“Ayo, Tanya
Bool Gue, dasar jancuk sia-sia!” Frank berseru sekencang-kencangnya, sambil sesekali
merogoh kantong berisi keripik bumbu. “Ayo, tolol, lari dong, jancuk!”
Aku
terkikih-kikih sendirian. Anjingku, Jasper, ternyata bajingan tangguh, dan
telah meninggalkan Tanya Bool Gue berserta gerombolan anjing balap lain dalam
kepulan jejaknya. Sementara itu, anjing pilihan Bel, yang hambar betul namanya,
Serpih Halilintar, tampaknya sudah benar-benar menyerah.
Tempat ini
memang bukan Ascot[1],
namun pemiliknya telah berani mengangkat lapangan balap anjing ini dari citra
kumuh. Di situ terdapat bar berpenerangan baik dengan jendela panjang sehingga
orang bisa melihat balapan dari atas. Di dalam bar bercampur baur antara para
bajingan celaka yang mempertaruhkan kesejahteraan mereka dan beberapa golongan
orang biasa. Tapi, Frank malah menjauhi bar karena di sana ada “orang-orang
bejat”, dan menyeret kami keluar. Kami pun menggigil kedinginan di tribune
bersama golongan orang-orang putus asa bermata merah. Orang-orang itu serupa
anjing whippet kurus yang menjadi
tempat mereka memercayakan keberuntungan. Tapi penampakan mereka tidak seseram
Frank, dan anehnya aku jadi tenang karena ada dia. Lagi pula mereka semua
kelihatannya mengenal Frank. Sepanjang balapan orang-orang seperti Micker,
Anto, dan Farreller menghampiri untuk menyampaikan litani penghormatan—“Hei,
Francy, gimana bujur lu?” kata mereka, atau “Pakabar Frankie, pergi lu taik.”
Frank kelihatan
semakin besar saja di udara terbuka. Di sampingnya Bel tampak kecil dan kurus.
Mata Bel menyala-nyala bagaikan sepasang bulan biru pucat. Entah apakah ia
masih mendongkol karena aku memaksa ikut, walau Frank tampaknya tidak
berkeberatan, atau apakah ia malu padaku karena menyaksikan Frank dalam
lingkungan pergaulan alaminya, atau apakah ada sebab yang lain sama sekali,
namun sepanjang malam itu yang diucapkannya nyaris tidak sampai dua kata.
Wajahnya terus dibenamkan dalam-dalam di syalnya. Matanya terpaku pada trek.
Setelah dua kali bertanya apakah Bel baik-baik saja, dan menawarinya sekeping
keripik, Frank membiarkannya membisu. Kami baru tahu bahwa aku punya bakat
terpendam dalam memilih pemenang. Derajatku naik di mata Frank.
“Kamu
naksir siapa habisan ini?” tanyanya hormat, “Perut Bunting atau Kuskus Gordon?”
“Enggak
dua-duanya,” sahutku. “Lihat deh mereka di kandang. Mereka itu anjing yang
semangatnya sudah padam. Mereka mungkin cepat larinya, tapi sama-sama enggak
punya kepercayaan diri buat menang. Di sisi lain, lihat Temu Bini. Perhatikan
cara jalannya yang anteng, pembawaannya yang angkuh, megah. Anjing itu seperti
raja. Kupasang duitku buat dia. Kalau kamu pengin tahu, itu karena dia sudah
memenangkan balapan ini.”
“Betul—nah,
Bel, kamu ikut taruhan, kan?”
“Aku
bokek,” terdengar sahutan dingin.
“Aku
pinjemin, yuk.”
“Enggak
usah,” ujar Bel datar, tanpa menengadah.
“Ah, ayo
dong, gini deh, aku pasang taruhan buat kamu, ya. Petunjuknya Charlie sih Temu
Bini, aku pasang lima paun buat dia, ya—“
“Enggak!”
seru Bel, mendadak tergerak. “Aku enggak mau petunjuknya Charles. Ia
membeberkan lembar pertandingan dan mencermatinya, jari putihnya menelusuri
dalam sorotan lampu yang beku. “Aku ingin bertaruh buat yang satu ini. Nomor
Empat.”
“Malam
Perpisahan yang Panjang,” baca Frank dari atas bahu Bel. “Enggak tahu, deh,
gimana kata kamu, Charlie?”
“Yah,”
sahutku netral, “meskipun dia jagonya, peluang mereka bagus juga kok—Nomor
Empat, yang mana dia?”
Kami
meninjau trek. Para pelatih telah mengeluarkan anjing-anjing, mempersiapkan
mereka, dan menyusuri area berumput di tengah-tengah. Rambut mereka yang
terawat tampak bersinar. Lidah jambon mereka terguncang-guncang kokoh seiring
dengan langkah mereka. “Aku enggak lihat Nomor Empat tuh—oh.”
Nomor
Empat, yang mengenakan jaket jelek berwarna hijau kekuningan, sedang duduk
sendirian di atas rumput yang koyak moyak, sembari menjilati pelirnya tanpa
daya. “Hmm, enggak tahu, ya, Bel ….”
“Taruhanku
buat yang satu itu,” ucap Bel kukuh.
“Enggak
dengerin Charlie aja, Bel, dia kan menang terus.”
“Kamu kan ke
sini sama aku, bukan Charles, lagian kalau kamu memang mau meminjamkan uang buatku, kenapa kamu mesti rusuh siapa yang jadi
taruhanku?” Rahangnya agak mengencang kena tamparan tempias hujan yang baru
saja turun dari atap tribune.
“Hanya saja
namanya kedengaran tolol ….”
“Semuanya
juga punya nama yang tolol, Charles.”
Pengeras
suara memberondongkan bebunyian yang menandakan bahwa balapan akan segera
dimulai. Para anjing dimasukkan ke kotak berjeruji di garis start.
“Ya, tapi
nama itu penting, kita harus memerhatikannya.” Aku mengatakan ini disertai
keyakinan yang mengherankan. Sebab di balapan anjing ini, aku menyadari indraku
terbangkitkan hingga mampu menggemakan hal-hal yang tampaknya superfisial,
serupa instrumen gaib nan rumit pembawa Keberuntungan ….
“Hei
kalian, balapannya sudah mulai,” ujar Frank. “Aku pasang lima paun buat dia,
oke?”
“Aku enggak
berpikir itu memang nama yang tolol
sih,” sahut Bel, mengabaikan Frank. “Kurasa kedengarannya romantis.”
“Dia kan anjing, karena itulah kedengarannya
tolol. Maksudku, kalau itu nama lagu, buku, atau semacamnya, kesannya berbeda, tapi
orang macam apa sih yang menamai anjingnya Malam Perpisahan yang Panjang?”
“Orang-orang
bejat tuh,” imbuh Frank. “Banci-banci tajir di bawah sono tuh yang nganggep
dirinya pelatih, buat hobi-hobian, mungkin gara-gara mereka enggak mampu punya
kuda. Anjing mereka biasanya taik.”
“Tepat
sekali. Ingat tempat dan waktu, Bel. Enggak semuanya bisa jadi panggung
sandiwara—“
“Kenapa
enggak?” bantahnya, mengompori. “Lagi pula, ada yang lebih berarti daripada
kemenangan.”
“Tergantung
siapa yang membayari,” balasku.
Frank
mendesah, mengangkat bahu, dan berlalu menuju jendela kaca berlubang tempat
memasang taruhan. Barangkali kepergiannya itu disertai sekilas tatapan pilu ke
ujung tribune, tempat kawanan leceknya bersukaria minum-minum kalengan.
Ditinggalkannya kami yang memandang gusar lembaran hujan yang semakin tebal,
seiring dengan meletusnya pistol. Kelinci-kelincian listrik itu pun kembali
memutari sirkuit sendirian ….
Setelah
kemenangan Temu Bini yang menggelora, Frank mengajak kami ke pub setempat untuk
merayakannya. Suasana hati Bel membaik begitu kami meninggalkan trek. Kami sama
sekali tidak menyebut-nyebut Malam Perpisahan yang Panjang, yang penampilannya
sungguh celaka sampai-sampai kesudahannya aku dan Frank sama-sama tidak ada
keinginan untuk menertawakan dia. Dari awal balapan saja penampilannya sudah
buruk. Kepalanya tersangkut di pagar sehingga harus ada petugas yang
melepaskannya. Ia pun melanjutkan balapan sambil tersaruk-saruk memalukan dan
cara jatuhnya sama sekali tidak seperti anjing. Tanpa ampun ia menghinakan
dirinya sendiri pada putaran ketiga, saat moncongnya berulah dan, diiringi
cemoohan penonton, ia meninggalkan balapan demi melompati papan iklan lalu
menyambar hot dog dari genggaman seorang bocah.
Pubnya
kumuh lagi suram. Anggur putih pesananku disajikan dalam botol mini dengan
tutup yang diputar. Adikku ikut-ikutan Frank memesan Guinness perdamaian.
Sementara mereka saling mendentingkan gelas, aku melihat-lihat para peminum
lainnya. Apa cuma aku yang mengenakan pakaian formal? Gerombolan orang ini
tampak seragam bengisnya. Kusadari, banyak di antara mereka tengah mengarahkan
tatapan tak bersahabat padaku.
“Suasananya
lumayan juga, tempat ini,” aku tertawa gelisah.
“Kami
lumayan sering ke sini,” ujar Frank padaku,” ya kan, Bel?”
“Betul,” Bel
menatap mataku lurus-lurus. “Ini pub favorit kami.”
Dalam hati
aku mendesah. Aku cukup sering menghadapi sikap semacam ini kala berhubungan
dengan cewek pada umumnya, apalagi Bel. Mereka itu senang bermain api. Kasih
lihat mereka orang udik yang memecahkan jendela lantas mereka bakal menjambak
rambut satu sama lain demi orang itu—tanpa sedikit pun mengurangi atau
menyurutkan kelembutan mereka yang terjaga, tentu saja. Kadang Bel
mengingatkanku pada tokoh perempuan dalam karya E. M. Forster, yang berkeluyuran
di hutan mengenakan gaun dansa, dengan membawa seperangkat barang pecah belah
serta karya sulaman untuk malamnya. Apa sih yang ia cari, aku bertanya-tanya,
dengan membuang-buang waktu di luar dunianya sendiri, sementara dunia tersebut
ia kunci rapat-rapat di dalam dirinya.
“Yah, aku
juga suka kok di sini,” ucapku supaya Bel mangkel. “Kita harus begini lebih
sering. Aku senang lo menongkrong bareng pekerja. Mereka itu orang yang baik,
jujur, dan tampaknya menikmati waktu merenung sehabis minggu yang berat di
pabrik stoples.”
“Di sini
tuh suka ada yang kelahi sampai parah,” sahut Frank. “Minggu kemarin aku sama
temenku, ya, ketemu nih sama ada dua bajingan kita kenal, terus kita datengin
mereka, langsung deh buk, buak! Yang satunya udah aku bikin keok terus aku
lihat temen dia ngejatuhin temenku, nginjekkin kepalanya, jadi aja aku ambil
nih botol, terus praaang, pas di
tengah-tengah matanya. Dua-duanya kabur.”
Aku
mencernanya dalam bisu.
“Aku ketawa
aja,” imbuh Frank.
“Aha,”
sahutku.
“Tuh, salah
satu bajingannya ada di situ,” ucapnya, seraya mengeraskan suara. “Lihat
bajingan yang lagi duduk-duduk di bar situ? Si jancuk cebol cetek itu? Itu
salah satu bajingannya yang kita beresin.”
Si bajingan
yang dibicarakan itu lelaki pendek berambut cepak dengan bekas luka yang masih
baru di sepanjang rahangnya. Selagi Frank bicara pelan-pelan ia memalingkan
kepala ke arah kami. Terjadilah silih tatap yang menggentarkan. Aku yang
terperangkap di tengah-tengah mereka pun menggaruki hidung, terbatuk-batuk, dan
mulai sesak napas saat, dengan penuh simpati, si bajingan mengangguk. Frank
mendengus penuh kemenangan. Bel berdekut cemas.
“Ah, jangan
pikirin dia,” Frank menenangkan Bel. “Yakin deh dia itu cuma bajingan. Lagian
kalau ada yang ganggu, aku sama Charlie bakal jagain kamu, ya enggak?”
“Ha ha,”
sahutku, namun ini pertanda bagiku untuk pergi. “Begini, aku lupa, aku mesti,
um ….”
“Belum
ngangkat jemuran, ya?” Frank terkekeh-kekeh, sampai-sampai aku tidak menangkap
maksud ucapannya. Bel menyeringai pongah sementara aku mengenakan mantel dan
terburu-buru keluar dengan berkeringat dingin untuk memanggil taksi.
Perjalanan
pulang terasa lama, dan sesampai di pintu kuucapkan selamat tinggal pada jatah
hasil menang taruhanku yang besarnya lumayan juga. Namun aku tak peduli,
rasanya sungguh lega kembali di rumah. Kututup pintu dan bersandar padanya
penuh syukur. Aroma tajam masakan melayang-layang ke arahku, dan aku pun menuju
dapur, tepat ketika Mbok P mengeluarkan sebaki roti kayu manis dari oven,
panas-panas dengan lapisan gula beku yang masih mendesis pada bagian atasnya
yang keemasan. Kedatanganku mengejutkannya—malah hampir-hampir ia terlonjak,
hanya saja kali ini bakinya jadi pemberat.
“Roti,”
ucapku, mengabaikan kekagetannya. “Aku cuma mau ambil secuil, kalau boleh—“
“Hmm ya,”
ia lekas pulih dan mengelit dengan gesit, menjauhkan bakinya dari jangkauanku,
“tapi Tuan Charles, roti ini untuk ibumu tersayang di rumah sakit.”
“Dia enggak
bakal berkeberatan,” ujarku, seraya melangkah dengan cekatan ke sisi bakinya.
Ia mundur.
“Charles, pikirkanlah ibumu yang malang.”
“Ah, satu
roti saja,” tukasku.
Dengan
bibir berkerut, ia mengulurkan baki itu. Sementara mengganyang seraup bolu
lezat yang masih mengepul, aku teringat rencanaku untuk menyelamatkan kesehatan
mental Mbok P yang lemah dengan kasih sayang. “Jadi,” ucapku, sambil mengunyah
dan menelan, “bagaimana rasanya di tempat itu?”
“Apa?”
sahutnya.
“Itu lo,
tempat asalmu,” jawabku, seraya mencomot roti satu lagi. Rasanya benar-benar
enak. Sudah lama sekali ia tidak membuat roti kayu manis.
“Yah …”
dahinya berkerut. “Di sana sangat menyenangkan, ya. Sewaktu saya masih kecil.
Sekarang, tentu saja, banyak kesusahan.”
“Tapi
sewaktu Mbok kecil dulu tempatnya menyenangkan, ya?” ujarku.
Ia
meletakkan baki roti pada meja di belakangnya lalu melipat kedua lengan dengan
gaya merenung. “Oh ya,” ucapnya, dan parasnya pun berubah drastis sehingga
tampak dua puluh tahun lebih muda. Matanya yang kuning gelap tersaput oleh
bahagia dan rindu, tak ubahnya kedua roti kayu manis yang sudah mengeras itu.
“Sewaktu saya masih kecil, kami tinggal di desa. Ayah saya pelukis, dan rumah
selalu dipenuhi warna-warni terindah. Tiap hari saya bersama saudari saya
membawakan bebungaan liar untuknya supaya dilukis—“
“Ya, ya,”
tukasku, karena rupanya alur pertanyaan tadi tidak seperti yang diharapkan.
“Tapi sekarang situasinya buruk, ya kan? Banyak ledakan, rumah-rumah terbakar,
seperti itu? Seperti di berita?”
“Sekarang,”
seraya mengerutkan dahinya ke arah lantai, “semuanya berubah. Seolah-olah kita
tak lagi mampu berpikir. Boleh jadi sudah tak ada lagi ledakan, pembakaran,
tapi … seperti piring ini,” ia mengambil
salah satu perangkat makan malam merek Wedgwood milik Bunda dari lemari, lalu
jarinya menelusuri hiasan rumit pada tepian piring itu. “Jika saya jatuhkan,
habislah dia. Pecah berkeping-keping. Kita bisa merekatkannya kembali, tapi
polanya, yang bersambungan ke seluruh piring, masih retak, lenyap selamanya.
Rumah dan keluarga, teman-teman mengobrol di pasar, anak-anak yang menyanyi dan
berteriak-teriak di jalan, orang-orang yang sedang membuat bangunan, makan roti
lapis di bawah mentari, memandangi gadis-gadis cantik--semua pola itu lenyap
dan menghilang seperti--“
“Eh,
piringnya jangan dipecahkan,” ujarku buru-buru, seraya menyambar piring itu dari
tangannya yang teracung. Sarapan tengah malam itu persoalan, tapi sengaja memecahkan
piring itu persoalan baru lagi. Benar-benar deh perempuan ini rupanya
bermasalah. Barangkali aku harus menelepon orang-orang di Cedar supaya datang
dan memeriksanya. “Bagaimana dengan keluargamu?” ucapku, mencoba menggiringnya
pada topik yang lebih adem barangkali itu dapat mengurangi ancaman pada
barang-barang pecah belah. “Bagaimana dengan mereka?”
Ia hendak
menjawab, namun tertahan dan mengamatiku curiga. “Kenapa Tuan bertanya-tanya
tentang ini pada saya?”
“Enggak
kenapa-kenapa. Cuma, tahu kan, aku enggak begitu mengenalmu. Rasanya aneh,
enggak sih? Maksudku Mbok tinggal di sini--“
“Banyak
sekali tanyanya,” ucapnya.
“Yah, desa
global, tahu kan, bergandengan tangan melintasi lautan, yang--“
Ia tidak
paham. “Banyak tanya,” ia termenung sendiri, lantas kembali menatapku seraya
berkata dalam nada pahit yang tak biasanya, “di Yugoslavia, orang datang
bertanya-tanya. Tidak baik, sewaktu mereka datang.”
Lo jadi
sekarang ini aku polisi rahasia, ya? “Begini,” kataku, “Mbok bisa tinggal jawab
pertanyaanku, atau enggak. Ceritakan padaku tentang keluargamu yang nahas itu
atau enggak. Aku enggak peduli. Aku cuma mencoba bersikap baik. Aku sudah tahu
semuanya kok. Aku kan mengamati berita.”
"Tuan ingin
tahu tentang keluarga saya?” serunya naik darah. “Baiklah. Lima tahun lalu,
suami saya itu arsitek, saya pemberi jasa bantuan hukum. Kami punya dua putra
yang kuliah di universitas dan satu putri yang ingin menjadi aktris terkenal.
Sekarang semua tidak ada. Rumah tidak ada, uang juga, kami mesti bersembunyi,
dan lari--“ Ia menutupi wajahnya dengan celemek. Anak-anak itik dari katun
berjoget naik turun di tempat hidungnya berada.
Aku bahkan
tidak tahu ia punya anak. “Di mana mereka sekarang?” tanyaku, selembut mungkin.
“--dan
sekarang aku membuatkanmu roti!” Mbok P tersedu sedan, lalu lari ke luar
ruangan.
Aku bisa
apa? Mana mungkin aku menyusulnya. Lagi pula ia kan pembantu. Kehidupan
pribadinya sama sekali bukan urusanku sebetulnya. Barangkali memberi perhatian
pada Mbok P memang bukan gagasan yang baik. Kami sungguh tidak tahu apa-apa
tentang dirinya--suatu hari ia datang, menanggapi iklan yang, baru kami ketahui
kemudian, secara misterius dipajang di jendela toko agen koran setempat. Tapi,
kebetulan, waktu itu Bunda sedang berpikir-pikir untuk mencari pembantu baru.
Pembantu yang terakhir, orang Perancis bertubuh kecil yang menarik dari program
au pair[2], telah pergi
beberapa bulan sebelumnya, setelah terjadi kesalahpahaman dengan Pongo McGurks
pada pesta Natal kami--sebenarnya tidak ada maksud apa-apa, tentu saja, tapi
tahulah au pair itu bagaimana. Maka
Mbok P pun menjadi bagian dari rumah tangga kami. Waktu itu Ayah sudah sakit
parah, dan tidak ada yang pernah menyempatkan diri untuk menanyakan tentang
asal-usulnya. Baru sekarang aku terpikir bahwa ia lebih suka seperti itu.
Sambil
termenung-menung, aku melahap roti satu lagi, lalu membawa bakinya ke ruang
studi Ayah. Aku makan dengan ragu-ragu. Mutu masakan ini tidak lagi meyakinkan,
itulah masalahnya. Rasanya memang lezat, tapi siapa yang tahu kegilaan mungkin
membuatnya mencemplungkan sesuatu ke mangkuk adonan? Kalaupun bukan sekarang,
bagaimana jika pada sarapan besok? Kudapan menjelang siang? Makan siang? Waktu
minum teh? Makan malam? Kudapan sebelum tidur? Lalu setelah itu, permainan maut
rolet Rusia ini akan terus berlanjut, dengan tiap sendoknya berputar ke lain
ruangan ....
Aku yakin
satu atau dua gelas anggur dapat menenangkan sarafku. Aku pun turun ke gudang.
Hmmm. Aku bisa mengerti yang dimaksud Bel. Belakangan ini stok minumannya
memang berkurang drastis. Masak sih aku sanggup mengganyang sebanyak itu
sendirian? Atau jangan-jangan ada yang membantuku menghabiskannya? Kukepalkan
tinju dan menyumpah. Frank! Sungguh aku bisa melihatnya, tertawa-tawa tanpa
suara di balik van putih karatannya, beroleng-oleng maju mundur seraya
menenggak dari leher botol anggur Marsanne. Atau di tempat balapan anjing,
bibir botol yang hijau menyembul dari kerah jaket penahan angin yang ia kenakan
sementara ia menghambur-hamburkan hasil menjual bangku ottoman kami. Atau--baru
terpikir olehku, barangkali pelakunya sama sekali bukan Frank! Barangkali Mbok P
lah yang meminum anggur itu! Barangkali ia Peminum Rahasia, seperti wanita
pekerja di penatu milik Boyd Snook yang ditemukannya tertidur di ranjang
anjing! Bisakah itu menjelaskan sebabnya Mbok P bertingkah sangat aneh? Kecuali
kalau itu baru gejala dari keguncangannya, tentu saja .... Ya ampun, kami
tengah hidup dalam bom waktu!
Aku
mengambil sebotol premier cru[3] yang tampak
menenangkan, lalu kembali ke ruang studi. Di luar bulan hanya bayang-bayang,
namun lampu tak kunyalakan. Aku duduk di meja, menuangkan segelas, dan
mengacungkannya pada potret Ayah--kalau-kalau ada sisa arwahnya yang masih
bergentayangan di antara timbal dan minyak beracun yang dapat memberiku tanda,
menunjukkan jalan keluar dari kesulitanku. Namun gelas itu terisi dan
dikosongkan hingga tak ada lagi yang tersisa, dan aku tetap dalam kegelapan.
Aku
berpaling ke jendela dan menatap Folly, yang separuh tersaput oleh malam. Folly
itu gagasanku. Sewaktu sedang berjalan-jalan di seputar halaman, aku tersadar
bahwa kami belum punya Folly barang sebiji, dan karena tampaknya tidak akan ada
yang berbuat apa-apa mengenainya, aku pun memanggil tukang bangunan. Hampir
setahun berlalu, namun menaranya, yang akan menjadi kebanggaan dalam properti
kami, belum juga selesai. Sudah seminggu ini para tukangnya tidak bekerja.
Mungkin mereka lagi mogok. Selalu ada saja alasan mereka mogok. Lain daripada
kebanyakan tukang bangunan yang biasa orang dengar, para tukang yang ini sangat
bermoral. Mereka akan langsung mogok, demi mendukung para perawat, atau para
tukang pasang batu bata, atau cabang perburuhan lainnya, atau sering kali atas
dasar kemanusiaan yang lebih umum. “Kami tidak bisa bekerja,” begitu kata
mandornya padaku saat makan siang di dapur, “sampai PBB mengambil tindakan
untuk Indonesia, situasinya semakin edan” (“Benar,” aku pun setuju sementara
mereka berlalu demi mengamankan toko Nike di kota); atau mereka akan menolak
bekerja pada Selasa pagi, seraya mengatakan padaku, “Ini masalah bangsa Kurdi, Pak Hythloday, keadaannya sudah rusak, dan Amerika Serikat malah memperburuknya”
(“Aku tahu,” sahutku disertai desah sementara mereka mengacungkan plakat dan
bergerak menuju Kedutaan Turki); dan tiap minggu persoalan Palestina lagi-lagi
menjadi alasan supaya ada hari libur.
“Pada
dasarnya, kami merasakan ketidakadilan saat bekerja sementara hal semacam ini
terus terjadi,” begitu dalih mereka. Maksud mereka baik sih, tapi keadaan dunia
tampaknya tidak juga membaik, dan akibatnya pembangunan Folly jadi
tersendat-sendat. Aku masih belum diizinkan memasukinya. Mereka pun tidak yakin
persisnya kapan Folly itu cukup aman dimasuki. Namun di sisi lain, aku hampir
menyukai cara kerja mereka ini. Saat aku memandang bentuk rangka Folly
tersebut, aku sudah bisa merasakan kebangkitannya yang membanggakan hati, masa
depannya yang mulia. “Kebebasan!” rangka Folly itu seolah-olah menjerit. Malam
ini, tepat ketika aku hendak memandanginya, aku melihat sesuatu. Seraut wajah
serupa bidadari mengintip dari salah satu jendelanya yang sempit. Wajah itu
sangat indah, tersaput dalam perak dan kelabu pilihan oleh sinar rembulan yang
berawan. Wajah itu menatapku, tersenyum dan melambai. Kubalas lambaiannya,
kemudian wajah itu pun menghilang.
Sekarang
perlu kujelaskan bahwa yang semacam ini bukan hal yang sama sekali baru bagiku.
Bulan-bulan belakangan ini aku memperoleh beberapa pengalaman supernatural.
Teoriku yaitu tanpa adanya Bunda di sini yang mengusik perhatianku dengan
omelannya, aku menjadi lebih mudah menerima komunikasi dari dunia arwah. Sudah
kuceritakan kan perasaan ngeri yang kualami saat menonton film larut
malam--perasaan kuat bahwa film itulah yang tengah menontonku. Sering kali
Penampakan tersebut berupa sosok yang lebih jahat. Saat tengah merunduk di
jendela seusai malam yang panjang, berusaha meredakan otakku yang
berputar-putar, lebih dari sekali aku menyaksikan sosok sangat besar serupa
goblin, tak ubahnya Frank, berkelebat dalam naungan Folly, atau tertatih-tatih
melewati pekarangan dalam diam yang mengancam. Entah apakah mereka memang penunggu
Amaurot, atau mereka baru datang akhir-akhir ini dengan kemampuan untuk memberi
peringatan. Tapi mana pun yang kau yakini, Penampakan yang kali ini tampak
pertanda baik. Maksudku, salah satu sebabnya, bidadari itu jelas selangkah
lebih maju daripada goblin. Secara simbolis bisa dibilang, pastinya itu berarti
bahwa Folly tersebut (yang mewakili diriku, Charles, begitu juga garis
keturunan keluarga secara umum) akan terus bangkit dan mengungguli gangguan
dari dunia yang biadab (yang disimbolkan oleh Frank, kalau kau mau).
Kuangkat
topi imajiner untuk Ayah, sebagai cara mengucapkan terima kasih atas dikirimnya
pertanda baik. Aku pun kembali ke kamarku dengan kerangka pikir yang jauh lebih
optimistis, hingga aku menyadari kursi di meja tulis yang hendak kududuki telah
raib. “Apa lagi sekarang?” ucapku pada langit-langit, yang makin tinggi saja
dilihat dari posisiku yang merebah.
Kukuatkan
diri ini, dan kujelajahi ruangan demi mencarinya, lalu ke bordes, namun kursi
itu tidak ada di mana pun. Menjengkelkan. Kursi itu tidak mahal, apalagi
cantik. Kursi itu dibawa turun dari loteng setelah pendahulunya ditumbangkan
rayap. Pencurinya menampakkan taraf kebebalan yang tak disangka-sangka dalam
berbuat kejahatan. Ada banyak barang yang lebih bagus buat dicuri di rumah ini,
dan yang paling menyusahkan yaitu kenapa dia mesti terpaku pada benda tak
bernilai padahal aku baru saja mau mendudukinya. Saat itu juga kudengar mereka
masuk dan, seraya terkikik pada satu sama lain, memanjat tangga ke kamar Bel.
Aku sudah berpikiran untuk maju dan langsung berhadapan muka dengannya.
Benar-benar aku sudah pasang selop dan separuh jalan ke pintu saat dalam
benakku timbul bayangan seram memergoki dia dan Bel sedang melakukan sesuatu, dan kakiku pun lunglai. Ruangan
mulai terasa oleng, bagai kapal diterpa badai. Lututku tertekuk.
Terhuyung-huyung aku ke lemari, lalu kembali ke tempatku semula seiring
condongnya ruangan. Aku pun rebah di kasur dan memejamkan mata. Ini harus
berakhir. Tidak mungkin kami terus-terusan begini. Perutku ini, misalnya saja,
tak sanggup menahannya. Harus ada tindakan yang diambil: tindakan pasti.