“Tiap kali saya menabrak
sesuatu, pasti ada bekasnya di badan saya. Ketika berkaca di cermin kamar mandi
saya selalu ingin menangis. Badan saya penuh oleh begitu banyak memar gelap
sehingga saya terlihat seperti apel yang busuk. Saya benci mengenakan baju renang
di depan orang lain. Sejak yang dapat saya ingat, saya hampir tidak pernah
berenang gara-gara itu. Masalah lainnya yaitu ukuran kaki saya berbeda. Tiap
kali saya membeli sepatu baru, kaki yang lebih besar terasa sakit sekali sampai
sepatunya jebol.
“Karena semua masalah ini,
saya hampir tidak pernah ikut olahraga. Sewaktu SMP, teman-teman saya pernah
menyeret saya ke lapangan luncur es. Saya jatuh dan pinggang saya begitu sakit
sampai-sampai setelah itu tiap musim dingin nyerinya terus terasa. Rasanya
seakan-akan saya ditusuk oleh jarum besar dan tebal. Berkali-kali, saya jatuh
ketika berusaha untuk bangkit dari kursi.
“Saya juga menderita
konstipasi. Buang air besar tiap beberapa hari sekali selalu terasa menyakitkan
bagi saya. Selain itu, pundak saya sering sangat kaku. Otot-ototnya menegang
sampai benar-benar sekeras batu. Saking sakitnya sampai-sampai saya tidak bisa
berdiri tetapi berbaring pun tidak ada gunanya. Saya membayangkan penderitaan
saya mestilah seperti hukuman di Cina yang pernah saya baca. Mereka menjejalkan
orang di kotak selama beberapa tahun. Ketika pundak saya sedang parah-parahnya,
saya hampir-hampir tidak dapat bernapas.
“Saya bisa saja terus
memerinci segala macam kesakitan yang saya alami sepanjang hidup saya, tetapi
itu hanya akan membosankan Anda, Pak Okada, sehingga saya cukupkan di sini
saja. Yang ingin saya sampaikan kepada Anda yaitu kenyataan bahwa tubuh saya
ini sampel nyata kitab rasa sakit. Saya mengalami setiap rasa sakit yang ada.
Saya mulai beranggapan bahwa saya ini dikutuk, bahwa hidup ini sungguh tidak
adil. Saya bisa saja sanggup untuk terus menanggungkan kesakitan ini sekiranya
orang-orang lainnya di dunia ini juga menjalani hidup serupa, namun mereka
tidak begitu, sehingga saya merasa tidak sanggup lagi. Kesakitan itu bukanlah
sesuatu yang terbagi secara adil. Saya mencoba menanyai orang-orang tentang
rasa sakit, namun tidak seorang pun tahu rasa sakit yang senyatanya itu
bagaimana. Kebanyakan orang di dunia ini hidup tanpa merasakan banyak
kesakitan—setidaknya begitulah sehari-harinya. Ketika saya menyadari ini (pada
waktu itu saya baru memasuki SMP), saya sungguh sedih sampai tidak bisa
berhenti menangis. Kenapa saya? Kenapa saya
mesti menjadi satu-satunya yang menanggung beban yang begitu berat ini?
Seketika itu juga saya ingin mati.
“Namun pada saat bersamaan,
timbul pikiran lain. Ini tidak mungkin berlangsung selamanya. Suatu pagi saya
akan bangun dan sakit itu akan hilang—mendadak, tanpa sebab apa pun—dan suatu
hidup yang sepenuhnya baru dan tenteram tanpa kesakitan akan membentang untuk
saya. Akan tetapi, itu bukan pikiran yang dapat saya yakini betul.
“Maka saya mengungkapkan
pikiran ini kepada kakak saya. Saya memberi tahu dia bahwa saya tidak mau terus
hidup dalam kesakitan begini: apa yang mesti saya lakukan? Setelah
memikirkannya sementara waktu, ia mengatakan begini: ‘Aku yakin memang ada
masalah pada dirimu. Tetapi aku tidak mengetahuinya. Aku juga tidak tahu apa
yang sebaiknya kamu lakukan Aku belum mampu memberikan pendapat. Aku cuma
merasa sebaiknya kamu menunggu sampai paling tidak berusia dua puluh tahun.
Tahanlah sampai kamu berulang tahun kedua puluh, lalu ambillah keputusan.
Itulah yang terbaik.’
“Demikianlah saya memutuskan
untuk terus hidup sampai berusia dua puluh tahun. Namun betapapun waktu
berlalu, keadaan tidak membaik. Jauh dari itu. Sakitnya menjadi semakin hebat.
Satu hal yang saya pelajari: ‘Seiring dengan perkembangan tubuh, volume
kesakitannya meningkat secara proporsional.’ Akan tetapi, saya menahan rasa
sakit itu sampai delapan tahun. Saya melanjutkan hidup selama waktu itu,
sembari mencoba untuk melihat sisi baik kehidupan. Saya tidak mengeluh kepada
siapa pun. Saya berjuang untuk terus tersenyum, biarpun sedang sakit-sakitnya.
Saya mendisiplinkan diri saya sendiri untuk selalu menampilkan sikap tenang
ketika sakitnya sedang terasa begitu hebat sampai-sampai saya hampir tidak sanggup
berdiri. Menangis dan mengeluh tidak dapat mengurangi rasa sakit, tetapi hanya
menjadikan saya lebih menyedihkan. Sebagai buah dari perjuangan saya itu,
orang-orang menyukai saya. Mereka melihat saya sebagai gadis yang pendiam dan
berperangai baik. Saya memiliki kepercayaan diri selayaknya orang dewasa serta
persahabatan dengan orang-orang yang sebaya. Saya bisa saja telah memiliki
kehidupan yang sempurna, masa remaja yang sempurna, kalau bukan karena rasa
sakit itu. Namun rasa sakit itu selalu ada. Rasa sakit itu seperti bayangan
saya. Kalau saya melupakannya sebentar saja, rasa sakit itu akan menyerang
bagian lain tubuh saya.
“Di kampus, saya mendapatkan
pacar, dan pada musim panas tahun pertama saya sudah tidak perawan. Bahkan ini
pun—seperti yang sudah saya perkirakan—hanya memberi saya rasa sakit. Teman
perempuan saya yang sudah berpengalaman meyakinkan saya bahwa rasanya tidak
akan menyakitkan bila saya sudah terbiasa, namun kenyataannya tidak begitu.
Kapan pun saya tidur dengan pacar saya, rasa sakitnya sampai bikin saya
menangis. Suatu hari saya bilang pada pacar saya bahwa saya tidak ingin
berhubungan seks lagi. Saya bilang padanya, ‘Aku mencintaimu, tetapi aku tidak
ingin mengalami kesakitan ini lagi.’ Ia bilang baru kali ini ia mendengar yang demikian
konyol. ‘Kamu punya masalah emosi,’ katanya. ‘Santai saja dan tidak akan sakit
lagi. Malah rasanya bakal enak. Semua
orang lain melakukannya, maka kamu juga bisa. Kamu cuma kurang berusaha. Kamu
memanjakan dirimu sendiri. Kamu menggunakan soal ‘kesakitan’ ini untuk mengubur
masalah-masalahmu. Berhentilah mengeluh. Tidak ada gunanya.’
“Ketika mendengar ini,
setelah menahannya bertahun-tahun, saya pun meledak. ‘Memangnya kamu tahu apa tentang sakit?’ Saya
berseru padanya. ‘Kesakitan yang kualami bukanlah kesakitan biasa. Aku tahu
rasanya kesakitan. Aku telah mengalami semuanya. Ketika aku bilang sesuatu itu menyakitkan, ya memang menyakitkan!’ Saya berusaha menjelaskannya dengan memerinci
setiap kesakitan yang pernah saya alami, namun ia tidak paham sedikit pun.
Mustahil memahami kesakitan yang sebenarnya kecuali Anda mengalaminya sendiri.
Maka demikianlah hubungan kami berakhir.
“Ulang tahun saya yang kedua
puluh tiba segera setelah itu. Dua puluh tahun lamanya saya menahan kesakitan,
berharap akan ada titik balik yang mencerahkan, namun tidak ada yang terjadi.
Saya merasa takluk sama sekali. Saya berharap mati secepatnya. Jalan memutar
yang saya ambil hanya memperpanjang kesakitan itu.”
Seketika ini, Kreta Kano
menarik napas dalam-dalam. Pada meja di hadapannya terletak piring berisi kulit
telur serta cangkir kopinya yang telah kosong. Pada pangkuannya terdapat saputangan
yang telah dilipatnya dengan begitu berhati-hati. Seakan-akan ingat waktu, ia
melirik pada jam di rak. “Saya sungguh minta maaf,” ucapnya dengan suara pelan
lagi datar. “Saya tidak berniat berbicara begitu panjang. Saya telah membuang
banyak waktu Anda. Saya tidak hendak mengganggu Anda lagi. Saya tidak tahu
bagaimana meminta maaf karena telah membosankan Anda selama itu.”
Ia menggenggam tali tas kulit
paten putih miliknya dan bangkit dari sofa.
Aku kaget. “Tolong tunggu
sebentar,” kataku, kebingungan. Aku tidak ingin ia bercerita setengah-setengah.
“Kalau Anda khawatir membuang waktu saya, tidak usah khawatir. Saya lowong kok
sore ini. Anda kan sudah bercerita banyak, kenapa tidak diselesaikan? Saya
yakin, cerita Anda masih panjang.”
“Memang masih panjang,”
ucapnya, seraya menatapku yang duduk, kedua tangannya mencengkam erat tali
tasnya. “Yang sudah saya ceritakan pada Anda sejauh ini lebih seperti
pengantar.”
Aku meminta dia menunggu
sebentar dan pergi ke dapur. Seraya berdiri di depan bak cuci piring, aku
menyempatkan diri untuk menarik napas dalam-dalam dua kali. Lantas aku
mengambil dua gelas dari kabinet, menaruh es ke dalamnya, lalu mengisinya
dengan air jeruk dari kulkas. Seraya menempatkan kedua gelas itu pada baki
kecil, aku membawanya ke ruang tamu. Aku melakukan itu semua dengan sengaja
berlambat-lambat, namun aku mendapati dia masih berdiri seperti sewaktu
kutinggal tadi. Walau begitu, ketika aku meletakkan gelas di meja, agaknya ia
berubah pikiran. Ia turun ke sofa lagi dan menempatkan tas di sampingnya.
“Anda mau saya menceritakan
kisah saya sampai akhir?” tanyanya. “Anda yakin?”
“Yakin sekali,” kataku.
Ia meminum setengah air jeruk
punyanya lalu melanjutkan ceritanya.
“Tentu saja saya gagal bunuh
diri. Seandainya saya berhasil, saya tidak akan berada di sini sekarang, minum
air jeruk bersama Anda, Pak Okada.” Ia menatap mataku, dan aku memberinya
senyum kecil menyetujui. “Seandainya saya mati sesuai dengan yang direncanakan,
itu akan menjadi jalan penghabisan bagi saya. Mati berarti berakhirnya
kesadaran, dan saya tidak harus merasakan kesakitan lagi. Persis sebagaimana
saya inginkan. Akan tetapi, sayangnya, saya memilih cara yang salah untuk mati.
“Pukul sembilan malam pada
dua puluh sembilan Mei, saya memasuki kamar abang saya dan meminta izin untuk
meminjam mobilnya. Mobilnya Toyota MR2 baru yang berkilau, dan gagasan
membiarkan saya membawanya membuat abang saya terlihat sangat tidak senang.
Namun saya tidak peduli. Ia tidak bisa menolak, sebab saya telah meminjamkan
uang untuk membantu dia membeli mobil itu. Saya mengambil kunci mobil itu dan
mengemudikannya selama setengah jam. Belum ada seribu mil mobil itu dikendarai.
Pedal gasnya disentuh saja sudah serasa terbang. Mobil itu sempurna untuk
tujuan saya. Saya mengemudi sampai Sungai Tama di pinggir kota, dan di situ
saya menemukan dinding batu besar seperti yang sudah saya bayangkan. Dinding
itu merupakan bagian luar bangunan kondominum besar, dan tegak di ujung jalan
buntu. Saya menyediakan banyak ruang untuk menambah kecepatan, lantas saya
menekan akselerator di lantai mobil. Kecepatan saya mestilah hampir seratus mil
per jam ketika saya menubruk dinding dan pingsan.
“Akan tetapi, sayangnya,
dinding itu ternyata tidak sekokoh penampakannya. Untuk berhemat, mereka tidak
memancangkan dinding itu dengan benar. Dinding tersebut remuk, dan bagian depan
mobil hancur merata. Itu saja yang terjadi. Saking empuknya, dinding itu
menyerap tubrukan. Seakan-akan belum cukup buruk, karena kalut saya lupa
membuka sabuk pengaman.
“Maka saya pun luput dari
kematian. Saya bahkan hampir-hampir tidak terluka. Yang paling ganjil, saya
hampir-hampir tidak merasakan kesakitan. Itulah yang paling aneh. Mereka
membawa saya ke rumah sakit dan memperbaiki satu tulang rusuk saya yang patah.
Polisi datang menyelidiki, namun saya memberi tahu mereka bahwa saya tidak
ingat apa-apa. Saya bilang boleh jadi saya salah mengira antara gas dan rem.
Mereka memercayai saya. Saya baru saja berusia dua puluh tahun, dan baru enam
bulan sebelumnya saya mendapatkan SIM. Selain itu, saya tidak terlihat seperti
orang yang mau bunuh diri. Siapa juga yang hendak bunuh diri dengan sabuk
pengaman terpasang
“Begitu keluar dari rumah
sakit, saya menghadapi beberapa permasalahan berat. Yang pertama saya mesti
melunasi pinjaman mobil MR2 yang sudah saya ubah menjadi rongsokan. Karena ada
kekeliruan dengan perusahaan asuransi, mobil itu tidak tercakup.
“Baru setelah sudah terlambat
saya menyadari bahwa untuk bunuh diri, seharusnya saya menyewa mobil dengan
asuransi yang tepat. Tentu saja saat itu saya tidak sempat memikirkan asuransi.
Tidak pernah tebersit pada saya bahwa mobil kakak saya itu tidak memiliki cukup
asuransi atau bisa-bisa saya tidak jadi bunuh diri. Saya menabrak dinding batu
dengan kecepatan seratus mil per jam. Menakjubkan saya bisa selamat.
“Tidak lama kemudian, saya
menerima tagihan dari asosiasi kondominium untuk perbaikan dinding. Mereka
menuntut 1.364.294 yen dari saya. Secepatnya. Dibayar tunai. Yang bisa saya lakukan
cuma meminjam uang dari ayah saya. Ia bersedia memberikan uang pada saya dalam
bentuk pinjaman, namun memaksa saya untuk mengembalikannya. Ayah saya sangat
ketat soal uang. Ia bilang tanggung jawab sayalah sehingga kecelakaan itu
terjadi, dan ia ingin saya melunasi seluruh pinjaman itu pada waktu yang
ditentukan. Sebenarnya, pada waktu itu, ayah saya tidak punya banyak uang. Ia
sedang mengembangkan kliniknya dan mengalami kesulitan keuangan.
“Tiap kali saya naik pesawat,
kepala saya rasanya seakan-akan terbelah akibat perubahan tekanan udara. Dokter
bilang ini karena struktur telinga saya, bahwa hal semacam ini terjadi jika
bagian dalam telinga saya memiliki bentuk yang sensitif terhadap perubahan
tekanan. Hal serupa sering kali terjadi ketika saya berada di elevator. Saya
tidak bisa naik elevator di gedung-gedung tinggi. Sakitnya begitu hebat, seakan-akan
kepala saya hendak terbelah berkeping-keping dan darahnya menyembur. Belum lagi
perut saya. Sedikitnya seminggu sekali perut saya terasa nyeri yang tajam
menusuk-nusuk sampai-sampai saya tidak bisa bangun pagi. Para dokter tidak bisa
menemukan penyebabnya. Ada yang mengatakan bahwa itu karena pikiran. Tetapi
sekalipun memang benar, rasanya tetap menyakitkan. Meskipun saya menderita,
saya tidak bisa absen sekolah. Kalau saya tidak pergi ke sekolah tiap kali saya
merasa sakit, bisa-bisa saya tidak sekolah sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar