Awalnya
bahan makanan yang tersedia tampak menyulitkan. Ikan mesti dikeluarkan isi
perutnya, daging dipotong, sayuran dikupas, diiris, ditumis. Tapi kemudian
tahu-tahu aku melihat stoples berisi kacang-kacangan. Sambil memikirkan apa
salahnya makan kacang, aku menaruhnya dalam panci beserta secangkir beras.
Kutunggu sampai airnya mulai mendidih, lalu kutiriskan dan kuletakkan di
piring. Kubawa makananku ke ruang makan. Hasilnya cukup layak dimakan kalau
dilahap cepat-cepat diselingi beberapa teguk anggur, dan aku cukup bangga pada
diriku sendiri. Aku makan sendirian, diawasi jam yang berdetak jemu serta
seekor ngengat yang menggelepar dengan eloknya dalam naungan lampu di dekat
meja panjang dari kayu mahoni. Setelah itu aku meracik gimlet lalu balik ke
ruang duduk serta kursi malas yang kini telah pulih.
Film
pertama yang ditayangkan yaitu Heaven Can
Wait yang tidak begitu penting. Di situ Tierney hanya mendapat peran kecil
sebagai istri-Don-Ameche[1] yang suci bak
malaikat. Tapi tayangan sesudahnya yaitu film Whirlpool yang cemerlang karya sutradara Otto Preminger. Di situ
gabungan yang memikat antara daya tarik dan kehampaan pada diri Tierney
dieksploitasi habis-habisan. Perpaduan itu sangatlah sesuai dengan tujuan-tujuan
Hollywood yang barangkali telah digemblengnya di kaveling Burbank[2]. Pemirsa pun
tersedot seiring dengan surutnya Tierney dari jalan cerita, sayup-sayup memudar
bagai sirene hingga kau terenggut ke dalam film tepat ketika ia menghilang. Kau
pun mendapati dirimu berada sendirian dalam ruang tempat ia semestinya berada,
dalam bayang-bayang dan jeratan efek panggung Preminger yang minta ampun.
Aku sudah
menonton banyak film lawas, dan sejak pertama kali melihat dia, Gene Tierney
lah favoritku dari era bintang film sejati. Walau kini Tierney banyak
dilupakan, pada masanya ia dianggap sebagai wanita paling cantik yang pernah
menyemarakkan layar perak. Namun kecantikannya semata berwujud kemuraman
feminin yang laten, tanpa maskulinitas yang meyakinkan layaknya Bacall ataupun
kejenakaan ala Hayworth, dan tampaknya para pembuat film jadi bimbang. Mereka
biasa memberinya peran yang jelas-jelas bertentangan dengan karakternya,
sebagai istri yang membosankan, orang beloon yang ceria, atau putri Arab yang karikatural.
Peran-peran itu diciptakan untuk membatasi dan mengecilkan kekuatan pesona
wajahnya, dan malah menonjolkan keragu-raguan alamiahnya yang mengakar dalam.
Para kritikus dan industri, sekalipun jatuh hati padanya, bersikeras
mentah-mentah bahwa ia tidak pandai bermain peran. (Dalam Whirlpool, misalnya, ketika ia berperan sebagai kleptomaniak yang
dimanfaatkan oleh psikoanalis jahat, ada pengulas yang mengatakan: “dalam
permainan Nona Tierney terkadang sulit untuk mengenali apakah ia sedang dalam
hipnosis atau tidak.”) Preminger satu-satunya sutradara yang tampaknya memahami
Tierney dan apa yang hendak dipertunjukkannya pada orang-orang yang menonton
dia. Dalam film terbaik mereka berdua, Laura,
peran Tierney sebagian besar sebagai orang mati. Kemunculannya di layar dalam
bentuk lukisan serta kesaksian kilas balik dari para tersangka pembunuhannya.
Aku sudah
pernah menonton kedua film Tierney yang ada di televisi itu, dan karena terkuras oleh
upaya memasak makan malam aku pun mengantuk. Saat mengantuk aku mengalami
sensasi aneh, yang bukan pertama kalinya dalam beberapa bulan ini. Entah
bagaimana film itulah yang tengah menontonku.
Tidurku tersiksa oleh mimpi buruk. Bayangan wanita-wanita serupa vampir
menggoda diriku, menghambat konsentrasi, dan akhirnya berubah menjadi monster
mengerikan yang menyeringai ompong. Mereka bergerak-gerak penuh maksud di atas
cerobong asap raksasa yang dijajari botol-botol kosong. Aku terbangun oleh
suara-suara di pintu, serta nyeri lain yang terasa lebih melumpuhkan di perutku.
Itu suara adikku dan Makhluk itu, terdengar mesra nan lirih. Namun rupanya aku
tidak sanggup bangkit dan menengahi. “Hentikan,” jeritku lemah, namun suaraku
pecah, kepalaku mumet, dan aku pun tergeletak tanpa daya dalam kubangan
keringat. Di pojok ruangan, televisi dalam suara teredam menampilkan gambar
orang-orang di semacam tempat perkemahan sementara—beribu-ribu orang, tengah
menangis dan meratap. Dalam rasa mual yang teramat sangat, aku sempat menyadari
gelas koktailku telah diangkat dari meja. Mbok P sudah kembali! Dengan sisa-sisa
tenaga, aku menarik tali lonceng. Dentingannya yang menggema di kejauhan
mengitariku seiring dengan hilangnya kesadaranku.
Saat sadar
kembali—kehausan, nyeri merajalela di ususku—aku sudah berada di kasur. Lampu
kecil di sisi kasur menerangi dua wajah yang cemas, yaitu wajah adikku dan Mbok P (kuperhatikan yang terakhir disebut ini menampakkan rasa bersalah,
jelas-jelas menginsafi bahwa gara-gara kelalaiannya lah aku terpaksa meracuni
diriku sendiri), serta seraut wajah dungu lagi tak tahu diri milik Frank.
Seraya menggigit bibir dan memegang bahuku, Bel menanyakan apakah aku baik-baik
saja.
“Kacang!”
aku terengah-engah.
“Apa?”
ujarnya.
“Sepertinya
karena makan kacang merah,” Mbok P gemetar. “Kacang merahnya masih mentah.”
“Kacang!”
jeritku lagi tak keruan.
“Oh ya
ampun,” ucap Bel. “Charles, dengarkan baik-baik, apa kamu rendam dulu kacangnya
sebelum masak?”
“Ya
enggaklah,” sahutku. “Maksudnya apa tuh?”
“Bagaimana
menurut Mbok?” ujar Bel pada Mbok P. Mbok P melontar kedua tangannya dan berlalu,
sembari meracau dalam bahasa Bosnia, atau apalah.
“Rasanya
memang agak renyah,” aku teringat.
Frank
mengedip padaku. “Teler, ye? Minum lagi gih.”
“Apa?”
sahutku, lalu “Oh,” sewaktu ia mengeluarkan botol model koboi. Bayangan
menempelkan bibirku di bekas bibirnya sempat menyurutkanku, tapi aku mau
melakukan apa pun demi mengenyahkan derita yang berkepanjangan ini. Aku pun
menguatkan diri dan menelan seteguk wiski yang sangat murahan—dan mujarab,
karena serta-merta aku muntah banyak sekali ke dalam ember sampanye. Setelah
itu aku merasa agak mending, cukup mending untuk meminta waktu berdua saja
bersama Bel.
“Charles,”
ucap Bel, sembari duduk di sampingku dan mengusap keningku, “kapan kamu mau
belajar berhenti menjadi orang idiot?”
“Jangan
pikirkan itu sekarang ini,” sergahku. “Aku ingin tahu bagaimana kejadiannya.”
“Yah, kami
pulang dan melihat kamu berguling-guling di lantai, jadi—“
“Bukan yang
itu, dasar menyebalkan, Bel—si Frank, kenapa dia kemari?”
Bel
menjauhkan diri. “Apa maksudmu?” ucapnya.
“Maksudku,
baru hari ini aku bertemu dia, dan dia sudah bermalam? Mentang-mentang Bunda lagi
enggak ada, bukan berarti rumah ini bisa dijadikan sebagai, sebagai rumah bordil, mengerti kan.”
Wajah Bel
merona merah padam. “Teganya kamu ini,” tukasnya dingin.
“Yang
kupikirkan cuma kamu,” ucapku. “Aku cuma mencoba menghentikanmu berbuat hal yang
bisa jadi kamu sesali. Salah satu dari kita mesti tetap waras kan.”
“Yakinlah,
otakku waras sepenuhnya.”
“Ah, masak
sih,” sahutku.
Bel pun
bangkit. “Apa tuh maksudnya, ‘masak sih?’”
“Maksudnya,
kondisimu kan sedang kurang baik. Kamu sendiri yang pernah bilang, Bel. Kamu
sedang merasa kehilangan. Kamu gusar karena enggak bareng teman-temanmu di
kampus lagi. Kamu sudah begini selama musim panas. Ini sangat bisa dimaklumi.
Tapi ada batasnya ketika orang harus melangkah dan bertanggung jawab. Sebab
kenyataannya orang yang kehilangan atau berduka sering kali mencari dukungan ke
tempat yang salah. Pikiran mereka gelap, ya kan, sehingga mereka mengambil
keputusan buruk yang nekat—“
Gigi Bel
bekertak-kertak. “Charles, teganya kamu katakan yang barusan itu lantas berlagak
mengira tahu perasaanku. Ya Tuhan, kalaupun ada yang mendorongku untuk
mengambil keputusan buruk dan berbuat hal yang bakal kusesali, itu—“
“Yang
kupikirkan cuma keselamatanmu. Bisa enggak kamu duduk dan dengarkan sebentar
saja?” Aku mengernyit dan tanganku memijak ke samping seiring dengan gejolak
nyeri melonjak dari ususku. “Maksudku, siapa sih Frank ini? Itu harus kita
tanyakan pada diri kita sendiri. Apa sih yang dia inginkan dari kita?”
“Aku kenal dia, akulah yang dia inginkan dari kita.”
“Ah, yang
benar? Maksudku dia bisa jadi siapa pun, dia bisa saja—pembunuh berantai, atau
penjahat ahli menyamar yang mengincar harta keluarga—“
“Kenapa sih
kita terus-terusan membicarakan ini?” Ia menujukan pertanyaannya pada
langit-langit. “Kenapa sih kamu begini tiap kali aku mengajak orang ke rumah?
Kamu mencerca dan mengeluh sampai aku tidak sanggup lagi menerimanya. Enggak
tahan deh.”
“Yah,”
ujarku, “soalnya seleramu tak terpelajar sih—“ buru-buru kuimbuhkan sementara
ia mencari-cari alat untuk memukulku, yang bisa menimbulkan cacat permanen
ataupun tidak, “Soalnya kamu ini makhluk yang sangat rupawan, Bel, kamu pantas
mendapatkan yang jauh lebih baik.”
“Charles,
dua menit yang lalu pada dasarnya kamu menyebutku pelacur.”
“Enggak
kok.”
“Ya, kamu
bilang aku mau mengubah rumah ini jadi bordil.”
“Bukan
begitu maksudku,” tukasku. “Maksudku cuma, mengerti kan, sebaiknya kamu jangan
buang-buang waktu dengan orang pandir. Aku mengerti sulitnya menemukan orang
yang tepat, tapi itu bukan alasan untuk bersusah payah melaluinya dengan
orang-orang yang salah. Kamu tampaknya
menjalani kehidupan asmaramu menurut semacam proses penyisihan. Itu seperti
memasangkan kursi Louis Quatorze[3] dengan salah satu
meja patio dari plastik. Kan enggak sebanding.”
“Oh, aku
mengerti,” ucap Bel. “Aku kursinya, begitu?”
“Kursi
Louis Quatorze,” imbuhku.
“Sedang
meja pationya para cowokku.”
“Sebenarnya,”
aku teringat, “yang kali ini lebih mirip lemari swarakit Swedia.”
“Aku cemas
padamu,” tukas Bel, seraya bangkit dan berputar gemas dalam genangan cahaya
yang disorotkan lampu. “Serius deh aku cemas. Kurasa ada setan betulan yang
mesti kamu perangi, Charles. Kamu berusaha sebaik-sebaiknya menghancurkan setiap
hubungan yang kumiliki. Kamu buat setiap cowok yang kubawa pulang merasa risi
dan kamu buat diriku terlihat seolah berasal dari sekumpulan hewan congkak.
Tidak ada yang cukup baik menurutmu. Kevin pakaiannya terlalu jelek—“
“Sandalnya?
Kaus kakinya?”
“Liam
terlalu Skotlandia—“
“Oh, tapi benar-benar Skotlandia, Bel! Ayolah, bagpipe? Terus-terusan mengutip film Braveheart? Siapa pun yang bangga karena berasal dari Skotlandia
jelas-jelas bermasalah—“
“David?”
“Jalannya
kayak bebek.”
“Roy?”
“Homoseksual
yang tertekan.”
“Anthony?”
Kugaruk-garuk
kepala. “Rendahan,” sahutku.
“Thomas,
bagaimana dengan dia? Kenapa kamu terganggu oleh dia?”
Mengapa
burung berkicau? Mengapa langit biru? Thomas, yang konon seniman bodi, mukanya
terlihat seperti habis jatuh ke dalam sekarung paku. Kutahan komentarku, dan
memuaskan diri dengan tawa kecil yang angkuh.
“Tapi
pernah enggak sih kamu berpikir,” lanjut Bel dengan nada ironis, “kalau
masalahnya mungkin saja ada padamu? Pernahkah kamu sendiri berpikir, kenapa aku
sangat terobsesi oleh kehidupan cinta adikku, bukankah itu agak sakit, apalagi
ketika selebihnya aku enggak berbuat apa-apa selain berkeliaran di rumah sambil
minum-minum anggur Ayah, menonton televisi, dan berkejaran dengan cewek-cewek
tolol aneh tanpa secuil pun otak di kepala mereka yang kecil kayak siapa tuh
namanya yang menyebalkan dan suaranya kayak adu banteng. Bahkan, sementara aku
mencela upaya adikku untuk memiliki hubungan nyata yang wajar serta kehidupan
sesungguhnya yang nyata—akankah,” ia semakin panas dan mulai merentak-rentak,
“akankah aku menghabiskan sisa hidupku lontang-lantung di Amaurot tanpa berbuat
apa-apa selain mengintip urusan orang seolah-olah itu masalahku padahal bukan?”
Dalam getaran amarah, ia berpaling melihatku, seakan berharap balasan.
“Apa ini
masih soal aku?” tanyaku.
“Ya, Charles,” seraya menghantamkan
kakinya.
“Eh—kamu menyarankan
bahwa ketimbang berusaha menjaga dan melindungi keluarga, aku sebaiknya keluar
melakukan semacam, semacam kerja,
begitu?”
“Singkatnya
begitu,” sahut Bel.
Aku
bingung. “Awalnya kan kita bukan membicarakan ini,” tegasku.
“Mungkin
bukan,” ujar Bel. “Tapi ini waktu yang tepat untuk memberitahumu kebenaran yang
sangat penting.”
“Sebenarnya,
aku merasa mual lagi,” buru-buru kukatakan.
Ia terus
saja berkata-kata. Tanpa belas kasihan, ia mengungkapkan bahwa boleh jadi
menurut jalan pikiran yang berbelit-belit aku keliru menganggap perilaku campur
tanganku sebagai mengasuh, atau melindungi, padahal sebenarnya itu mengganggu
dan menggerahkan, “kamu melakukannya cuma karena enggak punya urusan lain, karena dua tahun ini kamu
duduk-duduk saja sendirian atau minum bareng teman-temanmu yang pemalas, dan
pokoknya hidup tanpa pengertian sedikit pun tentang kedewasaan atau kematangan
…. Yah, sudah cukup, Charles. Aku enggak peduli lagi kalaupun kamu enggak balik
kuliah. Aku enggak peduli kalau kamu mau merusak hidupmu. Tapi aku enggak paham
sebabnya kamu mesti merusak hidupku juga. Kalau kamu ingin jadi orang gagal,
okelah. Tapi tolong jalani saja itu sendirian.”
“Orang
gagal?” raungku. “Harus ada yang melestarikan tradisi keluarga, bukan? Harus
ada yang menjaga panji-panji tetap berkibar.”
“Ayah
enggak pernah berlibur sehari pun seumur hidupnya,” sahutnya mencibir. “Itu
yang namanya panji-panji.”
“Ya, tapi
Ayah bekerja seumur hidupnya bukan supaya anak-anaknya harus—bekerja juga,”
sangkalku, “dan selain itu, aku enggak paham yang kamu gusarkan itu”—walau cukup
jelas, Bel itu orang yang selalu mawas diri dan mungkin merasa sangat menyesal
atas pembawaan si Frank. “Aku enggak mengerti kenapa nasihat baik penuh arti
dari dirimu ini bisa memaksaku keluar untuk bekerja mengupasi kacang polong, atau memasang tutup stoples selai di suatu pabrik menyeramkan, sepanjang hari berdiri di ban jalan,
mendengarkan deru mesin, bahkan kursi untuk duduk pun enggak ada, sementara stoples mengilap enggak habis-habisnya bergulir menuju alat pemasang tutupku yang
kecil—“
“Aku bicara
soal tanggung jawab, Charles, soal hidup seperti seorang manusia sungguhan yang
dewasa—“
“Si Frankmu
ini, dia kerja, ya?
Bel
tertahan nyaris merentak dan membetulkan tali gaunnya. “Dia kerja kok,”
tangkisnya.
“Wah? Ahli
bedah otak, penerbang balon udara, pemain biola ketiga …?”
Tatapannya
merunduk. “Dia punya van,” ucapnya.
“Van!” seruku, dengan jaya menyematkan
jari ke udara. “Van! Apa gerangan
yang dia taruh di “van” ini? Opium? Gading gajah? Gadis belia berniat mulia
namun salah arah dari keluarga baik-baik?”
“Itu enggak
penting!” teriaknya. “Ya Tuhan,
seharusnya aku enggak usah repot-repot mencoba bertukar pikiran denganmu.”
Di luar,
derit rongseng gada-gada meningkahi angin. Aku berdesah, duduk di kasur dan melipat
manset piyama. Persoalannya, aku bukan sekadar mencoba menggemaskan dia kali
ini. Aku benar-benar punya perasaan gaib bahwa dengan Frank ini dia sudah
melewati batas. “Bel,” ucapku sungguh-sungguh, “maaf kalau aku kasar padamu.
Kamu sudah besar, sudah tamat kuliah, kamu bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi
walau aku mungkin enggak punya pekerjaan terhormat di pabrik stoples, aku punya
pengalaman. Dan Frank ini …” Kuperas otak demi mengungkapkan ketakutanku secara
lebih diplomatis dan bisa diterima, tapi tidak terpikir apa-apa. Aku pun
menarik napas dalam-dalam dan mengatakannya terus terang. “Kamu kenal dengan
tokoh dalam mitologi Yahudi yang bernama Golem?”
Bel tampak
bingung namun curiga.
“Golem itu,
menurut legenda, makhluk yang seluruhnya terbuat dari lempung—atau dalam
beberapa cerita,” aku tidak tahan menambahkan, “dempul juga bisa, sepertinya—“
“Mulai lagi
deh,” ujarnya keberatan, memungkasku. “Mulai lagi deh!”
“Kembali!”
jeritku, seraya merentangkan lengan menjangkaunya. “Kembalilah, demi kasih sayang!
Aku enggak main-main, Bel. Yang mau kuceritakan padamu ini bisa jadi sangat
penting bagi kita berdua!”
Ia tertahan
di pintu. Lalu lewat anggukan kecil yang kecut, ia dengan dingin menyuruhku
melanjutkan.
Pada
dasarnya aku bukanlah orang yang percaya takhayul, sehingga besoknya aku
penasaran kalau-kalau kacang merah itulah yang bersalah atas pikiran liar yang
sewenang-wenang melintasi benakku malam itu. Biar begitu, saat
mengingat-ingatnya lagi sekarang ini, aku tahu bahwa aku separuhnya benar, sedikitnya
bahwa kemunculan Frank memang menandai awal dari kejatuhan kami—walau kami
sendiri pun masing-masing punya banyak andil. “Golem itu tidak berpikir
sendiri,” kataku pada Bel. “Dia itu automaton, dihidupkan oleh kekuatan
gaib—biasanya jahat, kamu harus tahu itu.”
“Charles,
sekarang sudah larut. Apakah omonganmu ini memang ada tujuannya, selain
berlagak bahwa alasanmu enggak suka sama Frank karena dia itu semacam makhluk
gaib yang diutus untuk mencelakakanku, bukan karena kamu ini sombong dan
sosiopat?”
“Aku tahu
ini kedengarannya aneh,” ujarku. “Tapi aku enggak tahu lagi bagaimana
menjelaskan firasat ini.
Cowok-cowokmu sebelumnya enggak ada yang bikin aku benar-benar merinding.” Aku
gemetar membayangkan sosok tambun Frank mengendarai vannya menyusuri jalanan
pinggir kota yang temaram. Matanya mengilap hampa selagi menanti panggilan dari
tuannya ….
Bahu Bel
merosot. “Tampaknya kita menghadapi jalan buntu.”
“Nyaris,
secara harfiah,” sahutku, sambil mengkhayalkan Frank mengobjek sebagai palang
jalan atau dam kecil.
Bel
mendesah, dan terbenam lemas di ujung kasur. “Charles,” ucapnya, “cukup jelas
bahwa selama Bunda enggak ada wewenang ada padamu. Entahlah bagaimana ini
jadinya, atau kalau-kalau ada yang bisa kulakukan untuk menanganinya. Tapi aku
sadar aku enggak bisa terus-terusan begini. Kita harus mengatasinya kalau kita
mau terus hidup di sini dengan sewajar mungkin. Jadi walaupun aku malu
melakukannya, aku usulkan kita membuat perjanjian.”
“Perjanjian?”