“Apa yang
kita ketahui tentang Mbok P?” tanyaku
keesokan sorenya, seraya menurunkan bukuku.
Di seberang
meja, Bel sedang melentikkan bulu mata menggunakan semacam alat dari logam.
“Hmm?” sahutnya.
“Maksudku,
dia sudah bersama kita sejak—berapa, dua tahun? Tiga? Tapi kita enggak benar-benar tahu motivasinya.”
“Jangan
mengocehkan salah satu khayalan paranoidmu,” ujarnya, sambil memasang selembar
bulu mata bagian atas di antara jepitan baja.
“Enggak
kok,” tukasku tak sabar. “Cuma rasanya aneh
saja ada orang yang boleh tinggal di rumah dalam waktu lama dan tetap
menjadi orang yang benar-benar asing, sekalipun dia orang asing yang berharga
dan gajinya besar. Apa kita—sudahkah kita memberinya cukup perhatian? Haruskah
kita, mengerti kan, mengobrol dengannya, dan sebagainya?”
“Kenapa kamu
membicarakan ini?” tanya Bel curiga.
“Enggak ada
apa-apa,” jawabku. “Cuma semua orang kan butuh kasih sayang.”
Tawanya tak
enak didengar. “Mungkin kamu seharusnya tetap di tempat tidur?”
“Yah, kamu
enggak merasa belakangan ini dia itu rada … terganggu jiwanya? Menganggap
serius soal kacang merah itu. Dia terus-terusan bersikap ganjil untuk menebus
kesalahannya. Kemarin dia membelikanku celana
dalam.”
“Aku enggak
merasa jiwanya terganggu sehingga dia ingin berbuat sesuatu untukmu, Charles,
kalau bukan karena itu sepenuhnya salahmu, pastinya—“
“Ya, yah,
kamu enggak lihat celana dalam pemberiannya sih. Lagi pula, hampir-hampir enggak
pantas, kan, membelikan pakaian dalam buat majikan—kecuali …” pikiran buruk
menyambarku. “Astaga, Bel, enggak mungkin kan dia jadi semacam terobsesi
padaku? Maksudku, dia enggak lagi berusaha menggodaku, kan?”
“Menuruku
sih kemungkinan besar dia tahu yang diperlukan cuma setengah botol wiski
Jameson serta Wonderbra ….”
“Aku
serius. Ada hal lainnya lagi. Malam sebelumnya—dini hari sekali—aku memergoki
dia membuatkanku sarapan. Jelaslah aku enggak bisa mempersalahkan
pengabdiannya, tapi yang dia persiapkan itu kelihatannya seperti pegar
utuh-utuh. Bukankah itu rada aneh?”
Ia
mengangkat alisnya dengan penuh perhatian. “Enggak juga. Buatmu sih enggak.
Enggak kalau kamu ingat fasemu sarapan-lobster, dan fase foie-gras, fase ramuan Maroko yang mengerikan itu—“
“Ya, ya ….
Tapi belakangan ini aku hemat lo. Aku cuma mengudap roti sabit dan majalah
kriket.”
“Ya, tapi
cuma karena belakangan ini tiap pagi
kamu pengar—sungguh kuharap kamu mengendalikan minummu, Charles, sudahkah kamu
menengok gudang anggur? Tentu saja sudah, pertanyaan tolol. Tapi sepertinya isi
gudang itu persediaan buat sejibun bajingan elite, bukan cuma kamu.”
“Yah,
mending bajing daripada babi, kataku juga. Cukup sudah. Silakan kembali pada
kosmetikmu.”
Ia
menyeringai dan mulai memoles hidungnya dengan pemulas bedak. Ia selalu menjaga
penampilannya baik-baik. Sebagian besar pakaiannya dibeli di toko amal, tapi
penampilannya ditata dengan lihai, menyerupai mahasiswi asli Paris seputar 1968
yang bokek. Aku jadi penasaran dengan persiapan Frank untuk keluar malam.
Jangan-jangan ia sudah puas hanya dengan menyembunyikan baut-baut di lehernya.
“Aku cuma
mau membicarakan Mbok P. Aku sungguh merasa kita semestinya lebih berusaha. Ia
makin tua dan membutuhkan sokongan kita. Kita bisa tanya-tanya yang sopan,
misalnya. Aku yakin ia punya kisah luar biasa dari tempat asalnya, apa namanya,
Bosnia?”
“Aku
yakin.”
“Seperti
apa di sana, Bosnia? Ada yang kamu ketahui mengenainya?”
“Ya ampun,
Charles, itu kan ada di berita sampai tiga tahun penuh—“
“Yah, yang
mana? Apa yang ada orang-orang bertopi lucu itu?”
“Yang benar
saja. Kamu enggak tahu apa pun soal peristiwa sekarang ini?”
“Hampir-hampir
bukan seleraku.”
“Oh, genosida bukan seleramu, ya?” ejeknya,
seraya merenggut pensil mini ke alisnya. “Ada yang jadi penasaran seleranya
siapa itu.”
“Hei,
seingatku kamu pun enggak berbuat
banyak soal itu,” sambarku. “Seingatku kamu
enggak … mengumpulkan tutup botol, atau, atau menulis surat kecaman untuk PBB.”
“Mengumpulkan
tutup botol,” sahutnya, seraya meraih kikir kuku. “Pejuang kemanusiaan yang
hebat. Itu enggak ternilai harganya.”
“Heh,
menurutku sih,” tangkisku, “satu-satunya alasan kamu tahu hal beginian yaitu
untuk menyombongkan diri di depanku. Malah, menurutku satu-satunya alasan siapa
pun tahu hal beginian, supaya mereka bisa berlagak pintar dan mengompori
perdebatan di pub dan membuat orang lain merasa bersalah karena enggak sering
menonton televisi.”
“Kalau
begitu, pergi sana dan mengobrol sama Mbok P,” Bel merengut, “aku yakin dia
bakal senang berbagi pikiran yang berwawasan denganmu. Mungkin kalian bisa
bertukar resep tradisional, kamu bisa memberinya resep kacang merah ala
Charles—“
“Jadi malam
ini Frank mau membawamu ke mana?” ujarku, karena sarung tangannya rupanya sudah
diambil. “Mengadu luak? Gulat lumpur? Apa kalian bakal minum-minum kalengan di
ladang?”
“Perjanjiannya!”
jeritnya beringas. “Perjanjiannya!”
“Habeas corpus,” sahutku. “Perjanjiannya
enggak sah sampai kamu memenuhi separuhnya.”
“Aku sudah
menelepon dia,” sanggah Bel. “Dia memberiku nomor telepon kantornya. Katanya
dia bakal senang kamu telepon kapan pun.”
“Ah, itu mah sama saja bohong!” Kugebrakkan
kedua tanganku di meja. “Tahu kan aku tuh enggak suka pakai telepon.” Malah,
aku benci semua peralatan modern—alat,
bahkan kata itu sendiri saja kedengarannya hina dina. “Bisa enggak kamu telepon
dia lagi dan suruh dia ke sini?”
“Memangnya
kamu ini penderita cacat? Aku ini bukan kacungmu.”
Mungkin Mbok P mau meneleponnya—tapi tidak! Perjanjiannya belum disepakati, dan aku akan
berkukuh. “Perjanjiannya belum disepakati,” ucapku, “dan sampai itu terwujud,
kita tetap dalam keadaan perang.”
“Perang?”
“Jadi aku
mesti memaksamu supaya bisa menyertaimu malam ini sebagai pengawal.”
“Charles,”
ia memperingatkan. Matanya mendelik padaku di antara berhelai bulu yang hitam
kaku.
“Aku
memaksa nih.”
“Makin hari
kamu ini makin terlalu saja, tahu enggak sih?”
“Biar,”
jawabku kalem. “Jadi kita mau ke mana nih?”
*