4
Menara yang Tinggi dan Sumur yang Dalam
(Atau, Jauh dari Nomonhan)
*
Begitu kembali ke rumah, aku mendapati
Kumiko sedang ceria. Sangat ceria.
Waktu menunjukkan hampir pukul enam saat aku sampai di rumah setelah menemui
Malta Kano, yang artinya tidak ada cukup waktu untuk menyediakan makan malam
yang pantas. Sebagai gantinya, kusiapkan masakan sederhana dari bahan-bahan
yang kutemukan di kulkas, dan kami sama-sama minum bir. Ia membicarakan
pekerjaannya, sebagaimana biasa diperbuatnya kalau suasana hatinya sedang
bagus: siapa saja yang ditemuinya di kantor, apa saja yang dikerjakannya, mana
saja koleganya yang berbakat dan yang tidak. Hal semacam itu.
Aku mendengarkan dan menanggapinya dengan
sepantasnya. Tidak sampai separuh perkataannya itu yang kudengarkan. Bukannya
aku tidak suka mendengarkannya bicara tentang berbagai hal. Terlepas dari isi
pembicaraannya, aku suka melihatnya bersemangat menceritakan pekerjaannya pada
waktu makan malam. Inilah, kucamkankan pada diriku, yang disebut dengan
“rumah”. Kami lakukan dengan sepatutnya tanggung jawab yang telah dilimpahkan
untuk ditampilkan di rumah. Ia menceritakan pekerjaannya, sementara aku,
setelah menyiapkan makan malam, mendengarkan ceritanya. Sangat berbeda dari
gambaran akan rumah yang samar-samar kubayangkan sendiri sebelum menikah. Tapi
inilah rumah pilihanku. Tentu saja
aku sudah punya rumah sedari aku masih kecil. Tapi bukan aku sendiri yang
memilihnya. Aku terlahir ke dalamnya, mengenalinya sebagai kenyataan yang tidak
bisa kuingkari. Bagaimanapun juga, sekarang aku hidup di dunia yang telah
kupilih berdasarkan keinginanku sendiri. Inilah rumahku. Mungkin tidak
sempurna, namun sudah pendirianku untuk menerima rumahku beserta segala
masalahnya, sebab aku sendiri yang telah memilihnya. Kalau ada masalah, maka
hampir pasti asalnya dari diriku sendiri.
“Jadi bagaimana kucingnya?” tanyanya.
Kuringkas pertemuanku dengan Malta Kano tadi di hotel di Shinagawa. Kuceritakan
tentang dasi polkadotku yang tidak ada di manapun di lemari pakaian. Bahwa
meskipun begitu Malta Kano dapat menemukanku di restoran yang ramai itu. Bahwa
caranya unik dalam berpenampilan dan berbicara, dan aku pun menerangkannya.
Kumiko senang mendengar soal topi vinil merah Malta Kano, tapi begitu aku tidak
bisa memberi jawaban yang jelas mengenai keberadaan kucing kami yang hilang, ia
menjadi sangat kecewa.
“Lalu dia juga tidak tahu di mana
kucingnya?” desak Kumiko. “Yang bisa diberitahukannya padamu cuma kucing itu
sudah tidak berada di perumahan kita lagi?”
“Itu saja,” kataku. Aku putuskan untuk
tidak mengatakan apa-apa soal “aliran yang terhambat” di tempat tinggal kami
ini atau bahwa ini mungkin saja ada hubungannya dengan hilangnya kucing itu.
Aku tahu itu akan meresahkan Kumiko, dan aku sendiri tidak ingin
menambah-nambah keresahan yang sudah ada. Kami akan benar-benar dalam masalah
kalau Kumiko sampai memaksa pindah karena rumah kami ternyata “tempat yang
buruk”. Dengan kondisi ekonomi kami sekarang ini, mustahil kalau kami mau
pindah rumah.
“Itu saja yang dia sampaikan padaku,” kataku. “Kucing itu sudah tidak di
sekitar sini lagi sekarang.”
“Berarti dia tidak akan pernah pulang
lagi?”
“Entahlah,” jawabku. “Dia itu serba
tidak jelas. Yang dia sampaikan cuma bayangan sepintas-sepintas saja. Tapi dia
bilang akan menghubungiku kalau ada informasi lagi.”
“Kamu percaya sama dia?”
“Siapa tahu? Aku tidak tahu apa-apa soal
yang begituan.”
Aku menuang bir lagi dan mengamati
bagian atasnya menurun. Kumiko menaruh sikunya di meja, dan menopang dagunya
dengan tangan.
“Mestinya dia sudah memberitahumu kalau
dia tidak menerima bayaran atau pemberian apa-apa,” ucapnya.
“Eh-heh. Jelas itu kelebihannya,”
ujarku. “Jadi apa masalahnya? Dia tidak bakal mengambil uang kita, dia tidak
bakal merampas jiwa kita, dia tidak bakal menculik sang putri. Kita tidak bakal
rugi apa-apa.”
“Ada satu hal yang kamu perlu mengerti,”
ucap Kumiko. “Kucing itu penting sekali
bagiku. Atau baiknya kukatakan, bagi kita. Kita menemukannya pada minggu
setelah kita menikah. Bersama-sama. Kamu ingat?”
“Tentu saja aku ingat.”
“Dia mungil sekali, basah kuyup kena
hujan. Waktu itu aku keluar untuk menjemputmu di stasiun sambil membawa payung.
Bayi kecil yang malang. Kita melihatnya sewaktu pulang. Ada yang membuangnya
dalam kotak bir di samping toko miras. Itu pertama kalinya aku punya kucing.
Dia penting bagiku, sudah seperti simbol. Dia tidak mungkin pergi begitu saja.”
“Tidak usah khawatir. Aku mengerti kok.”
“Jadi di mana dia? Sekarang sudah
sepuluh hari dia menghilang. Itu sebabnya aku menelepon abangku. Kupikir dia
mungkin kenal dengan cenayang, penerawang, atau sesuatunya, yang bisa menemukan
kucing hilang. Aku mengerti kamu tidak suka minta bantuan apa-apa pada abangku,
tapi dia kan menuruti jejak ayahku. Dia tahu banyak yang semacam itu.”
“Ah, iya, tradisi keluarga Wataya,” aku
mengucapkannya setenang angin malam yang mengarungi pantai. “Tapi apa sih
hubungan di antara Noboru Wataya dan wanita ini?”
Kumiko mengangkat bahu. “Aku yakin
wanita itu cuma kebetulan saja dijumpainya. Akhir-akhir ini sepertinya dia
berhubungan dengan banyak orang.”
“Pastinya.”
“Dia bilang wanita itu punya kemampuan ajaib
tapi orangnya memang agak aneh.” Kumiko memainkan kaserol makaroninya. “Siapa
namanya tadi?”
“Malta Kano,” ujarku. “Dia pernah
menjalankan semacam gaya hidup religius di Malta.”
“Begitulah. Malta Kano. Menurutmu dia
orangnya bagaimana?”
“Sulit bilangnya.” Kupandangi kedua
tanganku yang rebah di meja. “Setidaknya dia tidak membosankan. Dan justru itu
bagusnya. Maksudku, dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak terjelaskan, dan
mestilah ada orang yang mengisi kekosongan itu. Lebih baik kalau orangnya tidak
membosankan. Betul tidak? Seperti Pak Honda, misalnya.”
Kumiko terbahak-bahak sewaktu Pak Honda
disebut. “Dia kakek-kakek yang ajaib sekali, iya, kan? Aku senang sekali
dengannya.”
“Aku juga,” kataku.
*
Selama sekitar setahun setelah kami
menikah, aku dan Kumiko biasa mengunjungi rumah Pak Honda sebulan sekali. Ia
seorang praktisi alam gaib, salah seorang perantara favorit keluarga Wataya,
tapi pendengarannya buruk sekali. Dengan alat bantu dengar sekalipun ia hampir
tidak dapat menangkap perkataan kami. Kami harus berteriak sekeras-kerasnya sampai
suara kami menggetarkan kertas shoji-nya.
Kadang aku penasaran apa mungkin dengan pendengarannya yang buruk itu ia dapat
mendengar yang dikatakan makhluk gaib kepadanya. Tapi barangkali cara kerjanya
begini: semakin buruk pendengaran telinganya, semakin baik ia dapat mendengar
perkataan makhluk gaib. Pendengarannya rusak sewaktu ia turut dalam perang. Ia
menjadi bintara dalam garnisun Jepang di Manchuria, Tentara Kwantung. Gendang
telinganya pecah saat ada meriam artileri, granat tangan, atau sesuatunya
meledak di dekatnya sementara pertempuran dengan unit campuran Soviet-Mongolia
Luar di Nomonhan, perbatasan antara Mongolia Luar dan Manchuria.
Kunjungan kami ke tempatnya Pak Honda
bukan karena didorong kepercayaan akan kemampuan spiritualnya. Aku tidak pernah
tertarik dengan hal begituan, sementara Kumiko kurang menaruh kepercayaan pada
persoalan supranatural dibandingkan dengan kedua orangtuanya ataupun abangnya.
Memang ia agak percaya takhayul dan bisa galau gara-gara ramalan buruk, tapi
tidak pernah sampai melibatkan diri dalam urusan spiritual.
Kami mengunjungi Pak Honda hanya karena
disuruh oleh ayahnya Kumiko. Itu syarat yang ditentukannya untuk pernikahan
kami. Memang, syaratnya itu agak ganjil, tapi kamimenurut saja untuk
menghindari masalah. Kami tidak mengharapkan hubungan dengan keluarganya itu
akan mudah. Ayahnya pejabat pemerintahan. Sebagai putra termuda dari keluarga
petani yang tidak begitu berada di Niigata, ia berkuliah di Universitas Tokyo
yang prestisius dengan beasiswa, lulus dengan penghargaan, dan menjadi warga
elite di Kementerian Transportasi. Menurutku semuanya itu mengagumkan. Tapi
sebagaimana lazimnya orang yang sukses dengan jalan seperti itu, ia arogan dan
terlalu mementingkan diri sendiri. Ia terbiasa memerintah, dan sama sekali
tidak meragukan nilai-nilai dalam dunia yang dimilikinya. Baginya, hierarki itu
segalanya. Ia membungkuk pada kekuasaan yang lebih tinggi tanpa kesangsian, dan
menginjak-injak yang di bawahnya tanpa keraguan. Baik Kumiko maupun diriku
tidak yakin orang sepertinya akan menyetujui lelaki miskin berusia dua puluh
empat tahun yang bukan siapa-siapa seperti diriku, tanpa jabatan, silsilah,
atau derajat yang tinggi, pun masa depan yang menjanjikan sebagai pasangan
hidup putrinya. Kami membayangkan, setelah ditampik kedua orangtuanya, kami
akan menjalankan sendiri pernikahan kami dan hidup tanpa berurusan dengan
mereka sama sekali.
Tapi, masih kulakukan hal yang benar.
Aku datang untuk melamar Kumiko secara resmi pada orangtuanya. Tidak saja
sambutan mereka dingin terhadapku. Rasanya seakan-akan semua pintu kulkas di
dunia ini dibuka seketika.
Pada akhirnya mereka memberi izin
kepadaku, walau dengan keengganan namun hampir seperti keajaiban. Itu sepenuhnya
berkat Pak Honda. Ia menanyakan pada mereka segala hal yang mereka telah
pelajari tentang diriku. Pada akhirnya ia menerangkan bahwa kalau putri mereka
hendak menikah, maka akulah pasangan yang terbaik untuknya. Itu kalau memang
aku yang ingin dinikahinya. Konsekuensinya bakal buruk kalau pasangan itu ditentang.
Pada waktu itu orangtua Kumiko sepenuhnya yakin pada Pak Honda. Jadi, apa boleh
buat, diterimalah diriku sebagai suami putri mereka.
Meski begitu, pada akhirnya aku selalu
menjadi orang asing, tamu tak diundang. Aku dan Kumiko akan mengunjungi rumah
mereka dan makan malam bersama secara teratur setiap dua kali sebulan. Ini
pengalaman yang benar-benar memuakkan, rasanya seperti berada persis di
tengah-tengah aib yang tak berarti dan siksaan yang keji. Sepanjang hidangan
disajikan, aku merasa meja ruang makan mereka sepanjang rel kereta api. Mereka
makan dan mengobrolkan sesuatu di ujung satunya, sementara aku berada begitu
jauh dari mereka sampai-sampai tidak kelihatan. Ini terus berlangsung selama
setahun, hingga terjadi pertengkaran hebat antara aku dan ayah Kumiko, dan
setelahnya kami tidak pernah berjumpa lagi. Kebebasan ini rasanya nyaris luar
biasa menggembirakan. Tidak ada yang begitu menghabisi seseorang selain usaha yang
sia-sia.
Meski begitu, untuk sementara setelah
kami menikah, aku sungguh-sungguh mengerahkan diri untuk menjaga hubungan di
antara kami atas dasar yang baik. Dan tidak diragukan lagi, kunjungan bulanan
ke Pak Honda menjadi usaha yang paling tidak mengilukan.
Semua biaya untuk Pak Honda ditanggung
ayah Kumiko. Kami tinggal mengunjungi rumah Pak Honda di Meguro sebulan sekali
dengan sebotol besar sake, mendengarkan yang dikatakannya pada kami, lalu
pulang. Simpel.
Dengan segera kami menyukai Pak Honda.
Ia lelaki tua yang ramah, yang wajahnya akan bersinar kapanpun melihat sake yang
kami bawakan untuknya. Kami menyukai segala hal menyangkut dirinya—kecuali
mungkin pada kebiasaannya membunyikan televisi keras-keras karena
pendengarannya yang terganggu itu.
Kami selalu mengunjungi rumahnya
pagi-pagi. Pada musim dingin dan musim panas, ia duduk sementara kakinya di
bawah meja pemanas. Pada musim dingin ia membungkus pinggangnya dengan selimut
kapas untuk menahan panas dari api arang. Pada musim panas selimut dan apinya
tidak digunakan. Sebetulnya ia cenayang yang cukup ternama, tapi hidupnya
sangat sederhana—bahkan asketis. Rumahnya kecil. Ruang depannya mungil
sampai-sampai orang hampir tidak leluasa kalau hendak menalikan ataupun
mengurai tali sepatunya di situ. Alas tatami pada lantainya sudah sangat usang.
Kaca jendela yang pecah hanya direkatkan dengan isolasi. Di seberang jalan
kecil pedesaan itu berdiri sebuah bengkel reparasi mobil. Dari situ selalu saja
terdengar suara orang berteriak sekencang-kencangnya. Pak Honda mengenakan
kimono yang gayanya perpaduan antara jubah tidur dan jaket pekerja tradisional.
Tidak ada tanda-tanda baju itu pernah dicuci. Ia tinggal sendirian saja dan ada
seorang wanita yang datang untuk memasak dan bersih-bersih. Meski begitu,
karena sebab tertentu, ia tidak membolehkan wanita itu mencuci jubahnya. Jambang
putih yang kasar menjuntai di pipinya yang cekung.
Kalaupun ada sesuatu di rumah Pak Honda
yang bisa dianggap menarik, benda itu berupa satu set televisi berwarna yang
besar sekali. Di rumah semungil itu, kehadiran benda raksasa itu terasa
berlebihan. Televisi itu selalu menayangkan jaringan NHK, yang disokong
pemerintah. Entah karena ia menyukai NHK, atau tidak mau bersusah-susah
mengganti salurannya, atau ini alat khusus yang hanya mampu menangkap NHK, aku
tidak tahu, tapi NHK saja yang ditontonnya. Alih-alih karangan bunga atau
gulungan kaligrafi, ruang kecil untuk upacara di bagian tengah rumah itu malah diisi
satu set televisi raksasa. Pak Honda selalu duduk menghadapnya seraya
menggerak-gerakkan tongkat ramalan di atas meja pemanas, sementara NHK terus
memperdengarkan acara memasak, petunjuk merawat bonsai, berita terbaru, dan
diskusi politik.
“Pekerjaan hukum bisa jadi tidak tepat
untukmu, anakku,” ucap Pak Honda suatu hari, entah padaku atau pada orang yang
jauhnya dua puluh meter di belakangku.
“Begitu, ya?”
“Ya, bisa jadi. Pada akhirnya, hukumlah yang
mengatur banyak hal di dunia ini. Dunia tempat bayangan adalah bayangan dan
cahaya adalah cahaya, yin adalah yin dan yang adalah yang, aku adalah aku dan
dia adalah dia. ‘Aku diriku/Dia dirinya:/Malam musim gugur’. Tapi kau tidak termasuk dalam dunia itu,
anakku. Duniamu adalah di atasnya atau di bawahnya.”
“Yang mana yang lebih baik?” tanyaku,
agak penasaran. “Yang di atas atau yang di bawah?”
“Bukan soal mana yang lebih baik,”
ujarnya. Setelah serangan batuk singkat yang tiba-tiba, ia meludahkan segumpal
dahak ke tisu dan mengamatinya dari dekat lalu menggumpalkan tisu itu dan
membuangnya ke keranjang sampah. “Bukan soal mana yang lebih baik atau lebih
buruk. Intinya, yaitu, jangan lawan alirannya. Naiklah kalau kau mesti naik dan
turunlah kalau kau mesti turun. Kalau kau mesti naik, temukanlah menara yang
paling tinggi dan dakilah sampai puncaknya. Kalau kau mesti turun, temukanlah
sumur yang paling dalam dan turunlah ke dasarnya. Kalau tidak ada alirannya, ya
diam saja. Kalau kau lawan alirannya, semuanya berhenti. Kalau semuanya
berhenti, dunia jadi gelap. ‘Aku dirinya/Dia diriku:/Senjakala musim semi’.
Serahkan diri, dan itulah dirimu.”
“Apa sekarang ini alirannya sedang tidak
ada?” tanya Kumiko.
“Bagaimana?”
“APA SEKARANG INI ALIRANNYA SEDANG TIDAK
ADA?” Kumiko berteriak.
“Alirannya sekarang tidak ada,” kata Pak
Honda sambil mengangguk-angguk sendiri. “Sekarang waktunya untuk berdiam saja,
jangan berbuat apa-apa. Berhati-hati saja dengan air. Entah kapan pada masa
depan, anak muda ini mungkin akan sungguh-sungguh menderita karena air. Air
yang hilang dari tempat semestinya berada. Air yang berada di tempat yang tidak
semestinya. Bagaimanapun juga, berhati-hatilah sekali dengan air.”
Di sampingku, Kumiko mengangguk
dalam-dalam, namun bisa kulihat ia sedang berjuang mati-matian supaya tidak
tertawa. “Airnya seperti apa?” tanyaku.
“Tidak tahu,” kata Pak Honda. “Air.”
Di televisi, seorang profesor dari suatu
universitas sedang menyampaikan bahwa kacaunya pemakaian tata bahasa Jepang di
kalangan masyarakat berhubungan erat dengan kacaunya gaya hidup mereka. “Lebih
tepatnya, tentu saja, kita tidak bisa menyebutnya kekacauan. Tata bahasa itu
seperti udara. Orang yang di atas bisa saja berusaha menetapkan aturan
menggunakannya, tapi orang tidak mesti menurutinya.” Kedengarannya menarik,
tapi Pak Honda malah melanjutkan berbicara tentang air.
“Sebenarnya, aku pernah menderita karena
air,” ucapnya. “Tidak ada air di Nomonhan. Garis depan kocar-kacir, dan
perbekalan terputus. Tidak ada air. Tidak ada ransum. Tidak ada perban. Tidak
ada peluru. Mengerikan. Orang-orang penting di garis belakang cuma tertarik
pada satu hal, yaitu menduduki wilayah secepatnya. Tidak ada yang memikirkan
perbekalan. Selama tiga hari, aku hampir tidak minum sama sekali. Kalau kita
menaruh gombal di luar, kainnya akan basah karena embun pagi. Kita bisa
memerasnya sehingga ada beberapa tetes yang bisa diminum, tapi cuma itu. Tidak
air lainnya sama sekali. Aku ingin mati saja, ingin sekali. Kehausan seperti
itu hal paling buruk di dunia ini. Aku sudah siap mati dan pasang peluru.
Orang-orang yang perutnya tertembak menjerit-jerit minta air. Beberapa sampai
gila gara-gara kehausan. Tempat itu benar-benar neraka. Kami bisa melihat ada
sungai besar mengalir tepat di depan kami. Airnya cukup untuk semua orang. Tapi
kami tidak bisa ke sana. Di antara kami dan sungai itu ada sebaris tank Soviet
yang besar sekali dengan pelontar api. Senapan mesin siap tempur kelihatan
seperti bantalan peniti. Para penembak jitu bersiaga di daratan yang tinggi.
Mereka melepas suar malam-malam. Sedangkan yang kami miliki cuma senapan
infanteri Model 38 dengan pelurunya masing-masing ada 25. Sekalipun begitu,
banyak dari kawan-kawanku itu yang tetap ke sungai. Mereka sudah tidak tahan
lagi. Tidak ada yang kembali. Semuanya tewas. Jadi mengerti kan, kalau kita
harus tetap diam, ya diam saja.”
Ia menarik secarik tisu, mengeluarkan
ingusnya keras-keras, dan memeriksa hasilnya sebelum menggumpalkan tisu itu dan
membuangnya ke keranjang sampah.
“Menunggu alirannya bergerak itu bisa
jadi sulit,” ucapnya, “tapi kalau kau harus menunggu, ya kau harus menunggu.
Sementara itu, anggaplah dirimu sedang mati.”
“Maksud Bapak, sekarang ini saya
sebaiknya mati saja?” tanyaku.
“Bagaimana?”
“MAKSUD BAPAK, SEKARANG INI SAYA
SEBAIKNYA MATI SAJA?”
“Begitulah, anakku. ‘Mati satu-satunya
jalan/Bagimu melayang lepas:/Nomonhan’.”
Ia lanjut membicarakan Nomonhan selama
sejam berikutnya. Kami duduk saja dan mendengarkan. Kami disuruh “menerima
ajarannya”, tapi selama setahun kunjungan bulanan kami ke tempatnya, ia
hampir-hampir tidak pernah memberikan “ajaran” untuk kami “terima”. Ia jarang
menampakkan penerawangan. Yang dibicarakannya hanya Peristiwa Nomonhan:
bagaimana selongsong meriam meledakkan separuh tengkorak letnan di sebelahnya,
bagaimana dirinya melompati sebuah tank Soviet dan membakarnya dengan bom
Molotov, bagaimana mereka memojokkan dan menembaki seorang pilot Soviet yang
terjatuh. Semua kisahnya memikat, bahkan mencekam, tapi sebagaimana lazimnya,
dengarkanlah sampai tujuh-delapan kali dan semua kisah itu pun kehilangan daya
tariknya. Bukan juga karena ia sekadar “menceritakan” kisahnya itu. Ia
meneriakkannya. Seakan-akan ia sedang berdiri di pinggir tebing pada cuaca
berangin, sambil berteriak-teriak pada kami melintasi jurang yang dalam.
Rasanya seperti menonton film Kurosawa lawas di bangku paling depan dalam
bioskop yang tempat duduknya disusun menurun. Setelah meninggalkan rumahnya,
sesaat kuping kami jadi pengang.
Meski begitu kami—atau setidaknya
diriku—menikmati kisahnya itu. Kebanyakan kisahnya itu berdarah-darah, namun
karena datangnya dari mulut seorang lelaki sepuh yang sedang sekarat dan
mengenakan jubah tua dekil, rincian pertempuran itu kedengarannya jadi seolah
tidak nyata, lebih seperti dongengan. Hampir separuh abad lalu, unit Pak Honda
berjuang dalam pertempuran sengit di alam liar yang tandus di perbatasan
Manchuria-Mongolia. Sebelum mendengarnya dari Pak Honda, aku nyaris tidak tahu
apa-apa soal pertempuran Nomonhan. Padahal itu pertempuran yang besar. Hampir
dengan tangan kosong, mereka menghadapi angkatan bersenjata Soviet yang lebih unggul,
dan mereka pun ditumpas. Satu per satu unit diceraiberaikan, dihancurkan. Ada
beberapa perwira yang dengan inisiatif sendiri memerintahkan pasukan agar
mundur untuk menghindari penumpasan. Atasan mereka memaksa agar mereka bunuh
diri saja. Banyak dari pasukan yang ditangkap oleh Soviet itu menolak untuk
ikut dalam pertukaran tawanan seusai perang, sebab mereka takut diadili telah
membelot terhadap musuh. Mereka pun berakhir dengan mendermakan tulang-belulang
mereka pada bumi Mongolia. Setelah kehilangan pendengarannya, Pak Honda dikirim
pulang dengan pemberhentian secara terhormat. Ia pun menjadi praktisi alam
gaib.
“Mungkin memang itu yang terbaik,”
ucapnya. “Seandainya pendengaranku tidak rusak, mungkin aku bakal sudah mati di
Pasifik selatan. Itulah yang terjadi pada banyak pasukan yang selamat dari
Nomonhan. Nomonhan itu aib besar bagi Militer Kerajaan, jadi orang-orang yang
selama itu dikirim ke tempat kemungkinan besar mereka akan terbunuh. Para
komandan perwira yang membikin kekacauan di Nomonhan itu lalu memiliki karier
yang terhormat di komando pusat. Sebagian di antara para bajingan itu bahkan
menjadi politisi sesudah perang. Tapi mereka yang telah memperjuangkan jiwa
bagi orang-orang itu malah hampir semuanya dihabisi.”
“Kenapa ya Nomonhan itu malah dianggap
aib oleh militer?” tanyaku. “Semua pasukannya bertempur dengan gagah berani,
dan banyak yang mati, betul? Kenapa yang selamat kok malah diperlakukan dengan
buruk?”
Tapi Pak Honda sepertinya tidak
mendengar pertanyaanku. Ia menggerak-gerakkan dan menggemeretakkan tongkat
ramalannya. “Sebaiknya kau berhati-hatilah dengan air,” ujarnya.
Dan berakhirlah pertemuan hari itu.
*
Setelah perseteruanku dengan ayah
Kumiko, kami berhenti mengunjungi rumah Pak Honda. Mustahil bagiku terus mengunjunginya,
karena menyadari itu dibayari ayah mertuaku, sedangkan untuk membayarnya
sendiri kami tidak sanggup. Pada waktu itu kami hampir selalu berjaga-jaga
kalau berada di dekat air. Pada akhirnya, kami melupakan Pak Honda, sebagaimana
lazimnya kaum muda yang sibuk cenderung melupakan yang tua-tua.
*
Malam itu di tempat tidur, aku terus
memikirkan Pak Honda. Baik dirinya maupun Malta Kano pernah berbicara tentang
air padaku. Pak Honda memperingatkanku agar berhati-hati. Malta Kano menjalani
laku berkaitan dengan penelitiannya tentang air di pulau Malta. Mungkin ini
kebetulan saja, tapi keduanya sama-sama menyangkut soal air. Sekarang aku mulai
merasa risau karenanya. Aku beralih membayangkan medan pertempuran di Nomonhan.
Tank-tank Soviet dan senapan-senapan mesin. Aliran sungai yang jauh dari
jangkauan. Haus yang tidak tertahankan. Dalam kegelapan, kudengar suara sungai
itu.
“Toru,” ucap Kumiko pelan, “masih
bangun?”
“Eh-heh.”
“Soal dasi itu. Aku baru ingat. Aku
membawanya ke binatu waktu Desember. Dasi itu harus disetrika. Sepertinya aku
kelupaan.
“Desember? Kumiko, itu kan lebih dari
enam bulan yang lalu!”
“Aku tahu. Dan kamu tahu kan aku tidak
pernah sampai kelupaan begitu. Dasinya bagus, pula.” Disentuhnya bahuku. “Aku
membawanya ke binatu di dekat stasiun. Kira-kira mereka masih menyimpannya
tidak, ya?”
“Besok aku keluar deh. Mungkin saja
masih ada.”
“Kenapa menurutmu begitu? Enam bulan itu
kan lama. Biasanya binatu akan membuang barang yang tidak diambil sampai tiga
bulan. Mereka bisa saja seperti itu. Begitu aturannya. Menurutmu dasi itu masih
ada di sana?”
“Malta Kano bilang aku akan
menemukannya. Di suatu tempat di luar rumah.”
Bisa kurasakan tatapannya padaku dalam
gelap.
“Maksudmu kamu percaya perkataannya?”
“Sedang kucoba.”
“Bisa-bisa sebentar lagi kamu dan
abangku jadi kompak,” ujarnya gembira.
“Mungkin saja,” kataku.
Aku masih memikirkan medan pertempuran
Nomonhan setelah Kumiko terlelap. Semua prajurit sedang tidur di sana. Di
atasnya langit dipenuhi bintang-bintang. Jutaan jangkrik mengerik. Kudengar
suara sungai itu, dan tertidur sementara mendengarkan alirannya.[]
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar