Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20161109

An Evening of Long Goodbyes, Bab 2 (4/4) (Paul Murray, 2003)

“Ayo, Tanya Bool Gue, dasar jancuk sia-sia!” Frank berseru sekencang-kencangnya, sambil sesekali merogoh kantong berisi keripik bumbu. “Ayo, tolol, lari dong, jancuk!”

Aku terkikih-kikih sendirian. Anjingku, Jasper, ternyata bajingan tangguh, dan telah meninggalkan Tanya Bool Gue berserta gerombolan anjing balap lain dalam kepulan jejaknya. Sementara itu, anjing pilihan Bel, yang hambar betul namanya, Serpih Halilintar, tampaknya sudah benar-benar menyerah.

Tempat ini memang bukan Ascot[1], namun pemiliknya telah berani mengangkat lapangan balap anjing ini dari citra kumuh. Di situ terdapat bar berpenerangan baik dengan jendela panjang sehingga orang bisa melihat balapan dari atas. Di dalam bar bercampur baur antara para bajingan celaka yang mempertaruhkan kesejahteraan mereka dan beberapa golongan orang biasa. Tapi, Frank malah menjauhi bar karena di sana ada “orang-orang bejat”, dan menyeret kami keluar. Kami pun menggigil kedinginan di tribune bersama golongan orang-orang putus asa bermata merah. Orang-orang itu serupa anjing whippet kurus yang menjadi tempat mereka memercayakan keberuntungan. Tapi penampakan mereka tidak seseram Frank, dan anehnya aku jadi tenang karena ada dia. Lagi pula mereka semua kelihatannya mengenal Frank. Sepanjang balapan orang-orang seperti Micker, Anto, dan Farreller menghampiri untuk menyampaikan litani penghormatan—“Hei, Francy, gimana bujur lu?” kata mereka, atau “Pakabar Frankie, pergi lu taik.”

Frank kelihatan semakin besar saja di udara terbuka. Di sampingnya Bel tampak kecil dan kurus. Mata Bel menyala-nyala bagaikan sepasang bulan biru pucat. Entah apakah ia masih mendongkol karena aku memaksa ikut, walau Frank tampaknya tidak berkeberatan, atau apakah ia malu padaku karena menyaksikan Frank dalam lingkungan pergaulan alaminya, atau apakah ada sebab yang lain sama sekali, namun sepanjang malam itu yang diucapkannya nyaris tidak sampai dua kata. Wajahnya terus dibenamkan dalam-dalam di syalnya. Matanya terpaku pada trek. Setelah dua kali bertanya apakah Bel baik-baik saja, dan menawarinya sekeping keripik, Frank membiarkannya membisu. Kami baru tahu bahwa aku punya bakat terpendam dalam memilih pemenang. Derajatku naik di mata Frank.

“Kamu naksir siapa habisan ini?” tanyanya hormat, “Perut Bunting atau Kuskus Gordon?”

“Enggak dua-duanya,” sahutku. “Lihat deh mereka di kandang. Mereka itu anjing yang semangatnya sudah padam. Mereka mungkin cepat larinya, tapi sama-sama enggak punya kepercayaan diri buat menang. Di sisi lain, lihat Temu Bini. Perhatikan cara jalannya yang anteng, pembawaannya yang angkuh, megah. Anjing itu seperti raja. Kupasang duitku buat dia. Kalau kamu pengin tahu, itu karena dia sudah memenangkan balapan ini.”

“Betul—nah, Bel, kamu ikut taruhan, kan?”

“Aku bokek,” terdengar sahutan dingin.

“Aku pinjemin, yuk.”

“Enggak usah,” ujar Bel datar, tanpa menengadah.

“Ah, ayo dong, gini deh, aku pasang taruhan buat kamu, ya. Petunjuknya Charlie sih Temu Bini, aku pasang lima paun buat dia, ya—“

“Enggak!” seru Bel, mendadak tergerak. “Aku enggak mau petunjuknya Charles. Ia membeberkan lembar pertandingan dan mencermatinya, jari putihnya menelusuri dalam sorotan lampu yang beku. “Aku ingin bertaruh buat yang satu ini. Nomor Empat.”

“Malam Perpisahan yang Panjang,” baca Frank dari atas bahu Bel. “Enggak tahu, deh, gimana kata kamu, Charlie?”

“Yah,” sahutku netral, “meskipun dia jagonya, peluang mereka bagus juga kok—Nomor Empat, yang mana dia?”

Kami meninjau trek. Para pelatih telah mengeluarkan anjing-anjing, mempersiapkan mereka, dan menyusuri area berumput di tengah-tengah. Rambut mereka yang terawat tampak bersinar. Lidah jambon mereka terguncang-guncang kokoh seiring dengan langkah mereka. “Aku enggak lihat Nomor Empat tuh—oh.”

Nomor Empat, yang mengenakan jaket jelek berwarna hijau kekuningan, sedang duduk sendirian di atas rumput yang koyak moyak, sembari menjilati pelirnya tanpa daya. “Hmm, enggak tahu, ya, Bel ….”

“Taruhanku buat yang satu itu,” ucap Bel kukuh.

“Enggak dengerin Charlie aja, Bel, dia kan menang terus.”

“Kamu kan ke sini sama aku, bukan Charles, lagian kalau kamu memang mau meminjamkan uang buatku, kenapa kamu mesti rusuh siapa yang jadi taruhanku?” Rahangnya agak mengencang kena tamparan tempias hujan yang baru saja turun dari atap tribune.

“Hanya saja namanya kedengaran tolol ….”

“Semuanya juga punya nama yang tolol, Charles.”

Pengeras suara memberondongkan bebunyian yang menandakan bahwa balapan akan segera dimulai. Para anjing dimasukkan ke kotak berjeruji di garis start.

“Ya, tapi nama itu penting, kita harus memerhatikannya.” Aku mengatakan ini disertai keyakinan yang mengherankan. Sebab di balapan anjing ini, aku menyadari indraku terbangkitkan hingga mampu menggemakan hal-hal yang tampaknya superfisial, serupa instrumen gaib nan rumit pembawa Keberuntungan ….

“Hei kalian, balapannya sudah mulai,” ujar Frank. “Aku pasang lima paun buat dia, oke?”

“Aku enggak berpikir itu memang nama yang tolol sih,” sahut Bel, mengabaikan Frank. “Kurasa kedengarannya romantis.”

“Dia kan anjing, karena itulah kedengarannya tolol. Maksudku, kalau itu nama lagu, buku, atau semacamnya, kesannya berbeda, tapi orang macam apa sih yang menamai anjingnya Malam Perpisahan yang Panjang?”

“Orang-orang bejat tuh,” imbuh Frank. “Banci-banci tajir di bawah sono tuh yang nganggep dirinya pelatih, buat hobi-hobian, mungkin gara-gara mereka enggak mampu punya kuda. Anjing mereka biasanya taik.”

“Tepat sekali. Ingat tempat dan waktu, Bel. Enggak semuanya bisa jadi panggung sandiwara—“

“Kenapa enggak?” bantahnya, mengompori. “Lagi pula, ada yang lebih berarti daripada kemenangan.”

“Tergantung siapa yang membayari,” balasku.

Frank mendesah, mengangkat bahu, dan berlalu menuju jendela kaca berlubang tempat memasang taruhan. Barangkali kepergiannya itu disertai sekilas tatapan pilu ke ujung tribune, tempat kawanan leceknya bersukaria minum-minum kalengan. Ditinggalkannya kami yang memandang gusar lembaran hujan yang semakin tebal, seiring dengan meletusnya pistol. Kelinci-kelincian listrik itu pun kembali memutari sirkuit sendirian ….

Setelah kemenangan Temu Bini yang menggelora, Frank mengajak kami ke pub setempat untuk merayakannya. Suasana hati Bel membaik begitu kami meninggalkan trek. Kami sama sekali tidak menyebut-nyebut Malam Perpisahan yang Panjang, yang penampilannya sungguh celaka sampai-sampai kesudahannya aku dan Frank sama-sama tidak ada keinginan untuk menertawakan dia. Dari awal balapan saja penampilannya sudah buruk. Kepalanya tersangkut di pagar sehingga harus ada petugas yang melepaskannya. Ia pun melanjutkan balapan sambil tersaruk-saruk memalukan dan cara jatuhnya sama sekali tidak seperti anjing. Tanpa ampun ia menghinakan dirinya sendiri pada putaran ketiga, saat moncongnya berulah dan, diiringi cemoohan penonton, ia meninggalkan balapan demi melompati papan iklan lalu menyambar hot dog dari genggaman seorang bocah.

Pubnya kumuh lagi suram. Anggur putih pesananku disajikan dalam botol mini dengan tutup yang diputar. Adikku ikut-ikutan Frank memesan Guinness perdamaian. Sementara mereka saling mendentingkan gelas, aku melihat-lihat para peminum lainnya. Apa cuma aku yang mengenakan pakaian formal? Gerombolan orang ini tampak seragam bengisnya. Kusadari, banyak di antara mereka tengah mengarahkan tatapan tak bersahabat padaku.

“Suasananya lumayan juga, tempat ini,” aku tertawa gelisah.

“Kami lumayan sering ke sini,” ujar Frank padaku,” ya kan, Bel?”

“Betul,” Bel menatap mataku lurus-lurus. “Ini pub favorit kami.”

Dalam hati aku mendesah. Aku cukup sering menghadapi sikap semacam ini kala berhubungan dengan cewek pada umumnya, apalagi Bel. Mereka itu senang bermain api. Kasih lihat mereka orang udik yang memecahkan jendela lantas mereka bakal menjambak rambut satu sama lain demi orang itu—tanpa sedikit pun mengurangi atau menyurutkan kelembutan mereka yang terjaga, tentu saja. Kadang Bel mengingatkanku pada tokoh perempuan dalam karya E. M. Forster, yang berkeluyuran di hutan mengenakan gaun dansa, dengan membawa seperangkat barang pecah belah serta karya sulaman untuk malamnya. Apa sih yang ia cari, aku bertanya-tanya, dengan membuang-buang waktu di luar dunianya sendiri, sementara dunia tersebut ia kunci rapat-rapat di dalam dirinya.

“Yah, aku juga suka kok di sini,” ucapku supaya Bel mangkel. “Kita harus begini lebih sering. Aku senang lo menongkrong bareng pekerja. Mereka itu orang yang baik, jujur, dan tampaknya menikmati waktu merenung sehabis minggu yang berat di pabrik stoples.”

“Di sini tuh suka ada yang kelahi sampai parah,” sahut Frank. “Minggu kemarin aku sama temenku, ya, ketemu nih sama ada dua bajingan kita kenal, terus kita datengin mereka, langsung deh buk, buak! Yang satunya udah aku bikin keok terus aku lihat temen dia ngejatuhin temenku, nginjekkin kepalanya, jadi aja aku ambil nih botol, terus praaang, pas di tengah-tengah matanya. Dua-duanya kabur.”

Aku mencernanya dalam bisu.

“Aku ketawa aja,” imbuh Frank.

“Aha,” sahutku.

“Tuh, salah satu bajingannya ada di situ,” ucapnya, seraya mengeraskan suara. “Lihat bajingan yang lagi duduk-duduk di bar situ? Si jancuk cebol cetek itu? Itu salah satu bajingannya yang kita beresin.”

Si bajingan yang dibicarakan itu lelaki pendek berambut cepak dengan bekas luka yang masih baru di sepanjang rahangnya. Selagi Frank bicara pelan-pelan ia memalingkan kepala ke arah kami. Terjadilah silih tatap yang menggentarkan. Aku yang terperangkap di tengah-tengah mereka pun menggaruki hidung, terbatuk-batuk, dan mulai sesak napas saat, dengan penuh simpati, si bajingan mengangguk. Frank mendengus penuh kemenangan. Bel berdekut cemas.

“Ah, jangan pikirin dia,” Frank menenangkan Bel. “Yakin deh dia itu cuma bajingan. Lagian kalau ada yang ganggu, aku sama Charlie bakal jagain kamu, ya enggak?”

“Ha ha,” sahutku, namun ini pertanda bagiku untuk pergi. “Begini, aku lupa, aku mesti, um ….”

“Belum ngangkat jemuran, ya?” Frank terkekeh-kekeh, sampai-sampai aku tidak menangkap maksud ucapannya. Bel menyeringai pongah sementara aku mengenakan mantel dan terburu-buru keluar dengan berkeringat dingin untuk memanggil taksi.

Perjalanan pulang terasa lama, dan sesampai di pintu kuucapkan selamat tinggal pada jatah hasil menang taruhanku yang besarnya lumayan juga. Namun aku tak peduli, rasanya sungguh lega kembali di rumah. Kututup pintu dan bersandar padanya penuh syukur. Aroma tajam masakan melayang-layang ke arahku, dan aku pun menuju dapur, tepat ketika Mbok P mengeluarkan sebaki roti kayu manis dari oven, panas-panas dengan lapisan gula beku yang masih mendesis pada bagian atasnya yang keemasan. Kedatanganku mengejutkannya—malah hampir-hampir ia terlonjak, hanya saja kali ini bakinya jadi pemberat.

“Roti,” ucapku, mengabaikan kekagetannya. “Aku cuma mau ambil secuil, kalau boleh—“

“Hmm ya,” ia lekas pulih dan mengelit dengan gesit, menjauhkan bakinya dari jangkauanku, “tapi Tuan Charles, roti ini untuk ibumu tersayang di rumah sakit.”

“Dia enggak bakal berkeberatan,” ujarku, seraya melangkah dengan cekatan ke sisi bakinya.

Ia mundur. “Charles, pikirkanlah ibumu yang malang.”

“Ah, satu roti saja,” tukasku.

Dengan bibir berkerut, ia mengulurkan baki itu. Sementara mengganyang seraup bolu lezat yang masih mengepul, aku teringat rencanaku untuk menyelamatkan kesehatan mental Mbok P yang lemah dengan kasih sayang. “Jadi,” ucapku, sambil mengunyah dan menelan, “bagaimana rasanya di tempat itu?”

“Apa?” sahutnya.

“Itu lo, tempat asalmu,” jawabku, seraya mencomot roti satu lagi. Rasanya benar-benar enak. Sudah lama sekali ia tidak membuat roti kayu manis.

“Yah …” dahinya berkerut. “Di sana sangat menyenangkan, ya. Sewaktu saya masih kecil. Sekarang, tentu saja, banyak kesusahan.”

“Tapi sewaktu Mbok kecil dulu tempatnya menyenangkan, ya?” ujarku.

Ia meletakkan baki roti pada meja di belakangnya lalu melipat kedua lengan dengan gaya merenung. “Oh ya,” ucapnya, dan parasnya pun berubah drastis sehingga tampak dua puluh tahun lebih muda. Matanya yang kuning gelap tersaput oleh bahagia dan rindu, tak ubahnya kedua roti kayu manis yang sudah mengeras itu. “Sewaktu saya masih kecil, kami tinggal di desa. Ayah saya pelukis, dan rumah selalu dipenuhi warna-warni terindah. Tiap hari saya bersama saudari saya membawakan bebungaan liar untuknya supaya dilukis—“

“Ya, ya,” tukasku, karena rupanya alur pertanyaan tadi tidak seperti yang diharapkan. “Tapi sekarang situasinya buruk, ya kan? Banyak ledakan, rumah-rumah terbakar, seperti itu? Seperti di berita?”

“Sekarang,” seraya mengerutkan dahinya ke arah lantai, “semuanya berubah. Seolah-olah kita tak lagi mampu berpikir. Boleh jadi sudah tak ada lagi ledakan, pembakaran, tapi …  seperti piring ini,” ia mengambil salah satu perangkat makan malam merek Wedgwood milik Bunda dari lemari, lalu jarinya menelusuri hiasan rumit pada tepian piring itu. “Jika saya jatuhkan, habislah dia. Pecah berkeping-keping. Kita bisa merekatkannya kembali, tapi polanya, yang bersambungan ke seluruh piring, masih retak, lenyap selamanya. Rumah dan keluarga, teman-teman mengobrol di pasar, anak-anak yang menyanyi dan berteriak-teriak di jalan, orang-orang yang sedang membuat bangunan, makan roti lapis di bawah mentari, memandangi gadis-gadis cantik--semua pola itu lenyap dan menghilang seperti--“

“Eh, piringnya jangan dipecahkan,” ujarku buru-buru, seraya menyambar piring itu dari tangannya yang teracung. Sarapan tengah malam itu persoalan, tapi sengaja memecahkan piring itu persoalan baru lagi. Benar-benar deh perempuan ini rupanya bermasalah. Barangkali aku harus menelepon orang-orang di Cedar supaya datang dan memeriksanya. “Bagaimana dengan keluargamu?” ucapku, mencoba menggiringnya pada topik yang lebih adem barangkali itu dapat mengurangi ancaman pada barang-barang pecah belah. “Bagaimana dengan mereka?”

Ia hendak menjawab, namun tertahan dan mengamatiku curiga. “Kenapa Tuan bertanya-tanya tentang ini pada saya?”

“Enggak kenapa-kenapa. Cuma, tahu kan, aku enggak begitu mengenalmu. Rasanya aneh, enggak sih? Maksudku Mbok tinggal di sini--“

“Banyak sekali tanyanya,” ucapnya.

“Yah, desa global, tahu kan, bergandengan tangan melintasi lautan, yang--“

Ia tidak paham. “Banyak tanya,” ia termenung sendiri, lantas kembali menatapku seraya berkata dalam nada pahit yang tak biasanya, “di Yugoslavia, orang datang bertanya-tanya. Tidak baik, sewaktu mereka datang.”

Lo jadi sekarang ini aku polisi rahasia, ya? “Begini,” kataku, “Mbok bisa tinggal jawab pertanyaanku, atau enggak. Ceritakan padaku tentang keluargamu yang nahas itu atau enggak. Aku enggak peduli. Aku cuma mencoba bersikap baik. Aku sudah tahu semuanya kok. Aku kan mengamati berita.”

"Tuan ingin tahu tentang keluarga saya?” serunya naik darah. “Baiklah. Lima tahun lalu, suami saya itu arsitek, saya pemberi jasa bantuan hukum. Kami punya dua putra yang kuliah di universitas dan satu putri yang ingin menjadi aktris terkenal. Sekarang semua tidak ada. Rumah tidak ada, uang juga, kami mesti bersembunyi, dan lari--“ Ia menutupi wajahnya dengan celemek. Anak-anak itik dari katun berjoget naik turun di tempat hidungnya berada.

Aku bahkan tidak tahu ia punya anak. “Di mana mereka sekarang?” tanyaku, selembut mungkin.

“--dan sekarang aku membuatkanmu roti!” Mbok P tersedu sedan, lalu lari ke luar ruangan.

Aku bisa apa? Mana mungkin aku menyusulnya. Lagi pula ia kan pembantu. Kehidupan pribadinya sama sekali bukan urusanku sebetulnya. Barangkali memberi perhatian pada Mbok P memang bukan gagasan yang baik. Kami sungguh tidak tahu apa-apa tentang dirinya--suatu hari ia datang, menanggapi iklan yang, baru kami ketahui kemudian, secara misterius dipajang di jendela toko agen koran setempat. Tapi, kebetulan, waktu itu Bunda sedang berpikir-pikir untuk mencari pembantu baru. Pembantu yang terakhir, orang Perancis bertubuh kecil yang menarik dari program au pair[2], telah pergi beberapa bulan sebelumnya, setelah terjadi kesalahpahaman dengan Pongo McGurks pada pesta Natal kami--sebenarnya tidak ada maksud apa-apa, tentu saja, tapi tahulah au pair itu bagaimana. Maka Mbok P pun menjadi bagian dari rumah tangga kami. Waktu itu Ayah sudah sakit parah, dan tidak ada yang pernah menyempatkan diri untuk menanyakan tentang asal-usulnya. Baru sekarang aku terpikir bahwa ia lebih suka seperti itu.

Sambil termenung-menung, aku melahap roti satu lagi, lalu membawa bakinya ke ruang studi Ayah. Aku makan dengan ragu-ragu. Mutu masakan ini tidak lagi meyakinkan, itulah masalahnya. Rasanya memang lezat, tapi siapa yang tahu kegilaan mungkin membuatnya mencemplungkan sesuatu ke mangkuk adonan? Kalaupun bukan sekarang, bagaimana jika pada sarapan besok? Kudapan menjelang siang? Makan siang? Waktu minum teh? Makan malam? Kudapan sebelum tidur? Lalu setelah itu, permainan maut rolet Rusia ini akan terus berlanjut, dengan tiap sendoknya berputar ke lain ruangan ....

Aku yakin satu atau dua gelas anggur dapat menenangkan sarafku. Aku pun turun ke gudang. Hmmm. Aku bisa mengerti yang dimaksud Bel. Belakangan ini stok minumannya memang berkurang drastis. Masak sih aku sanggup mengganyang sebanyak itu sendirian? Atau jangan-jangan ada yang membantuku menghabiskannya? Kukepalkan tinju dan menyumpah. Frank! Sungguh aku bisa melihatnya, tertawa-tawa tanpa suara di balik van putih karatannya, beroleng-oleng maju mundur seraya menenggak dari leher botol anggur Marsanne. Atau di tempat balapan anjing, bibir botol yang hijau menyembul dari kerah jaket penahan angin yang ia kenakan sementara ia menghambur-hamburkan hasil menjual bangku ottoman kami. Atau--baru terpikir olehku, barangkali pelakunya sama sekali bukan Frank! Barangkali Mbok P lah yang meminum anggur itu! Barangkali ia Peminum Rahasia, seperti wanita pekerja di penatu milik Boyd Snook yang ditemukannya tertidur di ranjang anjing! Bisakah itu menjelaskan sebabnya Mbok P bertingkah sangat aneh? Kecuali kalau itu baru gejala dari keguncangannya, tentu saja .... Ya ampun, kami tengah hidup dalam bom waktu!

Aku mengambil sebotol premier cru[3] yang tampak menenangkan, lalu kembali ke ruang studi. Di luar bulan hanya bayang-bayang, namun lampu tak kunyalakan. Aku duduk di meja, menuangkan segelas, dan mengacungkannya pada potret Ayah--kalau-kalau ada sisa arwahnya yang masih bergentayangan di antara timbal dan minyak beracun yang dapat memberiku tanda, menunjukkan jalan keluar dari kesulitanku. Namun gelas itu terisi dan dikosongkan hingga tak ada lagi yang tersisa, dan aku tetap dalam kegelapan.

Aku berpaling ke jendela dan menatap Folly, yang separuh tersaput oleh malam. Folly itu gagasanku. Sewaktu sedang berjalan-jalan di seputar halaman, aku tersadar bahwa kami belum punya Folly barang sebiji, dan karena tampaknya tidak akan ada yang berbuat apa-apa mengenainya, aku pun memanggil tukang bangunan. Hampir setahun berlalu, namun menaranya, yang akan menjadi kebanggaan dalam properti kami, belum juga selesai. Sudah seminggu ini para tukangnya tidak bekerja. Mungkin mereka lagi mogok. Selalu ada saja alasan mereka mogok. Lain daripada kebanyakan tukang bangunan yang biasa orang dengar, para tukang yang ini sangat bermoral. Mereka akan langsung mogok, demi mendukung para perawat, atau para tukang pasang batu bata, atau cabang perburuhan lainnya, atau sering kali atas dasar kemanusiaan yang lebih umum. “Kami tidak bisa bekerja,” begitu kata mandornya padaku saat makan siang di dapur, “sampai PBB mengambil tindakan untuk Indonesia, situasinya semakin edan” (“Benar,” aku pun setuju sementara mereka berlalu demi mengamankan toko Nike di kota); atau mereka akan menolak bekerja pada Selasa pagi, seraya mengatakan padaku, “Ini masalah bangsa Kurdi, Pak Hythloday, keadaannya sudah rusak, dan Amerika Serikat malah memperburuknya” (“Aku tahu,” sahutku disertai desah sementara mereka mengacungkan plakat dan bergerak menuju Kedutaan Turki); dan tiap minggu persoalan Palestina lagi-lagi menjadi alasan supaya ada hari libur.

“Pada dasarnya, kami merasakan ketidakadilan saat bekerja sementara hal semacam ini terus terjadi,” begitu dalih mereka. Maksud mereka baik sih, tapi keadaan dunia tampaknya tidak juga membaik, dan akibatnya pembangunan Folly jadi tersendat-sendat. Aku masih belum diizinkan memasukinya. Mereka pun tidak yakin persisnya kapan Folly itu cukup aman dimasuki. Namun di sisi lain, aku hampir menyukai cara kerja mereka ini. Saat aku memandang bentuk rangka Folly tersebut, aku sudah bisa merasakan kebangkitannya yang membanggakan hati, masa depannya yang mulia. “Kebebasan!” rangka Folly itu seolah-olah menjerit. Malam ini, tepat ketika aku hendak memandanginya, aku melihat sesuatu. Seraut wajah serupa bidadari mengintip dari salah satu jendelanya yang sempit. Wajah itu sangat indah, tersaput dalam perak dan kelabu pilihan oleh sinar rembulan yang berawan. Wajah itu menatapku, tersenyum dan melambai. Kubalas lambaiannya, kemudian wajah itu pun menghilang.

Sekarang perlu kujelaskan bahwa yang semacam ini bukan hal yang sama sekali baru bagiku. Bulan-bulan belakangan ini aku memperoleh beberapa pengalaman supernatural. Teoriku yaitu tanpa adanya Bunda di sini yang mengusik perhatianku dengan omelannya, aku menjadi lebih mudah menerima komunikasi dari dunia arwah. Sudah kuceritakan kan perasaan ngeri yang kualami saat menonton film larut malam--perasaan kuat bahwa film itulah yang tengah menontonku. Sering kali Penampakan tersebut berupa sosok yang lebih jahat. Saat tengah merunduk di jendela seusai malam yang panjang, berusaha meredakan otakku yang berputar-putar, lebih dari sekali aku menyaksikan sosok sangat besar serupa goblin, tak ubahnya Frank, berkelebat dalam naungan Folly, atau tertatih-tatih melewati pekarangan dalam diam yang mengancam. Entah apakah mereka memang penunggu Amaurot, atau mereka baru datang akhir-akhir ini dengan kemampuan untuk memberi peringatan. Tapi mana pun yang kau yakini, Penampakan yang kali ini tampak pertanda baik. Maksudku, salah satu sebabnya, bidadari itu jelas selangkah lebih maju daripada goblin. Secara simbolis bisa dibilang, pastinya itu berarti bahwa Folly tersebut (yang mewakili diriku, Charles, begitu juga garis keturunan keluarga secara umum) akan terus bangkit dan mengungguli gangguan dari dunia yang biadab (yang disimbolkan oleh Frank, kalau kau mau).

Kuangkat topi imajiner untuk Ayah, sebagai cara mengucapkan terima kasih atas dikirimnya pertanda baik. Aku pun kembali ke kamarku dengan kerangka pikir yang jauh lebih optimistis, hingga aku menyadari kursi di meja tulis yang hendak kududuki telah raib. “Apa lagi sekarang?” ucapku pada langit-langit, yang makin tinggi saja dilihat dari posisiku yang merebah.

Kukuatkan diri ini, dan kujelajahi ruangan demi mencarinya, lalu ke bordes, namun kursi itu tidak ada di mana pun. Menjengkelkan. Kursi itu tidak mahal, apalagi cantik. Kursi itu dibawa turun dari loteng setelah pendahulunya ditumbangkan rayap. Pencurinya menampakkan taraf kebebalan yang tak disangka-sangka dalam berbuat kejahatan. Ada banyak barang yang lebih bagus buat dicuri di rumah ini, dan yang paling menyusahkan yaitu kenapa dia mesti terpaku pada benda tak bernilai padahal aku baru saja mau mendudukinya. Saat itu juga kudengar mereka masuk dan, seraya terkikik pada satu sama lain, memanjat tangga ke kamar Bel. Aku sudah berpikiran untuk maju dan langsung berhadapan muka dengannya. Benar-benar aku sudah pasang selop dan separuh jalan ke pintu saat dalam benakku timbul bayangan seram memergoki dia dan Bel sedang melakukan sesuatu, dan kakiku pun lunglai. Ruangan mulai terasa oleng, bagai kapal diterpa badai. Lututku tertekuk. Terhuyung-huyung aku ke lemari, lalu kembali ke tempatku semula seiring condongnya ruangan. Aku pun rebah di kasur dan memejamkan mata. Ini harus berakhir. Tidak mungkin kami terus-terusan begini. Perutku ini, misalnya saja, tak sanggup menahannya. Harus ada tindakan yang diambil: tindakan pasti.



[1] Kota kecil sekitar 40 km dari London, Inggris, tempat penyelenggaraan balap kuda
[2] Pembantu rumah tangga dari luar negeri, yang datang selain untuk bekerja juga untuk mempelajari bahasa negara tujuannya
[3] Jenis anggur yang termasuk kelas terbaik