“Permisi
sebentar,” ucapku, seraya bangkit dan memburu Bel ke kamarnya. Di situ Bel
tengah berdiri sambil merenungi rak sepatu.
“Charles,
demi Tuhan, siapa juga yang mau memasukkanmu ke cerobong asap,” ujarnya. “Aku
mau ganti baju nih, dasar menyebalkan. Sebentar lagi aku balik ke sana.”
“Hei, aku
yang sebal,” tukasku. “Malah sebenarnya aku sebal sekali. Kukira kamu cuma mau
ambil susu.”
“Charles,” Bel menoleh, seraya
mengayunkan sisirnya tak sabar, “bisa enggak sih kamu enggak aneh-aneh sebentar
saja, mengobrol saja sama dia sampai—“
“Aku sudah
mencoba mengobrol sama dia,” ujarku, sambil menggeser gorden demi melihat angin
masih meluncur di atas rumput yang tinggi. “Apa pun yang kukatakan benar-benar
… meresap. Menjengkelkan sekali. Lalu
aku khawatir nanti dia jadi lapar, dan keliru mengira aku ini daging lamur.”
“Yah, kalau
kamu benar-benar memperkenankan aku berganti pakaian, setelah ini aku—baru sadar
aku, apa kamu memang berencana untuk mengolok-olok penampilan seharian ini? Atau
kemunduranmu yang tampaknya tak berkesudahan itu sudah mencapai taraf baru?”
“Kemunduran
apa?” sahutku. Bel mengentak-entakkan kakinya yang telanjang melewatiku menuju
lemari berlaci. “Jadi maksudnya apa sih?”
“Maksudku,”
ia berucap sembari merenggut pakaian berumbai berentet-rentet, menyangganya
sementara memeriksa dengan cermat, lalu menjatuhkannya ke lantai, “kamu sudah
terkurung di rumah ini selama entah berapa
lama dan kamu pun mulai—“
“Mulai apa?
Mulai apa, persisnya?”
“Hanya saja
tampaknya belakangan ini makin hari aku makin enggak menangkap sama sekali yang
kamu omongkan.” Ia melontarkan selembar rok dalam serta sepasang mokasin kelabu
kebiruan ke kasur. “Rasa-rasanya dulu omonganmu jauh lebih masuk akal daripada
sekarang ini.”
“Omong
kosong saja itu,” tandasku, “soalnya pertama-tama kan aku keluar semalam. Pongo
McGurks mau ke London kerja di tempat ayahnya, jadi kami ke Sorrento buat
minum-minum perpisahan—“
“Begitu,
ya, karena itu aku mimpi aneh kalian berdua menari-nari di pekarangan pakai rok
hula pagi-pagi jam empat … waktu itu kalian pakai rok hula? Kalian enggak pakai
rok hula, kan?” Ia membuka lemari pakaian. “Yah, itu nggak penting sih,
maksudku bisa enggak sih kamu mencoba bertingkah seperti manusia normal dan …
yang sopan saja lah.”
“Baiklah,”
ujarku. “Tapi kalau ada sirkus yang datang cari dia, aku enggak bertanggung
jawab, ya.”
Ia
mengambil selembar gaun dari lemari, beralih ke cermin dan merapikan rambutnya
dengan kasar. “Kamu enggak ada urusan lain yang lebih penting ketimbang
kluntang-klantung menggangguku?” tukasnya.
“Yah, ya,
sebenarnya, tadi aku sedang menonton film Mary Astor dengan topi—“
“Sebentar
lagi kami pergi kok,” Ia merengut. Tadinya aku mau berkata-kata lucu lagi,
kalau aku tidak sering keluar rumah mungkin karena di mana-mana penuh orang
seperti Frank, tapi melihat tatapan mata Bel di cermin aku pun memutuskan untuk
tetap bungkam. Bel itu cuma berlagak, tapi ia tidak sebegitu tangguh seperti
yang ingin diperlihatkannya. Aku tahu betapa lamanya Bel saat menggunakan
maskara, dan kalau ia mulai menangis kedua orang itu bakal di rumah saja
semalaman. Audisinya tadi pasti tidak berjalan lancar.
“Aku belum
menanyakan kemajuanmu hari ini,” ucapku sambil lalu. “Kamu dapat perannya?”
“Tidak,”
gumamnya, seraya mencondongkan posisi cermin berdiri dan mengangkat gaun di
depan tubuhnya. “Perannya jelek, buat
iklan perusahaan penjual pintu di Internet. Belum pernah aku membaca yang setolol itu seumur hidupku. Idenya aku
sama ini cowok yang ceritanya jadi pacarku lagi berantem hebat di
apartemen—maksudku dia yang meneriaki dan menghina-hina aku, sekadar jadi
bangsatlah selama kira-kira dua menit, sampai aku minggat dan banting pintu di
belakangku. Dan slogannya, ‘Pintu. Nikmatnya berlalu.’ Itu menjerumuskan,
enggak sih?”
“Tapi,
sementara ini itu audisi pertamamu, kan?” ujarku. “Nanti juga ada kesempatan
yang lebih baik.”
“Mmm.”
Mukanya memerah. “Charles, aku benar-benar mesti ganti baju, apa kamu
keberatan?”
“Maksudku
kesempatan yang benar-benar kamu inginkan—kamu enggak bakal pakai mokasin bareng
gaun itu, kan?”
“Charles,
aku lagi ganti baju, bisakah kamu
keluar?”
Aku pun
mundur tanpa berkomentar apa-apa lagi lalu turun dan merusuh di dapur hingga
aku mendengar Bel menuruni tangga dan kembali menemani Frank.
“Jangan
menungguku pulang,” seru Bel dari koridor.
“Ha!” Aku
kembali ke ruang duduk, tapi mereka sudah pergi.
Mungkin
kelihatannya aku agak keras pada adikku, tapi karena Bunda sedang jauh di Cedars[1] aku merasa
bertanggung jawab menjaganya. Usia Bel 21 tahun, tiga tahun lebih muda dari
padaku. Ia gadis yang cantik dan menarik dengan mata biru pucat mirip Ayah
serta rambut sewarna daun musim gugur seperti Bunda, selalu serampangan dan
acuh tak acuh pada hidupnya sendiri yang diwarisinya dari entah siapa. Juni
lalu Bel menamatkan kuliah di Trinity, kampus tempat ia meraih gelar yang rada
gampangan baginya di jurusan Drama—“Bel kuliah Drama,” Ayah mendesah sewaktu
menandatangani ceknya, “seperti menggarami laut saja”—yang tidak sepenuhnya
benar, sebab meski Bel cenderung pada melodrama dan punya perasaan yang tajam
akan setiap ketidakadilan yang berkaitan dengan dirinya, ia bukan tipe orang
yang flamboyan. Meski Bel menggemari sandiwara, di pertunjukan kampus ia selalu
memilih bekerja di balik layar, menata panggung atau mengedit naskah, dan kapan
pun ia naik pentas peranannya selalu tertelan oleh rasa malunya sendiri.
Sejak ujian
akhir ia sudah lontang-lantung, merisaukan masa menganggur, kurasa. Beberapa
bulan terakhir dilaluinya bersama rentetan teman pria yang kurang bermutu,
bahkan menurut standarnya yang serampangan. Sisa waktunya dihabiskan dengan
mengurung diri di kamar, mendengarkan pelat Bob Dyland sambil mengembuskan asap
ganja ke luar jendela menembus udara malam.
“Ini
waktunya beristirahat,” aku sering menasihatinya. “Nikmati saja. Santaikan diri
sejenak, seperti yang kulakukan.”
“Ini bukan
waktunya beristirahat,” begitu dia bakal menjawab. “Rasanya seperti berada di Api Penyucian[2]. Terjebak
sendirian di tempat terpencil,
terputus dari semua orang yang kukenal, sambil menanti entah apa, dan aku bokek, dan aku bukan apa-apa, aku merasa seperti nol--"
“Kamu kan
baru sebulan lulus. Ini masa transisi, itu saja. Aku tidak melihat apa yang
sebegitunya kamu takutkan.”
“Aku takut
bakal berubah jadi kamu,” raungnya,
dan dengan putus asa kembali pada halaman lowongan kerja pemrograman komputer
yang tak habis-habisnya di koran. Sayang, padahal musim panas kali itu sinar
matahari terentang indah, sementara jarang-jarang pekarangan tampak begitu
memikat. Karena Bunda tidak ada, aku bebas berjalan-jalan pada waktu luangku,
mengagumi hijaunya dedaunan pohon ek, lembutnya bunga-bunga pohon berangan
kuda, jangkungnya kembang amarilis serta akelei. Saat itu merupakan masa yang
penuh kedamaian, dan terlepas dari perkataan Bel tadi, aku merasa puas bukan
main, walau sesekali terpikir betapa enaknya kalau ada teman menjelajah—anjing
pemburu serigala, mungkin, atau anjing pemburu biasa, yang mengibas-ibaskan
ekor di sampingku sementara aku memijak rumput, serta bergelung di kakiku saat
aku duduk-duduk di bawah pohon bersama Buku Pengembangan Diri.
Setelah Bel
dan Frank pergi, aku menghabiskan setengah jam yang nikmat memijati kursi malas
demi menghilangkan peok-peok bekas duduk Frank. Aku merasa ingin makan malam
tapi masih belum ada tanda-tanda kehadiran Mbok P. Aku tengah berdiri di jendela
menanti Mbok P saat melihat tukang pos bergulir terhuyung-huyung mendaki jalan
masuk. Rumah ini berada di tepi laut, berjarak sekitar tiga kilometer melewati
jalanan yang berliku dari desa Dalkey. Salah satu kekurangan tinggal di tempat
kami yaitu layanan posnya jadi enggan-engganan mengantar. Lupakan saja ada
layanan pos saat hujan, atau tampaknya seperti mau hujan, atau berhari-hari
sebelum maupun sesudah turun hujan. Tapi akhir-akhir ini layanannya relatif
mendingan, dan tukang posnya, si tua eksentrik berambut putih bertampang culas,
rupanya telah memutuskan untuk mengambil risiko. Aku membuka pintu depan persis
ketika ia membungkuk ke kotak surat dengan seberkas antaran.
“Pagi,”
sapanya, kepalsuan nan lancang itu menahanku beserta ceramah yang telah
kusiapkan selama berhari-hari untuknya. Aku pun sekadar menyambar surat dari
tangannya dan membanting pintu. Ia lalu berjalan santai sembari bersiul-siul
melintasi pekarangan, yang bukan tempatnya berjalan kaki selain buat
merak.
Kupandangi
surat-surat itu sepintas lalu. Tidak ada surat buatku. Ada beberapa yang
kelihatannya resmi buat adikku. Lain-lainnya ditujukan untuk Bunda dengan cap
merah yang serupa, tampaknya kiriman khusus atau semacamnya. Aku menyimpan
surat-surat ini untuk Bel, yang bertanggung jawab atas korespondensi keluarga
sementara Bunda sakit, lalu kembali memikirkan keberadaan Mbok P. Aku belum
melihat Mbok P sejak makan siang dan sekarang mulai lemas karena lapar. Yang
kukatakan pada Frank tadi tidak dilebih-lebihkan: keramahan serta hidangan Mbok P yang lezat telah menyelamatkan rumah tangga ini dari masa sulit. Tapi
akhir-akhir ini tampaknya ia tidak seberbakti biasa. Jam kerjanya jadi agak
tidak menentu, dan perhatiannya tampak tersita, seakan berada di tempat lain.
Aku belum mengatakan apa pun pada Bel, tapi sebetulnya aku mulai agak khawatir.
Jangan-jangan Mbok P tidak ada masalah—atau bahkan lebih buruk lagi, kegunaannya
benar-benar sudah berakhir dan ia siap dipensiunkan.
Sisi
baiknya, pengarku kini sudah hilang jadi aku turun ke gudang di kolong rumah
memilih minuman untuk makan malam. Aku suka gudang itu. Hawanya sejuk dan
lapang, kelembapannya melekat dengan nyaman, bagaikan selimut yang melingkupi
bahu. Di mana-mana terdapat kilauan remang merah tua, merah gelap, serta
lembayung muda dari berbagai macam botol, salah satu dari sedikit kesenangan
murni dalam hidup ayahku. Sayangnya, akhir-akhir ini, barisan botol itu
terlihat agak kosong. Beberapa bulan kemarin rada ingar-bingar. Semua kawanan
lama berkumpul lagi. Pesta-pesta besar dan tolol bercampur baur serupa ruang
sesak dan memusingkan pada dini hari. Kuingat-ingat sepertinya pesta itu
memiliki segala elemen yang biasa ada dalam acara perpisahan. Aku jadi
penasaran jangan-jangan semua orang sudah tahu itu kecuali aku.
Bukannya
itu penting. Pesta itu tidak berarti apa-apa, baik itu seru-seruannya,
mirasnya, ataupun cewek-ceweknya yang pada pakai bulu merak di rambut. Patsy
Olé satu-satunya yang kupedulikan. Patsy Olé, yang supel, cantik, dan cuek,
dan, seperti semua cewek yang supel, cantik, dan cuek, selalu ada deretan cowok
yang menyembah-nyembah di tumitnya. Ia
juga salah seorang cewek semacam itu, yang menikmati permusuhan dan kebencian
yang ia timbulkan di antara para peminangnya setidaknya selama berhubungan
dengan mereka, dan karena itu oke-oke saja menjalani dua atau lebih hubungan
asmara sekaligus. Mesti begitu, pada malam-malam tertentu, aku dan dia
tampaknya berada di ambang sesuatu yang sungguh ….
Kubangkitkan
diri. Sekarang ia di India; mungkin memang lebih baik kami putus. Kupilih
sebotol lalu kembali ke dapur. Mudah saja tertangkap basah di gudang; kalau aku
gegabah bisa-bisa akhirnya aku melamun saja di situ berjam-jam, sampai diriku
terselimuti oleh sarang laba-laba.
Sekarang
perutku benar-benar mulai nyeri sedang Mbok P masih saja mangkir tanpa pamit.
Ini konyol. Mana mungkin aku buang-buang waktu semalaman. Di televisi nanti ada dua
film Gene Tierney[3]
sekaligus yang sudah kutunggu-tunggu sampai bangkotan. Kuputuskan untuk memberi
Mbok P pelajaran dengan memasak sendiri makananku.