“Perjanjian.”
Ia menggosok-gosok mata dengan pinggiran tangannya. “Kalau kamu biarkan
hubunganku dengan Frank berjalan, tanpa keluhan ataupun kiasan dari mitologi
Yahudi, dengan ini aku berjanji bahwa kalau—kalau—aku
dan Frank terus putus, aku akan—aku akan berdiam di rumah selama tiga bulan
sebelum mengencani orang yang lain lagi. Bagaimana?”
“Kedengarannya
sinis sekali, Bel,” sahutku, terkejut. “Maksudku, aku cuma ingin kamu bahagia.”
“Charles,
katakan saja caranya supaya kamu tidak menggangguku lagi.”
“Hmm,”
gumamku. Barangkali terasa sinis, tapi aku tertarik dengan rencana baru ini.
Biasanya perselisihan antara aku dan Bel diakhiri dengan ia melempar barang
pecah belah padaku. Yang menyedihkan, ia bakal mengencani orang ini entah aku
senang atau tidak. Sedikitnya dengan begini aku diberi semacam imbalan—sesuatu
yang, katakanlah, dalam keadaan biasa tidak akan pernah diterimanya ….
“Baiklah,”
ucapku pelan. “Tiga bulan, dan ….”
Matanya
menyipit. “Dan?”
“Dan kamu
juga mesti mengenalkan aku pada temanmu. Si Laura Treston.”
“Laura
Treston?” ulangnya jijik. “Dia bukan temanku, aku enggak beromong-omong sama
dia sejak—tunggu dulu, kok bisa kamu tahu-tahu memikirkan dia?” Aku berdeham-deham tidak jelas dan meratakan bagian yang
menyembul pada selimut bulu angsa. Bel mengerang dan menjambak rambutnya. “Oh
Charles, kamu enggak mengamat-amati buku tahunan lamaku lagi, kan?”
“Ada yang
mesti kuperiksa,” gumamku.
“Kuharap
kamu jangan lakukan itu, itu enggak wajar dan mengerikan, foto-foto itu kan
sedikitnya sudah empat tahun lalu, cewek-cewek di situ hampir-hampir masih anak-anak ….”
”Biar,”
sergahku.
“Maksudku,
sekarang ini enggak ada yang tampangnya masih sama. Malah ada yang sudah meninggal.”
“Kembali ke
soal yang tadi,” sahutku.
Bel
mengerang lagi. “Jangan suruh aku telepon dia, Charles. Orangnya sangat membosankan. Terakhir kali mengobrol
dengannya aku nyaris harus ditetes espresso selama sisa pekan.”
“Itu
persyaratanku,” ucapku. “Terima atau tidak.”
Ia
menyerah. “Baiklah,” ujarnya. “Baiklah. Aku telepon dia besok, sedang kamu
berjanji enggak bakal menggangguku dan Frank. Janji?
“Di mana
dia sekarang?” Aku pun duduk. “Kuharap dia ada di ruang duduk, Bel.”
“Dimulai
dari sekarang.”
“Baiklah,
baiklah, aku berjanji.” Kuulurkan tangan. Ia menjabat tanganku, dan perjanjian
itu pun sah. Ia berlalu sembari menguap menuju kamarnya, sementara aku
merebahkan kepala. Pikiranku berpusar bak galaksi.
Buku
tahunan Bel menjadi cacat rahasiaku sejak masa sekolahku yang tanpa cewek.
Waktu itu aku mengambilnya diam-diam dari tumpukan di bawah kasur Bel,
membawanya untuk ditunjukkan pada teman-teman sekelas, dan aku pun
disanjung-sanjung bak pahlawan seharian. Kami biasa berkumpul di balik paviliun
kriket dan berdempet-dempet dalam kilauan halamannya. Kami takjub akan
banyaknya wajah, nama, dan kesempatan, menilai setiap cewek dalam skala
sepuluh, menebak-nebak kecenderungan seksualnya, membayangkan terjadinya mati
lampu di asrama dan perang bantal yang, kalau kita paham segalanya soal cewek,
sudah pasti membangkitkan … dan sebentar kemudian keheningan pun luruh, karena
tiap orang hanyut dalam angannya masing-masing. Kami tenggelam dalam potret,
yang merupakan surga tempat rekan feminin kami berdiam dengan wajah
berseri-seri ataupun merengut dalam barisan hitam-putih. Mereka tak dikenal,
dan terasa jauh bagaikan bintang-bintang.
Dari
situlah aku pertama kali menemukan dia. Suatu hari pada musim panas, karena
tidak ada kerjaan, aku menyelinap ke kamar Bel demi mencari buku hariannya yang
tidak kunjung ketemu, dan yang kuperoleh malah buku tahunan yang baru. Sambil
duduk di kasur aku meninjau foto gadis-gadis berusia dua belas tahun, hingga
mendadak aku terhenti dan napasku tertahan. Gairahku takluk mengharap sesuatu
yang lebih murni, bening, dan fatal. Mata itu, mulut itu, penampakan leher
hingga blus sekolahnya yang mendebarkan, jalinan ikal rambutnya—pirang atau
cokelat, sulit dipastikan—yang menjuntai anggun …. Dengan perasaan ganjil bahwa
ini sudah takdir, aku menyusuri nama-nama di bawah halaman—Audrey Courtenay,
Bunty Chopin, Dubois Shaughnessy—hingga aku sampai pada namanya: Laura; Laura
Treston.
Sejak itu,
walau nasib bersekongkol tidak mempertemukan kami, aku mengikuti
perkembangannya di buku tahunan. Setiap perkembangan membawa metamorfosis baru.
Dalam perang bantal khayalanku, lambungan bantalan payudaranya lah yang paling
berguncang dan bergema diiringi gedebuk ringan bulu-bulu. Bahkan sekarang,
bertahun-tahun usai masa sekolah dan ia telah pergi entah ke mana, ia terus
mendekam di hatiku serupa hologram. Cewek-cewek semacam Patsy Olé di dunia ini
boleh saja datang dan pergi. Yang kali ini, aku yakin, akan menjadi kisah
cintaku yang agung.
Bel sendiri
tidak pernah terlihat di foto kelas, ataupun di foto lainnya yang semacam itu.
Ia selalu peka dengan penampilannya. Kapan pun foto kembali dari tukang afdruk
seusai acara keluarga, ia selalu menyambarnya paling dulu, merasa wajib
mengamatinya, lalu menaruhnya dengan kecewa sebentar kemudian, sembari berkata
muram, “Penampilanku seperti itu?
Kenapa enggak ada yang memberitahuku
….” Aku tidak pernah bisa memahami yang ia rewelkan, sebab sekalipun kemudian
kau bilang dirinya cantik, namun gadis dalam foto-foto itu sudah jelas tidak
sesuai dengan dirinya sebagaimana yang ia bayangkan. Ia pun mulai takut pada pemotretan,
yang bukannya berlalu melainkan terus kembali menghantuinya dengan segala
kebenaran objektif tak terelakkan. Maka pada usia dua belas tahun, ia
memutuskan tidak akan membiarkan dirinya difoto sama sekali. Di sekolah ia
mereka cara supaya lepas dari situasi tersebut, dengan penyakit yang semakin
berlebih-lebihan saja pada Hari Pemotretan (para biarawati yang mengajar dia
sudah pada sepuh dan lemah, serta selalu teperdaya oleh campak, luka, hingga
demam kuning yang dibuat-buatnya). Di foto keluarga, tampilannya berupa ruang
kosong, satu inci yang entah mengapa tersorot melengkapi Bunda, Ayah, dan aku.
Sampai sekarang, ketika ada kamera, Bel tampak raib ditelan kekosongan.
Aku terlalu
bersemangat untuk tidur lagi. Sampai sejam aku berbaring gembira memikirkan
kehidupan baruku bersama Laura. Namun seiring dengan merangkaknya malam
semangat itu menggumpal, dan aku mulai tersiksa oleh keraguan. Segalanya bisa
teratasi semulus ini, mendadak terasa terlalu lancar, terlalu gampang. Haruskah
aku mengingkari perjanjian itu? Apakah aku mengkhianati Bel? Kemudian aku
merasa mendengar suara keras, dan aku tidak bisa meyakinkan diriku kalau itu
bukan Frank, yang mengendap-endap rawan melewati ruangan-ruangan serta koridor,
memastikan segalanya aman sebelum memulai muslihatnya yang jahat.
Sambil
memaki diriku sendiri, aku mengenakan selop dan keluar menuju bordes. Namun
segalanya sunyi, meredam gemuruh dan gemerincing yang diperdengarkan rumah ini
dalam tidurnya, beserta detak sepi jam entah di mana. Tidak ada siapa pun di
kamar mandi, malah tercium hancing yang tidak biasa. Kutarik gorden di kamar
Bunda, lalu menuju pintu ke ruang studi Ayah. Sementara memutar gagang
pintunya, aku tertegun, tercengkam oleh kenangan. Kenangan itu seolah-olah
bergelung dalam logam, menanti-nantiku. Asalnya dari sewaktu aku masih kecil,
sebelum Ayah mulai mengunci pintu itu. Aku biasa menghampiri Ayah beserta
segelas susu, seekor siput, atau PR-ku (yang isinya semacam di norwegia ada banyak fyord, tidak banyak
kegiatan di sana), dan mendapati ia sedang merengut beristirahat di
kursinya yang sangat besar. Ruangan itu terlihat memesona, berdinding buku-buku
misterius serta catatan kas yang tampak memusingkan, berkarpet kelam kabut yang
Bunda dilarang menggantinya, beserta patung kepala dari gips bertampang penjilat
yang menanti penuh harap pada tatakannya. Ruangan itu bagaikan sarang alkimis,
yang merupakan bagian dari rumah sekaligus bukan, tempat Ayah membersamai kami
sekaligus memisahkan diri ….
“Ini apa,
Yah, tulang?”
“Tulang pipi, Charles, lihat kan sebagian orang
tidak benar-benar memilikinya, dan warna-warna ini—“
“Kalau ini
apa?”
“Ah, itu
rumus kimia, begitulah disebutnya, yang ini radikal stearat dan—jangan, jangan
sentuh itu, Charles—“
“Ups, maaf
….”
“Tidak
apa-apa. Tuh, Bunda sedang di kebun. Barangkali Bunda perlu bantuan,” seraya
mengarahkanku dengan lembut sekaligus tegas ke pintu ….
Ruangan ini
tak tersentuh selepas kematiannya. Segalanya seperti sewaktu ia tinggalkan,
seakan ia cuma keluar sebentar dan akan kembali sewaktu-waktu. Botol-botol
kecil berisi pewarna dan ekstrak alkohol, penampang lintang dan bagan warna,
meja yang penuh sesak oleh guntingan majalah berupa gelora model rambut dan
pakaian yang sudah ketinggalan zaman, bagaikan ruh yang dibangkitkan ke dalam
wujud untuk sesaat saja, dari bayang-bayang memelesat bak nyala api sebelum
lenyap kembali ke alam dasarnya yang selamanya berada pada 1996. Yang
ditambahkan pada ruangan ini cuma potret Ayah yang dipasang Bunda—yang
menghadap jendela, sehingga Ayah bisa terus menikmati pekarangan dan kebun,
kerajaan yang dibangunnya dari nol. Atau tidak benar-benar dari nol. Keluarga
kami melacak silsilahnya hingga para penakluk Normandia yang pertama-tama,
walau sayangnya keisengan yang dilakukan dengan kaum tani lokal selama
berabad-abad agaknya mengencerkan keturunan darah. Barangkali itu sebabnya di
keluarga kami kadang ada saja yang lemah dalam melakukan pertimbangan, seperti
yang diperagakan oleh adikku. Sambil berdiri diterangi cahaya bulan, dengan
lengan bertopang kuat-kuat pada meja, kuperhatikan hidung Ayah yang serupa
paruh rajawali, bibirnya yang tersenyum tipis, serta pipinya yang merona sehat.
Lukisan itu dibuat setelah ia meninggal dunia, berdasarkan foto, namun
benar-benar menangkap jiwa ayahku, lelaki yang mengabdi pada kehidupan dengan
caranya sendiri yang walau menginspirasi namun sulit dimengerti.
Nyaris aku
lupa sama sekali tujuanku masuk ke ruangan itu, saat kebetulan aku melihat ada
yang ganjil. Dua peok merah pada kotak beledu: dua keping koin koleksi Ayah
lenyap secara misterius. Frank! Jadi ini permainannya—dimulai perlahan-lahan,
tanpa seorang pun akan memerhatikan, hingga seluruh rumah disikatnya!
Kubayangkan dirinya berada di salah satu kedai minuman pinggir kota nan kumuh,
duduk di meja beralaskan marmer imitasi, sambil minum-minum bir ringan yang
mendesis bersama tukang tadah rekanannya. Televisi satelit berdengung di atas
kepala mereka yang mengenakan topi model pai babi. Keduanya tertawa-tawa dan
mendentingkan gelas. Kini dari bawah tangga terdengar suara lemari dibuka.
Dengan geram kusingsingkan lengan piyama. Biar kutangkap basah aksi
pencuriannya yang kurang ajar ini, akan kuenyahkan dia, Golem ataupun bukan!
Aku
melangkah pelan-pelan menuruni tangga. Kuambil besi pengorek api dari ruang duduk, lalu melihat kilauan cahaya redup di sepanjang lantai papan di koridor.
Aku berputar di muka tangga yang lebar, menatap sekilas satu demi satu pintu
yang tertutup, dan suara itu! Besi pengorek api terangkat, aku menyambar
melewati pintu ruang cuci piring—dan spontan tertahan tepat pada waktunya,
sehingga serangan itu hanya terlihat sepintas saja oleh Mbok P, walau sayangnya
cukup kena untuk menjatuhkan baki perak yang dibawanya. “Tuan Muda Charles!”
pekiknya. “Saya jadi jantungan!”
“Oh, ya,
maaf Mbok P, enggak mengira Mbok yang wira-wiri selarut ini—“
“Ya,” ia
tergagap-gagap, “Saya—saya menyiapkan sarapan ….”
Kupungut
sekerat daging pegar yang lembut dari lantai. Potongan kentang bakar yang
melekat pada daging itu menggoyang lidah. Menyiapkan sarapan pada pukul tiga
pagi? Bukan sarapan biasa pula—selain pegar, atau agak di sampingnya di lantai,
ada kue dadar telur yang tampak lezat serta sebotol brendi Armagnac yang cukup
berkualitas. Kelihatannya ada seseorang yang
bakal berkesempatan menikmati sarapan kelas satu di kasur. Sedikit saja keraguan
mengenai siapa orang tersebut—makhluk malang yang masih mulas gara-gara bencana
kacang merah. Memang, setelah aku menatapnya baik-baik, aku bisa melihat
panggilan-panggilan lonceng yang mencemaskan serta kelelahan bergeming di wajah
khas dusunnya yang bersahaja.
Ia
memprotes, namun aku tidak mau mendengarnya menyiapkan sarapan lagi pada jam
begini. Aku menyuruhnya melupakan kacang merah itu dan langsung tidur segera
setelah lantai dibersihkan. Ia membungkuk berterima kasih, dan aku pun
meninggalkan ruangan itu, takjub akan kerajinannya biarpun makin prihatin akan
keseimbangan mentalnya—maksudku, sarapan dengan pegar? Karena gembira sama
sekali, teka-teki Frank pun tersapu dari kepalaku, hingga tak lama kemudian aku
menyadari hilangnya bangku ottoman, beserta teko hias.