“Rasanya sangat drastis ….”
“Enggak sama sekali. Sampean
bakal terkejut betapa banyaknya orang yang berbuat itu akhir-akhir ini.”
MacGillycuddy tengah duduk di
bangku seberang, sekarung kiriman bersandar di tumitnya. “Orang dari segala
profesi, dari pengacara hebat sampai penjual sayur bersahaja. Jauh lebih lazim
daripada yang sampean kira.”
Seekor jalak hitam
melompat-lompat pada lis atap rapuh di atas kami. Suara MacGillycuddy serasa
terdengar dari kejauhan. “Bagian matinya
itulah yang mengusikmu. Itu respons alamiah, sampean mendengar kata itu lalu
jadi cemas. Tetapi pokoknya, sampean enggak
mati. Sampean pura-pura mati. Ah, itu
langkah besar, aku enggak menyangkal. Tetapi sebetulnya itu enggak jauh lebih
besar daripada, katakanlah, memperbaiki dapur, atau membeli mobil baru.”
“Mmm ….” Juntaian lebat ivy menutupi pintu gazebo, menyaring cahaya lembap dari kebun buah yang tumbuh tak
keruan di sebelah luar. Barangkali ivy-lah
yang menyatukan seluruh kebun itu, pikirku murung. Tak ada lagi orang yang
menghampiri pojok kebun sebelah sini.
“Soal lain yang cenderung
dicemaskan orang,” ucapnya, “yaitu kehilangan identitas. Enggak ada solusinya,
identitas seseorang itu sangatlah spesial. Enggak ada yang mengungkapkan dirimu
sebagaimana identitasmu, dan setelah kehilangan identitasnya setiap orang harus
berdamai dengan caranya masing-masing.” Duduknya bergeser-geser, dan ia
mengangkat sebatang jarinya dengan gaya filosofis. “Yang penting ialah memiliki
sikap positif. Tidak ada gunanya memalsukan kematian jika sampean enggak hendak
memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya. Jadi maksudku, lihatlah ini sebagai
kesempatan. Jangan berpikir akan kehilangan identitas asli; anggaplah sebagai
pertukaran identitas lama dengan yang baru. Berapa banyak sih orang yang bisa
memiliki dua identitas?” Tatapannya padaku menyelidik.
“Tidak banyak,” aku menyerah.
“Tepat. Jadi
bersenang-senanglah. Pikirkanlah selama ini sampean ingin jadi siapa dan—yah, aku
yakin sampean punya banyak ide sendiri. Maksudku, itu enggak harus jadi hal
negatif. Aku sudah beberapa kali melakukan ini dengan baik dan secara jujur
bisa dibilang bahwa sedikit banyak aku iri, bisa meninggalkan kehidupan dan
orang-orang yang dicintai. Ini seperti liburan besar. Tetapi bagaimana
menurutmu, apa ini kedengarannya semakin menarik?
Aku mempertimbangkannya.
Dengan mengesampingkan nadanya yang menjual, MacGillycuddy tampaknya
benar-benar memahami soal penggelapan asuransi, dan walau masih ada rasa perih
di ulu hatiku kekhawatiranmu mulai memudar. “Dan kamu yakin polisnya akan
dibayarkan?”
“Begitulah.” Ia menghantam
kertas di pahanya. “Mati kebetulan, enggak mungkin gagal.” Terdengar gemuruh
pelan dari sebelah luar sementara Mbok P menyeret sampah menuruni jalan di
halaman menuju gerbang. Mendapatiku masih ragu, MacGillycuddy menyambung:
“Begini. Kita sudah tahu gambarannya. Sampean bukan orang pertama yang
mengalami keadaan ini. Sampean peduli pada keluarga. Bank mau mengambil rumah.
Sampean punya masalah, inilah pemecahannya. Sesederhana itu.” Ia terdiam dengan
gaya Socrates. Sambil meluruskan punggung, lama ia meneguk susu dari gelasnya.
Aku menautkan jemari dan
mengkaji lantai papan yang melengkung. Suatu hari, sebelum segalanya menjadi
masalah, aku dan Patsy Olé menghabiskan semalam
nan indah di sini di balik hutan lembap, dibuai oleh gerit, gersik, serta riak
di kejauhan. Dan sekarang harus menundukkan kepala dan menghilang …. Besarnya
rencana ini menyulitkan untuk dapat berpikir lurus. Namun langkah besarlah yang
dibutuhkan kini: keberanian, pengorbanan, keningratan nan anggun pada
aristokrat sejati—sprezzatura, suatu
hal yang agung dan altruistis, dan absurd kalau terjeblos di antara gigi para
Golem—
“Jadi?”
Ada baris dalam sajak Yeats: Runtuh, dan sejarah menjadi omong-kosong,
Segala keagungan lalu bagi orang-orang bodoh nan merana—
“Aku akan melakukannya,”
ucapku.
“Bagus,” sahut MacGillycuddy
berseri-seri menyerupai Faust[1], seraya merogoh
pensil dan kertas di dalam jaketnya. “Nah, mengenai perinciannya ….”
Orang mungkin mengira ada
banyak yang mesti dilakukan untuk mengakhiri sesuatu yang serumit kehidupan:
begitu banyak yang mesti dibereskan! Begitu banyak tindakan penghabisan yang
mesti dirancang! Namun aku terkejut—aku cemas—setelah pagi itu segalanya telah
diatur, hari-hari di antaranya menggelincir sehingga rasanya sebentar aku
berada bersama MacGillycuddy di gazebo bobrok,
dan selanjutnya berdiri muram di balik gorden, mengamati Sabtu fajar yang putih
pucat, hamparan embun beku di pekarangan, serta burung-burung camar laut
meratapi feri yang berangkat pagi di kejauhan nan biru bening; kemudian
menuruni tangga demi menghitung kehampaan selama jam-jam terakhir yang tak ada
habisnya itu, sambil bergentayangan dari ruangan ke ruangan bagaikan hantu saat
senja, atau bergalau di dapur menjengkelkan Mbok P—
“Enggak pakai ginseng?”
“Tidak,” sembari menurunkan
sebotol bumbu dari lemari. “Saya sudah kasih tahu, Tuan Charles, di rumah tidak
ada ginseng—“
“Baiklah, bagaimana dengan
cula badak, apa kita punya bubuk cula badak?”
“Tuan Charles, saya tidak
tahu resep yang Tuan pikirkan itu, tetapi saya yakin sekali bahwa osso buco[2] tidak
membutuhkan ginseng, cula badak, lalat Spanyol, atau apa pun yang Tuan katakan
itu.”
“Yah, baik, tetapi ... maksudku
setidaknya nanti bakal ada tiram, kan?”
“Ya, Tuan Charles, tetapi
tolonglah, ripuh rasanya kalau Tuan terus-terusan mengawasi saya bekerja ....”
“Oh—baiklah.”
“Dan Tuan tidak akan sanggup
makan malam kalau terus-terusan memakan semua biskuit itu.”
“Aku enggak tahan,” sahutku
beribu-ribu maaf, seraya kembali menutup kaleng. “Rasanya aku enggak bisa
berhenti, pasti karena gugup atau apalah.”
“Mmm.” Ia mengambil secubit
ketumbar dari botol dan mengaduknya dalam panci yang berasap. “Tuan Charles,
maafkan saya tetapi akhir-akhir ini saya mendengar Tuan berbicara dengan Nona Bel ....”
“Oh?”
“Ya,” lanjutnya bimbang,
sambil tetap memunggungiku, “sewaktu Tuan bilang bank akan datang untuk
mengambil rumah ini ....”
“Aku paham.”
Kini ia berpaling padaku.
Kerut-merut penderitaan kentara di seputar matanya yang lelah. “Apa yang akan
terjadi, Tuan Charles? Ke mana kita akan pergi?”
Aku tidak merasa harus
membahas ini dengan Mbok P, urusan yang terutama demi keluarga; namun, ia berhak
memperoleh kepastian. “Aku tidak perlu mengkhawatirkan soal bank, Mbok P. Itu
urusan gampang.” Aku menyentuh bahunya dan menambahkan dengan nada berahasia:
“Lagi pula, aku sudah mengurusnya.”
Ia tampaknya tidak begitu
lega mendengar ini, namun berpaling saja ke panci tanpa menanggapi lagi.
“Aku akan pergi dan memeriksa
ruang makan,” ucapku ringan seraya meregangkan diri. “Mbok baik-baik saja kan di
sini? Mbok enggak merasa, tahu kan, marah atau apalah?” Ia menderak-derakkan
panci bergagang sebagai tanggapan. Sementara berjalan keluar, aku berhenti
untuk memandangnya kembali, berusaha merekam sosoknya: kedua sikunya yang merah
di antara panci-panci beruap, gelungan rambutnya yang ketat, lengkungan lembut
gemuk di bawah dagunya ….
“Aduh!”
… dan berpaling lekas ke
pintu tepat ke arah Bel. “Sori,” aku mengulurkan tangan untuk membantunya
bangkit. “Sini, biar kubawakan ….”
“Enggak apa-apa—tunggu, kamu
baik-baik saja?”
“Aku? Ya, tentu saja. Cuma
ada sesuatu di mataku.”
Aku mengikutinya ke ruang
makan, tempat ia meletakkan kotak perhiasan dan menyeka debu dari blusnya.
“Seberapa banyak sih yang mau
kamu turunkan? Sebab di loteng ada peti-peti berisi barang keluarga Bunda, kalau
kamu mau ….”
“Sebenarnya, kurasa tempatnya
sudah tidak muat.” Kami melontarkan pandang ke seluruh ruangan.
“Kelihatannya seperti gua Aladin
….” Harta benda berkedip dan berkilauan dari segala penjuru: gelang, cincin,
dan rantai kaki, batu lapis dan permata, akik dan safir, arca Hindu, permadani
Turki, pedang dan pistol antik, beberapa karya seni aneh dari Afrika, mutiara
hijau Tahiti yang menyeramkan, planetarium, amulet, selendang Bizantium ….
“Entahlah Charles, ini kelihatannya pamer
banget. Maksudku, kalau Caligula yang
mau datang makan malam sih, ini bisa dimaklumi. Tetapi ini Laura. Dan
kedatangannya untuk membicarakan asuransi.”
“Yah, banyak barang di sini
yang bisa diasuransikan olehnya, tidakkah menurutmu ia bakal senang?”
“Jangan bawa-bawa kalkulator
dan tabel aktuaria, aku yakin itu bakal bikin dia sibuk.”
“Ya, masukanmu sangat
membantu, nah bisakah kamu pegang tangganya sebentar ….”
Awalnya, sewaktu menyadari
aku ada dua perjanjian, sebagaimana yang kini terjadi, aku merasa harus
membatalkan acara makan malamnya. Sepintas, tidak banyak gunanya memantik roman
dengan Laura jika aku hendak, dengan segala maksud dan tujuan, mati keesokan
paginya. Namun semakin aku memikirkan itu—betapa lama aku menanti tibanya malam
ini, betapa banyak aku memimpikan momen ketika ia berjalan melewati
pintu—semakin aku mulai bertanya-tanya apakah kedua peristiwa ini entah
bagaimana berhubungan. Mungkinkah pertemuan pertamaku dengan Laura dan
pelarianku dari Amaurot ditakdirkan agar terjadi bersamaan? Apakah Takdir ini
tengah menunjukkan maksudnya, memberitahuku bahwa nasib kami harus tetap
terjalin? Jika ikatan di antara kami sekuat yang kurasakan, mungkinkah—hampir
aku tak berani memikirkannya—mungkinkah entah bagaimana kami melanjutkannya
bersama-sama, hingga ke alam baka, katakanlah? Bahwa ia akan membersamaiku
dalam kehidupanku yang baru?
Singkat kata, walau rasanya
agak merepotkan, aku memutuskan bahwa bagaimanapun juga makan malamnya harus
berjalan. Akan tetapi, mengingat keadaan, dan meskipun takdir kami bersilangan,
kupikir akan bijaksana untuk memburu-burukan sebisa mungkin. Inilah sebabnya
aku memasukkan afrodisiak ke dalam menu sebanyak yang diperbolehkan Mbok P,
serta mengumpulkan barang-barang berharga keluarga dari berbagai tempat di
seputar rumah dan memindahkannya secara en
masse ke ruang makan untuk malam ini (walau aku punya alasan tersembunyi
untuk aksi selanjutnya yang akan tetap rahasia hingga nanti). Mungkin Bel benar, mungkin ini sok
pamer, tetapi inilah kesempatan terakhirku untuk menyilaukan orang dengan
pameran kekayaan yang fantastis, dan kupikir aku mesti memaksimalkannya. Lagi
pula, jiwa pragmatis dalam diriku mendesak supaya aku melancarkan rayuan selagi
aku punya akses ke perangkat yang dibutuhkan, yaitu, ranjang; orang biasanya
tidak suka memburu-burukan hal ini, namun sementara ini aku tidak tahu posisiku
berada dua hari lagi, dan Casanova sendiri barangkali sudah hilang akal jika
setelah segala kerja kerasnya ia harus meminta para kekasih gelapnya kembali ke
sepetak rumput nyaman, atau ke balik tempat pembuangan sampah.
“Aku mau tanya—iyuh, Charles, di mana kamu menemukan
ini?”
“Itu namanya shunga, bentuk seni Jepang yang sangat
kuno dan indah …” sambil menyangganya di samping bros cameo dari zaman Victoria.
“Apa yang dilakukan lelaki
itu pada si perempuan? Apa dia punya dua penis? –aku mau menanyaimu soal Mbok P,
bukankah kemarin kamu memberinya libur seminggu?”
“Ya, tetapi—“
“Sebab ia sudah banting
tulang di dapur sepanjang hari.”
“Ya, tetapi aku hampir enggak
bisa memasak makan malam untuk diriku sendiri, kan? Enggak setelah yang
terakhir itu, maksudku aku enggak ingin meracuni cewek itu—“
“Masalahnya—topas ini
bagusnya di samping chryselephantine[3], bukan benda
gading kecil ini—aku mulai merasa kamu benar soal Mbok P jadi agak, tahulah …
sebab kamu mungkin enggak mendengar, cuma beberapa malam ini ia semacam menjerit-jerit ….”
“Menjerit-jerit?”
“Yah, mungkin persisnya bukan
menjerit, tetapi memanggil orang.”
“Kamu yakin itu bukan merak?”
Sejak dikerubuti parasit, merak-merak itu bergaduh heboh, suaranya membuatku
merinding—
“Bukan, itu jelas-jelas dia.
Tiap malam pukul tiga atau empat dini hari. Kedengarannya menakutkan. Hari ini
aku menanyainya apakah tidurnya nyenyak dan kelihatannya ia enggak paham yang
kukatakan.”
“Biar begitu, rasa masakannya
tidak terpengaruh kok.”
“Tetapi seharusnya ia enggak
bekerja, Charles. Ia kelelahan. Sudahkah aku memberitahumu teoriku tentang dia?
Aku membuat teori tentang dia.”
“Hmmm?” sambil menuruni
tangga dan melangkah ke belakang untuk meninjau pameran tersebut dari ujung
meja makan.
“Kupikir ini karena peristiwa
di Kosovo. Tahu kan, ia suka menonton semua laporan berita. Ia hampir-hampir
kecanduan. Kupikir gara-gara itu ia jadi kacau lebih daripada yang
diperlihatkannya pada kita.”
“Mmm.” Aku menyipitkan mata
ke arah meja rias melalui bingkai jempol dan telunjuk. “Tetapi, bukankah
sekarang semua itu sudah berakhir? Bukankah NATO menang?” Rasanya aku ingat
akhir-akhir ini para tukang bangunan mengutarakan tentang NATO memenangkan
suatu perang dengan menjatuhkan bom pada orang-orang entah di mana.
“Yah, bisa jadi itu reaksi
yang datang terlambat. Karena perang sudah berakhir dan orang-orang Kosovo pada
balik, baru sekarang ia terpukul. Mungkin reaksinya begitu juga sewaktu
orang-orang Serbia menyerbu Bosnia atau Kroasia atau dari mana pun ia berasal
…. Ya Tuhan, Charles, bisakah kamu membayangkan rasanya, semua orang malang di perkemahan yang buruk itu cuma menunggu dan mendengarkan cerita horor
tentang orang-orang yang enggak melarikan diri—enggak heran ia mengalami mimpi
buruk ….”
“Sehabis malam ini, ia bisa
beristirahat panjang yang tenang,” ujarku. Timbunan barang berharga ini tampak
bercahaya dengan sendirinya, cahaya tua renta yang berdebar dan berdesir
melingkupinya—
“Sehabis minggu depan ia akan
menganggur,” sungut Bel, dan menatap jam tangannya. “Kamu sudah kelar? Aku harus
berangkat.”
“Oh, oke, terima kasih sudah
bantu-bantu,” sambil buru-buru menggaet lengannya, “kamu balik kan malam ini?”
“Ya, mungkin—kenapa kamu
menatapku seperti itu?”
“Bukan apa-apa, cuma kupikir
nanti bakal, tahulah, senang saja melihatmu ….”
Ia mengangkat alisnya
ragu-ragu. “Baiklah, akan kuusahakan. Tetapi aku harus pergi nih.” Terdengar
derak van mendaki jalan di halaman. “Taik!” Ia melangkah panjang-panjang
menaiki tangga. Aku mendengar gerantangnya saat turun kembali dan ia menjambret
mantelnya dari lemari dinding, menyambut Frank di pintu lantas lenyap diiringi
obrolan terburu-buru yang riang; dan untuk sesaat lebih lama aku berdiri
berayun-ayun pada tumitku seakan-akan kepalaku habis dipentung. Malam ini,
batinku, seraya menarik napas: malam ini akan ada waktunya untuk bicara.
Sekarang, dengan satu-dua jam yang tersisa, aku kembali pada pengembaraan
sunyiku mengarungi rumah, dari ruangan ke ruangan nan kosong, bersama kupu-kupu
dalam perutku serta cahaya yang mengabur dan menyilau sepanjang tepian segala
sesuatu yang kupandangi seakan-akan berseru padaku selamat tinggal, selamat
tinggal—
Telepon di bawah berdering.
“Eh, halo, apa ini … C?”
“Alah, MacGillycuddy, apa
lagi kali ini?”
“Aku menelepon hanya untuk
memastikan segalanya sudah jelas untuk malam ini.”
“Kita sudah membahasnya ratusan kali, tentu saja semuanya jelas.”
“Baik,” ujarnya. “Jadi
sampean positif mau melakukannya begitu?”
“Ya, aku positif—begini,
MacGillycuddy, bisa enggak kamu menerima saja beginilah yang ingin kuperbuat,
dan berhenti berusaha mengubah pikiranku? Itu bukan sekadar lamunan kosong,
mengerti kan—“
“Baik,” sahutnya lagi.
“Aku sudah
mempertimbangkannya sungguh-sungguh, dan secara simbolis boleh dikatakan inilah
cara yang betul-betul terbaik untuk membereskan segalanya.”
“Bagus. Dan itu keputusan
akhirmu?”
“Ya.”
Muncul jeda termenung.
“Maksudku, sampean yakin enggak mau tenggelam, misalkan saja?”
“Tenggelam—hah, aku cuma bakalan terjun ke laut, ya kan? Bagaimana
kesannya itu padaku nanti?
“Jadi, taruhlah begini,
ceritanya sudah larut malam, sampean minum beberapa gelas—ini rencana sudah
tetap, ya, kalau sampean mau—sampean bilang mau makan angin sebentar di sekitar
pinggir jurang untuk menjernihkan pikiran. Nah, jurang itu bagi para
pemalsu-kematian benar-benar merupakan berkah, sampean harus tahu itu. Entah
bagaimana sampean enggak balik, dan keesokan paginya kami menemukan jam saku di
dahan terjulur—“
“M,” sambil mengalihkan
gagang telepon dari satu tangan ke tangan lain dengan gusar, “ini aku yang
mati, ya, dan kalau kamu kira aku bakal membiarkan setiap orang yang kukenal
mengatakan, Oh, kasihan Charles, lagi-lagi mabuk, memalukan saja—maka
mendapatkan suasana yang pas itu
penting, tahu?” Orang ini benar-benar tidak mengerti soal suasana. “Suasananya
tuh harus kena. Ini kematian yang
harus memberi orang-orang jeda, supaya mereka mengheningkan cipta, merenungkan
lagi harkat mereka, menyadari bahwa
aku yang benar dan merekalah yang salah. Dalam kaitannya dengan—“
“Simbolisme, iya, iya,”
MacGillycuddy menyela, “tentu saja, iya, sampean memang harus memerhatikan soal
itu. Tetapi hal lain yang sampean harus pastikan yaitu apa itu realistis,
sampean kan tahu polisi—“
“Realisme?!” ulangku tak percaya. “Kapan sih kalian orang-orang
bakal berhenti mempersoalkan realisme terkutuk? Apa orang bahkan enggak boleh mati, tanpa harus merisaukan kematiannya
itu realistis atau enggak?”
“Tetapi, Folly kan enggak
tahu-tahu saja meledak.”
“Tentu saja bisa, selalu ada
saja benda yang meledak.”
“Iya, tetapi biasanya ada
sebabnya dan bukan cuma karena—“
“Akan ada sebabnya,” apakah ia menganggapku tolol, pesolek bertangan
pengkor yang buta akan cara dunia berjalan dan penyebab adanya ledakan?
Gagasan itu menghampiriku baru beberapa
hari lalu, sewaktu para tukang bangunan menjelaskan tentang pemogokan terakhir
mereka—ada hubungannya dengan bujukan pemerintah agar negara bergabung dalam
NATO sementara Dail[4]
ditutup selama liburan musim panas: “Malu-maluin aja, Pak H, apalagi habis
kejadian belakangan. Sekutu Perdamaian apaan, paling-paling nimbunin misil di
kebun belakang atau ngebomin rumah sakit—“
“Ya, aku, mmm ….”
“Jadi, nanti lagi, ya. Oh,
iya, kami belum kelar masang gasnya, jadi jangan dulu nyalain api di dalam atau
apa gitu, ha ha! Dah.”
Aku menerangkan semua ini
pada MacGillycuddy. “Jadi mengerti kan, ini sangat masuk akal: ceritanya sudah
larut malam, aku keluar menuju Folly untuk meninjaunya sebentar sebelum tidur,
lalu enggak sengaja aku menyalakan api buat apalah, dan bum! Aku meledak
berkeping-keping. Paling-paling orang tahunya itu karena kebocoran gas. Ini
sepenuhnya meyakinkan. Kejadian seperti ini barangkali sudah lazim, begitulah.
Enggak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Baiklah,” desah
MacGillycuddy, “baiklah. Akan kusiapkan.” Dan ia menyebutkan waktu ketika aku,
Charles, harus berada di Folly sepatutnya aku ingin meledak bersama bangunan
itu.
“Bagaimana perkara lainnya?”
sambungku. “Perangkap Frank, tahu kan yang mesti kamu perbuat?”
“Ya, siaga di sebelah luar
ruang tamu pada—“
“Bukan ruang tamu, sialan,
ruang makan! Semuanya ada di ruang makan, enggak ada apa-apa di ruang tamu, buat apa memfilmkan
tempat itu?”
“Oke,” sahutnya
lambat-lambat, “jadi aku siaga di sebelah luar ruang makan dari pukul sebelas, dan kalau-kalau ia mengambil apa
pun—“
“Oh, ia pasti mengambil sesuatu, kendali dirinya seperti pelacur
Tesalonika—“
“—lalu filmnya kuberikan pada
adikmu, betul begitu?”
“Ya, tanpa nama, ya, dia enggak boleh tahu pembuatnya. Dengan begini aku
sekadar menunjukkan fakta, aku enggak melanggar kesepakatan—kami punya
kesepakatan, mengerti kan.”
“Ah baik ….” Di luar, petang mulai
luruh; tidak lama lagi Laura tiba. Buru-buru kami mencermati perincian sisanya,
perkara-perkara yang relatif remeh—ia akan memperoleh uang tunai dari diriku,
dan memesankan tiket pesawat dengan nama samaran. “Kenapa Cile?” tanyanya.
“Karena anggurnya lah.”
“Oh.”
“Pasti lah ada masalah
penyesuaian diri, kesembronoan masa muda, tetapi itu semata menunjukkan tanda
menuju kedewasaan yang gemilang.”
“Oh,” ucapnya lagi, lantas,
setelah berjeda: “Begini, kalau-kalau aku enggak bertemu sampean lagi, semoga semuanya
baik-baik saja, ya? Serius ini.”
“Terima kasih,” sahutku, agak
tersentuh; dan gagang telepon pun mengeklik putus di telingaku.
Lagi-lagi aku merasa ada
cengkeraman dingin pada perutku. Sudah tidak bisa kembali lagi sekarang; bunyi
klik tadi telah mengakhiri masa beliaku. Pengasinganku dari Amaurot sudah nyata dimulai. Sesaat
aku panik: ke mana aku akan pergi? Apa yang akan kuperbuat? Apa ada roti sabit
di Cile? Tetapi itu hanya sesaat. MacGillycuddy benar, orang harus bersikap
positif; dan dilihat dari sudut pandang lain ini menggairahkan, mengalami
kehidupan yang sarat persekongkolan dan akal bulus. Barangkali inilah yang dirasakan semua orang lainnya,
berbaris ke kantor atau pabrik stoples tempat mereka bekerja setiap pagi. Bagi
mereka, setiap hari merupakan petualangan baru. Dan sebentar lagi, tentunya,
aku akan berada di antara mereka; sebentar lagi aku akan berada di tempat yang
sangat jauh dari sini, membebaskan diri dari segala kesulitanku, dan apa pun
yang terjadi tidak akan ada lagi artinya bagiku …. Meski, terlepas dari upaya
terbaikku, sebagian diriku sudah memelihara mimpi akan suatu hari pada masa
depan yang samar ketika aku akan kembali: merayap melintasi rumput selebat
jenggot Fidel Castro dan melawan keletihan demi mengintip lewat gorden ruang
duduk, tempat Bel dan Bunda—yang sudah menua dan berambut perak—berjeda di sela
menjahit dan dengan prihatin mengenang putra dan abang mereka yang mulia, yang
tempat duduknya di muka perapian masih terpelihara; lantas meneruskan kembali
jahitan mereka, aman dan tenteram dalam ilusi megah yang kuwariskan pada mereka
….
[1] Alkimis dalam legenda Jerman
yang menjual jiwanya pada roh jahat Mephistopheles demi memperoleh ilmu
pengetahuan dan kekuasaan duniawi.
[2] Makanan khas Italia berupa
sumsum sapi yang direbus dengan sayur, anggur putih, dan kaldu.
[3] Pahatan terbuat dari gading dan
emas dari masa Yunani kuno
[4] Majelis rendah parlemen Republik
Irlandia