Buku Satu: The Thieving Magpie
Juni dan Juli 1984
1
Burung Mainan Hari Selasa
*
Enam Jari dan Empat Payudara
Sewaktu telepon berbunyi, aku sedang berada di dapur,
mendidihkan sepanci spageti dan bersiul mengiringi pembukaan The Thieving Magpie-nya Rossini yang diputarkan radio dan
merupakan musik yang pas untuk memasak pasta.
Aku ingin mengabaikan saja telepon itu. Bukan saja karena
spagetinya sudah hampir matang, tapi juga karena Claudio Abbado sedang
mengarahkan The London Symphony pada puncak permainan. Meski begitu, akhirnya
aku menyerah. Bisa saja itu orang yang mengabarkan lowongan kerja. Aku
mengecilkan api, menuju ruang tengah, dan mengangkat gagang telepon.
“Sepuluh menit saja,” kata wanita di ujung sambungan.
Aku pandai mengenali suara orang, tapi tidak yang satu ini.
“Maaf? Mau bicara dengan siapa, ya?”
“Tentu saja sama kamu.
Sepuluh menit, saja. Supaya kita bisa memahami satu sama lain.” Suaranya rendah
dan lembut namun tidak termasuk jenis suara tertentu.
“Memahami satu sama lain?”
“Perasaan satu sama lain.”
Aku bersandar dan menengok sepintas ke dapur. Panci
spagetinya sedang mengepulkan uap, dan Claudio Abbado masih mengarahkan The Thieving Magpie.
“Maaf, ya, kamu menelepon sewaktu aku sedang masak spageti.
Apa mungkin aku memintamu menelepon lagi nanti?”
“Spageti!? Kok setengah sepuluh pagi sudah masak spageti?”
“Itu bukan urusanmu,” ujarku. “Aku yang tentukan aku mau makan apa dan kapan memakannya.”
“Betul juga. Nanti aku telepon lagi,” katanya, kini suaranya
datar dan tanpa perasaan. Sedikit perubahan suasana bisa memberi pengaruh yang
mengherankan pada nada suara orang.
“Tunggu sebentar,” ujarku sebelum ditutupnya telepon. “Kalau
ini maksudnya untuk jualan, batalkan saja. Aku ini pengangguran. Aku bukan pasarnya
untuk barang jualan apapun.”
“Tenang saja. Aku tahu kok.”
“Kamu tahu? Tahu apa?”
“Kalau kamu ini pengangguran. Aku tahu itu. Jadi teruskan
saja masak spagetinya.”
“Siapa sih—“
Ia memutus sambungan.
Dalam diam kupandangi gagang telepon di tanganku itu sampai
teringat akan spageti. Di dapur, kumatikan gasnya dan menuangkan isi panci ke
saringan. Berkat telepon itu, spagetinya jadi agak lembek ketimbang kenyal,
tapi tidak lembek-lembek amat. Aku mulai makan dan berpikir.
Memahami satu sama lain? Memahami satu sama lain dalam
sepuluh menit? Apa maksudnya wanita itu? Mungkin itu cuma telepon iseng. Atau
semacam trik dagang baru. Bagaimanapun juga, tidak ada urusannya denganku.
Setelah makan siang, aku kembali membaca novel di sofa ruang
tengah, sesekali melirik telepon. Apanya yang mesti dipahami satu sama lain
dalam sepuluh menit? Apa yang bisa
dipahami sepasang orang tentang satu sama lain dalam sepuluh menit? Baru
terpikir olehku, ia sepertinya yakin sekali tentang sepuluh menit itu: itu hal
pertama yang diucapkannya. Seakan-akan sembilan menit itu terlalu singkat atau
sebelas menit itu terlalu lama. Seperti kalau mau memasak spageti yang kenyal.
Aku tidak bisa terus membaca. Aku putuskan untuk menyetrika
pakaian saja. Selalu kulakukan kalau sedang banyak pikiran. Kebiasaan lama. Aku
membaginya menjadi tepat dua belas langkah, dimulai dari kerah (permukaan
luarnya) dan diakhiri dengan pergelangan tangan sebelah kiri. Urutannya selalu
sama, dan aku sendiri yang membagi setiap langkah itu. Kalau tidak begitu,
hasilnya tidak akan rapi.
Aku menyetrika tiga pakaian, memeriksa kerutannya dan
memasangnya di gantungan. Begitu mematikan setrika dan menyimpannya bersama
papannya di lemari, pikiranku terasa jauh lebih jernih.
Aku sedang menuju dapur untuk mengambil segelas air sewaktu
telepon berbunyi lagi. Sesaat aku ragu namun memutuskan untuk menjawabnya.
Kalau itu wanita yang tadi, aku akan memberitahunya kalau aku sedang menyetrika
dan menutupnya.
Kali ini Kumiko yang menelepon. Jam dinding menunjukkan pukul
sebelas tiga puluh. “Apa kabar?” tanyanya.
“Baik,” jawabku, lega mendengar suara istriku.
“Sedang apa?”
“Baru selesai menyetrika.”
“Ada masalah?” Ada nada tegang dalam suaranya. Ia tahu
artinya kalau aku menyetrika.
“Tidak ada apa-apa. Cuma menyetrika beberapa pakaian.” Aku
duduk dan memindahkan gagang telepon dari tangan kiri ke tangan kanan. “Ada
apa?”
“Kamu bisa menulis puisi?” tanyanya.
“Puisi!?” Puisi? Apa maksudnya… puisi?
“Aku kenal dengan penerbit majalah cerita untuk remaja putri.
Mereka sedang mencari orang untuk menyortir dan merevisi puisi yang dikirim
pembaca. Dan mereka ingin orangnya supaya menulis puisi pendek tiap bulan untuk
halaman depan. Bayarannya lumayanlah buat pekerjaan gampang begitu. Tentunya,
ini paruh-watu. Tapi mereka mungkin juga menambahkan pekerjaan redaksional
kalau orangnya—“
“Pekerjaan gampang?” Aku menyela. “Hei, nanti dulu. Aku
mencari pekerjaan yang berhubungan dengan hukum, bukan puisi.”
“Kukira kamu suka menulis sewaktu SMA.”
“Iya sih, untuk koran sekolah: tim mana yang memenangkan
kejuaraan sepak bola atau cerita tentang guru Fisika yang jatuh di tangga lalu
dirawat di rumah sakit—macam begitulah. Bukan puisi. Aku tidak bisa menulis
puisi.”
“Ya, tapi maksudku bukan puisi yang wah, cuma untuk anak-anak
SMA kok. Tidak harus yang sampai masuk dalam sejarah kesusasteraan. Kamu bisa
melakukannya sambil merem. Mengerti, kan?”
“Begini deh, pokoknya aku tidak bisa menulis puisi—mau sambil
merem atau melek kek. Aku tidak pernah membuatnya, dan sekarang pun aku tetap
tidak mau.”
“Baiklah,” kata Kumiko, terdengar menyesal. “Tapi susah lo
mendapat pekerjaan legal itu.”
“Aku tahu. Karena itulah aku sudah mengirim banyak proposal
untuk referensi. Semestinya sudah ada kabar minggu ini. Kalau itu tidak
berhasil, aku akan mencari cara lain.”
“Yah, kukira begitu saja. Omong-omong, hari apa sekarang?”
Aku berpikir sebentar dan menjawab, “Selasa.”
“Kalau begitu maukah kamu ke bank dan membayar gas dan
telepon?”
“Tentu. Lagipula tadinya aku mau belanja untuk makan malam.”
“Rencananya mau bikin apa?”
“Aku belum tahu. Aku putuskan nanti saja sewaktu belanja.”
Ia terdiam. “Baru terpikir olehku,” ucapnya, kembali serius,
“tidak usah buru-buru amat mendapat pekerjaan.”
Tidak kusangka-sangka. “Memangnya kenapa?” tanyaku. Apa para
wanita di dunia ini telah memutuskan untuk memberiku kejutan lewat telepon?
“Cepat atau lambat masa menganggurku akan berakhir. Aku tidak bisa terus
luntang-lantung selamanya.”
“Betul, tapi dengan kenaikan gajiku, dan sesekali ada
pekerjaan sampinganku juga, ditambah tabungan kita, kita bisa bertahan dengan
baik asal cermat. Keadaannya toh tidak benar-benar darurat. Apa kamu tidak suka
berdiam di rumah begini dan melakukan pekerjaan rumah? Maksudku, apa hidup
seperti ini salah buatmu?”
“Aku tidak tahu,” jawabku dengan jujur. Aku benar-benar tidak
tahu.
“Yah, beristirahatlah dan pikirkan,” katanya. “Omong-omong,
kucingnya sudah balik?”
Kucing. Sepanjang pagi ini aku sama sekali tidak terpikir
soal kucing itu. “Belum,” jawabku.
“Kamu bisa mencarinya di sekitar perumahan? Sudah lebih dari
seminggu dia hilang.”
Aku bergumam tidak pasti dan memindahkan gagang telepon ke
tangan kiriku lagi. Ia melanjutkan:
“Aku hampir pasti dia berkeliaran di sekitar rumah kosong di
ujung gang. Yang ada patung burung di halamannya. Aku pernah melihatnya di sana
beberapa kali.”
“Di gang? Sejak kapan kamu suka ke gang? Kamu tidak pernah
bilang-bilang.”
“Ups! Harus pergi nih. Banyak pekerjaan menunggu. Jangan lupa
kucingnya, ya.”
Ia memutus sambungan. Lagi-lagi aku mendapati diriku
memandangi gagang telepon. Lalu aku menaruhnya di tempatku.
Aku penasaran dengan apa yang membuat Kumiko pergi ke gang.
Dari rumah kami, supaya sampai ke sana orang harus memanjat dinding batako. Dan
setelah bersusah-payah pun, tidak ada gunanya berada di sana.
Aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air, lalu ke
beranda untuk menengok piring makanan kucing. Dari semalam gundukan sarden itu
belum ada yang menyentuh. Belum, kucingnya belum kembali. Aku berdiri saja
memandangi taman kecil kami, cahaya matahari pada awal musim panas memancar ke
arahnya. Bukan berarti taman kami semacam taman yang bisa menjadi pelipur jiwa
kalau dipandangi. Matahari menyorotkan sinarnya ke sana sedikit saja setiap harinya,
jadi tanahnya hitam dan lembap, dan tumbuhan yang kami miliki hanyalah sedikit
semak yang tidak menarik di salah satu pojokan—dan aku tidak menyukainya. Ada
tegakan kecil pepohohan di dekatnya, dari situ kita bisa mendengar cuitan
teratur seekor burung yang bunyinya seakan berasal dari pegas yang diputar. Kami
menyebutnya burung mainan. Kumiko yang memberi nama itu. Kami tidak tahu
apa sebetulnya sebutannya atau seperti apa penampakannya, namun itu tidak
mengusik si burung mainan. Setiap hari ia akan hinggap di pepohonan di
perumahan kami dan memutar pegas dari dunia kecil kami yang sunyi.
Jadi sekarang aku mesti mencari kucing itu. Dari dulu aku
selalu menyukai kucing. Khususnya kucing yang satu ini. Tapi kucing punya cara
hidupnya sendiri. Mereka tidak bodoh. Kalau kucing tidak lagi tinggal di
tempatmu, artinya ia telah memutuskan untuk pergi ke tempat yang lain. Kalau ia capek dan
lapar, ia akan kembali. Meski begitu, supaya Kumiko senang, aku akan pergi
mencari kucing kami. Tidak ada yang lebih baik lagi untuk dikerjakan.
*
Aku berhenti dari pekerjaanku pada awal April—pekerjaan di
kantor hukum yang kujalani sejak lulus kuliah. Tidak ada alasan khusus yang
menyebabkanku berhenti. Bukan karena aku tidak menyukai pekerjaanku. Memang
tidak menantang, tapi bayarannya lumayan dan suasana kantornya menyenangkan.
Tugasku di firma itu—tanpa maksud tertentu—adalah sebagai
sebagai pesuruh profesional. Dan aku baik dalam pekerjaanku itu. Boleh dibilang
aku punya bakat sejati dalam melaksanakan tugas-tugas yang praktis. Aku cepat
belajar, efisien, tidak pernah mengeluh, dan realistis. Itulah sebabnya, ketika
aku mengajukan pengunduran diri, mitra senior (sang ayah dalam firma hukum
milik ayah-dan-putranya ini) sampai menawarkan sedikit kenaikan gaji padaku.
Tapi aku tetap mengundurkan diri. Bukan berarti berhenti
bekerja akan membantuku menyadari adanya harapan atau prospek lain. Hal
terakhir yang ingin kulakukan, misalnya saja, adalah mengurung diri di rumah
dan belajar untuk ujian pengacara. Aku merasa lebih yakin daripada sebelumnya kalau
aku tidak ingin menjadi pengacara. Aku juga tahu kalau aku tidak ingin tetap di
tempat itu dan melanjutkan pekerjaanku. Kalau aku mau berhenti, inilah saat
yang tepat untuk mewujudkannya. Kalau aku tetap di firma itu lebih lama, aku
akan terus di sana sepanjang sisa hidupku. Bagaimanapun juga, usiaku masih tiga
puluh tahun.
Aku sudah memberitahu Kumiko pada waktu makan malam kalau aku
sedang memikirkan untuk berhenti bekerja. Responsnya cuma, “Begitu, ya.” Aku
tidak mengerti maksudnya itu, namun sementara ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Aku juga diam saja, sampai ia menambahkan, “Kalau kamu mau
berhenti, ya berhenti saja. Ini hidupmu, dan kamu harus menjalaninya sesuai
keinginanmu.” Sehabis mengatakan itu, ia sibuk mengambili tulang ikan dengan sumpit
dan memindahnya ke sisi piring.
Kumiko memperoleh bayaran yang cukup bagus sebagai editor di
majalah makanan sehat, dan sesekali ia mengerjakan permintaan ilustrasi dari
teman-temannya sesama editor di majalah lain supaya mendapat banyak penghasilan
tambahan. (Ia pernah belajar desain di perguruan tinggi dan berharap menjadi
ilustrator lepas.) Selain itu, kalau aku berhenti, untuk sementara waktu aku
akan punya penghasilan sendiri dari tunjangan pengangguran. Artinya, kalaupun
aku di rumah saja dan mengurus rumah, kami masih punya uang lebih untuk
misalnya makan di luar dan membayar uang kebersihan, dan gaya hidup kami hampir
tidak akan berubah. Maka akupun mengundurkan diri dari pekerjaanku.
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
2 komentar:
Belum ada terjemahan indonesianya ya?
Wah, saya belum tahu, misalkan ada :-/
Terima kasih, ya, sudah berkunjung kemari :)
Posting Komentar