Saat itu awal Maret
dan aku sedang mengunjungi kampung halamanku di Finlandia. Aku berjalan menjauh
dari Turku, sambil berusaha mencari tebengan ke rumah ibuku di Joutsa. Hari itu
cerah lagi menyenangkan, tapi angin musim dingin membuat udara yang
jauh-di-bawah-minus terasa cukup kering. Mobil-mobil yang melintas mengangkat
salju dan awan debu ke udara.
Aku mencari
tempat menebeng yang sempurna: halte bis tepat setelah lampu merah. Sekarang
semestinya jadi mudah. Aku menaruh ransel di depanku, untuk mengirim pesan kepada
para pengemudi bahwa aku pengelana yang bisa dipercaya dan bukan sekadar orang
sembarangan yang mengacungkan jempol sembari tersenyum bak idiot.
Di papan tandaku
cuma tertulis 20 km. Bertahun-tahun
mengembara bikin aku malas mengubahnya tiap kali aku pergi ke tujuan baru. Lagi
pula, selembar kertas kardus yang berharga ini telah membawaku lebih dari
200.000 km melintasi Eropa, Turki, Maroko, Meksiko, dan Amerika Tengah. Tiket
perjalanan yang cukup hebat, kan?
Terlepas dari
segala pengalaman itu, rasanya masih agak canggung berdiri di pinggir jalan.
Sekarang ini bukan perilaku lumrah berusaha meminta orang yang sama sekali
asing berhenti supaya kita bisa mengurung diri di ruangan tertutup bersama
mereka.
Satu demi satu
mobil menderu. Tiap tiga pengemudi, ada yang sedang bertelepon dan tidak
memerhatikanku. Huh. Perbuatan itu kan melanggar hukum. Ada juga yang
melambaikan tangan menyapa. Huh. Halo. Sangat sedikit yang mengilaskan senyum.
Kebanyakan cuma melihat ke jalan atau lampu belakang mobil di depan mereka.
Huh. Huh. Huh. Baru setelah lama ada pensiunan sopir taksi yang berhenti dan mengantarku
sejauh lima kilometer yang luar biasa.
Proses menunggu
yang sama memfrustrasikannya berlanjut di halte bis berikutnya. Dengan segera
angin bertambah kencang. Tiap truk yang melintas hampir-hampir miring ke arahku
dan mengangkat awan debu yang memenuhi mata dan lubang hidungku. Udara mulai
dingin.
Aku mengeluarkan
pakaian lagi dari ranselku dan menambah lapisan. Aku muak dengan tempat
berangin. Pengunjung pompa bensin yang ramah menasihatiku untuk berjalan ke
tempat yang lebih baik. Aku menurutinya.
Di sini juga
tidak beruntung. Entah bagaimana agaknya sekarang ini menebeng semakin
menantang. Mungkin karena cuaca sedang terlalu cerah. Biasanya menebeng saat
musim dingin itu gampang sebab orang tahu kita akan membeku. Namun sekarang
empatimeter menunjukkan warna merah. Aku lanjut berjalan kaki.
Akhirnya, di
kejauhan, ada mobil yang berhenti. Aku berjalan lambat-lambat ke depan sebab
aku tidak percaya mobil itu berhenti untukku. Meski begitu, mobil itu tetap di
sana. Pengemudinya tampak menunggu sesuatu. Atau seseorang. Siapakah? Aku? Aku
menapakkan kaki ke mobil itu. Jendela sampingnya terbuka.
“Masuklah! Saya
bisa mengantarmu sampai persimpangan Jokioinen,” seru si pengemudi pria
diiringi senyum di wajahnya. Aku pun masuk. Pria itu memperkenalkan dirinya
sebagai “kulukumulukku” yang terjemahan bebasnya bajingan yang sering ke sana kemari. Dengan kata lain, dia sales representative yang pada dasarnya
mencari nafkah dengan berkendara menemui klien. Ia senang punya teman di jalan
yang sepi. Percakapan kami meriah.
Persimpangan
tempat dia memberhentikanku tidak bagus buat menebeng. Aku harus berjalan
sekitar lima kilometer, tanpa henti sampai Forssa. Kemudian aku memulung di
tempat sampah pompa bensin dan menyambar makan siang untuk dibawa jalan: roti
dan keju asap.
Tumpangan
berikutnya aku dapatkan dengan bertanya ke sana-sini di pompa bensin. Akhirnya
aku berpindah tempat dengan cara yang layak dan berhasil menempuh sejumlah
jarak: Riihimäki. Centang! Lahti.
Centang! Heinola! Sial! Aku mandek lagi, dan hari mulai gelap. Bagus.
Aku mengenakan
rompi pemburu oranye menyala dan menghiasi diriku dengan reflektor seakan-akan
aku ini pohon Natal. Aku mengisap rokok pemberian orang dan keputusasaan
bertambah-tambah seiring dengan lekas menghilangnya terang.
“Tenanglah,” aku
membatin, “ingatlah: kalau kamu mandek artinya akan segera ada kejadian
menakjubkan.”
Seorang pemuda
dalam mobil yang melintas meneriakkan kata-kata cabul, yang singkatnya
memberitahuku akan pendapatnya soal menebeng kendaraan serta anggapannya akan
orientasi seksualku. Memang menakjubkan sih.
Hampir saja aku
menyerah dan tumbang di salju. Sebuah mobil berhenti. Ada pemuda lainnya yang membawaku
dan mengantarku sampai ke tujuan. Tumpangan langsung! Nah inilah kejadian
menakjubkan yang kunantikan tadi.
Tips untuk transportasi gratis:
Perlawatan Ringan: Bersepeda, Menebeng, Bersantai
Peregangan Berat: Kebebasan Menebeng Gratis
Perjalanan Menakjubkan: Jalan Kaki Jarak Jauh
Perlawatan Ringan: Bersepeda, Menebeng, Bersantai
Peregangan Berat: Kebebasan Menebeng Gratis
Perjalanan Menakjubkan: Jalan Kaki Jarak Jauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar