Barangkali
Bel ada benarnya, soal aku menganggur, maksudku. Sepintas mungkin kelihatannya
aku ini menjalani hidup yang malas-malasan, bila dibandingkan dengan ramainya
industri yang dipacu kota hingga mencabik-cabik dirinya sendiri. Memang,
setelah terjerat dalam Pendidikan Tinggi yang singkat namun menyesalkan, aku
agak membatasi kegiatanku di rumah dan daerah sekelilingnya saja. Nyatanya aku
bahagia. Karena aku tidak punya kecakapan apa-apa yang layak disebut, ataupun
bakat untuk disalurkan, aku tidak mengerti mengapa aku mesti membebani dunia
dengan kehadiranku. Tapi, bukan berarti aku tidak
berbuat apa-apa. Aku menyibukkan diri dengan beberapa proyek pribadi,
seperti mengarang musik, dan mengawasi pembangunan Folly. Aku ini sedang
menghidupkan kembali cara hidup yang khas, yang hampir saja punah: hidup
tafakur ala pria sejati di pedalaman, sesuai dengan status dan sejarahnya. Pada
masa Renaisans, orang menyebutnya sprezzatura.
Pokoknya melakukan apa pun yang dilakukan dengan anggun, mengilhami setiap tindakan
dengan keindahan, sekaligus menampakkannya seolah-olah tanpa usaha. Maka, jika
orang mau bekerja di, katakanlah, bidang hukum, ia mesti menampilkannya secara
berseni. Jika orang mau bermalas-malas, maka ia mesti bermalas-malas secara
permai. Inilah yang dikatakan sebagai makna sejati menjadi ningrat. Aku sudah
menjelaskannya berkali-kali pada Bel, tapi tampaknya ia tidak mengerti juga.
Rumah kami
dinamakan Amaurot. Letaknya di Killiney, sekitar lima belas kilometer dari
perbatasan Dublin, kawasan yang teduh oleh juntaian dahan-dahan, jalanan yang
meliuk sempit, serta hawa laut. Kebanyakan rumah di sini didirikan pada abad
kesembilan belas oleh hakim, gubernur, serta anggota militer dan angkatan laut.
Tapi beberapa tahun belakangan sebagian kawasan ini menjadi bebas pajak bagi
para pengendara mobil balap dari luar serta pemusik-pemusik soi-disant[1]. Meski begitu
di kawasan ini masih terdapat keelokan yang terpencil serta keheningan hutan.
Aku tidak mau tinggal di tempat lainnya. Pada pagi yang cerah aku bisa berjalan
menaiki Bukit Killiney, mendaki tangga berlumut di bawah kanopi pohon ash dan
sycamore. Di puncak bukit terdapat Obelisk, monumen atas jasa tuan tanah
terhadap petani setempat selama paceklik pada 1741. Dari situ kita bisa
meninjau atap perumahan yang terhalang sebagian hingga birunya pegunungan serta
emasnya pantai yang membentuk sabit. Di sebelahnya terdapat ziggurat kecil. Ada
legenda bahwa jika kita berlarian di setiap undak-undakannya tujuh kali,
harapan kita akan terwujud. Tapi aku dan Bel sama-sama belum pernah berhasil
sampai ke puncak ziggurat itu. Kalaupun pernah, kami bakal kelewat pusing tujuh
keliling untuk menyatakan harapan.
Amaurot
berukuran besar dan berusia ratusan tahun. Sementara aku dan Bel tumbuh dewasa,
aku merasa selama kami tinggal di sana tidak akan ada kejadian buruk menimpa
kami. Dunia luar boleh saja terbakar habis sementara kami bisa terus
bermain-main, aman dalam naungan dinding batunya yang tinggi. Di mata kami,
Amaurot lah dunia—dunia milik kami,
ibarat ombak di laut, atau corak biru yang khas pada langit.
Rumah ini
terletak di tanjung, di dasar perbukitan yang terjal. Kedua sisinya berbatasan
dengan laut. Sepanjang hari terdengar gerisik dan derunya, seiring dengan
perubahan ronanya yang menggelingsir dari hijau ke ungu, abu-abu, hingga hitam
pekat. Rumah yang kucintai ini menjadi kawan bagi perenungan dan pendengaranku,
tempat aku mengungkap hasratku. Jalur hijau yang panjang menjalar dengan
angkuhnya di pekarangan menuju jalan. Di sekelilingnya bebungaan liar dan
anakan pepohonan tua menggosok bahu. Di belakang rumah ada kebun sayuran yang
beberapa tahun ini agak telantar, pepohonan apel dan ceri, serta sungai kecil
yang menyorongkan kodok-kodok ke laut. Inilah tempat aku dan Bel menghabiskan
sebagian besar masa kecil kami, di antara rumput tinggi dan dedaunan cemara.
Bel itu
teman sepermainan yang bandel. Beberapa periode panjang dilaluinya tanpa bicara
pada seorang pun. Alih-alih, ia membaca, terus-terusan selama
berhari-hari. Kakinya yang telanjang menjuntai dari ambang jendela. Tapi ia
berbakat mengkhayal. Pada hari-hari ketika ia melompat turun dari birai demi
menyertaiku di benteng-bentengan yang terbuat dari tongkat, segala ide hebat
yang dicecapnya dari buku menggelegak jadi petualangan ruwet yang perlu
perjuangan untuk mengikutinya.
Ia suka
membaca tentang Rusia, dan Amaurot pun sering kali merangkap Istana Musim
Dingin. Kadang kami menjadi anak-Tsar yang yatim piatu, melarikan diri dari
cengkeraman Revolusi yang jahat, mengendarai troika imajiner mengarungi kotoran
gaib. Kadang ia menjadi putri menawan yang malu-malu, sementara aku pelamar
tampan yang berusaha memenangkan hatinya dengan susah payah. Namaku jadi Karl
sedangkan Bel Tanya, seperti tokoh wanita dalam Eugene Onegin karya Pushkin, yang disukainya sewaktu berusia
delapan tahun. (Malah, meski mainan-mainan telah disingkirkan selamanya dan
permainan pun terlupakan, ia kukuh dengan nama ini. Oleh teman-teman
sekolahnya, ia disebut Tanya hingga masa remajanya. Nama “Christabel” merupakan
gagasan Ayah, menurut sajak karya Coleridge—ceritanya tentang peri dan vampir
dalam nuansa muram lagi rada memilukan, dan tahu-tahu putus pada bagian tentang
kebingungan identitas serta malaise publik. Bel pun tidak tahan. “Bukan cuma
karena enggak ada orang yang bisa mengeja
nama itu,” begitu sergah Bel sewaktu-waktu, “tapi penulisnya saja bahkan enggak
diketahui menulis akhir yang bahagia. Maksudku, bisa enggak sih mereka
menamaiku menurut sajak yang sudah benar-benar diselesaikan, apakah itu berlebihan?” Pada akhirnya, nama “Bel”
muncul sebagai semacam kompromi, dan Ayah pun menjadi satu-satunya orang yang
memanggil Bel dengan nama lengkapnya.)
Bunda
merasa Bel boleh jadi genius. Kadang aku diam-diam mendengarnya membicarakan
itu pada Ayah. “Minat bacanya!” begitu kata Bunda. “Perpustakaan terlihat
kosong melompong, dia menyelundupkan banyak sekali buku.”
“Kurasa
mungkin kita sebaiknya memasukkan meja biliar ke perpustakaan,” ujar Ayah.
“Dan
imajinasinya itu!” lanjut Bunda. “Hal-hal yang dia ungkapkan, benar-benar—“
“Hmm … kamu
enggak merasa dia itu boleh jadi agak terlalu
imajinatif? Tampaknya dia menghabiskan terlalu banyak waktu di dunia khayalnya
sendiri.”
“Itu
tandanya cerdas, Ralph. Anak itu akan sukses, percayalah.”
“Hai, Yang
Mulia,” begitu kataku pada Bel, sambil mendengarkan pada birai, “aku jadi lapar
gara-gara kabur dari gudak-gudak itu, kurasa ada apel di hutan nun jauh di
sana, nun jauh di ….”
“Kamu enggak
boleh bilang ‘Hai’ sama putri, Charles,” sambil melompat turun, “dan yang benar
budak, bukan gudak ….” Kami pun menyusup lewat celah pada pagar tanaman menuju
kebun Mbah Thompson, lalu melontarkan tongkat ke cabang-cabang, hingga apel
mulai berdebuk di sekitar kami. Tak pelak lagi, Olivier, orang Jerman seram
jongosnya Mbah Thompson, muncul di beranda. “Herr Zompson! Mereka mengembat
apfeln kita!
Mbah Thompson pun keluar terpincang-pincang sambil melambaikan tongkatnya, dan
berteriak-teriak, “Kejar mereka, Olivier! Kejar mereka!” Kami pun
menjerit-jerit dan kabur sementara Oliver menguber-uber—bagai laba-laba hitam
berkaki panjang dan kurus dalam setelan karet sintetis yang ketat—dan menyeruak
kembali lewat celah tepat pada waktunya. Mbah Thompson melolong dari seberang,
“Anak-anak bedebah, aku akan menelepon ayah kalian, dasar bedebah ….”
Entah
apakah ia memang menelepon Ayah. Entah juga apakah Ayah bakal mengindahkannya.
Ayah bisa menjadi orang yang sulit untuk dipahami. Dirinya sarat akan romantika
yang tak terpenuhi serta angan-angan yang sengaja tak diungkapkan. Ia
menghabiskan banyak waktu di kantor atau untuk studi, dan pada penghujung hari
tinggal cangkangnya saja yang pulang pada kami. Sepanjang malam ia tetap dalam
sikap diam yang bajik lagi menjemukan, dan menegur kami hanya untuk
menyampaikan ceramah abstrak atau menanyakan soal tak menarik tentang sekolah.
Tapi kadang ia berjalan-jalan keluar melintasi pepohonan menuju lereng bukit,
untuk memandangi embun yang melayang-layang di atas laut, dan mengajak serta
aku dan Bel. Kami pun jadi gelisah sementara ia menatap kegelapan, kemudian,
ketika kami penasaran akan maksud Ayah, dan berapa lama kami harus berdiri di
situ tanpa melakukan apa-apa sementara waktu menonton televisi yang berharga
tersita, ia berpaling pada kami dan tanpa pendahuluan melontarkan sebuah sajak
yang diingatnya, syair menyeramkan tentang para kekasih yang kesepian,
peri-peri yang plinplan, sosok-sosok yang memperdaya, serta lautan yang
berbisik-bisik. Sementara wajah kami memucat bingung, merinding akibat daya
gaib samar-samar lagi angker yang meretih sepanjang sajak tersebut, ia terkikih-kikih,
“Yeats, anak-anak. Yeats akan senang berada di sini bersama kita, pada malam
seperti ini.” Sebelum kami sempat menunjukkan ketidakpedulian kami akan
kehadiran Yeats ataupun yang lain, ia sudah melaju lagi, kembali ke rumah.
Ayah ahli
kecantikan yang mumpuni. Yang diterawangnya dari kulit wajah manusia mungkin
sama seperti yang dilihat pelukis ulung masa Renaisans pada kanvas kosong:
kemungkinan untuk mewujudkan keindahan transenden. Jika pelukis Renaisans
melukis untuk memberi bukti akan kebesaran Tuhan, maka ayahku bekerja lebih
untuk menentang-Nya. Ia agnostik yang menghabiskan hidup melawan Tuhan yang
tidak diyakininya. Ia seakan hendak mengatakan, Dalam mana Kau gagal, aku berhasil: aku bisa mengangkat orang keluar
dari hasil ciptaan-Mu yang jembel. Ia pernah bekerja dengan semua orang
ternama—Lancôme, Yves St Laurent, Givenchy,
Chanel—dalam menciptakan salep, balsam, serta losion untuk
memperlambat kerusakan akibat matahari, menjaga kilauan maskara dari hujan dan
air mata, memelihara merahnya kecupan mulut lewat seribu kecupan merah, serta
untuk meredakan, meremajakan, meningkatkan, dan memulihkan. Singkatnya,
tindakan yang karena besarnya rasa cinta pada bangsa manusia sehingga melalui
produk kosmetiknya waktu dapat diputar balik dan kisah hidup siapa pun—yang
selalu tergurat lewat keriput, parut, kekeringan, tak peduli perkataan orang
akan indahnya kebijaksanaan maupun khazanah sulaman kehidupan—dapat ditutupi.
Kini sudah
dua tahun lebih ia meninggal. Kematiannya diawali sakit yang lama dan
memayahkan, yang menimbulkan penderitaan hebat baginya. Kondisinya merosot
drastis pada hari-hari terakhir. Pikirannya sudah kacau, dan ia pun
menyalahgunakan kemampuannya. Ia berusaha menyamarkan jejak penyakitnya yang
hina. Ia lawan penyakit itu menurut pikirannya. “Tidak mungkin dihindari,” ia
gemar memberi tahu kami sewaktu kondisinya bugar, “penampilanmu menentukan
dirimu. Kamu bisa saja menampakkan jiwamu, atau hatimu, tapi semua orang di
dunia ini akan menilaimu dari hidungmu yang besar atau dagumu yang lembek. Enam
juta orang bisa saja salah, tapi kamu tak akan pernah bisa memaksa mereka
mengakuinya.” Maka jemarinya yang gemetaran pun melekatkan kosmetik, selapis
demi selapis. Dalam temaram ia menggeletak bagaikan Pierrot[2] malang yang
terkena sifilis. Pipinya yang cekung tercoreng oleh lekukan pemerah pipi.
Sementara waktu itu rumah terombang-ambing di ambang menjadi semacam pondok
gila. Semua orang bergeleparan histeris dan adakalanya latah berdialek
Perancis. Kematiannya pun menjadi rahmat, dan kami dapat mengembalikannya ke
dalam kenangan tempat ia berada sebelum terjadi segala vaudeville[3] maut ini. Masih
bisa kudengar kata-kata terakhirnya padaku. Jarinya yang bengkok patah-patah
mengisyaratkan padaku agar keluar dari bayang-bayang untuk berlutut di sisinya:
“Nak … dunia ini kejam …” bisiknya. “Selalu … pakai pelembap ….”
Sebelum
meninggal, kehadiran Ayah biasanya menentukan suasana di rumah—semacam
spiritualisme rapuh, penarikan diri secara halus, yang seakan-akan berkata pada
dunia, “Sekarang kami mau menurutimu, tapi tolong diingat, segera setelah
pekerjaan Ayah selesai, kami akan meninggalkanmu.” Meski begitu, Bundalah yang
sikapnya lebih keras. Ia menerapkan perilaku yang benar secara ketat serta apa
yang disebutnya sebagai “pemuliaan”. Ia mengenal semua orang yang perlu
dikenal, dan selalu berlayapan ke acara-acara makan siang, pembukaan galeri,
peluncuran buku, serta pesta makan malam, dengan atau tanpa ditemani Ayah.
Apalagi bertahun-tahun kemudiannya ia semakin lepas saja dari Ayah. Ia mengadakan
acara di rumah sementara Ayah mundur dari kegiatan seperti itu.
Namun tidak
lama setelah kematian Ayah, Bunda juga mulai hancur. Kehancuran itu terjadi
berangsur-angsur namun pasti. Ia tidak tahan untuk menutup dirinya
perlahan-lahan, hingga akhirnya tidak keluar rumah sama sekali, atau bahkan
menerima telepon. Selain itu, tidak biasanya ia tampak sebegitu ceria. Sering
kali aku dan Bel mendapati diri kami terjebak dalam percakapan ringan lagi
konyol yang tiada habisnya bersama dia. Ia mengocehkan gosip tentang tetangga,
atau rencana yang tidak jelas untuk berlibur atau soal pekerjaan yang perlu
dilakukan di sekitar rumah—apa pun yang muncul di kepalanya, seperti semacam
berita Reuters skala rumah tangga, terus-menerus tercetak pada kursinya di ruang duduk. Itulah sisi dirinya yang baru kami ketahui, yang (kami duga) biasanya
dipantulkan pada Ayah dan kini mulai merepet lewat kami. Kami benar-benar tidak
tahu cara menanggapinya. Biarpun kami menanggapinya, tidak jelas apakah ia
mendengarkan, sebab ia terus saja minum, martini saat sarapan dan ditemani
wiski asam pada malamnya, minum dan bicara, bicara dan minum. Akhirnya pada
suatu malam keadaan ini mencapai puncaknya.
Bertahun-tahun
Bunda dan Bel menumbuhkan hubungan yang berapi-api, yang dapat tersulut oleh
hal seremeh apa pun. Entahlah pokok pangkalnya, tapi ada yang kucurigai.
Sebelum kami lahir, Ayah dan Bunda merupakan bintang dalam lingkaran penggiat drama di Dublin—bukan secara profesional, tentu saja, tapi mereka memang
terkenal—dan kini tampaknya timbul semacam pertentangan soal bisnis pertunjukan
antara Bunda dan Bel. Rasanya aneh, sebab pada tahun-tahun awalnya, sewaktu Bel
masih bersekolah, Bunda sangat mendukung ambisinya menjadi aktris. Lalu
mendadak Bunda berubah. Mendadak—dalam hampir semalam saja—Bunda tampak tidak
senang akan ambisi Bel. Mendadak perkataannya sarat akan nasihat serta pendapat
yang menusuk, melampaui yang dikehendaki Bel. “Semua aktris hebat memiliki mata
batin, yang menentukan seluruh penampilannya,” ucap Bunda, pernyataannya sering
kali dibubuhi baris-baris metafisis seperti ini. “Persoalanmu, Bel, kamu masih
harus menemukan mata batinmu.”
Kuduga
itulah yang mengawali suasana buruk. Itulah yang menjadi penyebabnya bahkan
sebelum Ayah jatuh sakit. Pada bulan-bulan setelah kematian Ayah, hubungan itu
memburuk hingga keduanya bisa bertengkar nyaris tanpa sebab. Bunda menyalahkan
Bel karena pelupa, teledor, egois, narsis, bandel, hingga pembohong. Awalnya
Bel heran sehingga ia menerimanya saja, tapi kemudian, ketika apa pun yang
diperbuatnya mendatangkan kecaman dari yang di atas, ia mulai balas dendam.
Saat merasa disakiti, Bel terbiasa berteriak dan menjerit mencaci maki bermacam
hal hingga siapa pun itu berlalu. Pertengkaran pun segera menjadi parah. Suatu
malam sekitar enam bulan lalu, sesampai di rumah aku mendapati Bel tengah
berdiri di koridor. Air mukanya terkuras. Tangannya gemetar. Bunda tidak
terlihat di mana pun. Bel tidak mau memberitahuku kejadiannya. Yang
dikatakannya cuma, setelah perdebatan yang berlarut-larut, Bunda mengakui bahwa
ia bukan seperti dirinya, dan barangkali ia perlu waktu untuk merenung sendiri.
Mobil hitam yang memapasku di halaman tadi kepunyaan orang-orang baik dari
Cedars. Mereka membawa Bunda pergi untuk menetap di sana dalam waktu yang tidak
ditentukan.
Begitulah
ceritanya hingga rumah ini berada dalam pemeliharaanku, dan apa pun yang Bel
katakan, aku mesti bekerja keras untuk menjaga harkatnya yang samar, untuk
mempertalikan unsur-unsurnya yang berlainan hingga tertata laras—pikiran Mbok P
yang kacau, kengototan patologis Bel untuk mengendalikan segala segi hidupnya,
kenyentrikan ataupun kecenderungan kriminal pada siapa pun yang sedang
dikencaninya, serta rumah ini sendiri, bangunan berusia ratusan tahun yang
terbuat dari batu dan kayu, yang punya tingkahnya sendiri, serta rajukannya
yang mesti dibujuki. Akulah yang menjaga segalanya terus berdetak, yang berdiam
sepanjang hari sekadar untuk mengetengahkan berbagai hal, memusatkannya
sedikit. Ini tugas yang berat dan tidak seorang pun berterima kasih padaku. Aku
pun tidak bisa diharapkan untuk memperbaiki berbagai hal sepanjang waktu.
Karena itulah, yang terjadi kemudian bukan sepenuhnya salahku, apa pun yang
mereka katakan padamu.
*