Ngengat
dan Bintang
Satu ketika seekor ngengat muda yang
masih rentan membulatkan tekadnya untuk menggapai bintang. Ia memberitahu
ibunya yang lantas menasihatinya untuk mengalihkan tujuannya pada lampu saja.
“Bintang itu bukan tempat untuk keluyuran,” kata ibunya; “lampu itulah
tempatnya keluyuran.”
“Dengan begitu kau bisa sampai ke
tujuanmu,” kata ayah ngengat. “Kalau mengejar bintang kau tidak akan sampai ke
mana-mana.”
Tapi ngengat itu tidak mengindahkan
perkataan kedua orangtuanya. Setiap malam menjelang, ketika bintang itu muncul,
ia memulai penerbangannya menuju ke sana. Dan saat fajar menyingsing, ia
merayap pulang dalam keadaan letih akibat upaya kerasnya yang sia-sia.
Satu hari ayahnya berkata, “Sudah
berbulan-bulan ini tak selembar pun sayapmu yang terbakar, nak, dan sepertinya
tidak bakalan sama sekali. Semua saudaramu yang laki-laki sudah terbakar habis
selagi mengitari lampu jalanan, sedang saudara-saudaramu yang perempuan pada
gosong selagi mengitari lampu-lampu rumah. Ayolah, sekarang, hanguskan dirimu!
Kau ini ngengat yang besar dan kuat tapi tidak ada apa-apanya!”
Si ngengat meninggalkan rumah ayahnya,
tapi ia tidak hendak mengitari lampu jalanan ataupun lampu-lampu rumah. Ia
terus berusaha untuk mencapai bintang, yang jauhnya empat sepertiga tahun
cahaya, atau dua puluh lima juta mil. Ngengat itu pikir bintang letaknya hanya
di puncak ranting pohon. Ia tidak pernah berhasil mencapai bintang, namun ia
terus berusaha, malam demi malam. Ketika usianya telah lanjut, ia mulai
menganggap bahwa dirinya terlah berhasil mencapai bintang. Ia pun berkeliling
menceritakannya. Ia mendapatkan kepuasan yang mendalam dan tak terhingga, dan ia
hidup sampai usia yang teramat tua, sementara orangtua dan saudara-saudaranya
telah mati terbakar ketika mereka masih sangat muda.
Moral:
Dia yang menjauhi penderitaan akan hidup untuk seterusnya.
Musang
Cinta Damai
Suatu hari di negeri kobra lahir seekor
musang yang tidak mau memusuhi kobra atau apapun lainnya. Kabar menyebar dari
musang ke musang bahwa ada seekor musang yang tidak mau memusuhi kobra. Kalau
ia tidak ingin memusuhi apapun juga, itu urusannya, tapi adalah tugas setiap
musang untuk menumpas kobra atau merekalah yang akan ditumpas kobra.
“Kenapa?” tanya si musang cinta damai,
dan kabar beredar bahwa si musang baru yang aneh ini tidak hanya pro-kobra dan
anti-musang tapi juga secara intelektual mempertanyakan dan menyerang cita-cita
dan tradisi daripada musangisme.
“Dia sinting,” raung ayah si musang
muda.
“Dia sakit,” kata ibunya.
“Dia pecundang,” seru saudara-saudara
lelakinya.
“Dia musangseksual,” desis
saudara-saudara perempuannya.
Musang-musang tak dikenal yang tak
pernah pasang mata pada si musang cinta damai ingat bahwa mereka menyaksikannya
merayap dengan perutnya, atau mencoba-coba mengenakan tudung kepala kobra, atau
diam-diam merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Musangnesia.
“Aku hanya mencoba untuk menggunakan
akal sehat dan inteligensiku,” kata si musang baru yang aneh itu.
“Akal itu sebagian daripada
pengkhianatan,” ujar salah satu tetangganya.
“Yang suka menggunakan intelijen adalah
musuh,” kata yang lain.
Akhirnya, gunjingan tersebar bahwa si
musang memiliki sengat yang berbisa, seperti kobra. Ia pun diadili dan sebagai
hukumannya ia dikucilkan.
Moral:
Abu menjadi abu, tanah menjadi tanah. Kalau bukan musuh yang melawanmu, boleh
jadi bangsamu sendiri yang akan melakukannya.
Kelinci-kelinci
Biang Masalah
Dalam kenangan seorang anak bungsu,
tinggallah sekeluarga kelinci tak jauh dari sekumpulan serigala. Para serigala
mengumumkan bahwa mereka tidak menyukai cara hidup kelinci-kelinci itu. (Para
serigala tergila-gila dengan cara hidup kaum mereka sendiri, karena begitulah
satu-satunya cara mereka untuk hidup.) Suatu malam beberapa serigala tewas akibat
gempa bumi dan para kelinci yang disalahkan, lantaran telah diketahui bahwa
kelinci-kelinci suka menggaruki tanah dengan kaki belakang mereka sehingga
menyebabkan gempa bumi. Pada malam yang lain salah satu serigala tewas akibat
sambaran petir dan lagi-lagi para kelinci yang disalahkan, lantaran telah
diketahui bahwa memakan selada dapat menyebabkan petir. Para serigala mengancam
akan memperadabkan para kelinci apabila mereka tidak menjaga kelakuan. Para
kelinci memutuskan untuk melarikan diri ke sebuah gurun. Tapi hewan-hewan
lainnya, yang tinggal di kejauhan, membuat mereka malu dengan mengatakan,
“Tetaplah tinggal di tempat kalian dan jadilah berani. Dunia bukan tempat bagi
mereka yang suka melarikan diri. Kalau para serigala menyerang kalian, kami
akan datang membantu kalian, kemungkinannya.” Jadilah para kelinci kembali
tinggal di dekat serigala-serigala. Suatu hari terjadi banjir besar yang
menenggelamkan banyak sekali serigala. Para kelinci yang disalahkan, lantaran
telah diketahui bahwa para pengerat wortel bertelinga panjang itulah yang
menyebabkan banjir. Para serigala menghampiri kelinci-kelinci, demi kebaikan
mereka sendiri, dan memenjarakan mereka di dalam gua yang gelap, demi keamanan
mereka sendiri.
Ketika sampai berminggu-minggu tidak ada
kabar sama sekali dari para kelinci, hewan-hewan lainnya menuntut penjelasan
atas apa yang telah terjadi pada mereka. Para serigala menjawab bahwa
kelinci-kelinci itu telah dimakan dan karena mereka telah dimakan maka persoalan
yang tersisa murni urusan internal. Namun hewan-hewan lainnya memperingatkan
bahwa mereka boleh jadi akan bersatu melawan para serigala kecuali ada alasan
di balik pembinasaan para kelinci. Serigala-serigala itupun menyampaikan,
“Mereka berusaha untuk melarikan diri,” kata mereka, “dan, sebagaimana kalian
telah ketahui, dunia bukan tempat bagi mereka yang suka melarikan diri.”
Moral:
Larilah, jangan berjalan, ke gurun terdekat.
Alih bahasa dari fabel-fabel James Thurber: "The Moth and the Star"; "The Peacelike Mongoose", dan; "The Rabbits who Caused All the Trouble"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar