Rainbow Bird
menceritakan tentang Katsuya, pemuda Okinawa yang ingin melarikan diri dari
kehidupan kriminal di pulau tempatnya tumbuh besar. Berlatarkan 1995 tidak lama
setelah tiga anggota militer Amerika
Serikat yang ditempatkan di Okinawa menculik dan memerkosa seorang gadis
berusia dua belas tahun, cerita berkembang
dilatari protes dan demonstrasi massa. Pekerjaan Katsuya memaksa para perempuan
melacurkan diri sementara ia memotret transaksinya lalu memeras klien. Ketika
gadisnya yang terbaru, Mayu, mulai menyerang dengan keji pria-pria yang
dipasangkan dengan dia, Katsuya merasa bahwa dunianya menjadi goyah. Karena
bersimpati terhadap Mayu yang berusaha melindungi diri, ia menghadapi pilihan:
memberi tahu bosnya yang bengis mengenai penyerangan itu atau menutupinya.
Sementara ia berusaha menentukan tindakan, cerita membentang ke masa lalunya,
mengungkap geng-geng sekolah yang berbahaya serta legenda keputusasaan tentang
burung pelangi di hutan yang menyangga kekuatan hidup dan mati. Penggalan ini
diambil dari bagian akhir cerita, ketika Mayu mulai kalut sementara Katsuya semakin
sulit menghindari bosnya.
Katsuya mengambil sebotol air dari
kulkas lalu kembali ke kamarnya. Ia menyambar wiski dari rak dan menenggaknya
beberapa kali, meminum air, lalu lebih banyak wiski. Membuka laci meja lalu
mengeluarkan selembar pil, menyobek kertas timah lantas menjatuhkan dua butir
ke telapak tangannya. Ia menggilas pil-pil itu dengan giginya, mengguyurnya
dengan seteguk minuman, kemudian memasukkan video sewaan ke mesin. Seraya terbenam di kasur, ia mempercepat bagian trailer sampai film dimulai.
Film itu sudah lawas. Sebuah meteor
menghantam bumi, jauh di hutan pedalaman Soviet. Sebuah tim dikirim untuk
menyelidiki. Kekuatan tubrukan itu telah meratakan pepohonan dalam radius
bermil-mil. Begitu kelima anggota tim tersebut memasuki lanskap yang sureal
mereka semua mengalami halusinasi yang sama.
Sejarah singkat tentang semua konflik
dan pembantaian yang merentang sejak awal kehidupan di bumi. Para anggota tim
itu serta dalam pertarungan yang tiada akhir, menjadi prajurit dari berbagai
tempat dan masa, menjelma berbagai bentuk kehidupan yang bukan manusia. Perang
dengan lembing dan kampak ratusan tahun lalu, pemburu makhluk buas besar ribuan
tahun lampau, binatang berusia sejuta tahun yang berjuang mempertahankan hidup.
Latarnya berubah tiba-tiba dari masa ke masa serta daratan satu ke daratan
lain, ruang melengkung, warna-warni menjadi terlalu terang sedang bentuk-bentuk
mulai mengabur, hingga wujud dan warna runtuh, teperbarui, dan dunia terlihat
seolah-olah melalui mata suatu makhluk baru.
Katsuya tidak yakin apakah yang
dilihatnya ini merupakan gambar film tentang halusinasi tim penyelidik itu atau
penglihatannya sendiri yang terimbas oleh obat. Badannya berat lagi lemas.
Malah boleh jadi ia tengah bermimpi.
Suara dan warna bergetar dan bergetih
seiring dengan penglihatan itu membanjir maju, manusia melawan manusia, manusia
melawan organisme lain, mamalia dan burung, ikan, serangga, dan tumbuhan, semua
membunuh satu sama lain, lalu berkembang biak, kemudian membunuh lagi. Pepohonan
besar yang tumbang bekertak kembali tegak, iklim yang dingin berubah tropis,
dan di tengah-tengah panas mencekik serta kelembapan hutan, terdapat ribuan,
jutaan pertarungan. Reptil, invertebrata, dan vegetasi terkungkung dalam siklus
pertempuran yang tiada akhir. Kemudian pemandangan berganti dan perjuangan
bentuk-bentuk kehidupan purba berkembang di laut dan langit. Ichthyosaurus,
cumi-cumi, dan ikan berbentuk ganjil merobek daging satu sama lain sementara
mereka berenang menembus air yang hitam oleh darah. Burung-burung raksasa
menukik turun dari langit berwarna-warni teramat tinggi untuk menggorok dengan
paruh dan cakarnya ubur-ubur besar yang berpijar bak mega kunang-kunang.
Pada akhirnya para anggota tim
penyelidik yang berhalusinasi itu saling membunuh. Tubuh mereka yang rubuh telantar
diganyang binatang, serangga, dan bakteri. Anggota tim yang terakhir bertahan mengakhiri
sendiri hidupnya. Segerombol burung mematuk-matuk mayatnya sebelum mengepakkan
sayap di antara awan-awan hitam dan pohon-pohon tumbang. Lama kemudian mereka
mencapai tepi hutan lalu tampak sebuah kota yang dipadati gedung tinggi. Burung-burung
itu terbang melewati atap-atap, namun seekor burung kecil berwarna biru langit
lepas dari kawanan itu dan berkibar turun di antara gedung-gedung ke arah
sebuah taman, menuju sebuah kereta bayi. Burung itu mendarat pada uluran jari
seorang bayi yang sedang mengoceh. Kamera menyorot kepala burung itu, dan dalam
matanya yang hitam pekat tampak hutan. Bayi itu berada di sana, berdiri di
depan sebuah pohon, namun kini ia telah dewasa, dan tanpa busana. Tangannya
menjuntai di sisinya, dengan menggenggam sebilah pisau yang berlumuran darah.
Ibu bayi itu memekik dan
layar dipenuhi wajah polos si bayi. Si
burung melompat ke tangan ibu tersebut, dan wanita itu berseru kesenangan
sementara bayinya bergumam gembira. Burung kecil berwarna biru langit itu kini
melompat ke tudung kereta lalu mulai bernyanyi indah. Kepalanya teleng ketika
bernyanyi, kemudian sesaat ia seperti menyorotkan senyum tersirat. Si ibu
mendorong kereta bayi melewati taman di bawah dedaunan mapel yang merah terang,
kembali ke apartemennya. Ia menjauh dari kamera seiring dengan berakhirnya
film.
Setelah daftar pemain dan pekerja film
berhenti bergulir dan layar biru berisi peringatan pemerintah berubah menjadi
badai salju statis, Katsuya masih menatap televisi dengan seringai samar pada
wajahnya. Tubuhnya diam, namun matanya hidup, mengirimkan gambar-gambar ke
otaknya. Bayi dalam film itu merangkak di lantai menuju padanya. Ia berusaha
lari namun tidak dapat bergerak, pun berteriak. Entah bagaimana ia berhasil
memejamkan mata. Ia merasakan tekanan kedua tangan dan lutut bayi itu pada
pahanya, ia berbuat semampunya untuk mengabaikan itu—lantas ia mendengar klik
dan desir kaset video berputar kembali dengan sendirinya. Beban bayi itu terangkat.
Gambar-gambar itu berkelap-kelip dari lubuk benaknya namun tidak kunjung
berbentuk, alih-alih terisap kembali ke kegelapan seiring dengan menjalarnya
kantuk dari balik matanya.
Penggalan dari Rainbow Bird oleh Shun
Medoruma. Terjemahan bahasa Inggris oleh Sam Malissa dalam Words Without
Borders edisi Desember 2018.
Shun Medoruma (lahir 1960) merupakan
salah satu penulis Okinawa kontemporer yang terkemuka. Ia dianugerahi Penghargaan Akutagawa pada 1997 atas cerita
pendeknya “A Drop of Water” (Suiteki).
Sam Malissa meraih PhD dalam
Kesusastraan Jepang dari Yale University. Ia menerjemahkan fiksi, di antaranya
karya Toshiki Okada, Shun Medoruma, dan Hideo Furukawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar