Suatu malam aku memanggil taksi untuk
menukar tabung gas yang sudah kosong ke depot di dekat pasar induk. Jalanan di
Jabriya sangat padat. Kawasan ini memang selalu ramai, tetapi kemacetan seperti
ini, sampai-sampai mobil pun susah bergerak, hanya mungkin terjadi jika ada
kecelakaan atau razia. Seperti yang kuduga, di ujung jalan ada mobil-mobil
polisi dengan lampu berkedip biru dan merah. Polisi berdiri di pinggir jalan
memeriksa SIM dan STNK.
Sopir taksi membuka jendela dan
menyerahkan surat-suratnya pada polisi. Polisi memeriksanya dan, sebelum
menyerahkannya kembali pada sopir, meminta kartu identitasku. Aku memasukkan
tangan ke saku celana, tetapi dompetku tidak ada. Aku pun panik. Aku menunjuk
ke arah jalan dan berkata, “Dompet saya ketinggalan di flat.”
Ia tidak mengerti ucapanku. “Iqama, iqama,” pintanya dalam bahasa
Arab, yang berarti ia menginginkan bukti bahwa aku penduduk Kuwait yang sah
secara hukum.
Karena aku orang Kuwait dan tidak memerlukan izin tinggal, maka kukatakan, “Tidak ada iqama,” dalam bahasa Inggris. Rupanya ia tidak mengerti. Ia menyuruhku keluar dari taksi. Aku berusaha menjelaskan padanya namun ia malah berteriak padaku dengan amat kasar bahwa aku tidak boleh berkata apa-apa.
Karena aku orang Kuwait dan tidak memerlukan izin tinggal, maka kukatakan, “Tidak ada iqama,” dalam bahasa Inggris. Rupanya ia tidak mengerti. Ia menyuruhku keluar dari taksi. Aku berusaha menjelaskan padanya namun ia malah berteriak padaku dengan amat kasar bahwa aku tidak boleh berkata apa-apa.
Kukeluarkan ponsel untuk menelepon
bibiku, Hindun. Entah mengapa ia yang kutelepon, tetapi toh ia tidak menjawab
panggilanku. Aku mengirim pesan teks pada Khawla, isinya, “Aku ditahan polisi.”
Polisi mendorongku dari belakang dan tahu-tahu aku berada di dalam sebuah van
yang diparkir di pinggir jalan, bersama para migran yang tidak memiliki surat
identitas ataupun visa yang valid. Ada orang Arab, India, Filipina, Bangladesh,
dan aku—orang Kuwait yang tidak terlihat seperti orang Kuwait.
Van bergerak. Sebagian orang tampak
ketakutan sementara yang lainnya acuh tak acuh. “Buruk-buruknya kita akan
dideportasi,” ada yang berkata. Aku memberi tahu polisi yang berdiri di dekat
pintu van bahwa aku orang Kuwait. Sepertinya ia tidak mendengar ucapanku. Ia
menunjuk bangku di belakang dan meludahkan beberapa kata yang tidak kumengerti.
Karena takut, aku kembali ke tempat duduk.
Seorang gadis Filipina yang cantik
yang duduk di dekatku menoleh padaku dan berkata, “Sudah akhir pekan, jadi kita
harus mendekam di kantor polisi sampai akhir pekan berakhir, saat ada petugas
yang datang.”
Mataku terbelalak. “Tetapi saya orang
Kuwait. Saya tidak perlu visa,” ujarku.
Ia tersenyum. “Anda harus
membuktikannya, setelah Anda menghabiskan beberapa malam di tahanan,” ucapnya.
Seorang wanita Filipina yang lebih
tua menangis dan gadis Filipina itu berpaling padanya. “Saya sudah
berbulan-bulan kerja di Kuwait tanpa izin tinggal yang sah setelah melarikan
diri dari rumah majikan saya. Keluarga saya akan mati jika saya dideportasi,”
ucap wanita yang lebih tua itu.
“Kalau masalahnya seserius itu …”
ujar si gadis, terdiam sejenak, “Anda harus mau berkompromi.”
Wanita itu tersentak saat menangkap
maksud perkataan si gadis, lalu menyerangnya dengan makian yang sekeji-kejinya,
seperti pelacur kotor dan semacamnya.
Gadis itu berpaling padaku dan
berkata, “Tetapi bukan berarti Anda terlihat seolah dapat menawarkan apa saja.”
Ia tertawa mesum. “Ibu saya sudah tua dan adik saya tiga orang. Saya sudah
mengorbankan segala-galanya demi mereka,” imbuhnya.
Gadis itu sudah berpengalaman.
Kejadian ini bukan yang pertama kalinya. Ia bilang biasanya ia tidak lama-lama
dipenjara. Jika polisi yang berjaga pada pagi hari tidak korup, maka kemungkinan
rekannya pada giliran berikut bukanlah orang yang seperti itu. Jika hari
pertama berlalu tanpa ada orang yang berusaha merayunya sebagai syarat untuk
membebaskan diri, maka situasinya pasti lain pada keesokan harinya. “Saya
sering membayar izin tinggal saya secara gelap-gelapan, baik di ruangan kosong
di kantor polisi, di mobil mereka, atau malah di apartemen tempat hal begituan
biasa terjadi,” ucapnya. “Anda tahu berapa banyak nomor polisi yang ada di
ponsel saya?” pungkasnya dengan nada menantang.
Ponsel kami disita. Sebelum
ditanya-tanyai lebih lanjut, kami dipindahkan dari van ke sel yang kotor.
Kupikir akan jauh lebih baik jika aku berurusan dengan polisi gadungan saja seperti
orang yang telah mencatut sepuluh dolar dari dompetku tahun lalu. Setelah
kehilangan sepuluh dolar dengan cara seperti itu urusan pun berakhir, ketimbang
bertemu polisi betulan dan akhirnya ditahan di kantor polisi.
Aku menghabiskan dua malam di balik
jeruji sel kantor polisi, setidaknya menurut arlojiku. Tetapi rasanya seakan
lebih lama daripada itu. Sel itu berupa ruangan sempit dan kotor seperti
sepuluh tahanan di dalamnya. Bau tempat itu maupun orang-orangnya minta ampun.
Hawa dingin Januari yang kering membekukan jemari tangan dan kakiku sampai ke
tulang. Para tahanan tampak tenang. Mereka semua tahu apa yang menanti mereka.
Kecuali aku. Entahlah sampai kapan aku akan ditahan.
Terdengar suara-suara perempuan tidak
jauh dari tempatku, dan kemudian aku tahu bahwa sel untuk perempuan ada di
ujung koridor. Wanita Filipina yang lebih tua tadi sudah menangis sejak kami
masih berada di van, tetapi sekarang tangisannya semakin kencang. Ia terus saja
mengeluh, kadang dalam bahasa Inggris dan kadang dalam bahasa Arab, dengan
harapan ada orang yang akan memahami dia dan membantunya keluar. “Mereka akan
mati kelaparan jika saya dideportasi. Tolonglah, tolonglah,” ucapnya.
Satu per satu tahanan di selku
tertidur. Ratapan wanita itu pun bertambah kencang. Dari balik jeruji aku
melihat seorang polisi bertongkat hitam bergegas menuju sel perempuan. Aku
meringkuk ketakutan di tempatku duduk, sambil membayangkan kejadian yang
mungkin menimpa wanita itu. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” lirihku, “semoga ia
tidak melukai wanita itu.” Polisi itu menyerukan sesuatu yang tidak terdengar
jelas. Jantungku berdegup kencang. Wanita itu balas berteriak. Kuangkat kedua lututku
ke dada dan bergumam, “Tolong jangan
memancing-mancing polisi itu.” Semakin keras saja teriakan keduanya. “Tolong
jangan sakiti wanita itu,” batinku.
Benturan keras memotong percakapan
itu. Para tahanan di sekitarku terjaga. Polisi itu tengah memukuli jeruji sel
dengan tongkatnya. Kemudian tempat itu menjadi hening. Si polisi kembali ke
tempatnya semula seiring redanya debaran jantungku. Orang-orang tidur kembali, namun
aku tidak bisa memejamkan kelopak mataku. Aku mendesah panjang. “Allahu Akbar,
Allah Mahakuasa, puji syukur,” ucapku.
Sedikitnya tiap sepuluh menit sekali
ada orang yang bangun, memanggil sipir, dan meminta izin pergi ke kamar mandi.
Entahlah bagaimana caranya mereka bisa tidur, sementara udara terasa dingin,
ada yang mendengkur keras, dan si wanita Filipina meratap di dalam sel yang
tidak jauh dari tempat kami.
Kurapatkan kedua lututku ke dada, dan
punggungku ke dinding. Semakin lama, semakin aku merasa putus asa akan
kemungkinanku keluar dari tempat itu. Saat aku mengirim pesan teks pada Khawla
kemarin, tidak terbayangkan aku akan tinggal lama dalam tahanan, namun aku juga
tidak berharap itu terjadi. Apa Khawla tidak lagi peduli padaku?
Larut malam, saat yang lainnya tengah
tertidur, aku mendengar suara langkah kaki di koridor. Langkahnya mantap. Aku
memandang ke arah jeruji besi dan melihat seorang polisi melintasi sel kami
tanpa menoleh dan terus menyusuri koridor. Suara langkah kakinya terhenti. Aku
mendengar gemerincing kunci dan bisik-bisik lirih. Ada yang membuka pintu logam
itu. Si wanita Filipina tampaknya sudah tertidur namun kini terbangun. Ia
kembali menangis dan memohon.
Pintu ditutup. Kembali terdengar
suara langkah kaki, yang semakin dekat. Aku masih memandang ke arah jeruji.
Orang-orang di sekitarku masih mendengkur, mengabaikan tangisan wanta itu. Si
polisi melintas dari arah lain. Tubuhnya tegak sementara wajahnya tegap
menghadap ke depan. Kali ini gadis Filipina yang cantik itu mengekorinya dengan
penuh percaya diri. Gadis itu menoleh ke arah sel tempatku berada. Sesaat kami
bertatapan ketika ia lewat. Alisnya terangkat dan senyumnya padaku mengingatkanku
akan perkataannya sewaktu di van. Mereka lenyap. Aku terus terjaga hingga pagi
seraya memikirkan gadis itu. Entah di mana ia tengah membayar izin tinggalnya
secara ilegal sebelum dibebaskan.
Aku ingin tahu apakah Bibi Hindun,
yang menaruh minat pada isu-isu HAM, mengetahui situasi di sini. Perlukah aku
menceritakan kesaksianku padanya? Dan terlebih lagi, mampukah ia berbuat sesuatu
jika aku menceritakan kejadian di tahanan?
Namaku dipanggil pada hari pertama
seusai akhir pekan. Aku berdiri tegak di hadapan polisi itu, dipisahkan oleh
jeruji besi. Ia meminta kunci flatku. Aku memberikan kunci itu padanya dan ia
pergi tanpa berucap apa-apa. Sekitar satu jam kemudian aku dibawa ke ruang
petugas yang berwenang sebelum aku dapat dibebaskan. Aku melihat Ghassan sedang
menungguku di sana. Ia telah membawakan surat-suratku ke kantor polisi dan
berbicara pada petugas, yang bersikap sopan pada kami. Ia mengembalikan
ponselku dan meminta maaf. “Lain kali jangan lupa membawa dompet Anda,” pesannya.
Saud Alsanousi adalah jurnalis dan novelis Kuwait, lahir pada 1981. Teks
ini diterjemahkan dari penggalan novel Saud Alsanousi dalam versi bahasa
Inggris Jonathan Wright, The Bamboo Stalk, yang termuat dalam
situs Words
Without Borders edisi Juli 2014: “Migrant
Labor”. Novel ini mengangkat tentang
nasib pekerja migran di negara Arab, khususnya Kuwait, dan memperoleh
penghargaan International Prize for Arabic Fiction (2013) serta Kuwait State
Appreciation and Encouragement Award.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar