Ia keluar dari rumah
sambil menyerapahi segala sesuatu sekeras-kerasnya—mulai dari kedua orang tua
yang membawanya ke dunia busuk ini hingga kakaknya yang telah menikah dengan
orang Perancis, ikut ke negara suaminya, dan ingkar janji. Ia ingat ucapan
kakaknya sewaktu di bandara:
“Aku kawin dengan orang Kristen ini demi kau. Satu bulan, dan
kau akan memiliki semua dokumen yang diperlukan untuk menyusulku ke sana.
Jangan khawatir!”
Ia memercayai kakaknya. Sekarang sebulan telah berlalu, dengan
menyeret bulan-bulan lainnya yang menjemukan lagi membosankan, semuanya sama
memuakkan, dan kakaknya ingkar janji. Ia capek melihat ibunya pulang sore-sore
dengan membawa pakaian bekas serta sisa makanan dari majikan. Ia capek melihat
ayahnya merana di pojok kamar sambil mengisap rokok, penampilan lelaki bangkot
itu sudah menyerupai orang-orangan sawah saja. Lebih-lebih lagi capeknya karena
berdiri di ujung jalan dengan sekeranjang dus rokok di depannya, berjualan
eceran. Ia mengisap rokok lebih banyak daripada yang ia jual.
Di jalanan ia suka mengamati orang-orang yang melintas, dan duduk bersama Hamu, yang mengawasi mobil-mobil yang terparkir demi mendapat uang, serta memberitahukan apa pun dan segalanya tentang para tetangga padanya, dan tentang orang-orang yang dikenalnya (ataupun tidak). Ia suka menggoda para gadis nyaris telanjang yang lalu-lalang, dan mereka menatapnya dengan amat muak, seakan-akan dirinya sepotong makanan menjijikkan yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa. Suara biduanita membahana dari radio yang disetel dengan volume maksimal, separuh melenguh, separuh mendengus, mengungkapkan betapa terkekang dan terangsangnya ia: “Memeluknya, mendekapnya, menciumnya ….”
Di jalanan ia suka mengamati orang-orang yang melintas, dan duduk bersama Hamu, yang mengawasi mobil-mobil yang terparkir demi mendapat uang, serta memberitahukan apa pun dan segalanya tentang para tetangga padanya, dan tentang orang-orang yang dikenalnya (ataupun tidak). Ia suka menggoda para gadis nyaris telanjang yang lalu-lalang, dan mereka menatapnya dengan amat muak, seakan-akan dirinya sepotong makanan menjijikkan yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa. Suara biduanita membahana dari radio yang disetel dengan volume maksimal, separuh melenguh, separuh mendengus, mengungkapkan betapa terkekang dan terangsangnya ia: “Memeluknya, mendekapnya, menciumnya ….”
Lagu itu menyalakan sesuatu di dalam dirinya, mencetuskan rasa
lapar akan segala macam hal, dan ia merasakan Nafsu buas nan primitif, yang
berdiam di suatu tempat dalam badannya, melepaskan lolongan nan kemaruk dan
keji. Matanya menyambar bokong-bokong montok yang berseliweran. Gerakan
bokong-bokong itu saat terangkat lalu berguncang begitu mesum, mendebarkan, dan
mencekam. Ke mana pun ia menoleh dilihatnya tetek-tetek yang bengkak terarah
pada barang di bawah perutnya, membuatnya bangkit. Tetek-tetek itu menggilas
nyalinya dengan brutal dan garang, tanpa ampun. Ia berkonsentrasi menyesap kopi
hitamnya, supaya tidak berbuat kegilaan yang bisa jadi akan disesalinya
kemudian. Bahkan imam masjid saja tepergok beberapa kali oleh para bocah
tetangga sedang mencuri pandang pada wanita-wanita muda seraya meraba barang di
bawah perutnya yang buncit, sementara tasbihnya yang usang bergerit di
sela-sela jemari. Kau punya alasan, wahai imam—jika Hawa saja menggoda Adam
keluar dari Firdaus, maka wanita memang jelas-jelas pandai dalam menghilangkan
martabat pria, ya kan?
Matanya mencari-cari Hamu lalu diucapkannya dengan gusar:
“Yang mereka pertontonkan pada kita itu kejahatan, begitulah
sebenarnya. Suatu hari aku akan membuat plakat yang isinya ‘Lawan kejahatan
terhadap pria’ , dan aku akan beredar di jalanan membawa-bawa plakat itu. Dan
mereka pun ingin tahu mengapa bisa sampai ada pemerkosaan? Dunia ini penuh
dengan sun—“ Ia mengeluarkan dahak. “Para wanita itu beruntung di negara ini,
mereka bahkan tak harus bisa membedakan buku dengan tongkat polisi—tapi mereka
tinggal pamer paha sedikit saja, berdandan, dan semua pintu yang tadinya
tertutup pun terbuka buat mereka! Dan kita sama-sama tahu kan ada apa di balik
pintu yang tertutup?”
Ia selalu diliputi amarah saat melihat para gadis
tetangganya: usia mereka tak lebih dari dua puluh tahun, dan masing-masing
sudah punya ponsel sendiri. Beberapa malah membeli mobil pribadi, dan sekarang
ingin menyewa apartemen alih-alih liang berbau busuk sebagaimana tempat
tinggalnya, yang dinamakan, kentara sekali dilebih-lebihkannya, perumahan.
Sewaktu kakaknya menjumpai keluarga mereka dan membeberkan
rencana pernikahan dengan orang Perancis, ayahnya yang sudah sepuh menentang,
menggarang, meracau, dan mengancam, menyumpah bahwa kakaknya tidak akan diakui
lagi sebagai anak jika mengawini “si Kristen laknat”. Ayahnya bahkan mulai
berbicara panjang lebar tentang halal dan haram, juga api neraka. Sementara itu
ibunya bergaduh dan merutuki hari ketika melahirkan anak perempuannya, serta
meratapi masa ketika anak perempuan dikubur hidup-hidup begitu dilahirkan.
Namun kemudian semua berubah dalam sekejap selazimnya terjadi
di Maroko. Sebelumnya perabot tua di rumah selalu digunakan bersama tikus dan
kecoak, sekaligus merupakan hunian yang aman dan kokoh bagi beberapa generasi
laba-laba. Satu-satunya yang tidak ada di rumah untuk melengkapi gambaran itu
cuma Drakula. Namun kemudian seluruh perabot itu diganti. Ayah mereka mulai
mengenakan setelan lengkap dan dasi ketimbang jelabahnya yang compang-camping,
dan tersenyum-senyum tolol, bangga akan anak perempuan yang telah memberikan
jutaan padanya. Sebotol anggur dan sejumput rokok meredakan si ayah menjadi
racauan gembira. Sembari menyandarkan punggungnya, si ayah terus-terusan
berkata, “Orang yang memiliki anak perempuan adalah orang yang berharta.” Dan
ucapan “Allah berkenan padamu, Anakku” selalu melekat di bibir si ayah.
Bahkan ibunya jadi gemar menggulung lengan baju untuk
memamerkan cincin dan gelang pada para tetangga perempuannya, senang akan
tatapan mereka yang nyaris mencelat dari kepala akibat nyala kuning perhiasan
yang memesona. Lalu mata si ibu akan mencari-cari anak perempuannya dan
berucap, “Pernikahannya sebentar lagi!”
Maka mau sampai berapa lama ia bersikukuh menentang
pernikahan kakaknya? Kakaknya akan menikahi si orang Kristen entahkah mereka
menyukainya atau tidak. Dan ia bukanlah tokoh pahlawan seperti dalam film, ia
tidak akan membunuh kakaknya lalu menghabiskan sisa hidupnya di penjara
demi—demi apa? Moral? Kehormatan? Tradisi? Ia tidak tahu warna, bentuk, ataupun
rasa barang-barang itu, ia cuma mendengarnya dalam cerita pengantar tidur yang
biasa dibawakan neneknya dulu. Maka ia pun mempergunakan logika zaman dalam
menghadapi persoalan kakaknya ini. Ia campakkan ekspresi wajahnya bagai pakaian
yang tak digunakan lagi, lalu mengenakan raut lain yang bersepuh timah dan tak
menampakkan arang di muka, sebagaimana orang-orang di sekitarnya saja.
Ia mulai membacakan ayat dan hadis pilihan secara rambang
pada semua orang supaya pernikahan kakaknya menjadi halal. Para tetangga sudah
pasti bergosip, namun akhirnya menelan lidah mereka sendiri. Dan mengapa pula
ia mesti menjelaskan tingkahnya itu pada siapa pun? Orang semestinya memikirkan
urusannya sendiri saja—seperti pepatah bilang, “Tuhan memberi kita kepala
sendiri-sendiri supaya kita tidak saling merusuhi.”
Dengan percaya diri ia terus saja mengulang-ulang, dalam
jarak pendengaran bocah-bocah tetangganya, “Tinggal beberapa hari, setelah itu
kau tak akan melihatku lagi.” Mimpinya sarat akan penjajahannya ke ranjang
wanita-wanita berambut pirang, sebab ia sadar bahwa pria Maroko sama saja
seperti semua pria Arab: miskin, tetapi berbiak bak tikus. Yang mereka
pentingkan cuma kejayaan menyilaukan atas keluarga, dan mereka tak akan
menurunkan tombak ataupun menyerahkan senjata hingga mereka yakin telah
mengatasi serangan mematikan dan menundukkan lawan utama dalam misi ini—wanita.
Suatu hari ia akan berbicara dalam bahasa Arab yang kacau dan
mencampuradukkannya dengan bahasa Perancis, supaya para bocah tetangganya tahu
soal hubungannya dengan semua wanita berkulit krem itu.
Ia mengangkat keranjang rokoknya. Ia melihat tukang pos, dan
menanyakan kalau-kalau ada surat dari Perancis untuknya. Si tukang pos
menyahut, “Tidak ada,” tanpa benar-benar menoleh padanya. Ia pulang ke rumah
sambil menyerapahi segala sesuatu sekeras-kerasnya, mulai dari kedua orang
tuanya hingga kakaknya, yang ….[]
Malika Moustadraf (1962-2006) merupakan
penulis Maroko berbahasa Arab yang menonjol dan salah satu pelopor genre cerita
pendek di Maroko. Ia meninggal dunia pada usia 44 tahun akibat penyakit ginjal,
dengan meninggalkan karya berupa sebuah novel (Wounds of the Soul and the Body, 1986) dan sebuah kumpulan cerpen (Trente-Six, 2004). Ia terkenal akan
tulisannya tentang kehidupan pinggiran, serta pengalaman dan tubuh wanita.
Terjemahan ini berdasarkan versi bahasa Inggris Alice Guthrie dalam Words Without Borders edisi Maret 2016, “Crossing Boundaries: Morocco’s Many Voices”.
Terjemahan ini berdasarkan versi bahasa Inggris Alice Guthrie dalam Words Without Borders edisi Maret 2016, “Crossing Boundaries: Morocco’s Many Voices”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar