Abad mobil bermesin pembakaran yang patut disayangkan
ini perlahan menuju akhir. Para perencana kota di mana-mana mulai membicarakan
pendekatan yang lebih manusiawi sementara kemacetan lalu lintas diarahkan
menjauhi pusat kota. Ini berita baik bagi mereka yang menikmati bersepeda.
Sepeda adalah moda transportasi
yang cocok bahkan untuk jarak jauh. Saya sendiri belum pernah menggunakan
sepeda untuk menjelajah tapi Matti teman saya adalah pesepeda yang bersemangat.
Ia berbagi pengalamannya:
“Saya sudah bersepeda ke Finlandia, Estonia,
Swedia, Denmark, Belanda, Jerman, Swiss, Belgia, dan Irlandia. Saya belum
pernah melakukan perjalanan yang lebih jauh, paling lama beberapa minggu sekali
jalan. Saya bersepeda tiga sampai lima ribu kilometer tiap tahun.
“Bersepeda
merupakan cara terbaik untuk bepergian—dan hampir-hampir gratis. Ketika
menebeng, kita bertemu orang dalam ruangan tertutup yang intim di mobil. Ketika
bersepeda, kita bertatap dan berbagi senyum dengan setiap pejalan kaki serta
sesama pesepeda yang kita temui. Seorang pesepeda tidak dilindungi dinding di
sekitarnya. Ia terbuka menyambut persahabatan baru. Kantung-kantung sepeda
menimbulkan perhatian dan minat dari orang yang lewat, terutama anak-anak.
“Kebebasan yang
dialami pesepeda adalah yang tertinggi. Ketika berada di atas sepeda, kita
tidak dibatasi oleh jadwal apa pun, rute orang lain, atau bahkan lokasi
penginapan yang mungkin. Dengan perlengkapan berkemah, rumah kita berada tepat
di tempat yang kita inginkan—hari ini di pinggir pantai, besok di pegunungan,
dan lusa di tempat kenalan baru yang baik dan pemurah.
“Sepeda membawa
kita ke daerah-daerah yang tidak dapat dilalui mobil, serta ke tempat-tempat di
luar jangkauan pejalan kaki. Mengayuh pedal meningkatkan peredaran: baik aliran
darah maupun pikiran. Pesepeda melintasi desa-desa kecil serta kawasan-kawasan
yang jarang dimukimi. Bahkan kota-kota besar pun dapat dijangkau dengan bebas
dan cepat sekiranya kita menemukannya. Pilihannya ada pada si pengayuh pedal.
Kita bisa bertindak sesuka hati.”
Di perjalanan saya bertemu banyak orang yang bagian
belakang kapal-perangnya telah disesuaikan untuk ribuan kilometer bersepeda.
Misalnya saja rute dari Alaska ke Argentina bagi para pesepeda agaknya sama
sucinya seperti Camino de Santiago bagi para peziarah yang berjalan kaki.
Asalkan Anda punya akses pada
sepeda roda dua yang layak dan meyakini kemampuan fisik Anda, bersepeda
merupakan sarana bepergian yang patut dipertimbangkan. Bersepeda memberi Anda
udara segar dan olahraga. Tinggal sediakan cukup waktu dan camkan bahwa bukan
tujuannya yang penting melainkan perjalanannya.
Ada kotamadya-kotamadya maju
seperti Tallinn, ibu kota Estonia, yang telah menerapkan transportasi umum
gratis bagi warganya. Kalau ada perpustakaan gratis, kenapa tidak dengan bis?
Karena nilai-nilai ramah lingkungan menjadi kian penting dan polusi perlu
dikurangi, cara-cara ini sepertinya akan menjadi semakin umum. Dengan
berkurangnya sumber daya minyak serta penggunaan kendaraan otonom (mobil robot
yang dapat mengemudi sendiri), pemilikan mobil pribadi tampaknya konyol,
berbahaya, dan tidak etis. Seperti yang sudah dikatakan, yang penting adalah
akses, bukan pemilikan. Meski begitu, selama praktik tersebut berlanjut, boleh
jadi masuk akal untuk terus mencoba mengisi si peminum-rakus-bensin sebanyak-banyaknya.
Salah satu cara tradisional untuk berbagi transportasi
adalah gilir tumpangan (carpooling).
Kalau Anda perlu bepergian dari satu tempat ke tempat lain, tanyailah
teman-teman atau para kolega Anda kalau-kalau mereka bisa mengantar Anda secara
cuma-cuma. Atau, kalau Anda tidak sungkan menanyai orang asing, carilah di
forum daring. Misalnya saja, di Facebook ada banyak grup berbagi-tumpangan di
daerah, desa, dan kota tertentu. Tapi, perlu dicatat, biasanya ada sumbangan
uang bensin.[1]
Siapa tahu, pengemudinya penasaran dengan cerita Anda dan mau menggratiskan
tumpangan. Malah ada pengembara-pengembara yang menggunakan Craiglist[2] dan Tinder[3] untuk mencari
tumpangan.
Untuk transportasi di dalam
perkotaan, pilihan terbaik adalah jalan kaki. Kenapa tidak menggunakan kedua
kaki kita sendiri jika tidak ada jadwal yang membatasi? Malah kadang-kadang
saya menebeng juga dalam kota, seringnya untuk senang-senang saja. Saya bisa
melipat papan tanda 20 km milik saya
sehingga menjadi 2 km. Jadilah
kreatif! Saya telah mendapatkan tebengan tanpa menggunakan apa-apa selain
sebuah tanda panah.
Akhirnya ada transportasi umum.
Kalau Anda tidak berkeberatan mengobrol asyik dengan pemeriksa tiket, jangan
sungkan untuk menggunakan bis, trem, dan kereta juga. Karena saya jarang
terburu-buru kala bepergian ke mana pun, saya hanya menggunakan transportasi
umum ketika ada teman atau perlu waktu berjam-jam untuk keluar kota.
Salah seorang teman saya yang hidup tanpa uang, Daniel
Suelo[4], pernah memberi
saya nasihat emas: Kalau kita merasa sebaiknya tidak menggunakan layanan
tertentu karena tidak punya uang, berarti kita masih dibatasi sistem uang.
Menurut dia, hidup tanpa uang semestinya tidak menghentikan orang dari
menggunakan layanan yang dibayari orang lain. Satu-satunya rintangan nyata
adalah blokade mental kita sendiri. Toh kereta akan terus jalan, dengan atau
tanpa kita menaikinya.
Salah satu orang paling hebat yang saya kenal hidup
tanpa uang, Elf Pavlik[5], menggunakan
selembar tiket “Tanpa Tiket”, sebuah emblem yang menjelaskan tentang apa yang
dia lakukan serta kenapa, menolak untuk membayar dan alih-alih menawarkan
kecakapan serta jasanya kepada kota secara cuma-cuma.
Tapi bagaimana mungkin orang
tanpa uang menggunakan feri dan transportasi lain yang biasanya mengharuskan
ada tiket? Mengendap-endap tanpa izin? Tidak. Ada cara untuk juga menggunakan
layanan ini secara gratis. Saya bisa saja memberinya nama keren seperti
“interdependensi proaktif” tapi mari sebut saja: menebeng tiket.
Aku telah menebeng dari Turki sampai
Stockholm. Perjalanan masih luar biasa jauh melewati Swedia Utara untuk kembali
ke Finlandia, 1.800 km lagi. Walaupun aku sudah sering melalui rute ini,
gagasan menebeng ke lingkar arktik pada musim dingin menegakkan bulu romaku.
Feri dari
Stockholm ke Turku hanya 15 Euro, tapi menurutku itu 15 Euro terlalu mahal.
Meski begitu, aku memutuskan untuk mencoba peruntunganku di terminal Viking
Line. Kebetulan aku tahu bahwa beberapa orang yang habis berbelanja di toko
bebas pajak di feri, turun ke darat dengan mengantongi tiket pelayaran gratis.
Maka, aku membuat papan tanda yang dalam bahasa Finlandia bertulisan: “Ada
kelebihan voucer hadiah?”
Saat itu pukul
enam pagi. Aku berdiri di pintu keluar terminal dan menanti orang-orang yang
datang dari feri. Segera saja gerombolan orang bergegas keluar dan aku mencoba
mengangkat papan tandaku tinggi-tinggi, sambil tersenyum rikuh di sela-sela
mereka.
Sayangnya,
kebanyakan penumpang orang Rusia yang tidak mengerti tulisan di papan tanda
sementaraku ini. Ada yang berhenti untuk membaca, menggeleng, lalu terus jalan.
Kebanyakan tidak mengacuhkanku. Aku menunggu dengan sabar dan memastikan setiap
orang telah keluar. Sial.
Aku tidak
menyerah. Aku putuskan untuk mengulangi langkah itu di depan meja pendaftaran.
Dalam sekitar lima menit saja, seorang wanita Finlandia menghampiriku, sembari
memegang kartu kunci ke kabinnya. “Saya punya tiket bolak-balik tapi saya
menetap di Stockholm. Bawalah ini dan pergilah,” anjurnya. Ia menyerahkan kartu
itu padaku.
Agak kaget
berkali-kali aku berterima kasih padanya dan memeriksa lagi kalau-kalau benar
tidak apa-apa menggunakan kabinnya. “Lewati saja gerbangnya dengan kartu ini.
Tidak akan ada yang memeriksanya,” ia mendorongku, mengucapkan salam
perpisahan, dan berjalan pergi.
Memang aku
berhasil ke feri tanpa masalah dan memasuki kabin gratis itu. Aku membuka
bangku tidur sebelah atas dan berbaring. Aku menyalakan televisi dan
mendengarkan bahasa aneh yang digunakan dalam program TV itu: Bahasa Finlandia.
Aku berusaha
tidur. Ketika lapar, aku mampir ke bufet. Setelah sejumlah pertimbangan dan
diskusi dengan si bos, mereka membolehkanku untuk mengambil sepiring penuh
makanan lezat khas Utara secara cuma-cuma.
Di akhir
pelayaran ada yang mengetuk pintu. Wanita itu petugas kebersihan. Ia memandang
kedua bangku tidur yang tergelar. “Jadi Anda pakai dua-duanya,” ucapnya dan
menggaruk belakang kepalanya terlihat bingung. Aku cuma bergumam tidak jelas
sebagai jawaban. Aku enggan menceritakan seluruh ceritanya, bahwa sesungguhnya
ini bukan kabinku sama sekali.
Perjalanan makan
waktu seharian dan langit sudah gelap lagi. Tapi aku sungguh-sungguh bersyukur
bahwa aku tidak harus tetap berada dalam cuaca musim dingin membekukan berusaha
mencari tumpangan dengan cahaya matahari yang sangat sedikit. Dua puluh menit
sebelum tiba di Turku aku berderap ke dek mobil. Bagaimanapun juga aku tidak
punya rencana. Bahkan tidak seorang pun yang tahu aku sudah balik ke Finlandia.
Tidak ada tempat tinggal. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah ribuan kali dalam situasi
ini.
Aku menghampiri
seorang pria pengendara van dan menanyakan tujuannya. Ia terlihat sangat curiga
dan memantulkan pertanyaan yang sama kembali kepadaku. “Mana pun. Saya hanya
perlu keluar dari Turku,” jawabku. Ia merengut dan menggeleng-geleng.
Untungnya seorang
sopir truk menampungku dan mengantarku ke Helsinki. Dari mana asalmu tanyanya.
“Turki,” jawabku menyengir lebar.
Bahkan perjalanan jarak jauh
pun bisa dilakukan dengan menebeng secara sopan dan sabar. Misalnya saja, Anda
bisa mencoba mencari orang dengan jarak penerbangan yang tidak dimanfaatkan.
Ada poin bonus yang diberikan untuk orang yang sering terbang dan dapat
dimanfaatkan untuk membeli tiket penerbangan. Maka, tanyakanlah ke sekitar
entahkah pada teman-teman dan para kenalan atau orang-orang yang sama sekali
tak dikenal di bandara.
Orang-orang bersetelan
merupakan kelompok sasaran paling menjanjikan. Mereka sering bepergian untuk
urusan bisnis. Tapi orang-orang biasa pun bisa jadi pelancong yang giat dengan
jarak penerbangan lebih yang bisa dibagikan. Apalagi orang yang bepergian
karena urusan pekerjaan boleh jadi tidak pernah sempat untuk menggunakan poin
bonus mereka sebelum kedaluwarsa. Di antara orang-orang ini, mungkin saja ada
seorang pemurah yang akan senang untuk mendukung perjalanan Anda. Tinggal catat
bahwa jarak penerbangan tidak dapat mencakup pajak bandara. Karena itu, ada
sedikit biaya diperlukan.
Seminggu lebih aku menekuri jalanan Kota
Panama dan berusaha mendapatkan kapal yang menuju Kolombia. Aku bertekad untuk
menebeng sampai Brasil tapi seiring dengan menguapnya kemungkinan yang
menjanjikan, satu demi satu, tekad itu benar-benar menjadi ujian.
Pertama-tama aku
mencoba peruntungan di marina-marina sisi pedesaan kecil, tapi aku tidak
mendapatkan apa-apa selain para kapten tua Swedia yang hampir menjadi
alkoholik. Mereka tidak hendak menjalankan kapal mereka dalam waktu dekat. Aku
telah memasang beberapa iklan “Kru Tersedia” di papan-papan pengumuman, meminta
petunjuk dan jaringan di antara para pelaut. Tidak ada jawaban positif. Aku
mulai muak. Ini bukan pertama kali aku sama sekali mandek dalam menebeng kapal.
Di salah satu
marina Kota Panama, aku bertemu seorang insinyur kapal baik hati dari Belanda.
Namanya Peter. Karena pekerjaannya, ia sering terbang, berselang-seling antara
Amerika Selatan dan Tengah, memperbaiki kapal-kapal. Peter terkejut mendengar
lamanya aku telah berkelana dan menantangku untuk mempertimbangkan berhenti
melakukan perjalanan ini. Aku memberi tahu dia soal kemalangan-kemalanganku dan
mengakui bahwa aku sudah mulai kecewa akan perjalanan sialan ke Amerika Selatan
ini, sehingga aku tidak berkeberatan balik ke Eropa.
Lantas Peter
menyebutkan bahwa ia baru saja mendapati ternyata ia memperoleh banyak jarak
perjalanan yang tidak dimanfaatkan. Majikannyalah yang telah membayari semua
penerbangan itu. Ia mau membantu dan berkata ia akan mengecek ke perusahaan
kalau-kalau jarak penerbangannya bisa dimanfaatkan untuk menutupi tiket
perjalanan orang lain. Aku menerima gagasan itu dengan perasaan bercampur aduk.
Di satu sisi, tidak berhasil ke Amerika Serikat terasa bak kekalahan. Tapi aku
mulai capek berkelana terus-terusan. Boleh jadi ini tanda. Apa gunanya
melanjutkan kalau tidak ada lagi hal baru yang kupelajari di samping aku merasa
tidak mampu memanfaatkan seluruh potensiku untuk membantu orang lain? Mungkin
ini saatnya untuk beranjak.
Aku terus
berkeliaran di jalanan Kota Panama, menggelandang tanpa tujuan dan membunuh
waktu, mengecek surel dua kali sehari di hostel yang manajernya tidak
berkeberatan aku menggunakan sambungan internet mereka. Setelah dua hari, aku
menerima surel dari Peter. Katanya: “Berita baik! Aku bisa membawamu gratis ke
Helsinki kalau kamu ada cara untuk membayar pajak bandara 100 €.” Sekalipun aku tidak punya seratus dolar, aku tahu ini tawaran
yang sebaiknya tidak kutolak. Aku yakin.
Sudah waktunya untuk mengakhiri pengembaraan tanpa tujuan ini.
Menggunakan
Facebook, aku menanyai teman-temanku sekiranya ada yang bersedia memulangkanku
ke Finlandia. Dalam dua jam saja teman-temanku telah membuat urunan untuk
perjalananku pulang. Halo Helsinki!
[1] Urun tumpangan (carpooling)
gratis lepasan di Amerika Serikat: https://en.wikipedia.org/wiki/Slugging
[4] Lihat antara lain https://en.wikipedia.org/wiki/Suelo dan http://zerocurrency.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar