“Saya kembali berpikiran
untuk bunuh diri. Kali ini saya akan melakukannya dengan cermat. Saya akan
melompat dari lantai lima belas gedung administrasi kampus. Dengan cara begitu
tidak akan ada kekeliruan. Saya pasti akan mati. Saya sudah beberapa kali
melakukan percobaan lari. Saya telah memilih jendela yang paling pas untuk hal
ini. Saya sudah nyaris melompat.
“Namun ada sesuatu yang
menahan saya. Ada sesuatu yang aneh, yang mengusik saya. Pada detik-detik
terakhir, ‘sesuatu’ itu hampir-hampir secara harfiah menarik saya dari ambang
jendela. Baru lama kemudian saya menyadari apakah ‘sesuatu’ itu.
“Saya tidak merasakan sakit.
“Saya hampir-hampir tidak
merasakan kesakitan lagi sejak kecelakaan itu. Dengan bertubi-tubi kejadian
yang menghampiri, saya belum sempat memerhatikan bahwa rasa sakit itu telah
menghilang dari tubuh saya. Buang air saya normal. Saya sudah tidak mengalami
kram menstruasi. Tidak ada lagi sakit kepala atau sakit perut. Bahkan tulang
rusuk saya yang patah hampir-hampir tidak terasa sakit. Saya tidak tahu
sebabnya demikian. Namun tahu-tahu saya terbebas dari rasa sakit.
“Sementara waktu saya
memutuskan untuk terus hidup. Walaupun hanya sebentar, saya ingin mengetahui
arti dari menjalani hidup tanpa kesakitan. Saya bisa mati kapan saja saya
ingin.
“Namun melanjutkan hidup
berarti saya harus melunasi utang saya. Secara keseluruhan, saya berutang lebih
dari tiga juta yen. Untuk melunasinya, saya menjadi pelacur.”
“Pelacur?!”
“Benar,” sahut Kano,
seakan-akan itu bukan hal besar. “Saya butuh uang dalam rentang waktu yang
pendek. Saya ingin melunasi utang saya secepat mungkin, dan itu satu-satunya
cara mengumpulkan uang yang dapat saya pikirkan. Saya sama sekali tidak
merasakan keraguan. Sebelumnya saya telah berniat serius untuk mati. Saya masih
berniat mati, cepat atau lambat. Rasa penasaran akan kehidupan tanpa rasa sakit
menjaga saya untuk terus hidup, namun benar-benar hanya untuk sementara.
Dibandingkan dengan kematian, sama sekali bukan hal besar bagi saya untuk
menjual diri.”
“Saya bisa memahami maksud
Anda,” kataku.
Es di air jeruknya sudah
mencair. Kano mengaduknya dengan sedotan sebelum menyesapnya.
“Anda berkeberatan kalau saya
tanyakan sesuatu?” ujarku.
“Tidak, tidak sama sekali.
Silahkan.”
“Memangnya Anda tidak
mengobrolkan soal ini lebih dulu dengan kakak perempuan Anda?”
“Pada waktu itu ia sedang
menjalani kesahajaan di Malta. Selama itu berlangsung, ia tidak mau
memberitahukan alamatnya pada saya. Ia tidak ingin saya mengacaukan
konsentrasinya. Maka hampir tidak mungkin bagi saya untuk mengirim surat
padanya selama tiga tahun ia tinggal di Malta.”
“Baiklah,” ucapku. “Apa Anda
mau kopi lagi?”
“Ya, tolong,” ujar Kano.
Aku menuju dapur lalu
menghangatkan kopi. Selagi menunggu, aku menatap kipas angin yang lunglai
kemudian menarik napas panjang beberapa kali.
Begitu kopinya siap, aku menuangkannya ke cangkir baru lalu membawanya
ke ruang tamu dengan baki, sekalian dengan sepiring kue cokelat. Sejenak kami
makan dan minum.
“Berapa tahun yang lalu
percobaan bunuh diri Anda itu?” tanyaku.
“Saat itu saya berusia dua
puluh tahun. Berarti enam tahun yang lalu, Mei 1978.”
Mei 1978 itu bulan ketika aku
dan Kumiko menikah. Artinya, pada bulan pernikahan kami, Kano tengah mencoba
bunuh diri sedang Malta Kano menjalani laku kesahajaan di Malta.
“Saya pergi ke lingkungan
yang memiliki banyak bar, mendekati laki-laki pertama yang kelihatan potensial,
membicarakan harga, pergi ke hotel, lalu tidur dengan dia,” ucap Kano. “Seks
tidak lagi menyakitkan bagi saya. Tidak juga kenikmatan. Seks cuma pergerakan
jasmani. Saya juga tidak merasa bersalah melakukan hubungan seks demi uang. Saya
dalam keadaan mati rasa, ketiadaan perasaan yang sedemikian sehingga dasarnya
tidak terlihat.
“Cara ini memberikan saya
penghasilan yang besar—pada bulan pertama saja hampir satu juta yen. Pada taraf
itu, saya bisa dengan mudahnya membayar utang dalam tiga atau empat bulan. Saya
biasa pulang dari kampus, keluar saat malam, dan pulang kerja paling telat
pukul sepuluh. Saya bilang kepada orang tua bahwa saya menjadi pelayan
restoran, dan tidak ada yang curiga. Tentu mereka akan merasa aneh kalau saya
mengembalikan uang sebesar itu sekaligus, maka saya memutuskan untuk memberi
ayah saya seratus ribu yen per bulan dan selebihnya saya simpan dulu.
“Tetapi pada suatu malam,
ketika saya sedang mendekati pria-pria di stasiun, dua orang menyambar saya
dari belakang. Awalnya saya kira itu polisi, tetapi kemudian saya menyadari bahwa
mereka gangster. Mereka menyeret saya ke jalan yang sepi, menunjukkan semacam
pisau kepada saya, lalu membawa saya ke markas besar. Mereka mendorong saya ke
ruang belakang, melucuti pakaian saya, mengikat pergelangan saya, lalu
memerkosa saya terus-terusan di depan kamera video. Sepanjang waktu itu saya
menutup mata dan berusaha untuk tidak berpikir. Yang tidaklah sulit bagi saya,
sebab saya tidak merasa sakit ataupun nikmat.
“Setelah itu, mereka
menunjukkan video hasilnya dan mengatakan bahwa kalau saya tidak ingin ada yang
melihatnya, saya mesti bergabung dengan organisasi mereka dan bekerja untuk
mereka. Mereka mengambil kartu mahasiswa dari dompet saya. Mereka bilang, kalau
saya menolak keinginan mereka, mereka akan mengirimkan salinan rekaman itu
kepada orang tua saya dan memeras semua uang mereka. Saya tidak punya pilihan.
Saya bilang akan menuruti mereka, bahwa itu bukan soal bagi saya. Dan memang
itu bukan soal. Pada waktu itu tidak ada yang berarti bagi saya. Mereka
menekankan bahwa penghasilan saya akan turun kalau saya bergabung dengan
organisasi mereka, sebab mereka akan mengambil tujuh puluh persen, namun saya
tidak perlu lagi repot-repot mencari pelanggan sendiri atau khawatir akan
polisi. Mereka akan mendatangkan pelanggan kelas atas kepada saya. Kalau saya
terus mendekati pria sembarangan, saya akan dicekik sampai mati di kamar hotel.
“Setelah itu, saya tidak
harus berpangkal di pojok jalan lagi. Yang mesti saya lakukan tinggal datang ke
kantor mereka saat malam, lalu mereka akan memberi tahu saya hotelnya. Mereka
memberi saya pelanggan yang baik, seperti janji mereka. Entah apa sebabnya,
namun saya mendapatkan perlakuan istimewa. Mungkin itu karena saya terlihat
polos. Saya memiliki pembawaan yang tidak dimiliki gadis-gadis lainnya. Boleh
jadi banyak pelanggan yang menginginkan tipe yang terlihat tidak begitu profesional.
Gadis-gadis lain mendapat tiga atau lebih pelanggan per hari, tetapi saya bisa
luput dengan menemui satu saja atau paling banyak dua. Gadis-gadis lain pada
membawa penyeranta dan mesti buru-buru ke hotel bobrok begitu kantor memanggil
mereka untuk tidur dengan pria-pria dari latar belakang yang tidak tentu.
Tetapi, untuk saya, saya selalu mendapatkan pertemuan yang layak di hotel kelas
atas yang layak malah kadang-kadang berupa kondo. Pelanggan saya biasanya
lelaki tua, jarang pemuda.
“Kantor membayar saya sekali
seminggu—tidak sebanyak yang saya hasilkan sendiri, tetapi termasuk tip dari
pelanggan jumlahnya lumayan. Tentu saja sebagian pelanggan menghendaki saya
untuk melakukan hal-hal yang cukup aneh, namun saya tidak berkeberatan. Semakin
aneh permintaannya, semakin besar tipnya. Beberapa pria mulai melanggani saya
secara tetap. Mereka ini biasanya pemberi tip yang baik. Saya menyimpan uang
saya di beberapa rekening. Namun sebenarnya, pada waktu itu, yang penting bukan
uangnya. Itu cuma deretan angka. Saya hidup hanya untuk satu hal, yaitu
memastikan ketiadaan perasaan saya.
“Saya biasa bangun saat pagi
dan sambil berbaring memeriksa untuk memastikan tubuh saya tidak merasakan apa
pun yang menyakitkan. Saya membuka mata saya, pelan-pelan menenangkan pikiran
saya, kemudian merasakan anggota tubuh saya satu demi satu. Saya sama sekali
tidak merasakan sakit. Apakah ini berarti tidak ada yang dapat menyakitkan saya
ataukah, meskipun ada sakit, saya tidak akan merasakannya? Saya tidak tahu bedanya.
Yang mana pun itu, tidak ada rasa sakit. Malah, saya tidak mengalami sensasi
apa pun. Setelah melakukan prosedur ini, saya turun dari tempat tidur, ke kamar
mandi, dan menyikat gigi. Kemudian saya melepaskan piama dan mandi pancuran air
hangat. Tubuh saya terasa sangat ringan. Saking ringan dan sejuk, rasanya
seperti bukan tubuh saya sendiri. Saya merasa seolah-olah jiwa saya telah
berganti tempat di tubuh yang bukan milik saya. Saya menatap cermin, namun di
antara diri saya dan tubuh yang saya lihat di sana, saya merasakan jarak yang
teramat jauh.
“Hidup tanpa rasa sakit
memang merupakan hal yang saya idamkan sejak lama, tetapi setelah saya
mengalaminya, saya tidak bisa menemukan tempat bagi diri saya di dalamnya. Ada
celah yang jelas memisahkan saya dari itu, dan akibatnya saya sangat bingung. Saya
merasa seolah-olah saya tidak tertambat pada dunia itu—dunia yang amat saya
benci sampai pada waktu itu; dunia yang terus saya cerca karena ketidakadilan
dan kesewenang-wenangannya; dunia tempat setidaknya saya mengenali diri saya.
Sekarang dunia itu telah berhenti menjadi dunia itu, sedangkan saya telah
berhenti menjadi diri saya.
“Saya mulai sering menangis.
Sore-sore saya biasa pergi ke taman—Taman Istana Shin-juku atau Taman Yoyogi—untuk
duduk di rumput dan menangis. Kadang saya menangis selama satu atau dua jam
tanpa henti, seraya tersedu keras-keras. Orang-orang yang lewat memandangi saya,
namun saya tidak peduli. Seandainya saja saya mati pada waktu itu, mengakhiri
hidup saya pada malam dua puluh sembilan Mei. Betapa akan jauh lebih baiknya
keadaan itu! Namun sekarang saya tidak bisa mati. Dalam kematian rasa ini, saya
tidak ada kekuatan untuk bunuh diri. Saya tida merasakan apa-apa: tidak sakit,
tidak nikmat. Segala perasaan telah hilang. Dan saya bukan diri saya lagi.”
Kreta Kano menghela napas
dalam-dalam dan menahannya. Lantas ia mengambil cangkir kopinya, menatapnya
sejenak, menggeleng pelan, lalu meletakkan cangkir itu kembali ke lepek.
“Saat itulah saya bertemu
Noboru Wataya.”
“Noboru Wataya?! Sebagai
pelanggan?!”
Kreta Kano mengangguk tanpa
suara.
“Tetapi—“ aku memulai, lantas
terdiam untuk mempertimbangkan perkataanku sejenak. “Saya agak bingung dengan
ini. Kakak Anda memberi tahu saya kemarin bahwa Noboru Wataya memerkosa Anda.
Apakah itu cerita yang terpisah dengan yang sedang Anda ceritakan sekarang?”
Kreta Kano mengambil
saputangan dari pangkuannya lalu menepuk-nepuk bibirnya lagi. Kemudian ia
menatap lurus padaku. Sesuatu pada matanya mengaduk-aduk jantungku hingga
terasa mengguncang.
“Maaf telah merepotkan Anda,”
ucapnya, “tetapi kalau boleh saya ingin secangkir kopi lagi.”
“Tentu saja,” ucapku. Aku
memindahkan cangkirnya dari meja ke baki lalu membawa itu ke dapur. Sembari
menunggu kopi mendidih, aku bersandar pada rak pengering piring, dengan
memasukkan kedua tangan ke saku. Ketika aku kembali ke ruang tamu membawa kopi,
Kreta Kano telah menghilang dari sofa. Tasnya, saputangannya, segala tanda
kehadirannya, telah raib. Aku pergi ruang masuk, yang mana sepatunya pun telah
lenyap.
Menakutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar