Atau boleh jadi kejadiannya sama sekali
bukan seperti itu. Boleh jadi itu cuma fantasi bodoh yang kureka sendiri. Boleh
jadi kami telah menerima surat yang sangat indah dari bekas teman sekolah Bel
yang menunggu Bel datang malam itu, yang telah mengebel rumah namun tidak bisa
masuk dan karena panik menaiki taksi pergi ke bandara sendirian, menaiki
pesawat sendirian dan tiba sendirian di suatu kota wisata di Rusia tempat ada
berita menunggu dia, tempat dia menontonnya selama seminggu sementara badai
salju mengamuk di luar jendelanya hingga jalanan cukup bersih sehingga dia
dapat balik dan pulang lagi, namun terlalu terlambat, terlalu terlambat untuk
pemakaman. Atau boleh jadi itu telepon salah sambung waktu itu, atau itu Frank,
yang menelepon untuk menanyakan kalau-kalau aku mau dibelikan kebab ketika dia
dan Droyd sedang di kedai kebab, atau orang lain, misalnya Patsy Olé, yang
menanyakan kalau-kalau aku mau menemui dia.
Kamu
bisa memilih alternatifnya sesukamu, disertai mimpi-mimpi tiada akhir berisi
lengan-lengan yang dililiti rumput laut, serta kilasan tak terhitung dirinya di
awan, baliho, wajah orang-orang asing. Namun inilah versi yang kusuka: versi di
mana dia berbaring terjaga malam-malam, merangkai rencananya; di mana ia
terbebas dari kehidupannya, dari namanya yang sulit dieja, dan sirna diam-diam;
ke semesta MacGillycuddy, tempat orang-orang menghilang sekadar untuk muncul
lagi di tempat lain, dengan aksen Perancis dan kumis plasu, tempat segalanya
terus-menerus berubah dan tidak seorang pun pernah mati.
“Kenapa mereka bilang lagi berada di
atas? Atas kan semestinya berarti hal baik. Kelas atas. Tangan di atas. Orang
pastinya berada di bawah, kalau enggak ada uang.”
“Entahlah,”
kataku.
Aku
dan Patsy sedang berjalan-jalan di pantai di belakang gudang. Saat itu sudah
larut dan sangat dingin, sementara malam bergulung di atas laut biru dan
berbintang bak hiasan kertas murahan. Patsy masih mengenakan tanduk busa dari
tempat kerja. Ia telah kembali dari Wisata Akbar demi mendapati keluarganya
yang terlibat dalam pengadilan menyeramkan: ayahnya hampir tiap minggu berada
di Kastel Dublin, menjawab berbagai pertanyaan tentang berbagai pembayaran yang
semestinya, serta pertemuan-pertemuan yang dihadirinya tiga atau empat tahun lalu, bagaimana mungkin ia
mengingatnya? “Dan sekarang ini semua rekening dibekukan. Maka beginilah aku,
menyajikan kopi dan panini sialan
kepada para idiot.”
“Enggak
seburuk itu ah.”
“Memang
buruk. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini.” Ia mengeluarkan rokok. “Tanduk,
Charles. Orang lalim macam apa yang memaksa
orang lain pakai tanduk? Zaman Nazi di Jerman mereka enggak menyuruh orang
pakai tanduk. Harus ada yang mengadukannya pada Amnesty International.”
“Kelihatannya
cukup bagus.”
“Charles
sayang.”
“Sori.”
“Kuharap
kasusnya bakal reda dalam waktu dekat,” ucapnya, seraya mengembuskan lingkaran
panjang asap. “Maksudku itulah bagusnya kejahatan kerah-putih, bukan? Enggak
ada yang sungguh-sungguh peduli.”
“Tapi,
kamu pasti merasa sangat berat,” kataku lembut.
Ia
menepukkan kedua belah tangannya seperti hendak bersemedi. “Aku tahu Ayah bukan
orang suci,” ucapnya. “Tapi Charles, memang siapa sih yang suci? Orang harus
mengotori tangannya, kan, kalau mau sukses? Lagi pula, kamu tahu berapa bayaran
para pengacara pengadilan ini? Mereka dibayar jauh lebih tinggi daripada gaji Ayah sendiri. Harus ada yang
menyeret mereka ke hadapan hakim
betulan.” Ia mendesah. “Membosankan sekali. Yang Ayah lakukan kelihatannya cuma
mondar-mandir di rumah cari dokumen lalu membakarnya di halaman belakang.
Semestinya kamu lihat api Hallowe’en kami tahun ini, Charles. Sudah serupa
Menara Api. Dan ia mengambil kartu
kreditku.” Ia mengibaskan rokoknya ke laut. “Bosannya sudah tidak terkata lagi deh,” ucapnya, seraya
menyipitkan mata menghakimi seluruh peradaban.
Kami
berjalan agak jauh lagi. Sempat di tengah jalan, tangannya menggapai tanganku,
lalu kami mengayun-ayunkannya melawan dingin, serupa anak kecil.
“Bagaimana
dengan kamu?” Ia melirik padaku.
“Entahlah,”
sahutku. “My heart will go on,
kayaknya sih.”
Tatapannya
merenung pada kabut hujan yang tertiup ke tanggul dari laut. “Negeri terkutuk
ini,” ucapnya. “Kok bisa orang hidup di negara yang hujan melulu?” Ia mendesah.
“Mungkin gagasan Hoyland benar—aku bertemu Hoyland kemarin, aku sudah bilang
belum sih? Dia pikir sebaiknya kita
semua berhenti berusaha di tempat yang mengerikan ini. Pindah ke pulau tropis,
lalu memulai masyarakat superior kita sendiri di sana. Kamu mengerti kan, kita
bisa punya ternak lebah, lapangan polo, dan seterusnya.”
“Sembilan leret buncis ‘kan kudapat di situ,”
deklamasiku tanpa sadar, “sarang untuk
lebah madu[1] ….”
“Hah?”
“Eh,
sori. Yeats. Sori. Idenya rada mirip, dengan yang tahun 1900-an. Enggak tahan
sama tempat ini. Idenya tentang Irlandia yang mistis dan magis, ingin supaya
semua orang pada berdatangan. Utopis begitulah. Sudah pasti mustahil. Enggak
mungkin bisa.”
“Memang
sih, tetap ada orang yang mesti disuruh bersih-bersih …” ucap Patsy penuh
pertimbangan, seraya mengusap dagu, lantas melontar kedua tanganya ke atas.
“Oh, tak ada harapan, sama sekali tak ada harapan!”
Baliho
di sebelah atas jalan memandang ke arah pantai. Gambarnya menampakkan seorang gadis cantik mengenakan pakaian kumal lagi
compang-camping. Wajahnya bernoda debu dan air mata. Ia menatap dengan
berapi-api dari reruntuhan kota yang habis dibom. TIDAK BISAKAH KITA
MEMBICARAKANNYA? terbaca slogan di bawah baliho, dengan logo Telsinor di pojok
kanan bawah. Dulu aku kenal gadis itu, kataku pada Patsy.
Angin
berembus. Air terburai. Tanjung di timur dan barat melontarkan lengannya ke
seputar laut, seakan-akan hendak menahan sesuatu yang begitu ingin pergi. Bak
foto, pikirku. Bak foto-foto di buku tahunan itu, gadis-gadis berkepang dan
berponi kuda yang menatap padaku dan temanku-temanku sementara kami berimpitan
di balik paviliun kriket; gadis-gadis yang kini memulai persimpangan
masing-masing, namun akan tetap bersama kami, untuk bahan tebakan dan desahan,
dalam bentuk sepersekian detik sebelum diafragma jatuh; sebelum diagram jatuh
dan kamera mengeklik, lalu semua orang tertawa dan mengganduli satu sama lain,
dan terkikik-kikik memasuki bingkai berikutnya yang hilang dari kehidupan
mereka, dan berikutnya, dan berikutnya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar