Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20160909

An Evening of Long Goodbyes, Bab 1 (3/4) (Paul Murray, 2003)

Awalnya bahan makanan yang tersedia tampak menyulitkan. Ikan mesti dikeluarkan isi perutnya, daging dipotong, sayuran dikupas, diiris, ditumis. Tapi kemudian tahu-tahu aku melihat stoples berisi kacang-kacangan. Sambil memikirkan apa salahnya makan kacang, aku menaruhnya dalam panci beserta secangkir beras. Kutunggu sampai airnya mulai mendidih, lalu kutiriskan dan kuletakkan di piring. Kubawa makananku ke ruang makan. Hasilnya cukup layak dimakan kalau dilahap cepat-cepat diselingi beberapa teguk anggur, dan aku cukup bangga pada diriku sendiri. Aku makan sendirian, diawasi jam yang berdetak jemu serta seekor ngengat yang menggelepar dengan eloknya dalam naungan lampu di dekat meja panjang dari kayu mahoni. Setelah itu aku meracik gimlet lalu balik ke ruang duduk serta kursi malas yang kini telah pulih.

Film pertama yang ditayangkan yaitu Heaven Can Wait yang tidak begitu penting. Di situ Tierney hanya mendapat peran kecil sebagai istri-Don-Ameche[1] yang suci bak malaikat. Tapi tayangan sesudahnya yaitu film Whirlpool yang cemerlang karya sutradara Otto Preminger. Di situ gabungan yang memikat antara daya tarik dan kehampaan pada diri Tierney dieksploitasi habis-habisan. Perpaduan itu sangatlah sesuai dengan tujuan-tujuan Hollywood yang barangkali telah digemblengnya di kaveling Burbank[2]. Pemirsa pun tersedot seiring dengan surutnya Tierney dari jalan cerita, sayup-sayup memudar bagai sirene hingga kau terenggut ke dalam film tepat ketika ia menghilang. Kau pun mendapati dirimu berada sendirian dalam ruang tempat ia semestinya berada, dalam bayang-bayang dan jeratan efek panggung Preminger yang minta ampun.

Aku sudah menonton banyak film lawas, dan sejak pertama kali melihat dia, Gene Tierney lah favoritku dari era bintang film sejati. Walau kini Tierney banyak dilupakan, pada masanya ia dianggap sebagai wanita paling cantik yang pernah menyemarakkan layar perak. Namun kecantikannya semata berwujud kemuraman feminin yang laten, tanpa maskulinitas yang meyakinkan layaknya Bacall ataupun kejenakaan ala Hayworth, dan tampaknya para pembuat film jadi bimbang. Mereka biasa memberinya peran yang jelas-jelas bertentangan dengan karakternya, sebagai istri yang membosankan, orang beloon yang ceria, atau putri Arab yang karikatural. Peran-peran itu diciptakan untuk membatasi dan mengecilkan kekuatan pesona wajahnya, dan malah menonjolkan keragu-raguan alamiahnya yang mengakar dalam. Para kritikus dan industri, sekalipun jatuh hati padanya, bersikeras mentah-mentah bahwa ia tidak pandai bermain peran. (Dalam Whirlpool, misalnya, ketika ia berperan sebagai kleptomaniak yang dimanfaatkan oleh psikoanalis jahat, ada pengulas yang mengatakan: “dalam permainan Nona Tierney terkadang sulit untuk mengenali apakah ia sedang dalam hipnosis atau tidak.”) Preminger satu-satunya sutradara yang tampaknya memahami Tierney dan apa yang hendak dipertunjukkannya pada orang-orang yang menonton dia. Dalam film terbaik mereka berdua, Laura, peran Tierney sebagian besar sebagai orang mati. Kemunculannya di layar dalam bentuk lukisan serta kesaksian kilas balik dari para tersangka pembunuhannya.

Aku sudah pernah menonton kedua film Tierney yang ada di televisi itu, dan karena terkuras oleh upaya memasak makan malam aku pun mengantuk. Saat mengantuk aku mengalami sensasi aneh, yang bukan pertama kalinya dalam beberapa bulan ini. Entah bagaimana film itulah yang tengah menontonku. Tidurku tersiksa oleh mimpi buruk. Bayangan wanita-wanita serupa vampir menggoda diriku, menghambat konsentrasi, dan akhirnya berubah menjadi monster mengerikan yang menyeringai ompong. Mereka bergerak-gerak penuh maksud di atas cerobong asap raksasa yang dijajari botol-botol kosong. Aku terbangun oleh suara-suara di pintu, serta nyeri lain yang terasa lebih melumpuhkan di perutku. Itu suara adikku dan Makhluk itu, terdengar mesra nan lirih. Namun rupanya aku tidak sanggup bangkit dan menengahi. “Hentikan,” jeritku lemah, namun suaraku pecah, kepalaku mumet, dan aku pun tergeletak tanpa daya dalam kubangan keringat. Di pojok ruangan, televisi dalam suara teredam menampilkan gambar orang-orang di semacam tempat perkemahan sementara—beribu-ribu orang, tengah menangis dan meratap. Dalam rasa mual yang teramat sangat, aku sempat menyadari gelas koktailku telah diangkat dari meja. Mbok P sudah kembali! Dengan sisa-sisa tenaga, aku menarik tali lonceng. Dentingannya yang menggema di kejauhan mengitariku seiring dengan hilangnya kesadaranku.

Saat sadar kembali—kehausan, nyeri merajalela di ususku—aku sudah berada di kasur. Lampu kecil di sisi kasur menerangi dua wajah yang cemas, yaitu wajah adikku dan Mbok P (kuperhatikan yang terakhir disebut ini menampakkan rasa bersalah, jelas-jelas menginsafi bahwa gara-gara kelalaiannya lah aku terpaksa meracuni diriku sendiri), serta seraut wajah dungu lagi tak tahu diri milik Frank. Seraya menggigit bibir dan memegang bahuku, Bel menanyakan apakah aku baik-baik saja.

“Kacang!” aku terengah-engah.

“Apa?” ujarnya.

“Sepertinya karena makan kacang merah,” Mbok P gemetar. “Kacang merahnya masih mentah.”

“Kacang!” jeritku lagi tak keruan.

“Oh ya ampun,” ucap Bel. “Charles, dengarkan baik-baik, apa kamu rendam dulu kacangnya sebelum masak?”

“Ya enggaklah,” sahutku. “Maksudnya apa tuh?”

“Bagaimana menurut Mbok?” ujar Bel pada Mbok P. Mbok P melontar kedua tangannya dan berlalu, sembari meracau dalam bahasa Bosnia, atau apalah.

“Rasanya memang agak renyah,” aku teringat.

Frank mengedip padaku. “Teler, ye? Minum lagi gih.”

“Apa?” sahutku, lalu “Oh,” sewaktu ia mengeluarkan botol model koboi. Bayangan menempelkan bibirku di bekas bibirnya sempat menyurutkanku, tapi aku mau melakukan apa pun demi mengenyahkan derita yang berkepanjangan ini. Aku pun menguatkan diri dan menelan seteguk wiski yang sangat murahan—dan mujarab, karena serta-merta aku muntah banyak sekali ke dalam ember sampanye. Setelah itu aku merasa agak mending, cukup mending untuk meminta waktu berdua saja bersama Bel.

“Charles,” ucap Bel, sembari duduk di sampingku dan mengusap keningku, “kapan kamu mau belajar berhenti menjadi orang idiot?”

“Jangan pikirkan itu sekarang ini,” sergahku. “Aku ingin tahu bagaimana kejadiannya.”

“Yah, kami pulang dan melihat kamu berguling-guling di lantai, jadi—“

“Bukan yang itu, dasar menyebalkan, Bel—si Frank, kenapa dia kemari?”

Bel menjauhkan diri. “Apa maksudmu?” ucapnya.

“Maksudku, baru hari ini aku bertemu dia, dan dia sudah bermalam? Mentang-mentang Bunda lagi enggak ada, bukan berarti rumah ini bisa dijadikan sebagai, sebagai rumah bordil, mengerti kan.”

Wajah Bel merona merah padam. “Teganya kamu ini,” tukasnya dingin.

“Yang kupikirkan cuma kamu,” ucapku. “Aku cuma mencoba menghentikanmu berbuat hal yang bisa jadi kamu sesali. Salah satu dari kita mesti tetap waras kan.”

“Yakinlah, otakku waras sepenuhnya.”

“Ah, masak sih,” sahutku.

Bel pun bangkit. “Apa tuh maksudnya, ‘masak sih?’”

“Maksudnya, kondisimu kan sedang kurang baik. Kamu sendiri yang pernah bilang, Bel. Kamu sedang merasa kehilangan. Kamu gusar karena enggak bareng teman-temanmu di kampus lagi. Kamu sudah begini selama musim panas. Ini sangat bisa dimaklumi. Tapi ada batasnya ketika orang harus melangkah dan bertanggung jawab. Sebab kenyataannya orang yang kehilangan atau berduka sering kali mencari dukungan ke tempat yang salah. Pikiran mereka gelap, ya kan, sehingga mereka mengambil keputusan buruk yang nekat—“

Gigi Bel bekertak-kertak. “Charles, teganya kamu katakan yang barusan itu lantas berlagak mengira tahu perasaanku. Ya Tuhan, kalaupun ada yang mendorongku untuk mengambil keputusan buruk dan berbuat hal yang bakal kusesali, itu—“

“Yang kupikirkan cuma keselamatanmu. Bisa enggak kamu duduk dan dengarkan sebentar saja?” Aku mengernyit dan tanganku memijak ke samping seiring dengan gejolak nyeri melonjak dari ususku. “Maksudku, siapa sih Frank ini? Itu harus kita tanyakan pada diri kita sendiri. Apa sih yang dia inginkan dari kita?”

Aku kenal dia, akulah yang dia inginkan dari kita.”

“Ah, yang benar? Maksudku dia bisa jadi siapa pun, dia bisa saja—pembunuh berantai, atau penjahat ahli menyamar yang mengincar harta keluarga—“

“Kenapa sih kita terus-terusan membicarakan ini?” Ia menujukan pertanyaannya pada langit-langit. “Kenapa sih kamu begini tiap kali aku mengajak orang ke rumah? Kamu mencerca dan mengeluh sampai aku tidak sanggup lagi menerimanya. Enggak tahan deh.”

“Yah,” ujarku, “soalnya seleramu tak terpelajar sih—“ buru-buru kuimbuhkan sementara ia mencari-cari alat untuk memukulku, yang bisa menimbulkan cacat permanen ataupun tidak, “Soalnya kamu ini makhluk yang sangat rupawan, Bel, kamu pantas mendapatkan yang jauh lebih baik.”

“Charles, dua menit yang lalu pada dasarnya kamu menyebutku pelacur.”

“Enggak kok.”

“Ya, kamu bilang aku mau mengubah rumah ini jadi bordil.”

“Bukan begitu maksudku,” tukasku. “Maksudku cuma, mengerti kan, sebaiknya kamu jangan buang-buang waktu dengan orang pandir. Aku mengerti sulitnya menemukan orang yang tepat, tapi itu bukan alasan untuk bersusah payah melaluinya dengan orang-orang yang salah. Kamu tampaknya menjalani kehidupan asmaramu menurut semacam proses penyisihan. Itu seperti memasangkan kursi Louis Quatorze[3] dengan salah satu meja patio dari plastik. Kan enggak sebanding.”

“Oh, aku mengerti,” ucap Bel. “Aku kursinya, begitu?”

“Kursi Louis Quatorze,” imbuhku.

“Sedang meja pationya para cowokku.”

“Sebenarnya,” aku teringat, “yang kali ini lebih mirip lemari swarakit Swedia.”

“Aku cemas padamu,” tukas Bel, seraya bangkit dan berputar gemas dalam genangan cahaya yang disorotkan lampu. “Serius deh aku cemas. Kurasa ada setan betulan yang mesti kamu perangi, Charles. Kamu berusaha sebaik-sebaiknya menghancurkan setiap hubungan yang kumiliki. Kamu buat setiap cowok yang kubawa pulang merasa risi dan kamu buat diriku terlihat seolah berasal dari sekumpulan hewan congkak. Tidak ada yang cukup baik menurutmu. Kevin pakaiannya terlalu jelek—“

“Sandalnya? Kaus kakinya?”

“Liam terlalu Skotlandia—“

“Oh, tapi benar-benar Skotlandia, Bel! Ayolah, bagpipe? Terus-terusan mengutip film Braveheart? Siapa pun yang bangga karena berasal dari Skotlandia jelas-jelas bermasalah—“

“David?”

“Jalannya kayak bebek.”

“Roy?”

“Homoseksual yang tertekan.”

“Anthony?”

Kugaruk-garuk kepala. “Rendahan,” sahutku.

“Thomas, bagaimana dengan dia? Kenapa kamu terganggu oleh dia?”

Mengapa burung berkicau? Mengapa langit biru? Thomas, yang konon seniman bodi, mukanya terlihat seperti habis jatuh ke dalam sekarung paku. Kutahan komentarku, dan memuaskan diri dengan tawa kecil yang angkuh.

“Tapi pernah enggak sih kamu berpikir,” lanjut Bel dengan nada ironis, “kalau masalahnya mungkin saja ada padamu? Pernahkah kamu sendiri berpikir, kenapa aku sangat terobsesi oleh kehidupan cinta adikku, bukankah itu agak sakit, apalagi ketika selebihnya aku enggak berbuat apa-apa selain berkeliaran di rumah sambil minum-minum anggur Ayah, menonton televisi, dan berkejaran dengan cewek-cewek tolol aneh tanpa secuil pun otak di kepala mereka yang kecil kayak siapa tuh namanya yang menyebalkan dan suaranya kayak adu banteng. Bahkan, sementara aku mencela upaya adikku untuk memiliki hubungan nyata yang wajar serta kehidupan sesungguhnya yang nyata—akankah,” ia semakin panas dan mulai merentak-rentak, “akankah aku menghabiskan sisa hidupku lontang-lantung di Amaurot tanpa berbuat apa-apa selain mengintip urusan orang seolah-olah itu masalahku padahal bukan?” Dalam getaran amarah, ia berpaling melihatku, seakan berharap balasan.

“Apa ini masih soal aku?” tanyaku.

Ya, Charles,” seraya menghantamkan kakinya.

“Eh—kamu menyarankan bahwa ketimbang berusaha menjaga dan melindungi keluarga, aku sebaiknya keluar melakukan semacam, semacam kerja, begitu?”

“Singkatnya begitu,” sahut Bel.

Aku bingung. “Awalnya kan kita bukan membicarakan ini,” tegasku.

“Mungkin bukan,” ujar Bel. “Tapi ini waktu yang tepat untuk memberitahumu kebenaran yang sangat penting.”

“Sebenarnya, aku merasa mual lagi,” buru-buru kukatakan.

Ia terus saja berkata-kata. Tanpa belas kasihan, ia mengungkapkan bahwa boleh jadi menurut jalan pikiran yang berbelit-belit aku keliru menganggap perilaku campur tanganku sebagai mengasuh, atau melindungi, padahal sebenarnya itu mengganggu dan menggerahkan, “kamu melakukannya cuma karena enggak punya urusan lain, karena dua tahun ini kamu duduk-duduk saja sendirian atau minum bareng teman-temanmu yang pemalas, dan pokoknya hidup tanpa pengertian sedikit pun tentang kedewasaan atau kematangan …. Yah, sudah cukup, Charles. Aku enggak peduli lagi kalaupun kamu enggak balik kuliah. Aku enggak peduli kalau kamu mau merusak hidupmu. Tapi aku enggak paham sebabnya kamu mesti merusak hidupku juga. Kalau kamu ingin jadi orang gagal, okelah. Tapi tolong jalani saja itu sendirian.”

“Orang gagal?” raungku. “Harus ada yang melestarikan tradisi keluarga, bukan? Harus ada yang menjaga panji-panji tetap berkibar.”

“Ayah enggak pernah berlibur sehari pun seumur hidupnya,” sahutnya mencibir. “Itu yang namanya panji-panji.”

“Ya, tapi Ayah bekerja seumur hidupnya bukan supaya anak-anaknya harus—bekerja juga,” sangkalku, “dan selain itu, aku enggak paham yang kamu gusarkan itu”—walau cukup jelas, Bel itu orang yang selalu mawas diri dan mungkin merasa sangat menyesal atas pembawaan si Frank. “Aku enggak mengerti kenapa nasihat baik penuh arti dari dirimu ini bisa memaksaku keluar untuk bekerja mengupasi kacang polong, atau memasang tutup stoples selai di suatu pabrik menyeramkan, sepanjang hari berdiri di ban jalan, mendengarkan deru mesin, bahkan kursi untuk duduk pun enggak ada, sementara stoples mengilap enggak habis-habisnya bergulir menuju alat pemasang tutupku yang kecil—“

“Aku bicara soal tanggung jawab, Charles, soal hidup seperti seorang manusia sungguhan yang dewasa—“

“Si Frankmu ini, dia kerja, ya?

Bel tertahan nyaris merentak dan membetulkan tali gaunnya. “Dia kerja kok,” tangkisnya.

“Wah? Ahli bedah otak, penerbang balon udara, pemain biola ketiga …?”

Tatapannya merunduk. “Dia punya van,” ucapnya.

Van!” seruku, dengan jaya menyematkan jari ke udara. “Van! Apa gerangan yang dia taruh di “van” ini? Opium? Gading gajah? Gadis belia berniat mulia namun salah arah dari keluarga baik-baik?”

“Itu enggak penting!” teriaknya. “Ya Tuhan, seharusnya aku enggak usah repot-repot mencoba bertukar pikiran denganmu.”

Di luar, derit rongseng gada-gada meningkahi angin. Aku berdesah, duduk di kasur dan melipat manset piyama. Persoalannya, aku bukan sekadar mencoba menggemaskan dia kali ini. Aku benar-benar punya perasaan gaib bahwa dengan Frank ini dia sudah melewati batas. “Bel,” ucapku sungguh-sungguh, “maaf kalau aku kasar padamu. Kamu sudah besar, sudah tamat kuliah, kamu bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi walau aku mungkin enggak punya pekerjaan terhormat di pabrik stoples, aku punya pengalaman. Dan Frank ini …” Kuperas otak demi mengungkapkan ketakutanku secara lebih diplomatis dan bisa diterima, tapi tidak terpikir apa-apa. Aku pun menarik napas dalam-dalam dan mengatakannya terus terang. “Kamu kenal dengan tokoh dalam mitologi Yahudi yang bernama Golem?”

Bel tampak bingung namun curiga.

“Golem itu, menurut legenda, makhluk yang seluruhnya terbuat dari lempung—atau dalam beberapa cerita,” aku tidak tahan menambahkan, “dempul juga bisa, sepertinya—“

“Mulai lagi deh,” ujarnya keberatan, memungkasku. “Mulai lagi deh!”

“Kembali!” jeritku, seraya merentangkan lengan menjangkaunya. “Kembalilah, demi kasih sayang! Aku enggak main-main, Bel. Yang mau kuceritakan padamu ini bisa jadi sangat penting bagi kita berdua!”

Ia tertahan di pintu. Lalu lewat anggukan kecil yang kecut, ia dengan dingin menyuruhku melanjutkan.

Pada dasarnya aku bukanlah orang yang percaya takhayul, sehingga besoknya aku penasaran kalau-kalau kacang merah itulah yang bersalah atas pikiran liar yang sewenang-wenang melintasi benakku malam itu. Biar begitu, saat mengingat-ingatnya lagi sekarang ini, aku tahu bahwa aku separuhnya benar, sedikitnya bahwa kemunculan Frank memang menandai awal dari kejatuhan kami—walau kami sendiri pun masing-masing punya banyak andil. “Golem itu tidak berpikir sendiri,” kataku pada Bel. “Dia itu automaton, dihidupkan oleh kekuatan gaib—biasanya jahat, kamu harus tahu itu.”

“Charles, sekarang sudah larut. Apakah omonganmu ini memang ada tujuannya, selain berlagak bahwa alasanmu enggak suka sama Frank karena dia itu semacam makhluk gaib yang diutus untuk mencelakakanku, bukan karena kamu ini sombong dan sosiopat?”

“Aku tahu ini kedengarannya aneh,” ujarku. “Tapi aku enggak tahu lagi bagaimana menjelaskan firasat ini. Cowok-cowokmu sebelumnya enggak ada yang bikin aku benar-benar merinding.” Aku gemetar membayangkan sosok tambun Frank mengendarai vannya menyusuri jalanan pinggir kota yang temaram. Matanya mengilap hampa selagi menanti panggilan dari tuannya ….

Bahu Bel merosot. “Tampaknya kita menghadapi jalan buntu.”

“Nyaris, secara harfiah,” sahutku, sambil mengkhayalkan Frank mengobjek sebagai palang jalan atau dam kecil.

Bel mendesah, dan terbenam lemas di ujung kasur. “Charles,” ucapnya, “cukup jelas bahwa selama Bunda enggak ada wewenang ada padamu. Entahlah bagaimana ini jadinya, atau kalau-kalau ada yang bisa kulakukan untuk menanganinya. Tapi aku sadar aku enggak bisa terus-terusan begini. Kita harus mengatasinya kalau kita mau terus hidup di sini dengan sewajar mungkin. Jadi walaupun aku malu melakukannya, aku usulkan kita membuat perjanjian.”

“Perjanjian?”



[1] Aktor Hollywood era ’30-’90-an
[2] Kawasan di California, Amerika Serikat, yang menjadi tempat banyak studio pembuatan film
[3] Gaya yang merujuk pada era pemerintahan Louis XIV dari Perancis (1643-1715)