Pada mulanya
terasa luar biasa. Sungguh. Sudah pasti begitu. Perempuan itu merengkuh seekor
katak, mengharapkan yang lebih, dan—kejutan!
Hadirlah seorang pangeran tampan yang tergila-gila akan dirinya. Jelaslah ini
berarti akhir dari pernikahan perempuan itu. Namun mantannya dulu pun menyerupai
katak, dengan kebiasaan jorok mengunyah sambil berbicara dan lidahnya sama
sekali tak berguna selain untuk menjilati perangko.
Sambil menggeliat-geliut cemburu, kawan-kawan si perempuan di klub bridge pun mengakui bahwa sang pangeran
menawan hati—kendati penampakan lelaki itu masih mencirikan habitatnya yang
dulu. Matanya berkelopak tebal. Mulutnya selebar mulut boneka-tangan. Mukanya
pucat. Kulitnya yang kendor tipis dan lembap. Maninya terasa berlumpur seperti
kolam tempatnya berasal. Kemaluannya yang kecil pun mengecewakan. Namun
lidahnya menakjubkan. Lidah itu mampu menjamah ceruk-ceruk terdalam,
membangkitkan sensasi yang belum pernah dialami perempuan itu sebelumnya.
Mahkotanya tak terpasang selayaknya topi melainkan mencuat dari kepalanya
bagaikan tanduk, dan kadang-kadang mengganggu. Biarpun begitu, lidah itu cukup
panjang untuk menggerayangi sekalian menggelitik bagian-bagian lain yang
dilaluinya. Lidah itu tak lantas menjadikannya cadel sebagaimana suaranya yang
terdengar bak bunyi seruput berkonsonan, pun mampu merepetkan cumbu rayu. Namun
mereka tak begitu sering berbicara pada satu sama lain.
Sewaktu sang pangeran masih berwujud katak dan mereka baru mulai senang
berciuman, perempuan itu menyadari bahwa menjilati makhluk itu di bagian
mana pun akan memberinya halusinasi yang memabukkan. Memang kemudian
metamorfosis terjadi. Namun perempuan itu terus melakukannya pada sang
pangeran—seringnya pada bagian bawah. Lelaki itu bukanlah pangeran paling
resik, namun efek yang ditimbulkan dari menjilatinya sungguh memuaskan.
Perempuan itu terbawa ke lain alam, serupa kerajaan dongeng di mana segala yang
diimpikan dapat dimilikinya: kekayaan, kecantikan, selemari pakaian keren,
kelihaian bermain bridge, cokelat
berisi krim yang kalorinya nol, dan cinta kapan pun dibutuhkannya—yakni pada
kebanyakan waktu, kendati ia sedang mengurus hal lainnya seperti mengatur
perjamuan mewah atau meninjau pengawal istana. Tinggal buk, duak, blam! Indahnya! Segalanya memudar begitu
mabuknya hilang, namun sekali jilatan dan ia pun kembali.
Kehidupannya yang dulu ideal mulai terasa tak berarti. Kapan pun ia meminta
sang pangeran untuk mengirimnya ke kerajaan sungguhan, lelaki itu selalu
membawanya kembali ke kolam tempat perempuan itu menemukannya. Lelaki itu
merasa bahagia di sana. Ia akan merayap ke lumpur, terus menggali hingga hanya
matanya yang menyembul menatap. Puncak kepalanya tampak mengambang di
permukaan. Di rumah, matanya terkadang membuka lebar-lebar dan mendelik; pada
lain waktu, terutama selagi makan, keduanya terbenam dan nyaris menghilang.
Namun di kolam mata itu selalu terbeliak. Kadangkala ia menjulurkan lidahnya
dan bertahak. Perempuan itu pun memasuki lumpur bersamanya. Rasanya tidak
seperti di kerajaan khayalan, namun tetap menyenangkan.
Kekerapan tahak sang pangeran mencederai martabatnya yang agung, namun itu
pula sisi memikat dari dirinya. Kala bertahak, selalu sambil ditatapnya
perempuan itu dengan mesra. Kala wujudnya masih berupa katak, sesekali kulitnya
luruh lalu dimakannya. Untunglah, sang pangeran tidak berbuat seperti itu lagi,
kendati terkadang lidahnya masih doyan mencaplok apa pun yang menetes atau
mengelupas sehingga mengacaukan nafsu makan si perempuan. Sekitar sebulan
sekali, ia mencopot pakaiannya dan memanjat punggung perempuan itu.
Berhari-hari, kakinya yang kurus mengunci di sana. Jemarinya yang panjang
mengusap bokong perempuan itu dengan lembut. Bantalan jempolnya menempel di
ketiak seperti Velcro[1]. Perempuan itu
tak bisa melepaskan sang pangeran dari punggungnya, hanya mampu menunggu sampai
apa pun yang diperbuat lelaki itu tuntas. Mungkin saja itu suatu perbuatan cabul—syukurlah
perempuan itu tak dapat melihatnya. Tentunya ia harus mencuci rok dan blusnya
setelah itu. Dengan sang pangeran melekat di punggungnya, sulit pula bagi
perempuan itu untuk berbelanja atau menata rambut. Selain itu, ia harus duduk
menyamping baik di kursi maupun di toilet. Namun yang terburuk dari momen
seperti ini adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh ekstase. Andai saja
lidahnya sepanjang milik lelaki itu!
Begitu sang pangeran turun, belum lagi mengenakan pantalonnya yang mewah,
perempuan itu langsung menyurukkan hidung ke bawah sana, mengisap madat
sebagaimana biasa, dan menjilati jalannya kembali menuju kerajaan dongeng. Pada
suatu siang (atau malam, tak pernah bisa dipastikan di tempat seperti itu)
sewaktu perempuan itu sedang telentang di dekat gawang kriket di padang istana yang disirami cahaya
mentari (atau bulan?), tersemat dalam euforia akan segala hal—ya Tuhan! matanya
membeliak serupa sang pangeran—lelaki itu bertanya dengan suaranya yang seperti
bunyi seruput. Bahagiakah perempuan itu di sana? Oh, ya, seutuh-utuhnya! perempuan itu berseru dengan napas menderu-deru.
Maka lelaki itu meninggalkannya di sana, andai saja si perempuan memahaminya
dengan baik, kembali ke kolam dan merayap dalam lumpur. Jadilah, perempuan itu merindukan
sang pangeran, begitu pun teman-temannya di klub bridge, dan sejujurnya, mantannya juga. Namun ia terlalu sibuk
bersenang-senang dalam kemewahan yang liar hingga luput menyadari hal tersebut,
atau malah pada segala hal. Sungguh, seperti itu jadinya kalau mabuk.
Rasanya menakjubkan dan seakan tak ada akhirnya, tapi, duh, tak ada yang
abadi, apalagi ekstase. Maka suatu hari perempuan itu berada di rumahnya lagi,
berbaring bagai kantong udara yang kempis di lantai dapurnya yang dekil. Ia
mengepel lantai, membereskan isi kulkas, membuka semua jendela, lalu
tergesa-gesa kembali ke kolam, mencari sang pangeran. Sepanjang siang dan malam
ia berburu suara tahak, namun tak menemukannya di mana pun. Cuaca telah
berganti. Mungkin makhluk itu sedang berhibernasi.
Selama setahun nan sepi ia melakukan pencarian. Pada mulanya dengan agak
nekat ia menciumi dan menjilati setiap katak yang berhasil ditangkapnya. Namun
pada akhirnya ia menerima perbuatannya itu sebagai kesia-siaan dan dengan sedih
menghentikan upayanya. Lalu ia teringat akan derita dan kekecewaan sang
pangeran. Lelaki itu mengira akan merasa lebih bahagia, demikian pernah
diakuinya kala mereka sedang melumpur bersama. Terang saja, perempuan itu
merasa sakit hati dan berpura-pura tak mendengarnya. Namun kini ia mengerti—yang
seharusnya sudah disadarinya sedari dulu—bahwa lelaki itu bukanlah pangeran
menawan yang berubah wujud menjadi katak, melainkan katak yang menjelma
pangeran, dan yang diinginkannya hanyalah menjadi katak lagi.
Akhirulkalam, perempuan itu kembali menghubungi mantannya dan menceritakan
bahwa dirinya telah terjerat oleh obat yang aneh, namun kini telah didepaknya
barang itu, dan barangkali lelaki itu hendak rujuk ia akan menerimanya.
Mantannya itu juga kesepian, kecanduan minum dan rokok, hubungan asmaranya pun
berujung sia-sia. Maka, dengan penuh syukur, lelaki itu kembali padanya. Mereka
merasakan suatu kepuasan, dan hidup kurang-lebihnya dengan bahagia
selama-selamanya, yang mana yang disebut dengan “kini” ialah selagi waktu
dijalani.[]
Robert Coover, lahir di Iowa, Amerika Serikat, pada 1932. Karya-karyanya dekat dengan
realisme magis dan metafiksi; meliputi novel, novela, cerpen, drama, dan esai.
Penghargaan yang telah diperolehnya yaitu William
Faulkner Foundation Award (1967) dan Rea
Award for the Short Story (1987). Cerpen ini diterjemahkan dari “The Frog
Prince” yang sebelumnya dipublikasikan di The New Yorker, 27 Januari 2014.
[1] Pengait untuk menempelkan dua sisi kain, terdiri dari dua lembar yang
masing-masingnya berupa pengait serta benang berbentuk lingkaran atau kotak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar