charles, ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Ia mengubah posisi duduknya supaya bisa menatapku lurus-lurus. Di ujung meja kudengar Frank terkikih sembari melahap roti panggang.

“Ya?” sahutku, mendadak merasa resah.

“Sejak kapan, persisnya, kamu menaruh surat di Laci Kabel?”

“Eh ... enggak tahu.” Aku yang biasanya di rumah sewaktu tukang pos datang, jadi akulah yang memilah-milah antaran. Membawa surat pribadi ke kamar tidur masing-masing, dan meninggalkan yang sifatnya urusan keluarga di Laci Kabel untuk dibaca Bel kapan pun ia sempat. Aku tidak mengerti maksud Bel, atau kenapa wajahnya jadi merah bata. “Beberapa bulan ini, kayaknya.”

“Dan pernahkah kamu berpikiran untuk memberitahuku?”

“Memberitahumu apa?” tanyaku, bingung. “Maksudku, di situ kan, yah semacam persembunyianmu, bukan?”

“Kok bisa kamu sampai berpikiran,” ujarnya, “bahwa Laci Kabel itu persembunyianku?”

Aku tidak suka mendengar nadanya dan mau membalas, saat menyadari bahwa aku pun tidak tahu sebabnya sampai berpikiran begitu. Sambil memeras otak, kupikir kami sudah membuat kesepakatan sebelumnya, walau tidak melampaui batas kemungkinan bahwa pada suatu hari setelah minum-minum siang aku memasukkan antaran sore ke situ dan belakangan menyangka bahwa memang ada kesepakatan sebelumnya. Bagaimanapun kejadiannya, Laci Kabel itu menjadi tempat menyimpan surat-menyurat menyangkut keluarga kurang lebih sejak kepergian Bunda ke Cedars. Sekarang aku jadi ingat, belakangan ini aku bertanya-tanya mengapa Bel membiarkan saja ini terjadi.

“Jadi?” ucapnya.

“Jadi apa?” sahutku. “Kamu kan sudah menemukannya, jadi bergembiralah, dan jangan mulai saling menyalahkan--“

“Charles, memangnya kamu sudah membaca ini? Kamu tahu ini surat-surat apa?” Ia melambaikan bundelan amplop bercap merah yang ganjil. “Kamu tahu?”

“Kiriman khusus?” tebakku. Frank menahan tawa. “Yah kenapa juga aku mesti tahu? Itu semua kan bagianmu, dari dulu juga begitu.”

“Salah satu dari sekian banyak bagianku,” Bel merendahkan suara dengan nada menghinakan pada Frank. “Charles menangani Makanan dan Anggur, dan selebihnya diserahkan padaku.”

“Asal kamu tetep nanganin aku aja,” Frank mengerling. Bel tersenyum malu. Sepintas kulihat jarinya yang terbalut oleh kaus kaki menyenggol kaus kaki putih Frank di bawah meja. Aku merasa ada yang sama sekali tidak pada tempatnya, seolah-olah bumi bergeser dari porosnya sehingga segalanya bergulingan. Pasti beginilah yang dirasakan Louis IX, aku termenung, saat ia dibawa dari sel penjara, digiring ke tiang gantungan, dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa segerombolan orang tak berarti yang berteriak-teriak gaduh ini benar-benar serius dengan perkara Revolusi.

“Jadi, itu surat apa?” aku rada berteriak, kalau-kalau Bel lupa keberadaanku.

“Itu surat dari bank, Charles!” Bel balas berteriak, seraya membenturkan telapak tangannya ke meja. “Dari bank, dari kredit pemilikan rumah, dari pencari sumbangan, dari pencari sumbangan orang lain. Tapi sebagian besar dari bank.”

Punggungku terasa menggigil. “Mereka mau apa?” ujarku.

“Mereka pengin apa, ya,” Frank merenung sendu. “Kan enggak mungkin mereka buang-buang perangko buat cuman nanyain kabar.”

“Uang. Mereka pengin uang. Tagihannya sudah dari berbulan-bulan lalu, dari perusahaan telepon, listrik, orang-orang televisi.” Ia mencampakkan lembaran kertas itu ke mana-mana dengan putus asa. “Tapi yang paling dikhawatirkan bukan dari mereka. Yang terutama itu bank. Kita menunggak pelunasan hipotek. Tunggakannya berat. Mereka menyebut-nyebut penyitaan.”

Baru sesaat kemudian itu masuk ke kepalaku. Hipotek, penyitaan—kata-kata ini sama sekali tidak kuakrabi, jarang-jarang terdengar dalam kalangan yang berbudi bahasa, kecuali dalam cerita-cerita yang dibisikkan pada tengah malam, dengan nada yang mungkin digunakan orang saat membicarakan kanker atau aborsi; hal-hal mengerikan yang, di luar batas lahan milik seseorang, biasanya menimpa orang celaka tak dikenal. “Aku enggak tahu kita punya hipotek,” ujarku.

“Charles,” Bel menariki rambutnya frustrasi, “kekaisaran Hythloday yang selalu kamu ocehkan ini tidak tahu-tahu ada. Ini dibangun dengan kredit. Tidak satu pun yang benar-benar milik kita. Tampaknya Ayah meminjam kekayaan tanpa batas, jumlah yang mereka sebut-sebut di sini benar-benar, benar-benar selangit—“ Ia duduk lagi di kursinya, menyipitkan mata. “Aku tahu akan ada kejadian begini, Bunda benar-benar membiarkan segalanya jadi kancut sepeninggal Ayah, kurasa dia bahkan belum menjumpai akuntannya sejak pemakaman ….”

“Tetapi …” kami punya perusahaan, jadi tidak ada yang perlu berkata-kata kasar, “tetapi, maksudku—kita masih kaya, kan? Enggak bisakah kita tinggal bayar yang mereka inginkan terus mereka enggak mengganggu kita lagi?”

Bel bangkit dan mulai melontarkan tangannya ke mana-mana. “Apa sih yang ada di kepala setanmu itu? Ketika kamu enggak mabuk, apa sih yang ada di situ?”

“Eh jangan menyumpah,” pintaku, resah.

“Ayah itu ahli kimia, Charles, ilmuwan, bukan kaisar, bukan Charles yang Agung . Ilmuwan ulung saja gajinya enggak cukup untuk membayar tempat seperti ini, kamu enggak berpikiran, ya?

“Ayah kan punya investasi,” entah mengapa aku merasa perlu membela Ayah, “asetnya, semacam itulah—“

“Nah, asetnya apa? Asetnya apa, Charles? Maksudku aku benar-benar enggak tahu yang dipikirkannya dulu. Bahkan sekalipun ia belum meninggal, entah bagaimana ia hendak melunasi semuanya. Dan sejak itu kita enggak punya pendapatan sama sekali. Lalu ada pajak warisan yang super gede ini serta segala tagihan keuangan yang baru. Pengobatan Bunda, alkoholismemu, Folly konyol itu, dan entah mengapa tampaknya kita akan menghabiskan satu ton bahan makanan saat ini—“

Kugigit bibirku. “Kamu mau omong apa sih, tepatnya?”

“Enggak ada cukup uang, Charles. Sama sekali enggak ada cukup uang buat melunasi.” Ia merebahkan kepalanya di punggung kursi, seakan dilanda kelelahan. Sinar matahari menerobos gorden Chantilly dan mencuil berhelai emas rambutnya. Seketika itu juga percakapanku dengan Laura terasa jauh di awang-awang. “Sekarang yang terpikir olehku cuma menjual sebagian saham kita. Maksudku seenggaknya itu bisa memperpanjang waktu kita.”

“Ah, ya, saham,” ucapku netral.

“Punyaku semuanya masih dibaktikan untuk reksa dana, jadi kita harus pakai punyamu,” ia mengejapkan matanya yang merah padaku. “Sisanya kita bagi nanti.”

“Benar. Bagus.” Kuputuskan bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk memberi tahu Bel tentang kesialanku di meja bakarat beberapa bulan lalu. Maka aku pun mengulas senyum palsu dan menenangkannya. “Para bankir itu orang yang logis kan,” ucapku. “Selama bertahun-tahun kita sudah memberi mereka uang. Mereka pasti sudah lupa kita masih ada tunggakan, itu saja. Maksudku aku yakin enggak ada yang bakal kehilangan rumah sebab mereka tuh salah kirim surat. Itu kan konyol. Aku bisa keluar dan bicara pada mereka sekarang juga. Itu mah air setitik dilautkan, lihat saja deh.”

“Ha,” ucap Frank, yang tengah menyibukkan diri melakukan penggalian ekstensif pada lubang pendengarannya.

“’Ha’ apa? Maksudmu apa, ‘Ha’?” aku menantangnya. Semua ini salahnya, sepertinya.

“Mak aku digangguin terus sama tuh setan seumur-umur,” ucap Frank pada cangkir tehnya. “Dari dulunya miskin banget, tapi tetep aja diendus-endus sama bank—dia suka ngebanyol gini, apa bedanya bank sama Iblis?”

Aku dan Bel menatapnya.

“Di Neraka bank bakal bikin lu makin kepanasan,” sambungnya.

“Itu banyolan?” akhirnya aku memekik juga.

Ia mengangkat bahu. “Bank bisa lucu gitu sih,” sahutnya.

“Baiklah aku akan pergi dan bicara pada mereka,” ucapku, lalu meninggalkan mereka biar saling menggosokkan kaus kaki, yang barangkali bisa sedikit menenangkan Bel. Aku tidak suka Bel gelisah. Bel mungkin tidak menampakkannya, tapi ia pencemas yang garang. Persoalan paling sepele pun ia resahkan. Dari dulu ia selalu begini, bahkan ketika masih kecil. Sementara anak-anak lainnya tengah asyik memercayai Sinterklas dan Peri Gigi, ia terobsesi oleh pikiran bahwa kapan pun Ayah dan Bunda meninggalkan rumah mereka tak akan kembali lagi. Ia tidak pernah mengungkapkannya pada mereka, namun begitu melihat mobil keluar dari halaman, ia masuk kamar, duduk diam, dan memikirkan Pikiran Positif tentang mereka, hingga Ayah dan Bunda kembali dengan selamat. Itu baru satu contoh dari lingkup kecemasannya yang makin hari makin meluas saja. Ia juga takut kehilangan barang. Ia takut ada barang yang pecah atau habis. Ia takut pada perampok dan pengemudi berbahaya. Ia khawatir akan nasib boneka-bonekanya saat ia mati. Ia punya segudang kekhawatiran menyangkut dunia hewan--apa yang mereka makan saat musim dingin, di mana mereka tidur jika orang terus mendirikan bangunan di mana-mana, apakah mereka aman-aman saja menyeberang jalan sendirian. Tetapi semua ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan hebat yang ditimbulkan oleh kedatangan satu-satunya hewan piaraan domestik di rumah kami, tidak termasuk merak, tentu saja: anjing springer spaniel, kawan penyayang meski gampang kegirangan yang pada akhirnya membersamai kami sebentar saja bahkan dikasih nama pun belum.

Begitu anjing tersebut tiba di pintu rumah, tak ayal lagi dibawa pulang oleh Ayah sebagai hadiah untuk kami, Bel langsung mendiagnosis hewan tak bernama itu mengidap teror eksistensial yang memusingkan. Kalau diingat-ingat lagi, pertemuan itu jelas-jelas merupakan kasus transferensi: penampakan anjing itu seolah-olah memperkenankan Bel untuk membukakan pintu-pintu air dalam jiwa kecilnya, supaya segala ketakutan yang entah bagaimana menumpuk di sana dapat tercurah ke luar. Selama dua minggu hewan itu bertahan di Amaurot, Bel mengabdikan diri untuk bertindak sebagai corong bagi si anjing malang. Ia terjaga malam demi malam, tanpa tidur, mondar-mandir di sekitar rumah diiringi si anjing yang berderap simpatik mengikuti, sembari mengaitkan kenelangsaannya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Bel khawatir anjing itu kesepian. Bel khawatir anjing itu kelaparan. Bel khawatir anjing itu terlalu banyak bergerak, atau tidak cukup bergerak. Bel khawatir anjing itu kegatalan karena ban lehernya. Bel khawatir jangan-jangan anjing itu mulai menganggap dirinya manusia namun sedih karena sekujur badannya berbulu. Bel khawatir anjing itu merasa gagal. Bel khawatir anjing itu merasa telanjang, merindukan orang tuanya, takut gelap, kecewa karena hanya bisa menggonggong, malu karena berkutu, dan tidak mengerti penyebab dirinya mesti tidur di pantri. Di sekolah, Bel terus menyuarakan ketakutannya, yang semakin parah saja akibat berpisah dengan si anjing. Teman-teman sekelasnya lantas jadi kebingungan sampai-sampai sang guru menghabiskan seharian hanya untuk berusaha menenangkan mereka akan keselamatan piaraan kami. Akhirnya, pada suatu petang, kepala sekolah menelepon Bunda dan dengan suara letih mengusulkan bahwa ada hal yang benar-benar mesti dilakukan. Sebelum Bunda sempat menjawab, telepon itu telah diserahkan pada Bel yang menangis meminta Bunda untuk menyambungkan ia dengan anjingnya, tolong--dan seketika itulah Bunda tersentak. Begitu kami pulang hari itu si anjing telah tiada. Bunda tidak mau mengatakan tempatnya, selain bahwa anjing itu telah “dipindahkan”. Ia mengelak membicarakannya lebih lanjut.

Anehnya, Bel kalem-kalem saja menerima kabar ini, dan tampaknya ia segera melupakan anjing itu sepenuhnya. Barangkali peristiwa itu memang ada hikmahnya. Kecemasan Bel secara ajaib menghilang. Ia mulai mengikuti kelas Pidato dan Drama seusai sekolah, dan seketika itu saja yang dibicarakan olehnya. Dengan mengesampingkan gejolak-gejolak yang sifatnya romantik, ia tumbuh menjadi remaja bahagia. Kukira bagi kami semua saat itu merupakan Masa Keemasan. Keluarga kami makmur, segalanya tampak aman-aman saja. Aku mengejutkan Ayah dengan menjadi kapten tim kriket sekolah, dan kami bahkan memenangkan pertandingan berkat ketidakpopuleran olahraga tersebut di Irlandia.

Pada akhir masa remajanya Bel mulai bertingkah lagi, persis ketika aku memulai karier singkatku di universitas. Dokter menyebutnya Episode Histeris. Selama jangka sekitar tujuh bulan Bel menderita Episode ini hampir setiap minggu. Cukup menakutkan menyaksikan kejadiannya: ia gemetar, menangis, muntah, dan mengoceh; ia terbaring di kasur sambil terisak dan memohon agar kami menolongnya tanpa sanggup mengutarakan sebabnya, persoalannya, kuasa apa yang tengah menyerangnya. Dokter tidak terlalu mengkhawatirkan Bel. Saat itu ia lebih tertarik pada Ayah, yang telah diutusnya ke rumah sakit untuk menjalani tes. Dokter bilang, jenis kelabilan yang dialami Bel cukup umum terjadi pada gadis seusianya. Kelabilan Bel sekadar perwujudan agak ekstrim dari kegalauan remaja--efek samping alami dari pendewasaan, yang diperumit oleh kecenderungannya untuk ragu-ragu dan terlalu banyak berpikir, hubungan rentannya dengan Bunda, serta susutnya kesehatan Ayah. Sebaik-baiknya masalah tersebut dianggap sebagai masa penyesuaian; sebagian orang lebih mudah menyesuaikan diri dengan dunia nyata daripada yang lain. Dokter pun menguji Bel dengan obat dan takaran yang berbeda-beda, serta memberinya cuti sekolah. Akhirnya Bel kembali seperti biasa, dan semua orang-orang berlagak seolah-olah masalahnya tidak pernah terjadi. Kondisi Ayah terus merosot. Rumah dipenuhi orang-orang berjas putih serta mesin yang aneh. Sama sekali tak ada kesempatan untuk terus mengkhawatirkan Bel juga.

Tetapi aku tak mungkin lupa. Kadang, kalau kami sedang bertengkar, atau ada hal yang menggalaukan Bel, kurasa aku melihatnya--histeria, teror--menggetar, serupa gerhana, pada sisi-sisi dirinya, menanti saat untuk timbul. Aku merasa bahwa dari mana pun itu datangnya, histeria tersebut kini telah menjadi bagian yang terlalu mendasar untuk benar-benar enyah dari diri Bel. Itulah sebabnya aku merecoki Bel soal pacar-pacarnya. Itulah sebabnya perasaan resah tak menentu yang dialaminya akhir-akhir ini mengusikku, bagai sekumpulan impuls listrik tak ternyana yang dirasakan pengidap epilepsi sebelum terjadi serangan. Bel bisa saja menutup-nutupi semuanya--aku tahu ia benci dianggap rapuh, atau rawan--namun bagiku kenangan itu masih segar. Ketakutan, itulah yang paling kuingat: hari-hari mengerikan yang diawali dengan ledakan tangis gentar yang tak menentu, dan di matanya ketakutan itu amat besar tanpa menampakkan wujud yang jelas hingga merampas mulut kami berdua.

*