Gadis
Kecil dan Serigala
Suatu sore, di dalam hutan yang gelap
seekor serigala besar menunggu kedatangan gadis kecil yang membawa sekeranjang
makanan untuk neneknya. Akhirnya sang gadis kecil datang juga, dan ia membawa
sekeranjang makanan.
“Apakah kamu membawa keranjang itu untuk
nenekmu?” tanya serigala.
Sang gadis kecil berkata, ya.
Serigala pun bertanya di mana neneknya
tinggal.
Sang gadis kecil memberitahunya.
Serigala itu pun menghilang ke dalam hutan.
Ketika sang gadis kecil membuka pintu
rumah neneknya, ia melihat ada satu sosok di tempat tidur yang mengenakan topi
dan gaun tidur. Ia berjalan mendekat. Namun tidak sampai sembilan meter
jaraknya dari tempat tidur, ketika ia menyadari bahwa sosok itu bukanlah
neneknya melainkan serigala. Bahkan dengan topi tidur itu si serigala lebih
tidak mirip nenek-nenek ketimbang singa di Metro-Goldwyn dengan presiden
Amerika Serikat ke-30.
Sang gadis kecil menarik senapan dari
keranjangnya dan menembak mati serigala.
Moral:
Tidak begitu mudah untuk menipu gadis-gadis sekarang ini sebagaimana dahulu.
Singa
yang Ingin Menjulang
Dahulu ada seekor singa yang rela
memberikan apapun demi sepasang sayap elang. Ia pun mengirim pesan pada elang,
meminta burung nan termasyhur itu untuk datang dan menemui sang raja binatang.
Ketika elang mendarat di muka sarang singa, binatang yang disebut belakangan
itu berkata, “Mari kita membuat persetujuan. Kutukar suraiku dengan sayapmu.”
“Yang benar saja, bung.”
“Memangnya kenapa?” ujar singa. “Aku
juga tidak bisa terbang, tapi itu tidak menghalangiku untuk menjadi rajanya
binatang. Aku menjadi rajanya binatang karena suraiku yang mengagumkan ini.”
“Baiklah,” kata elang, “tapi berikan
dulu aku suraimu.”
Elang pun mendekat. Dengan cakarnya yang
besar, singa merobohkan elang dan menjepitnya di tanah. “Sekarang cepat berikan
sayap itu padaku!” geramnya murka.
Singa pun merampas sayap elang dan tidak
jadi memberikan surainya. Sesaat elang sangat putus asa dan kecil hati, tapi
kemudian ia mendapatkan ide. “Aku bertaruh kau tidak bisa terbang dari puncak
batu besar di sebelah sana,” kata elang.
“Huh, aku?” ujar singa.
Ia pun berjalan ke puncak batu dan
terjun. Bobotnya terlalu berat bagi sepasang sayap elang itu untuk dapat
menahannya. Di samping itu ia tidak tahu caranya terbang, tidak pernah
mencobanya sebelumnya. Remuklah ia di kaki batu. Cepat-cepat elang turun dan
mengambil kembali sayapnya, mencopot surai milik singa, lalu mengenakannya di
leher dan bahunya sendiri.
Terbang pulang ke sarang berbatu
tempatnya tinggal bersama pasangannya, ia ingin bermain-main dulu dengan betina
itu. Maka, tersamarkan oleh surai singa, ia mengulurkan kepalanya ke dalam
sarang dan dengan suara yang tinggi dan mengerikan ia meraung, “Hauuuummmm!”
Pasangannya, yang bagaimanapun juga sangat
ketakutan, mencaplok pistol dari laci pakaian dan menembaknya sampai mati,
mengira ia seekor singa.
Moral:
Jangan pernah biarkan perempuan yang ketakutan memegang pistol, terlepas dari
apapun yang sedang Anda kenakan.
Burung
Cendet dan Sepasang Tupai
Pada suatu masa hiduplah sepasang tupai,
jantan dan betina. Tupai jantan pikir menata biji-bijian menjadi susunan yang
artistik itu lebih menyenangkan ketimbang sekadar menumpuknya
sebanyak-banyaknya. Bagi tupai betina, semuanya itu untuk ditumpuk saja
sebanyak-banyaknya. Ia memberitahu suaminya, kalau suaminya itu berhenti
membuat konstruksi dari biji-bijian, akan ada cukup ruang dalam liang mereka
yang besar itu untuk menimbun lebih banyak lagi biji-bijian dan ia akan menjadi
tupai terkaya di hutan. Tapi ia tidak ingin istrinya mencampuri urusannya,
sehingga istrinya menjadi sangat marah dan meninggalkannya. “Burung cendet akan
menangkapmu,” ucapnya,” karena kamu lemah dan tidak bisa mengurus dirimu
sendiri.” Pastinya, tupai betina tidak pergi tiga malam sampai suaminya mesti
menghadiri pesta dan tidak bisa menemukan di mana kancingnya, kemejanya, atau
ikat pinggangnya. Ia pun tidak jadi pergi ke pesta, namun itu tidak mengapa,
sebab semua tupai yang pergi ke sana dijerat dan dibunuh oleh musang.
Hari berikutnya seekor burung cendet
mulai bertengger di muka liang tupai, menunggu kesempatan untuk melahapnya.
Burung bentet itu tidak bisa masuk karena pintunya tersumbat pakaian dan
perabotan kotor. “Dia akan keluar untuk jalan-jalan setelah sarapan lalu aku
akan menangkapnya,” pikir burung cendet. Tapi tupai itu tidur sepanjang hari
dan tidak bangun serta sarapan sampai hari sudah gelap. Barulah ia keluar untuk
menghirup udara segar sebelum mulai mengerjakan konstruksinya yang baru. Burung
cendet menukik ke bawah untuk menyabet tupai, tapi tidak bisa melihat dengan
jelas karena gelap. Kepalanya menghantam dahan dan ia pun mati.
Beberapa hari kemudian tupai betina
kembali dan mendapati betapa kacau isi rumahnya. Ia pergi ke tempat tidur dan
mengguncang-guncang suaminya. “Bisa apa kamu tanpa diriku?” tuntutnya.
“Terus melanjutkan hidup, kurasa,” jawab
suaminya.
“Kamu tidak akan bertahan sampai lima
hari,” tukas si istri. Ia menyapu rumah, memasak makanan, dan pergi ke binatu,
lalu menyuruh suaminya bangun, mandi, dan berpakaian. “Kamu tidak akan sehat
kalau hanya berbaring di tempat tidur sepanjang hari, dan tidak pernah
berolahraga,” ujarnya.
Ia membawa suaminya berjalan-jalan di
bawah siraman cahaya yang cerah, lalu keduanya disambar dan dibunuh oleh
saudara si burung cendet, yakni seekor burung cendet bernama Si Bungkuk.
Moral:
Lekas bangun dan lekas tidur dapat membuat orang sehat, kaya, dan mati.
Alih bahasa dari fabel-fabel James Thurber: "The Little Girl and the Wolf"; "The Lion who Wanted to Zoom", dan; "The Shrike and the Chipmunks"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar