Di Griya Mita[1]
kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini
tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi keagamaan ini—tidak ada lagi yang
memisahkan kami.
Lantas, aku melihatnya. Di sebelah kanan
belakang wanita dengan senyum-pengabar-Injil yang tiada habis ini, berdiri
perempuan lain.
Apakah mereka berencana memanfaatkan dua
orang untuk merekrutku? Apakah mereka hendak mencondongkan keseimbangan
kekuatan, dua melawan satu? Betapa
pengecutnya!
Lantas, terbitlah kesadaran lain. Aku
memerhatikan betapa mudanya perekrut religi yang satu lagi.
Entah kenapa, sekalipun pada pagi April
yang tenteram ini matahari bersinar lembut, gadis itu menaungi diri dengan
payung-pelindung-matahari yang putih bersih. Meskipun aku tidak bisa melihat
wajahnya, yang tersembunyikan oleh payung, aku bisa tahu bahwa ia muda, apalagi
dibandingkan dengan si wanita paruh baya. Malah, terlihat jelas bahwa ia lebih
muda dari padaku.
Sembari memegangi payung, dengan mengenakan gaun berlengan
panjang berwarna terang dan polos, ia memancarkan hawa murni nan suci.
Seakan-akan mengawal si wanita yang lebih tua, ia berdiri dengan tenang, lugu
lagi sunyi.
Tanpa sadar, air mata meruap di mataku,
tanpa dikehendaki.
Gadis ini, yang kemungkinan usianya baru
tujuh belas atau delapan belas tahun, dimanfaatkan oleh kultus yang tolol. Baru
memikirkannya saja aku sudah merasa kasihan. Maksudku, ayolah, apa-apaan sih ini?!
Aku yakin pada usianya itu mestilah ia
lebih suka bersenang-senang. Usia ketika alih-alih ia lebih suka mengenakan
pakaian bagus, berjalan-jalan di Shibuya, dan mencoba-coba hubungan
heteroseksual yang tak senonoh. Tetapi agama-agama itu punya perintah yang
keras, misalnya saja: “Janganlah mendekati zina.” Gadis itu pastilah menderita.
Pastilah merasa nyeri, nyeri, nyeri.
Aku membayangkan gadis itu tidak tahu cara
mengatasi badannya yang panas dingin tiap malam. “Tuhan sedang melihat, jadi
kita tidak boleh berbuat ini. Tetapi … tetapi … aku tidak tahan lagi. Oooh,
kenapa aku nakal sekali? Meskipun Tuhan sedang melihat … aku mengaku. Bapa di
Surga!”
Hal-hal semacam ini, ketika antara firman
Tuhan dan hasrat seksual bercampur aduk, terus menerus menyiksa dia. Karena
buku erotis tentang biarawati yang belum lama ini kubaca menyebutkan demikian,
pemikiranku ini pasti benar.
Seketika sebuah pikiran menyambarku.
Kalaupun sangkaanku ini benar, maka dengan begitu boleh jadi keberadaan agama sama
sekali tidak buruk. Malah, anehnya, mungkin tidak berlebihan untuk
menganggapnya baik.
Oh ya, sebenarnya ini mesum. Setelah
mempertimbangkannya baik-baik, aku merasa bahwa justru kemesuman itulah yang
menjadikannya sungguh indah.
Sebagai contoh, di benakku timbul bayangan
seorang gadis tengah dipukuli pantatnya oleh biarawati tua yang kaku. Bayangan
ini dilanjutkan dengan adegan-adegan cabul dari pengadilan penyihir yang terjadi
kemudian. Dan akhirnya, sesi penyiksaan yang bengis terjadi di ruang bawah
tanah beralaskan batu. Si interogator bergata, “Akan kubuktikan bahwa kau
sebenarnya penyihir,” kemudian menyiapkan kuda-kudaan kayu! “Dengan pecut?!” Tas! Tas! Tas! “Belum?! Belum?! Belum?!”
Tas! Tas! “Ahhh! Ampuni aku! Jangan
sakiti aku! Kumohon maafkan aku!” Akan tetapi, tidak ada yang mendengarkan
permohonannya, dan jamuan penistaan yang seolah-olah tiada akhirnya ini terus
menanjak tanpa ujung!
Fantastis!
Kepuasan!
Tepuk tangan berdi—“Mmm ….”
Mendadak, aku menyadari bahwa ibu-ibu yang
berdiri tepat di hadapanku ini tengah menatapku. Dengan cemas ia bertanya, “Apa
masnya baik-baik saja?”
Fantasi liarku tentang si gadis alim telah
membajak perhatianku, belum lagi emosiku. Pengamat sepintas lalu pun dapat
melihat betapa linglung dan anehnya diriku.
Apa-apaan ini?
Dengan kepayahan kuupayakan sikap tegas.
“Ehm, ehm.” Aku berdeham.
Lantas, seperti anak muda yang teramat,
sangat normal, dan dengan menjaga mataku supaya tidak salah arah, aku
melayangkan tatapan secerdas mungkin pada ibu-ibu itu.
Memang, sudah jelas aku terguncang. Ini,
kuakui.
Akan tetapi, setelah dapat mengontrol emosiku
kembali, tidak ada lagi celah pada baju bajaku yang dapat ditembus serangan.
Lagi pula, buat apa juga gelisah. Aku tinggal perlu menjawab, “Ya, saya
baik-baik saja,” sembari menyorongkan balik kedua pamflet ini kepada dia, dan
segala perkara ini akan berakhir.
Tetapi gara-gara terlalu lama menjadi
hikikomori, kemampuanku untuk berkomunikasi dengan orang lain telah memburuk ke
taraf yang lebih rendah, yang merupakan alasan sebenarnya aku begitu terguncang
oleh kejadian ini.
Tenanglah. Tenanglah! Katakan. Tinggal ucapkan satu kalimat itu, “Ya, saya
baik-baik saja.” Baiklah. Aku akan mengatakannya dalam sekejap. Ya, kali ini
aku akan sungguh-sungguh mengatakannya.
Kemungkinan besar, saking lamanya aku tidak
berbicara kepada orang lain suaraku bakal terdengar agak sayup. Perkataan yang
keluar dari mulutku, setidaknya, mungkin terdengar sayup. Malah aku bisa saja
berkomat-kamit tanpa sengaja. Tetapi, kenapa juga itu penting?
Lagi pula, belum tentu aku akan bertemu
lagi dengan wanita atau gadis ini lagi. Bagaimanapun anggapan mereka terhadapku
tidaklah penting. Peduli amat jika mereka menganggapku aneh atau bermasalah?
Itulah makanya aku mesti mengatakannya. Aku mesti menolak ajakan mengikuti
agama mereka sekarang juga!
Tinggal bilang, “Ya, saya baik-baik saja!”
Aku akan mengatakan, “Ya, saya baik-baik saja!”
“Ya, saya ….”
Seketika itu juga, garis pandangku tak sengaja
melintasi kata “Bangkitlah!” yang menghiasi kover pamflet yang kupegang di
tangan kanan.
Pada kover itu, dalam huruf hitam gotik
tercetak: “Kehidupan hikikomori tengah melanda pemuda kita. Selamatkah Anda?”
Wanita yang memerhatikan tatapanku itu
terus mengembangkan senyum alimnya. “Ini liputan khusus kami untuk bulan ini.
Kami tengah menyelidiki persoalan hikikomori dari sudut pandang Injil. Masnya
tertarik?”
Sungguh mustahil memerikan seutuhnya
ketakutan yang membinasakanku kemudian.
Apakah mereka dapat menerawang aku?
Mungkinkah wanita ini telah mengetahui bahwa aku sendiri sebenarnya merupakan
hikikomori? Apakah itu sebabnya ia berusaha keras untuk memberiku pamflet ini?
Gagasan ini sungguh mengerikan.
Pikiran bahwa aku telah dikenali sebagai
hikikomori tak berharga oleh orang yang bahkan tidak mengenalku membangkitkan
perasaan terguncang, menggigil, dan ketakutan yang hebat—berpuncak pada kekalutan
yang tak tertanggungkan. Biar begitu, aku harus tenang.
Aku harus mengecoh mereka—mengecoh mereka dengan cepat dan halus.
“Hikikomori? Hahaha! Bagaimana mungkin
orang sepertiku adalah hikikomori?!”
Apa aku ini benar-benar bodoh? Berkata seperti itu malah membuatku terlihat semakin
mencurigakan. Aku harus mengecoh mereka secara lebih meyakinkan—dan lekas. Aku
harus mengecoh mereka sekarang juga atau mengajukan suatu alasan … sesuatu. Ayolah, kumohon diriku.
“Eh,
m—mana mungkin aku hikikomori, kan? Betul! Maksudku, mana mungkin orang seperti
aku melalui setahun kurang tanpa berbicara kepada siapa pun. Atau mengalami
kehidupan hikikomori begitu parahnya sampai aku harus putus kuliah tanpa
pekerjaan, serta harapan untuk masa depan, dan tak ada lagi yang lain-lainnya.
Atau dalam keadaan putus asa yang hina dina. Atau apa pun yang seperti itu, iya
kan?”
Wanita itu menjauh dari diriku. Biasanya
pikiranku terus berkeluyur malas, tanpa arah tujuan. Kumohon ada yang menghentikanku.
“Memang
betul! Anda ini ibu-ibu yang tolol, sangat tolol. Dan betapa kasarnya! Apa
maksud Anda dengan, ‘Kehidupan hikikomori tengah melanda pemuda kita.
Selamatkah Anda’? Lagi pula, kalau doa bisa mengobati hikikomori, tidak ada
yang harus menderita seperti itu, iya kan? Dan apa sih yang orang-orang seperti
kalian ketahui? Aku saja tidak mengerti, jadi bagaimana mungkin kalian bisa
paham?!”
Cukup. Sekarang, aku berhenti. Si misionaris itu benar-benar
ketakutan. Ia terlihat siap balik badan dan memanggil polisi. “Ada orang gila
di apartemen sebelah sana! Ia berbahaya!”
Ah, memang aku ini berbahaya. Sungguh berbahaya. Aku bahkan mengejutkan
diriku sendiri! Malah, aku tertegun oleh kedunguanku sendiri, yang
menyebabkanku telah bertingkah berlebihan secara menakutkan kepada ibu-ibu
penyodor pamflet yang bersahaja. Aku tidak tahan lagi.
Ini saatnya aku mati. Orang seperti aku, yang telah menghinakan dirinya
demikian buruk di hadapan orang alim, mesti mati secepatnya.
“Sudah,
tidak apa-apa, bu, pulang saja cepat. Bawa gadis itu sekalian.”
Ah, tidak ada gunanya. Sudah berakhir, sudah berakhir, sudah berakhir
bagiku! Yeah, aku akan membeli katana besok. Lantas, aku akan melakukan
harakiri. Daripada terus-terusan mengumbar diriku dalam aib, aku akan
mengeluarkan isi perutku saja dan membuktikan diri sebagai prajurit. Benar, aku
akan melakukan itu …. Beli katana di mana, ya.
Aku bayangkan menanyakan, “Hei, bu, tahu di mana? Ibu tidak
tahu? Ya iyalah, enggak tahu. Enggak apa-apa sih. Buat apa juga Ibu mesti tahu.
Enggak apa-apa, pergi saja sana. Yeah, iya, iya, saya minta maaf. Saya
hikikomori. Hikikomori tingkat atas, kelas kakap. Hampir tidak ada hikikomori
di luar sana yang bisa mengklaim dirinya setidak berharga aku. Aku penganggur.
Aku sampah. Aku orang payah! Tetapi aku tidak butuh bantuan. Aku baik-baik saja,
jadi pergilah. Mengerti? Nih, aku kembalikan. Aku kembalikan pamflet kalian.
Jadi, tolonglah, pergi cepat, sekarang!”
“K-k-kalau begitu, maaf telah mengganggu kesibukan masnya.”
Seraya buru-buru mengalihkan pandangan, ibu-ibu itu
serta-merta berbalik dan mendorong gadis di belakangnya. “Kita pergi sekarang,
Misaki. Kita kembali ke ruang pertemuan, oke?”
Yeah, pulang,
pulang. Pulang sana cepat. Kamu juga, Misaki, enyahlah segera!
Hm, Apa, Misaki?
Tampang apa itu? Biarpun ibu-ibu itu sudah minggat, kenapa kamu malah
menurunkan payung dan memandangku? Apa, kamu ada masalah apa, heh? Hei,
apa-apaan tatapan itu? Apa yang kamu lihat? Apa yang kamu tertawakan? Kamu
mengolokku, ya? Kamu menertawakanku …?!
***
Tampaknya memang
aku sedang diejek oleh gadis alim yang bahkan tidak kukenal.
Sesaat ia mengangkat payungnya dan menatap lurus ke wajahku. Ia tersenyum cerah.
Senyum manis, yang mencela. Dan aku ingin mati.
Sebab aku ditertawai orang segila gadis pemuja kultus, sebab
aku benar-benar telah direndahkan, dan lebih daripada segala-galanya, senyumnya
kok imut, karena alasan-alasan itulah ….
Aku tidak bisa
terus. Aku serius ingin mati.
Selamat tinggal.
Selamat tinggal,
ibu-ibu alim.
Selamat tinggal
Misaki, yang memegang payung.
Selamat tinggal,
selamat tinggal semuanya.
Aku akan memulai perjalananku. Aku akan menutup pintu kamar,
memutar kunci, menutup gorden, dan memulai perjalananku.
Sembari duduk di kasur, aku menghentikan napasku. Kedua
tanganku menutup mulutku keras-keras supaya aku berhenti bernapas. Rasanya sesak. Sesak. Tetapi sebentar lagi,
aku akan mati. Aku telah menahan napasku selama tiga puluh detik. Aku pasti
akan mati sebentar lagi.
Akan tetapi, saat kematianku tidak kunjung
datang. Sebabnya napasku bocor lewat hidung.
Di dunia ini tidak ada yang berjalan sesuai dengan
keinginan kita. Kumohon ada yang melakukan
sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar