Hujan turun
sejak pagi. Tana dalam perjalanan pulang
sekolah. Tiap Kamis sore ada pelajaran
menjahit, dan sekarang ketika di bis, Tana menyadari bahwa inilah kali pertama
ia pulang sekolah saat langit gelap. Bisa terus seperti ini hingga
berbulan-bulan. Di luar dingin dan hujan, sementara bis yang dinaiki Tana, yang
disesaki anak-anak lelaki dan perempuan, para murid sekolahan, panas beruap. Jendela-jendela bis berkabut. Ada yang berhasil membuka
paksa salah satu jendela itu, sehingga Tana, yang sudah berkeringat, jadi
membeku. Pikirnya: bisa-bisa aku sakit, tidak sekolah seminggu. Ia tidak
berusaha untuk menyingkir dari aliran angin itu. Ia tidak memprotes. Hujan
menampar wajahnya, matanya. Sudah
beberapa lama ini hujan tidak turun sehingga kota dan udara penuh debu. Tana
merasakan hujan menghunjami wajahnya, matanya.
Bis itu
ramainya bukan main, namun saking banyaknya suara menjejali kepala Tana hingga
semua penumpang seolah-olah membuka mulut tanpa mengeluarkan suara. Mereka
tertawa tanpa suara. Tana ingat pernah membaca di
ensiklopedia tentang suku Indian di Amerika Selatan yang hidupnya dikelilingi
oleh musuh yang ganas. Alhasil, orang-orang suku itu hampir tidak pernah
berbicara dan paling-paling hanya berbisik. Mulut anak-anak dibebat sampai
mereka mempelajari aturannya. Mereka memutus pita suara anjing-anjing pemburu
mereka dengan pisau khusus yang panjang dan tajam. Dengan begitu musuh tidak
akan mendengar suara mereka. Semua orang di desa itu bergerak dengan teramat
berhati-hati, dengan langkah sunyi. Mereka tidak menyalakan api. Jangan-jangan,
pikir Tana, desanya pun bukan desa sungguhan. Tiap orang memiliki sebuah
selubung, dan selubung yang menutupi kepalanya itulah yang menjadi rumah.
Dengan terkurung dalam rumahnya itu, dari kejauhan orang tersebut mestilah
tampak persis menyerupai belukar yang gundul, atau akar sebatang pohon tumbang
yang membusuk, atau kerangka hewan yang terabaikan. Benda yang tidak akan
menarik siapa pun. Mereka memakan hewan yang mereka bunuh mentah-mentah supaya tidak tercium aroma masakan, dan mereka memakannya
hingga potongan terakhir, hingga carikan kulit dan tulang terakhir, hingga bulu
terakhir, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Mungkin juga suku tersebut
tidak pernah berkumpul bersama-sama. Tiap orang mengembara sendiri-sendiri
dalam rimbunnya hutan basah, suami istri bertemu sesekali saja, selalu di
tempat yang berbeda-beda, selalu pada waktu yang ditetapkan menurut aturan yang
berbeda-beda. Walaupun seringnya, supaya
aman, mereka tidak mengadakan pertemuan sama sekali. Atau yang lebih mungkin,
lelaki suku itu mengembara di hutan, dengan berserah pada nasib atau para dewa
jika ia bertemu seorang perempuan, dan jika itu terjadi, maka perempuan itu
akan menjadi istrinya, dan jika ia bertemu seorang lelaki, maka lelaki itu akan
menjadi kawan atau lawan.
Sudah sampai
di perhentian. Tana melompat. Awalnya
gerombolan murid seperti menahannya kuat-kuat, namun kemudian mereka mendesaknya
dengan tenaga yang tidak kira-kira. Tana tersandung ke trotoar, kebingungan. Ia
terlambat membuka payung sehingga hujan menyusuri rambut dan lehernya. Di atas papan tanda pemberhentian bis terdapat jam listrik. Perjalanan itu memakan waktu hampir sejam alih-alih dua
puluh menit sebagaimana biasa.
Tana
menggigil. Ranselnya terasa berat.
Lengannya yang memegang payung sudah kepayahan, nyeri. Pakaiannya sedingin es. Mudah-mudahan kali ini aku sakit, pikirnya. Nanti malam aku akan minum kaldu dari rebusan daging
kemarin, panas-panas dan sedap pula, dengan roti. Aku juga akan minum sedikit
anggur supaya demam. Aku akan memakai dua lapis piama serta selimut tambahan
supaya berkeringat banyak. Aku ingin di kasur saja seminggu—aku ingin di kasur
lama-lama sampai enek dengan kasurku. Pelan-pelan Tana
berjalan, nyaris tidak dapat melihat apa pun. Payungnya menaungi wajah supaya
tidak kena hunjaman hujan. Ia tidak berupaya
menghindari genangan hujan. Bagus, pikirnya, aku bakal tambah sakit. Dan aku bisa memperoleh sepatu sebanyak yang kuinginkan. Mobil-mobil yang melintas menciprati pahanya. Tali
sepatunya lepas, celana legging
bunga-bunganya kuyup, jaketnya yang berbahan berat berbau seperti anjing
kebasahan. Tana berjalan menyisi. Ia
hampir-hampir tidak dapat melihat lampu lalu lintas di ujung jalan, yang hanya
sekitar lima puluh meter jauhnya.
Ketika
menyeberangi jalan di samping lampu lalu lintas itulah ia melihat si malaikat.
Yang ia lihat sebenarnya segunduk bulu, sebentuk bola yang menempel pada pintu
kerek toko pangan yang sedang tutup. Kaca depan toko itu agak menjorok ke dalam
sekitar setengah meter, sehingga bulu-bulu tersebut setidaknya agak terlindung
dari hujan. Bisa dibilang bulu-bulu itu
berwarna putih, namun kotor karena hujan dan lumpur. Lumpurnya merah-kehitaman
sehingga Tana mengira itu darah. Dengan berhati-hati Tana mendekat, seraya
mencengkeram payungnya yang terbuka ke arah depan, bersiap-siap untuk
melindungi diri. Yang Tana lihat itu menyerupai
burung besar, namun setelah ia mengitari dari jarak dekat, terdapat sebelah
kaki yang amat pucat, terkulai lemas menyembul dari bawah selubung sayap. Ia melangkah maju dan melihat bahwa gundukan bulu itu agak
tersentak-sentak, berguncang tak keruan tak terkendali. Ia maju lebih dekat dan
mencoba berbicara. Ia tidak tahu yang mesti dikatakannya. Ia berucap, “Ada
apa?” yang lebih menyerupai bisikan daripada yang ia hendaki, dan seketika itu
pula ia merasa “Ada apa?” merupakan perkataan yang betul-betul tolol. Kalau begitu, apa dong yang mesti ia katakan? Ia bergerak semakin
dekat, memindahkan payung ke tangan kiri, menjulurkan tangan kanan, dan
menyentuh gundukan bulu itu. Ia membungkukkan badannya di atas gundukan bulu
itu. Gundukan bulu itu
mengentak-entak, sayapnya agak bergerak-gerak, dan di baliknya Tana melihat
sejumput rambut pirang yang berlumur hujan dan debu. Ia mencoba menarik sayap
itu ke sisi—sayap itu agak memberontak—dan tampak seraut wajah dengan mata
terpejam. Ia menyentuh dahi malaikat itu,
yang terasa dingin namun tidak sampai sedingin es. Dahi itu bergeming saja ketika disentuh. Sekali lagi Tana bertanya, “Ada apa?” namun tidak ada
jawaban. Lalu ia bertanya: “Kau bisa
berdiri?” yang dijawab bulu-bulu itu dengan gemetar tak menentu. Pasti maksudnya tidak, Tana memutuskan, lalu menutup
payung dan menyelipkan benda itu ke simpai ransel. Ia menyeluk bulu sayap si
malaikat dan mengangkat ketiaknya. Tidak sulit,
sekalipun ranselnya menggoyahkan. Si malaikat
bertubuh lebih besar daripada Tana namun tidak sebegitu berat. Tana menyelipkan
bahunya di bawah ketiak kiri si malaikat, melingkarkan lengan kanannya pada
pinggang si malaikat, lalu ke bahu makhluk itu, sementara tangan kirinya
memegangi lengan kiri makhluk itu. Ia menengadah
ke wajah si malaikat, ke matanya, yang rupanya agak membuka. Ucap Tana,
“Ayo—kau bisa,” dan mereka pun beranjak.
Si malaikat
terus-terusan hampir jatuh, namun begitu mereka berdua nyaris terjungkir ke
trotoar yang banjir, kakinya memijak. Tana tinggal di kondominium kelima di
kiri jalan, tepat sebelum tanggul. Jalanan lengang. Pintu geser pada bangunan-bangunan di situ diturunkan
untuk mencegah masuknya hujan. Tana berucap
pada interkom, “Aku pulang,” lalu mendorong si malaikat masuk ke elevator. Ia
menyandarkan si malaikat pada cermin elevator dan melepaskan pegangannya. Ranselnya
ia jatuhkan. Ketika sampai di lantai tempatnya tinggal, ia membantu si malaikat
memasuki apartemen, sembari menyeret ranselnya. Cepat-cepat ia memasukkan si
malaikat ke kamarnya lalu menutup pintu. Ibunya berseru dari sebelah luar pintu. Tana balas berseru
bahwa ia basah kuyup, bahwa ia sedang berganti pakaian lalu akan mandi air
panas dan tidur, ia merasa tidak enak badan, tidak mau makan apa-apa, dan tidak
mau diganggu. Ketika Tana berseru seperti
itu, ibunya tidak pernah memaksa masuk atau mengatakan apa pun yang semestinya
dikatakan. Pada jam seperti ini cuma ibunya yang ada di rumah. Ayahnya dan Sergio biasanya pulang hampir bersamaan, pada
pukul delapan, dan malam ini mereka akan pulang lebih malam.
Tana
meletakkan si malaikat di lantai, dengan bersanggakan tempat tidur. Sayapnya amat besar ketika membuka. Mata si malaikat masih terpejam, tetapi ketika Tana
menggerakkan tubuhnya, rasanya seperti makhluk itu pun turut berusaha. Tana melepas sepatu dan melemparkan jaket yang kuyup ke kursi.
Setelah berpikir-pikir, ia membuka pintu lemari, dan sambil berdiri, ia
menanggalkan celana legging-nya, kaus
kakinya yang semata kaki, serta pakaian dalam, dan melemparkan semuanya ke
lantai. Lalu ia mengenakan sweter biru tebal serta celana training abu-abu. Tana sedang mencari selop di bawah tempat tidur
ketika mendengar si malaikat menghela napas dalam-dalam. Si malaikat tak
bergerak. Tana membuka pintu—tidak ada
siapa-siapa—dan sembari berharap mudah-mudahan tidak ada yang melihat,
cepat-cepat ia menuntun si malaikat ke kamar mandi yang ia gunakan bersama
ibunya. Ia menempatkan si malaikat di tepi bak mandi, dengan bahu kiri menempel
pada dinding, sayap terlipat, dan kaki menghadap ke luar supaya tidak jatuh. Tanpa
dibantu Tana, si malaikat mesti mencengkeram bak mandi untuk menyangga
tubuhnya. Tangannya amat putih. Tana tidak berani melihat mata si malaikat. Kepala si malaikat tertunduk ke dada, seperti orang yang
ketiduran di kereta. Tana menyalakan air panas lalu
mulai membasuh sayap si malaikat menggunakan selang pancuran.
Si malaikat
tidak seperti yang dibayangkan Tana. Si malaikat hampir menyerupai yang
terdapat dalam gambar-gambar Katekismus, tetapi tidak begitu persis. Sayapnya
tidak melekat pada punggung, dari tulang belikat, melainkan dari bagian yang
sama dengan lengan, meskipun lengannya dapat berputar seperti lengan manusia
sedang sayapnya tampak memiliki engsel sehingga dapat berputar ke arah satu
sama lain dan ke belakang. Bulunya pun
tidak menyerupai bulu burung. Bulunya menyerupai daging, seperti kumpulan lidah
yang amat tipis, lebih pucat sekaligus lebih tebal daripada kulit biasa, lebih
kesat. Si malaikat mengenakan tunik tanpa lengan berwarna putih—namun
kotor—yang menjuntai hampir ke kaki, dengan belahan sampai lutut di kedua tepinya.
Tana mengalirkan air hangat ke seluruh sayap si malaikat, sembari menggosoknya
dengan spons. Ia tidak sepenuhnya yakin akan yang ia perbuat, namun kemungkinan
si malaikat kedinginan sekujur badan, bahkan mengalami hipotermia. Ia menduga
titik lemah si malaikat ada pada sayapnya karena jauh lebih pucat daripada
wajah ataupun lengannya.
Dengan
segera, sayap si malaikat mulai bergerak-gerak, seperti meregang, dan
lidah-lidah serupa daging itu terangkat, sehingga air hangat dapat menembus ke
baliknya. Kulit di sebelah bawahnya tidak lagi pucat. Warnanya merah benderang,
menampakkan denyut jaringan kapiler. Kelihatannya seperti bukan kulit, lebih
seperti—dan ini pun Tana membacanya di ensiklopedia di rumah—seperti selaput
bagian dalam. Lidah-lidah serupa daging itu
menawan hati ketika naik dan turun, sebaris demi sebaris, seumpama gelombang. Sepasang
sayap itu bergerak perlahan, seakan-akan si malaikat, yang tengah memastikan
keduanya masih berfungsi, takut untuk terus melengkungkannya. Sepasang sayap
ini memesonakan, hampir menyerupai makhluk hidup tersendiri, dan ketika melihat
bagian bawah lidah-lidahnya yang merah muda, terlintas oleh Tana lidah di dalam
mulutnya sendiri. Mendadak ia diliputi kejijikan, maka ia pun mengelak dari
sayap itu. Ketika menengadah, dilihatnya si malaikat menoleh membalas
tatapannya, dan Tana merasa cemas. Si malaikat bermata merah. Salah seorang
teman sekelas Tana, Maria, memiliki ibu yang bermata seperti itu. Ibunya albino
dengan rambut putih dan kulit yang saking transparan sampai-sampai memualkan. Si malaikat memandangi Tana dengan tatapan kukuh bersungguh-sungguh,
dan sama sekali di luar bayangan Tana. Tana menyangka si malaikat akan
takut-takut, malu, terus merunduk. Namun tanpa malu-malu si malaikat menatap dengan
mata disipitkan, seakan-akan supaya dapat melihat Tana dengan lebih jelas,
tanpa sedikit pun rasa segan, tidak juga rasa penasaran atau berterima kasih.
Tana ketakutan. Ia menjatuhkan selang pancuran
dan berlari ke kamarnya. Ia merasa mau
menangis, kepalanya berputar-putar. Bagaimana ini? Bagaimana ini? batinnya. Jangan-jangan dia malaikat yang jahat dan berbahaya,
batinnya. Dengan mata merah begitu,
jangan-jangan dia iblis. Namun kemudian ia berpikir betapa tololnya itu—takut
pada malaikat. Lalu bagaimana jika ibunya masuk ke kamar mandi dan melihat si
malaikat, pikirnya, dan perutnya pun tercengkam oleh kecemasan. Ia membuka
pintu kamar dan tidak tampak seorang pun. Ia mengendap-endap ke lorong. Ketika
berlari ke kamarnya tadi ia tidak menutup rapat pintu kamar mandi. Ia
mengintip. Si malaikat tengah duduk dengan memasukkan kaki ke bak mandi, seraya
membasuh kakinya itu dengan tertib. Tana
mengamati si malaikat sembari terheran-heran akan sebabnya ia merasa takut
tadi. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tolol kalau menganggap si malaikat harus
menurut bayangannya selama ini. Tana mengamati si malaikat sembari mengagumi
cara makluk itu menangani dirinya sendiri. Kelihatannya si malaikat
sungguh-sungguh mampu menangani dirinya sendiri, sehingga Tana merasa kecewa,
lantas malu pada dirinya sendiri karena merasa kecewa. Tentu saja si malaikat
tahu cara mengurus dirinya sendiri dan bisa membasuh kakinya sendiri. Tana menyadari sungguh keliru terus menganggap si malaikat
membutuhkan pertolongannya. Tana dapat menawarkan bantuan, dan ia sudah
melakukannya, namun ia juga perlu mengetahui saatnya berhenti. Setelah merasa lebih baik, ia kembali ke kamar dan
meninggalkan si malaikat sendirian.
Namun Tana membiarkan pintu kamarnya setengah terbuka supaya si malaikat
tidak mengira ia menolak kedatangannya. Tana merasa pikirannya menjadi jernih.
Ia merasa aman dan berani.
Seketika itu
juga, Tana mendengar ayah dan abangnya di ruang depan. Ketika cuaca buruk,
sudah ditentukan bahwa ayah Tana akan menjemput Sergio. Ayah Tana bekerja di toko sepatu dan dua tahun lalu
memperoleh pekerjaan untuk Sergio di toko tempatnya bekerja beberapa tahun
sebelum ini dan bosnya masih berkawan dengan dia. Ayah tidak pernah menjemputku, Tana membatin. Dulu Ayah dan Sergio tidak begitu akur, namun mereka
bersahabat sejak Sergio memulai pekerjaan yang sama. Mereka menjadi rekan,
merasa penting dan istimewa. Ketika malam, agaknya yang mereka obrolkan melulu
soal sepatu. Tana tidak tahan dengan keduanya. Kadang Tana merasa semestinya ia mencari cara untuk lebih
kompak dengan ibunya supaya bisa menghadapi kedua lelaki itu bersama-sama,
seperti yang sepatutnya dilakukan para perempuan. Namun ibunya tampak seolah-olah telah memutuskan bahwa
satu-satunya cara supaya para lelaki itu menganggap keberadaannya ialah dengan
sepenuhnya mengabdi untuk melayani mereka, hingga tidak menyisakan kesempatan
bagi Tana. Tana menyadari ini ketika mendengar ayahnya dan Sergio pulang, dan
ia menginsafi dirinya tidak akan pernah memperoleh sekutu di apartemen ini,
ataupun ruang bagi sesosok malaikat. Mereka bahkan tidak akan peduli ada
malaikat, pikirnya.
Tana mendengar ayahnya dan Sergio
sedang berbicara, dan ia bisa mendengar suara mereka yang ganjil. Ia tidak bisa menangkap perkataan mereka, tidak bisa
mengetahui yang mereka percakapkan. Nada mereka terdengar sengit, hampir-hampir
berteriak. Namun Tana tidak tahu apakah mereka gembira atau kesal. Suara mereka
seperti piringan hitam berkecepatan 33 yang disetel menjadi 45 rotasi per
menit. Tana melihat ke arah lorong, dan tampak ayahnya beserta Sergio sedang
berlarian dengan kecepatan tinggi—persis seperti suara mereka—tidak seperti
orang yang terburu-buru melainkan seperti tokoh dalam film yang dipercepat. Mereka mengebut masuk dan keluar dari kamar mereka, dapur,
kamar mandi yang mereka gunakan bersama, saking cepatnya bergerak sampai
terentak-entak. Mereka melakukan yang biasa mereka lakukan ketika pulang saat
malam. Sergio, yang selalu rewel soal pakaian kerjanya, melepaskan sepatu dan
mengenakan setelan training. Keduanya
membasuh diri, namun mereka seakan-akan harus memaksa diri untuk melakukan
kegiatan sehari-hari tersebut hingga memakan upaya yang berlebih-lebihan,
seakan-akan, pikir Tana, seluruh hidup mereka ada pada upaya tersebut, setiap
butir sel dikerahkan demi upaya tersebut. Sekarang mereka terdengar gembira, namun Tana masih belum
dapat memahami perkataan mereka. Ia melangkah ke lorong dan menghampiri mereka.
Mereka bahkan tidak memerhatikan dia. Ekspresi yang
berbeda-beda berkilatan di wajah mereka, juga di wajah ibunya, dan tidak ada
satu pun di antaranya yang dapat ditangkap Tana. Wajah mereka seperti figur-figur dari tanah liat yang
dilihatnya dalam iklan minuman keras. Ia masuk ke
dapur. Kain merah mengalasi meja berikut empat piring, dan serta-merta ia duduk
di tempat biasa. Ayah dan ibunya serta Sergio makan dengan kalap, seakan-akan
sudah setahun mereka tidak makan. Tana duduk diam, terbengong-bengong. Sesaat
ia merasakan lengannya ditepuk berkali-kali, oleh ibunya, dan ia menyadari
ibunya tengah berkata-kata dalam bahasa baru yang tidak dapat dimengerti itu,
kiranya hendak menyuruhnya makan. Namun ia hampir-hampir tidak sempat
memikirkan ini sebelum taplak meja menghilang, ibunya tengah membereskan
segalanya, mengebut, seraya melemparkan piring-piring ke bak cuci seperti
pesulap melontarkan bola-bola tenis atau gada berwarna-warni, tanpa ada satu
pun yang pecah.
Tana bangkit
dari meja—ia belum makan—lalu kembali dan membuka pintu kamar mandi
perlahan-lahan. Si malaikat tampak puas mengamati kakinya, yang kini sudah
dicuci bersih dan hangat, berwarna indah serupa mawar. Air berkilauan pada rambut pirangnya yang halus mengikal.
Tuniknya pun sudah agak bersih. Si malaikat
terlihat lebih bermartabat dan amat gagah. Tana menjadi agak tenang karenanya. Ketika ia membuka pintu kamar mandi sepenuhnya, si
malaikat menengadah, berdiri, dan tersenyum padanya. Senyumnya tidak
bersahabat, pikir Tana, lebih menyerupai senyum puas ketimbang bersahabat,
tetapi setidaknya si malaikat tersenyum. Tana bertanya, “Kau mau makan?” Si
malaikat menjawab, “Ya,” walau terdengar lebih seperti “terima kasih”, namun
bicaranya begitu cepat hingga Tana mengira si malaikat kelaparan. Suaranya pun
terdengar goyah, masih lemah, tanpa kekuatan yang sepertinya telah mengisi
tubuh dan sayapnya. Tana menggandeng tangan si
malaikat dan membawanya ke dapur. Sergio dan ayahnya sedang menonton televisi
di ruang keluarga, sembari melompat-lompat, terus-terusan berganti posisi di
sofa, dan mengobrol dengan suara baru mereka yang melengking, mungkin soal
sepatu. Ibunya seperti biasa duduk di dapur, di hadapan televisi yang lebih
kecil. Kursinya diputar supaya ia dapat meletakkan siku kiri di meja, sambil
menopang dagu. Televisi berkilatan, namun Tana dapat melihat itu sinetron yang
biasanya, adapun ibunya tertidur seperti biasanya, dan baru terbangun pada akhir
acara ketika bermunculan iklan-iklan dengan volume yang lebih tinggi, dan
ibunya pun akan menyumpah karena lagi-lagi melewatkan separuh episode lalu
mencetuskan seratus teori mengenai adegan-adegan yang terjadi sewaktu ia
tertidur—walau sebenarnya, menurut Tana, tidak ada peristiwa penting dalam
sinetron itu. Hanya telepon yang berdering hingga berjam-jam sementara seorang
lelaki tua menanggung derita sakratulmaut dan semua orang memperebutkan uangnya
selama kira-kira dua puluh episode.
Tana
mendudukkan si malaikat di kursi meja makan, lalu mengambil panci kecil berisi
kaldu dari kulkas dan mulai memanaskannya. Ia mengiris sebagian roti sisa,
membuang remah-remahnya, dan melesakkan irisan roti tersebut ke mangkuk besar
yang sudah digunakan sejak ia kecil dan ajaibnya belum pecah, tidak juga salah
satu pegangannya. Ia mengosongkan wadah berisi parutan keju ke atas roti itu,
lalu menuang kaldu hangat dan menyorongkan mangkuk itu ke arah si malaikat.
Sepanjang waktu itu si malaikat mengamati Tana. Beberapa tahun lalu Tana
memiliki seekor kucing yang suka mengamatinya sedemikian. Biarpun dari
kejauhan, perhatian kucing itu amat lekat selagi Tana menyiapkan makanan
untuknya di mangkuk kecil. Sementara itu ibu Tana yang telah terjaga mematikan
televisi, dan mengatakan beberapa hal pada anaknya dalam suara baru yang tidak
penting amat untuk didengarkan, lalu kembali duduk di tempatnya untuk menisik
kaus kaki. Cepat sekali Ibu menisik, pikir Tana, jarinya bisa-bisa tertusuk,
namun jari ibunya tidak tertusuk. Tana berusaha
untuk tidak memandangi ibunya, juga ayahnya, saat lelaki itu memasuki dapur
mencari macis untuk menyalakan rokok. Tana duduk menghadap si malaikat, sembari
berusaha memusatkan perhatian pada makhluk itu saja. Si malaikat perlahan-lahan menyesap kaldunya, mengambil
sesendok penuh, berhenti sejenak, lalu mengambil lagi. Ketika si malaikat mulai
menyendok roti di dasar mangkuk, Tana menyadari bahwa makhluk itu berusaha
mengambil semuanya sekaligus tanpa menceraikan potongan-potongannya.
Kaldu itu
beraroma sedap dan hangat pula. Tana sangat lapar, namun ia menyadari ini bukan
saatnya, bukan sekarang. Ia mengamati
si malaikat meletakkan sendok pada piring lalu mengangkat mangkuk untuk sesapan
terakhir. Saat meletakkan mangkuknya, si
malaikat lagi-lagi tersenyum puas pada Tana. Mata si malaikat kini tidak
terlihat semerah tadi, atau barangkali tidak seliar dan semenusuk tadi,
seakan-akan uap hangat kaldu telah meredupkannya, melembutkannya. Ia pasti benar-benar merasa kedinginan, pikir Tana, bahkan
sampai ke bagian dalam tubuhnya. Tana ingat ketika sakit dan kedinginan betapa
enaknya mandi air hangat, makan yang hangat-hangat, serta membungkus dirinya
dengan kain wol.
Tana menanyai
si malaikat: “Siapa namamu?” Si malaikat menjawab: “Roberta.” Tana tidak tahu
mesti merasa apa. Di satu sisi, si malaikat nyaman-nyaman saja mengucap
“Roberta”, seakan-akan “Roberta” itu nama yang pas benar bagi malaikat. Tana
memandangi wajah lugu tanpa cacat itu, yang bagaikan wajah anak-anak, tanpa
bekas jenggot. Namun tuniknya menjuntai dari dada, dan walaupun wajahnya
kekanak-kanakkan, sudah jelas itu wajah laki-laki, dan lengannya yang bertumpu
pada meja itu lengan laki-laki (namun keduanya tidak bertumpu pada meja
sebagaimana lengan biasa, pikir Tana, keduanya lebih seperti sepasang benda
yang pada saat itu tidak diperlukan si
malaikat). Tana juga sudah melihat kaki si malaikat di kamar mandi dan
ukurannya besar, kaki laki-laki. Tana memaksakan
diri untuk menyahut: “Namaku Tana, tetapi
sebenarnya Tana itu kependekan dari Gaetana. Sedari kecil aku dipanggil Tana,
dan aku tidak benar-benar tahu caranya berbicara—“ Tahu-tahu ia terdiam. Si
malaikat terlihat bosan. Tana terdiam dan membatin: Kenapa aku mengatakan ini
padanya? Nama ya nama saja. Ia tidak menanyakan namaku. Namanya Roberta. Tana
menatap si malaikat kemalu-maluan, dan si malaikat balas menatapnya dengan
dingin, dengan pandangan yang seperti menanti—bukan berarti ia menghendaki sesuatu,
lebih seperti menunjukkan bahwa ia bersedia mendengarkan—yang tidak sepenuhnya
dipahami oleh Tana sehingga ia terus saja menatap.
Keluarganya
pasti sudah pada tidur, Tana tidak memerhatikan, namun kini ia ingat bahwa
selagi si malaikat makan, ia merasa ada yang mengusap pipi kanannya, dan
setelah itu ayahnya bergegas menjauh. Tana dicium ayahnya setiap malam, jika ia
tidak cepat-cepat mengurung diri di kamar untuk menghindari kecupan
itu—memalukan saja, seperti pada anak kecil—namun malam itu ia tidak
memerhatikan, tidak menyadari dirinya telah dicium. Ia menuntun si malaikat
kembali ke kamar, mengeluarkan piama dari bawah bantal, dan membalik alas
tempat tidurnya (yang hanya tiga per empat kasur, karena sewaktu kecil ia
sering jatuh dari tempat tidur, sehingga beberapa tahun lalu ia diberi tempat
tidur yang lebih lebar). Ia mengisyaratkan pada si malaikat supaya “menyamankan
diri”, walau ia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, lalu ia lari ke
kamar mandi. Ia mencermati dirinya di cermin. Ia masih kotor, rambutnya
berlumur tanah, matanya lelah. Sedikit riasan yang ia gunakan berjejak di
pipinya. Tubuhnya menggigil. Di bak mandi, ia membasuh sekujur tubuh, lalu membenamkan
diri di air panas supaya semakin hangat. Ia juga berharap si malaikat sudah
menyamankan diri dan tidur. Namun
kemudian ia mulai khawatir bahwa selagi ia mengurung diri di kamar mandi, jangan-jangan
si malaikat mengambil kesempatan untuk pergi, sehingga ia berkecipak keluar
dari bak, membungkus diri dengan handuk besar, lalu menjulurkan badan untuk
memeriksa. Si malaikat sedang tidur di atas selimut, dengan menggunakan
sayapnya sebagai bantal sekaligus untuk menutupi dirinya sedikit. Tana merasa tenang dan kembali ke kamar mandi,
mengeringkan rambut, lalu mengenakan piama yang diletakkannya di atas radiator
supaya hangat. Si malaikat tidur nyenyak di
sisi kasur yang dekat dengan dinding. Tana masuk ke bawah selimut, mematikan
lampu, dan memejamkan mata.
Selagi
matanya terpejam, Tana memikirkan kelamin si malaikat. Tana baru menyadari bahwa ia memikirkan kelamin si
malaikat ketika makhluk itu memberitahukan namanya. Jangan-jangan si malaikat
memberitahukan namanya karena ada maksud tertentu, dan malah bukan itu nama
aslinya. Beberapa bulan yang lalu, pada penghujung Juni, ia beserta rombongan
sekitar lima belas anak lain, laki-laki dan perempuan, bersepeda motor ke
lubang di luar kota. Saat itu mataharinya terik, namun Tana merasa kedinginan,
padahal ia mengenakan sweater tipis, duduk di jok belakang sepeda motor, dan
tidak kena angin. Perjalanan menuju lubang itu memakan sepuluh menit saja. Air
di dalamnya tenang dan kelabu. Lubang itu digali dua tahun lalu untuk jalan
lingkar kota yang baru, dan kemudian tidak ada yang mengisinya. Lubang itu
dibiarkan begitu saja. Jalannya
berjarak beberapa meter dari situ, tersembunyi oleh deretan pohon. Ada
rerumputan dan semak-semak. Lubang itu
agak terlarang karena rupanya ada orang-orang aneh berkeliaran. Selain itu,
kadang kala gelandangan mendirikan kemah namun hanya untuk beberapa hari. Terpasang beberapa papan yang berbunyi, “Dilarang
berenang.” Keadaannya kumuh di balik semak-semak. Pada puncak musim panas
banyak orang berkunjung, sehingga dewan kota menurunkan tukang bersih-bersih seminggu
sekali, padahal semestinya tidak boleh ada yang berenang. Pada saat seperti
sekarang tidak ada yang berkunjung, sehingga tidak ada pula yang bersih-bersih.
Terdapat juga semacam jaring yang mengitari seluruh kawasan tersebut, berikut
parit kecil, namun jaringnya sudah separuh roboh dan ada beberapa tempat yang
bagus di parit itu untuk menggelar kardus. Anak-anak lelaki dan perempuan itu
tahu bahwa di situ orang bisa menyelinap ke semak-semak atau menyelubungi diri
dengan handuk, lalu bersanggama, dan merahasiakannya. Seorang anak lelaki melontarkan ide, lalu semua anak
lelaki berbalap supaya tidak menjadi yang terakhir, sambil melucuti pakaian dan
meloncat ke air. Mereka bercebar-cebur sebentar,
airnya hanya setinggi pinggang (yang dalam cuma di bagian tengah lubang), lalu
memanjat ke tepi, dengan terlihat agak pucat dan kaku. Mereka beralasan harus
mengeringkan badan, lalu berdiri di hadapan gadis-gadis yang duduk di tepi. Seorang gadis terkejut, menjerit, dan mencari tempat duduk
yang jauh seraya memunggungi anak-anak lelaki. Anak-anak lelaki itu pada berkacak pinggang, sembari
menggigil, dengan kemaluan setinggi mata para gadis. Semua anak lelaki itu
ramping dan tampan, setidaknya begitulah menurut Tana. Anak lelaki yang berada
paling dekat dengan dia, yang murid sekolah kejuruan, baru beberapa kali itu dilihatnya
di rombongan. Tana bergeser sedikit tanpa bangkit, supaya bisa melihat lebih
jelas.
Anak lelaki
itu menghadap sedikit ke arah Tana. Di pangkal pahanya ada sejumput rambut, yang
semakin jarang hingga tak ada sama sekali ke arah perut. Dadanya licin dan putih, dengan beberapa helai rambut
panjang yang berpusar di sekitar puting. Ke bawahnya Tana melihat barang yang
bergantung pada gumpalan rambut gelap itu. Barang itu tampak lemas, lagi
janggal. Tana mengangkat tangan kanannya
lalu satu jarinya menyentuh barang itu, dan dilihatnya barang itu tersentak. Tana menarik kembali tangannya. Barang itu membesar. Anak lelaki itu bergeser sedikit mendekat. Tana
menjulurkan tangannya lurus-lurus dengan agak menangkupkannya sehingga ia dapat
mengangkat barang itu dan melihat sepasang buah pelir yang separuh tersembunyi,
lalu ia merasa barang itu bangkit sendiri, terus membesar, menjadi keras, dan
di pucuknya, pada kulitnya terdapat sebuah lubang, serta bintik ungu. Tana terus memandang takjub pada barang di tangannya,
mengamati perubahannya, lalu ia merasakan tangan anak lelaki itu di atasnya,
menyentuh lehernya, mendorongnya ke bawah, supaya mendekat. Tana melepaskan diri. Ia menarik diri, cepat-cepat
berdiri. Ia bergeming saja sambil sesekali melirik anak-anak lelaki. Ia tidak
tahu mesti berbuat apa. Anak-anak lelaki lalu mengenakan pakaian mereka tanpa
banyak cakap, kemudian mereka semua kembali ke alun-alun kota. Anak lelaki yang
tadi disentuh Tana berusaha supaya ia membonceng sepeda motornya saja. Tetapi
Tana menjaga jarak. Beberapa hari kemudian, anak
lelaki itu menelepon (pasti ada salah seorang anak yang memberikan nomor Tana)
dan dengan santainya mengusulkan untuk jalan bareng Sabtu depan. Kedua orang
tuanya akan pergi hingga Minggu malam. Mereka bisa pergi ke bioskop lalu Tana
boleh mampir. Anak lelaki itu akan memasakkan makan malam dan menyajikan
minuman serta rokok. Tana mendengarkan, lalu
melontarkan sebanyak mungkin cacian pada anak lelaki itu, melayangkan segala
sebutan yang diketahuinya, malah sebagian tidak benar-benar dipahaminya. Beberapa kali setelah itu Tana melihat si anak lelaki di
alun-alun kota namun selalu menghindarinya.
Suatu hari ketika sedang di luar rumah, di belakangnya Tana melihat
anak lelaki itu tertawa dan berbicara dengan dua temannya, dan ia bisa
merasakan mereka tengah mengamati dia. Tana meneriaki anak lelaki itu. Mereka
pada tertawa hingga Tana ditarik temannya. Tana dan temannya memasuki kedai kopi. Temannya itu bilang
ia sungguh tidak memahami Tana. Tana sungguh idiot tidak mau jalan bareng anak
lelaki itu. Sebetulnya si teman pernah mengajak anak lelaki itu jalan bareng.
Tetapi anak lelaki itu tidak mengacuhkan dia. Teman-teman lain yang ada di situ
mengatakan betapa baiknya anak lelaki itu, suka menraktir, tidak pernah lupa
mengenakan kondom, dan mereka pun bersenang-senang. Sembari berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam,
bersebelahan dengan napas si malaikat, Tana ingat keputusan yang dibuatnya hari
itu: bahwa tuhan telah berlaku jahat pada laki-laki dan perempuan, dengan
memberi mereka sistem reproduksi yang jelek ini, mengacaukan organ-organ,
sehingga organ yang memberikan kenikmatan terbesar, bagian yang merupakan
pusatnya cinta, bercampur baur dengan bagian paling memualkan; maka, sejak kejadian di lubang itu, ia menjadi jijik pada
vaginanya, sehingga ia berhenti meraba-raba dirinya sendiri, berhenti
bermasturbasi, walau ia masih merasakan berahi—berahi yang menggebu sesekali pada malam hari—dan yang lebih menjijikkan lagi
berahi ini disertai penampakan anak lelaki itu, yang bergeming tanpa sehelai
bulu pun, tampan rupawan, dan apa pun yang diraba Tana anak lelaki itulah yang
dirabanya, dan dilihatnya sepasang bintik gelap puting anak lelaki itu, dan
dipegangnya daging itu, yang awalnya lembut, lantas membengkak, semakin membesar, dan bintik ungu itu
pun membuka, berbau asam—pada malam-malam
seperti ini, Tana memaksakan diri melihat daging yang memerah itu, yang jika
dibayangkannya cukup lama tiba-tiba melontarkan arus kuning berbau busuk, air
kencing yang tidak kunjung berhenti; dirasakannya air kencing itu menyembur
dengan baunya yang buruk, dirasakannya membasahi tubuhnya, suam-suam kuku,
menjijikkan, bahkan memasuki mulutnya, dan baru setelah itulah berkat remedi
ini bayangan itu memudar, berahinya mengabur, melemah, hingga nyaris
menghilang, dan Tana pun berhenti merasa lalu tertidur.
Tana
menyalakan lampu kecil, lalu berguling hendak memandang si malaikat yang tidur. Tanpa turun dari kasur, Tana berlutut. Ia beringsut maju sepelan mungkin. Sayap si malaikat agak
terbuka. Makhluk itu tampak agak kusut. Tidurnya tampak begitu nyenyak. Keletihannya yang teramat
sangat mesti diauskan sebelum ia bangun lagi. Lututnya tampak di balik tunik.
Tana merasa cemas, namun ada pikiran yang tak dapat dienyahkannya: bahwa inilah
sebabnya si malaikat berada di sini; inilah sebabnya si malaikat membiarkan dia
untuk menemukannya, membersihkannya, memberinya makan: supaya Tana mengerti
bahwa si malaikat ada untuknya, bahwa Tana dapat berbuat apa pun yang
dihendakinya. Kau boleh berbuat apa pun pada si malaikat.
Tana
menyelipkan tangan kanannya ke bawah punggung si malaikat dan mengangkat
sedikit makhluk itu, lalu tangan kirinya perlahan-lahan menyingkap tunik si
malaikat. Tana merebahkan si malaikat
kembali, lalu berlutut di samping lutut makhluk itu. Ia ragu-ragu, sebelum
mengangkat kelim tunik si malaikat. Tidak ada rambut di seputar kelamin si
malaikat. Barangnya terlihat menyerupai
kelamin anak-anak, hanya saja lebih besar. Indah bagi Tana. Dagingnya amat pucat, seperti bagian tubuh lainnya. Perutnya naik turun dengan tenteram seiring tarikan napas.
Bersanggakan tangan kiri, Tana meraba perut si malaikat dengan tangan kanan.
Tanpa gerakan mundur, ia menyapukan jemari pada paha kiri makhluk itu, lalu ke
celah di antara kedua kakinya, ke atas paha kanannya, pada perutnya. Jemari Tana mendekati kelamin si malaikat, namun ia tidak
berani menyentuhnya: bukan karena jijik, tentu saja bukan, tetapi karena
respek. Tana tidak ingin membangunkan si malaikat. Tana mendekatkan wajahnya
pada kelamin si malaikat, supaya terlihat lebih jelas dalam remang cahaya.
Kelamin itu tampak lembut, bersih, dan tidak berbau busuk. Tana menyentuh
kelamin si malaikat dengan bibirnya, kecupan ringan, bagai mengecup anak kecil
yang tidur, mengecup tanpa membangunkan. Kelamin si malaikat bergeming saja.
Tana terus memandang, terus menyapukan jemarinya dengan arah seperti tadi, tanpa
menyentuh kelamin si malaikat. Ia senang
melakukan ini.
Sejenak
kemudian, Tana merasakan kantuk menundukkan
dirinya, dari dalam kepalanya, kaki dan lengan kirinya pun lelah dalam posisi
begini terus. Ia kembali menyelimuti si malaikat dan memandangi makhluk itu. Ia
memandangi sekujur tubuh si malaikat, dari kepala hingga kaki, sayap, lengan,
dan jari, dan makhluk itu terlihat indah seutuhnya. Selagi memandangi si
malaikat, ia tidak merasakan berahi sedikit pun. Yang ada senang belaka, senang
merabanya dan memberinya kecupan amat ringan pada kelaminnya. Lantas terlintas
oleh Tana mestilah sekarang sudah sangat larut, maka ia merayap ke balik
selimut dan menutup matanya rapat-rapat supaya cepat tertidur, lalu
dimimpikannya si malaikat pergi, terbang menjauh. Di sepanjang jalur yang
dilalui si malaikat, di bawahnya, atap berlepasan dari rumah-rumah, dan dari
rumah-rumah itu cahaya emas merajah kelamnya langit malam. Keesokan paginya, Tana terbangun dengan demam tinggi. Ia
diliputi kehangatan, khayalan, dan kenikmatan meringkuk di
tempat tidur sementara menelepon teman-teman sekolahnya supaya menjenguk,
supaya mereka iri akan kemujurannya karena libur seminggu, sedang hujan turun
di mana-mana di luar, membasuh dunia, mempersiapkan dunia untuk musim dingin.
Betapa nyamannya.[]
Cerpen ini diterjemahkan dari
versi bahasa Inggris Elizabeth Harris dalam Words without Borders edisi April 2012: “Sex”.
Sebagai penulis fiksi, penyair, dan editor dari Padua, Italia, Giulio Mozzi telah memublikasikan dua puluh enam buku bersama penerbit seperti Einaudi dan Mondadori. Ia dikenal terutama atas buku-buku kumpulan cerpennya. Kumpulan cerpen pertamanya (yang memuat “Tana”) Questo è il giardino (Inggris: This is the Garden) memenangkan Premio Mondello. Dari kumpulan cerpen ini, “L’apprendista” (Inggris: “The Apprentice”) termasuk ke dalam antologi cerpen terbaik Italia abad kedua puluh terbitan Mondadori, I racconti italiani del novecento. Mozzi juga terkenal karena mempromosikan penulis muda Italia berikut blog sastranya Vibrise Bolletino. Bersama seniman Bruno Lorino, ia menciptakan seminan imajiner Carlo Dalciole, yang karyanya telah dibawakan di berbagai pertunjukan dan dalam bentuk buku. Salah satunya (Inggris: “Carlo Doesn’t Know How to Read”) terdapat dalam Best European Fiction 2010 terbitan Dalkey Archive Press. Cerpen-cerpen Mozzi telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa. Kumpulan cerpennya dalam bahasa Inggris, This is the Garden, yang diterjemahkan oleh Elizabeth Harris akan diterbitkan Open Letter Books pada 2013. Terjemahan bahasa Inggris dari beberapa cerpennya dalam kumpulan ini telah terbit di sejumlah jurnal sastra, berikut The Kenyon Review dan The Missouri Review.
Elizabeth Harris menerjemahkan fiksi Italia kontemporer. Terjemahannya diterbitkan banyak jurnal sastra dan tiga kali dimuat dalam antologi tahunan Dalkey Archives, Best European Fiction, atas karya Giulio Mozzi, Marco Candida, dan Diego Marani. Buku-buku terjemahannya mencakup novel Mario Rigoni Stern, Giacomo’s Seasons (Autumn Hill Books) dan kumpulan cerpen Giulio Mozzi This Is the Garden (Open Letter Books). Penghargaan yang diperoleh Harris mencakup anugerah penerjemahan dari Kementerian Kebudayaan Asing Italia atas Giacomo’s Seasons Rigoni Stern serta Hibah Dana PEN/Heim untuk terjemahan novel Antonio Tabucchi Tristano Dies yang sedang dikerjakannya (akan diterbitkan Archipelago Books pada 2015). Ia mengajar penulisan kreatif di University of North Darkota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar