8
Cerita Panjang Kano
*
Menyelidiki Rasa Sakit
“Saya lahir pada dua puluh
sembilan Mei,” Kano memulai ceritanya, “dan pada malam ulang tahun saya yang
kedua puluh, saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya.”
Aku meletakkan secangkir kopi
yang baru di depannya. Ia menambahkan krim lalu mengaduknya dengan lunglai.
Tanpa gula. Aku meminum kopiku tanpa tambahan apa-apa, seperti biasa. Jam di
rak melanjutkan ketukannya yang datar pada dinding waktu.
Kano menatapku tanpa acuh dan
berkata, “Apa saya sebaiknya memulai dari awal—tempat saya lahir, kehidupan
keluarga, hal yang semacam itu.”
“Sesuka Anda saja. Terserah. Yang Anda rasa paling nyaman,” jawabku.
“Sesuka Anda saja. Terserah. Yang Anda rasa paling nyaman,” jawabku.
“Saya anak ketiga dari tiga
bersaudara,” ucapnya. “Saya dan Malta punya kakak laki-laki. Ayah saya menjalankan
klinik pribadi di Prefektur Kanagawa. Tidak ada problem rumah tangga apa pun
yang mengganggu keluarga saya. Saya tumbuh dalam rumah tangga yang biasa-biasa
saja, yang ada di mana-mana. Kedua orang tua saya sangatlah serius dan meyakini
sekali nilai kerja keras. Mereka agak keras pada kami, namun saya merasa mereka
juga memberikan cukup otonomi pada kami untuk hal-hal kecil. Kami cukup berada,
namun orang tua saya tidak memercayakan anak-anaknya uang tambahan yang tidak
perlu. Bisa dibilang saya dididik supaya hidup sederhana.
“Malta lima tahun lebih tua
daripada saya. Dari awal ada yang berbeda pada dirinya. Ia bisa menebak
berbagai hal. Ia tahu bahwa pasien di kamar anu baru meninggal, atau keberadaan
dompet yang hilang dengan tepat, dan segalanya. Pada awalnya, semua orang
menyukai ini dan sering kali merasa kemampuannya bermanfaat, namun tidak lama
kemudian orang tua saya mulai terganggu. Mereka menyuruhnya supaya tidak pernah
membicarakan ‘hal-hal yang tidak memiliki dasar kebenaran yang jelas’ di depan
orang-orang. Saat itu Ayah punya posisi sebagai kepala rumah sakit yang mesti
dipertimbangkan. Ia tidak mau orang mendengar bahwa anaknya punya kekuatan
supernatural. Setelah itu Malta pun mengunci mulutnya. Ia tidak hanya berhenti
membicarakan tentang ‘hal-hal yang tidak memiliki dasar kebenaran yang jelas’,
tetapi juga jarang ikut dalam percakapan biasa.
“Meskipun begitu, ia membuka
hatinya kepada saya. Kami menjadi sangat dekat. Ia suka bilang, ‘Jangan pernah
kasih tahu orang lain aku memberitahumu tentang ini,’ dan ia juga mengatakan
hal seperti, ‘Akan ada kebakaran di ujung jalan’ atau ‘Bibi Anu di Setagaya
akan memburuk.’ Yang dikatakannya itu selalu benar. Saat itu saya masih kecil,
sehingga merasa itu seru. Saya tidak pernah ketakutan atau merasa itu ngeri.
Sejak saya dapat mengingat, saya selalu mengikuti kakak saya ke mana-mana dan
berharap mendengar ‘pesan’nya.
“Kemampuan istimewa miliknya
ini semakin kuat ketika ia bertambah besar, namun ia tidak tahu bagaimana
menggunakan ataupun mengembangkannya, sehingga ia menjadi sangat menderita.
Tidak seorang pun yang bisa ia mintai nasihat, tidak seorang pun yang bisa
dianut sebagai pembimbing. Ia menjadi remaja yang sangat kesepian. Ia harus
mengatasi segalanya sendirian. Ia harus menemukan segala jawaban sendirian. Di
rumah, ia sangat tidak bahagia. Tidak pernah sekali pun ia merasakan kedamaian
di hatinya. Ia harus menekan kekuatannya sendiri dan menyembunyikannya. Rasanya
seperti menumbuhkan tanaman besar yang sangat kuat di pot kecil. Itu tidak
alamiah. Itu salah. Yang ia tahu hanyalah ia harus keluar dari rumah sesegera
mungkin. Ia meyakini bahwa di suatu tempat ada dunia yang tepat baginya, cara
hidup yang benar untuknya. Meskipun begitu, sampai lulus dari SMA, ia harus
menahan diri.
“Setelah lulus dari SMA, ia
bertekad untuk tidak kuliah tetapi malah keluar negeri. Orang tua saya yang hidupnya
sangat biasa-biasa saja tidak siap membiarkan dia berbuat demikian. Maka kakak
saya bekerja keras mengumpulkan uang sesuai dengan keperluannya, lalu ia kabur.
Tempat pertama yang ditujunya yaitu Hawaii. Ia tinggal di Kauai selama dua
tahun. Ia pernah membaca bahwa di pantai utara Kauai ada tempat dengan mata air
yang menghasilkan air berkualitas bagus sekali. Saat itu, kakak saya sudah
punya minat yang mendalam terhadap air. Ia meyakini bahwa keberadaan manusia
sebagian besar dikendalikan oleh elemen-elemen air. Itu sebabnya ia terus
menetap di Kauai. Pada waktu itu, masih ada komune hippie di pedalaman pulau itu.
“Ia menjadi anggota komune
itu. Air di situ memberikan pengaruh besar bagi kekuatan spiritualnya.Dengan
memasukkan air ke tubuhnya, ia dapat mencapai “harmoni yang lebih besar’ antara
kekuatannya dan raganya. Ia menulis pada saya, menceritakan betapa luar
biasanya ini, dan surat-suratnya membuat saya sangat gembira. Namun sebentar
kemudian tempat itu tidak lagi memuaskan dirinya. Memang itu tanah yang indah
dan tenteram, dan orang-orang di sana hanya mencari ketenteraman spiritual yang
bebas dari hasrat-hasrat materiil, namun mereka terlalu bergantung pada seks
dan narkoba. Kakak saya tidak membutuhkan hal begituan. Setelah dua tahun di
Kauai, ia pergi.
“Dari situ ia pergi ke
Kanada. Setelah berkelana di utara Amerika Serikat, ia melanjutkan ke Eropa. Ia
mengambil sampel air di setiap tempat yang didatanginya dan berhasil menemukan
air yang bagus sekali di beberapa tempat, namun tidak ada air yang sempurna.
Maka ia terus berkelana. Ketika uangnya habis, ia membuka jasa meramal.
Orang-orang mengganjarnya karena membantu mereka menemukan barang atau orang
yang hilang. Biasanya ia memilih untuk tidak menerima uang. Kekuatan yang
merupakan karunia surga semestinya tidak ditukar dengan benda-benda duniawi.
Meskipun begitu, pada waktu itu, itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Orang-orang mendengar tentang bakat supernaturalnya ke mana pun ia pergi.
Sangat mudah baginya untuk mendapatkan uang. Bahkan ia pernah membantu
investigasi polisi di Inggris. Ada gadis kecil yang hilang, kemudian ia
menemukan tempat jasadnya disembunyikan. Ia juga menemukan sarung tangan si
pembunuh di sekitar tempat itu. Pelakunya ditahan dan mengaku. Peristiwa itu
diberitakan semua koran. Saya akan menunjukkan klipingnya pada Anda
kapan-kapan. Walaupun begitu, ia terus berkelana di Eropa seperti ini sampai
berakhir di Malta. Hampir lima tahun berlalu sejak kepergiannya dari Jepang,
dan ternyata tempat inilah yang ditujunya dalam pencariannya akan air. Saya
kira ia telah memberitahukan ini pada Anda?”
Aku mengangguk.
“Selama ia berkeliling dunia,
Malta mengirimi saya surat. Tentu saja, ada saat-saat ketika ia tidak sempat
menulis, namun hampir setiap minggu saya menerima surat panjang dari dia yang
mengabarkan di mana ia sedang berada dan apa yang sedang diperbuatnya. Kami
masih sangat dekat. Sekalipun melintasi jarak yang jauh, kami dapat berbagi
perasaan kami pada satu sama lain lewat surat-suratnya. Betapa indah
surat-suratnya itu! Kalau Anda membacanya, Anda akan tahu betapa menyenangkan
kakak saya itu. Lewat surat-suratnya itu, saya dapat menjumpai begitu banyak
dunia yang berbeda, begitu banyak orang yang menarik! Surat-suratnya itu begitu
membesarkan hati saya! Surat-suratnya membantu saya bertumbuh. Karena itulah,
saya akan selalu sangat mensyukuri kakak saya. Saya tidak menihilkan
perbuatannya dulu kepada saya dalam cara apa pun. Namun pada akhirnya, surat
hanyalah surat. Ketika saya sedang mengalami tahun-tahun remaja yang sangat
berat, ketika saya sedang sangat membutuhkan kakak saya, ia sedang berada di
tempat yang jauh. Saya tidak bisa mengulurkan tangan dan mendapatinya di
samping saya. Di keluarga kami, saya selalu sendirian. Terasing. Tahun-tahun
remaja saya dipenuhi rasa sakit—dan nanti saya akan menceritakan pada Anda
tentang rasa sakit itu. Tidak seorang pun yang bisa saya mintai nasihat. Dengan
begitu, saya sama kesepiannya dengan Malta dulu. Kalau saja pada waktu itu ia
berada di dekat saya, hidup saya akan berbeda dari yang sekarang. Ia akan
memberikan saya nasihat, semangat, dan keselamatan. Tetapi apa gunanya
mengutarakan hal-hal ini sekarang? Sebagaimana Malta mesti menemukan caranya
sendiri, saya juga harus menemukan cara saya sendiri. Maka ketika saya berusia
dua puluh tahun, saya memutuskan untuk bunuh diri.”
Kreta Kano mengangkat cangkir
lalu meminum sisa kopinya. “Kopinya enak sekali!” ucapnya.
“Terima kasih,” ujarku
sesantai mungkin. “Maukah Anda makan sesuatu? Saya baru merebus telur tadi.”
Agak ragu sesaat, ia bilang mau.
Aku membawakan dia telur dan garam dari dapur lalu menuangkan kopi lagi
untuknya. Tanpa merasa terburu-buru, aku dan Kano mulai mengupas dan memakan
telur serta meminum kopi. Sementara kami melakukan ini, telepon berbunyi, namun
aku tidak mengangkatnya. Setelah lima belas atau enam belas kali, dering itu
berhenti. Selama waktu itu, Kano seperti yang tidak sadar ada bunyi telepon.
Selesai makan telur, Kano
mengeluarkan saputangan kecil dari tas kulit paten putih miliknya lalu menyeka
mulut. Lalu ia menarik-narik kelim roknya.
“Begitu memutuskan akan bunuh
diri, saya ingin meninggalkan catatan. Saya duduk di meja belajar selama sejam,
mencoba menuliskan alasan untuk mati. Saya ingin menjelaskan bahwa tidak ada
yang dipersalahkan, bahwa alasan itu sepenuhnya dari diri saya sendiri. Saya
tidak mau keluarga saya merasa bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan
kesalahan mereka.
“Namun saya tidak bisa
menyelesaikan catatan itu. Saya mencoba terus, namun versi yang baru selalu
lebih buruk daripada yang sebelumnya. Ketika saya membaca yang baru saya tulis,
kesannya bodoh, bahkan menggelikan. Semakin serius saya mencoba menuliskannya,
semakin konyol hasilnya. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk tidak menulis
apa-apa.
“Saya merasa, persoalannya
sangat sederhana. Saya kecewa dengan hidup saya. Saya tidak dapat lagi menahan
berbagai kesakitan yang terus dibebankan hidup atas saya. Saya telah menahan
kesakitan ini selama dua puluh tahun. Kehidupan saya bukan apa-apa melainkan
sumber kesakitan yang tak ada habisnya. Namun saya telah mencoba untuk
menanggungnya sebaik mungkin. Saya sepenuh hati meyakini kesungguhan upaya saya
dalam menanggung kesakitan itu. Saya bisa menyatakan dengan bangga bahwa upaya
saya tidak kalah kerasnya daripada orang lain. Saya tidak menyerah tanpa
berjuang. Namun pada hari ulang tahun saya kedua puluh tahun, saya mencapai
kesimpulan yang lugas: hidup ini tidak berarti. Hidup ini tidak layak untuk
terus diperjuangkan.”
Ia berhenti bicara dan
beberapa saat meluruskan sudut-sudut saputangan putih pada pangkuannya. Ketika
ia menunduk, bulu mata palsunya yang panjang melontarkan bayangan lembut pada
wajahnya.
Aku berdeham. Aku merasa
semestinya berkata-kata, namun tidak terlintas apa-apa di benakku, sehingga aku
diam saja. Di kejauhan, aku mendengar pekik si burung mainan putar.
“Kesakitan itulah yang
meyebabkan saya memutuskan untuk mati,” kata Kano. “Ketika saya mengatakan
‘kesakitan’, itulah tepatnya yang saya maksudkan. Itu bukan kesakitan secara
mental atau metafora, melainkan kesakitan fisik, asli dan sungguhan. Kesakitan
yang nyata, biasa, seketika, secara fisik—dan, karena alasan itulah, semuanya
terasa lebih intens: sakit kepala, sakit gigi, kram haid, sakit punggung
belakang, bahu kaku, demam, nyeri otot, luka bakar, radang dingin, keseleo,
patah tulang, meringkihkan tubuh. Seumur hidup saya mengalami kesakitan fisik
dengan kekerapan dan intensitas yang jauh lebih besar daripada orang lain.
Contohnya saja, gigi saya. Gigi saya sepertinya sudah rusak dari lahir. Gigi
saya ngilu sepanjang tahun. Tidak peduli betapa hati-hatinya saya menyikat,
atau berapa kali sehari, atau betapa ketatnya saya menghindari yang
manis-manis, tidak ada hasilnya. Ujungnya gigi saya tetap pada bolong. Lebih
parah lagi, pembiusan tidak ada efeknya bagi saya. Pergi ke dokter gigi selalu
menjadi mimpi buruk. Sakitnya tidak terperikan. Saya ketakutan sampai mau mati.
Kemudian haid yang mengerikan dimulai. Rasanya luar biasa berat. Selama
seminggu itu, saya nyeri sekali, seakan-akan ada yang memutar bor di dalam
tubuh saya. Kepala saya jadi nyut-nyutan. Anda mungkin tidak bisa membayangkan
rasanya, Pak Okada, tetapi sakitnya membuat saya sampai menangis. Selama
seminggu setiap bulan, saya tersiksa oleh nyeri yang tak tertahankan ini.
“Tiap kali saya naik pesawat, kepala saya rasanya seakan-akan terbelah akibat perubahan tekanan udara. Dokter bilang ini karena struktur telinga saya, bahwa hal semacam ini terjadi jika bagian dalam telinga saya memiliki bentuk yang sensitif terhadap perubahan tekanan. Hal serupa sering kali terjadi ketika saya berada di elevator. Saya tidak bisa naik elevator di gedung-gedung tinggi. Sakitnya begitu hebat, seakan-akan kepala saya hendak terbelah berkeping-keping dan darahnya menyembur. Belum lagi perut saya. Sedikitnya seminggu sekali perut saya terasa nyeri yang tajam menusuk-nusuk sampai-sampai saya tidak bisa bangun pagi. Para dokter tidak bisa menemukan penyebabnya. Ada yang mengatakan bahwa itu karena pikiran. Tetapi sekalipun memang benar, rasanya tetap menyakitkan. Meskipun saya menderita, saya tidak bisa absen sekolah. Kalau saya tidak pergi ke sekolah tiap kali saya merasa sakit, bisa-bisa saya tidak sekolah sama sekali.
“Tiap kali saya naik pesawat, kepala saya rasanya seakan-akan terbelah akibat perubahan tekanan udara. Dokter bilang ini karena struktur telinga saya, bahwa hal semacam ini terjadi jika bagian dalam telinga saya memiliki bentuk yang sensitif terhadap perubahan tekanan. Hal serupa sering kali terjadi ketika saya berada di elevator. Saya tidak bisa naik elevator di gedung-gedung tinggi. Sakitnya begitu hebat, seakan-akan kepala saya hendak terbelah berkeping-keping dan darahnya menyembur. Belum lagi perut saya. Sedikitnya seminggu sekali perut saya terasa nyeri yang tajam menusuk-nusuk sampai-sampai saya tidak bisa bangun pagi. Para dokter tidak bisa menemukan penyebabnya. Ada yang mengatakan bahwa itu karena pikiran. Tetapi sekalipun memang benar, rasanya tetap menyakitkan. Meskipun saya menderita, saya tidak bisa absen sekolah. Kalau saya tidak pergi ke sekolah tiap kali saya merasa sakit, bisa-bisa saya tidak sekolah sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar