*
Aku sedang menaruh belanjaan di kulkas ketika telepon
berdering. Kali ini deringannya terdengar tidak sabaran. Aku baru saja membuka
plastik pembungkus tofu, yang kuletakkan dengan hati-hati di meja dapur supaya
airnya tidak tumpah. Aku pergi ke ruang tengah dan mengangkat telepon.
“Mestinya sekarang kamu sudah selesai masak spageti,” kata
wanita itu.
“Benar. Tapi sekarang aku harus mencari kucing.”
“Itu bisa menunggu sepuluh menit lagi, aku yakin. Tidak
seperti memasak spageti.”
Karena alasan tertentu, aku tidak bisa begitu saja menutup
telepon itu. Ada sesuatu dalam suaranya yang menarik perhatianku. “Oke, tapi
tidak lebih dari sepuluh menit, ya.”
“Nah, sekarang kita akan bisa memahami satu sama lain,”
ucapnya dengan yakin dan tenang. Aku merasa ia sedang duduk dengan nyamannya di
kursi dan menyilangkan kakinya.
“Aku penasaran,” kataku. “Apa yang bisa dipahami dalam
sepuluh menit?”
“Sepuluh menit bisa jadi lebih lama daripada yang kamu
pikirkan,” ujarnya.
“Kamu yakin sudah mengenalku?”
“Tentu saja iya. Kita sudah berjumpa ratusan kali.”
“Di mana? Kapan?”
“Di suatu tempat, pada suatu waktu,” ucapnya. “Tapi kalau itu
dibahas, sepuluh menit tidak akan cukup. Yang penting ialah waktu yang ada
sekarang. Saat ini. Setuju tidak?”
“Mungkin saja. Tapi aku ingin bukti kalau kamu mengenalku.”
“Bukti macam apa?”
“Usiaku, misalnya?”
“Tiga puluh,” jawabnya seketika. “Tiga puluh tahun dua bulan.
Cukup puas?”
Aku pun bungkam. Ia jelas-jelas mengenalku, tapi aku sama
sekali tidak ingat suaranya.
“Sekarang giliranmu,” ucapnya, suaranya menggairahkan.
“Cobalah membayangkanku. Dari suaraku. Bayangkan seperti apa diriku. Usiaku.
Tempatku berada. Penampilanku. Silakan.”
“Tidak tahu,” kataku.
“Oh, ayolah,” ujarnya. “Cobalah.”
Aku melihat jam tanganku. Baru satu menit lima detik. “Tidak
tahu,” kataku lagi.
“Kalau begitu, biar aku membantumu,” ucapnya. “Aku sedang di
tempat tidur. Aku baru dari pancuran, dan tidak mengenakan apa-apa.”
Oh, bagus. Seks telepon.
“Atau kamu lebih suka kalau aku mengenakan sesuatu? Sesuatu
yang berenda. Atau stoking. Apa kamu lebih menyukainya?”
“Aku sama sekali tidak peduli. Lakukan saja sesukamu,”
kataku. “Kalau ingin pakai sesuatu, pakai saja. Kalau ingin bugil, ya bugil
saja. Maaf, tapi aku tidak tertarik dengan telepon iseng begini. Aku punya
banyak urusan—“
“Sepuluh menit,” ucapnya. “Tidak ada ruginya sepuluh menit
saja. Tidak akan menyia-nyiakan waktumu. Jawab saja pertanyaanku. Kamu ingin
aku bugil atau pakai sesuatu? Segala macam pakaian ada. Celana dalam hitam
berenda….”
“Bugil saja tidak apa-apa.”
“Oh, baiklah. Kamu ingin aku bugil.”
“Ya. Bugil. Bagus.”
Empat menit.
“Rambut kemaluanku masih basah,” ucapku. “Tadi aku tidak
kering amat menghandukinya. Aduh, aku basah sekali! Hangat dan basah. Dan
lembut. Sangat lembut dan hitam. Sentuh aku.”
“Begini, maaf, tapi—“
“Dan di bawah sana juga. Sepenuhnya di bawah. Hangat sekali
di bawah sana, seperti krim mentega. Hangat sekali. Mmm. Dan pahaku. Menurutmu,
bagaimana posisi pahaku sekarang? Lutut kananku ke atas, dan paha kiriku cukup
terbuka. Kira-kira, arah pukul sepuluh lewat lima.”
Dari suaranya aku rasa ia tidak mengada-ada. Pahanya
benar-benar terbuka ke arah sepuluh lewat lima, kemaluannya hangat dan basah.
“Sentuhlah bibirnya,” ucapnya. “Pelan-pelan. Nah, bukalah.
Begitu. Yang pelan, yang pelan. Biarkan jemarimu mengelusnya. Oh, yang
pelan-pelan sekali. Nah, tanganmu yang satunya, sentuh tetek kiriku. Mainkan. Usap-usap.
Ke sebelah atas. Pijit sedikit pentilnya. Lakukan lagi. Lagi. Lagi. Sampai aku
mau keluar.”
Tanpa sepatah katapun, kuletakkan gagang telepon. Sembari
berbaring di sofa, kutatap jam dan mengembuskan desahan yang dalam dan panjang.
Hampir enam menit tadi aku bicara dengannya.
Telepon berdering lagi sepuluh menit kemudian, tapi kubiarkan
saja. Lima belas kali telepon itu berbunyi. Dan sewaktu berhenti, keheningan
yang senyap dan sunyi luruh ke ruangan.
Persis sebelum pukul dua, aku memanjat dinding batako dan
turun ke gang—atau begitulah kami menyebutnya. “Gang” bukan kata yang tepat
untuk menyebutnya, tapi, sepertinya tidak ada kata lain untuk itu. Itu bukanlah
“jalan raya” atau “jalan setapak” atau jalan secara umum sekalipun. Sebenarnya,
sebuah “jalan” itu seharusnya sebuah jalur atau saluran dengan jalan masuk dan
jalan keluar, yang kalau ditelusuri akan mengarahkan kita ke suatu tempat.
Namun, “gang” yang satu ini tidak punya jalan masuk sekaligus jalan keluar.
Tidak bisa juga disebut jalan buntu: jalan buntu setidaknya punya satu sisi
yang terbuka. Gang ini bukan hanya punya satu sisi yang tertutup, melainkan
dua. Para tetangga bersikukuh menyebutnya “gang” yang sangat berguna.
Panjangnya sekitar seratus delapan puluh meter dan menyusup di antara
pekarangan belakang rumah-rumah yang berbaris bersisian. Lebarnya hanya sekitar
satu meter, dan ada beberapa titik yang mesti dilalui dengan hati-hati, sebab
ada saja pagar yang condong ke arah jalan, juga benda-benda yang dibuang orang
menjadi penghalang.
Tentang gang ini, ceritanya—yakni cerita yang kudengar dari
pamanku, yang menyewakan rumah itu pada kami hampir secara cuma-cuma—dulunya
punya jalan masuk dan jalan keluar, dan sebenarnya dibuat untuk menjadi jalan
pintas. Tapi sejak pertumbuhan ekonomi yang cepat pada pertengahan tahun lima
puluhan, deretan rumah baru mulai mengisi bidang kosong di sisi jalan, menghimpitnya
hingga yang tersisa tidak lebih daripada jalan sempit. Orang tidak suka ada
orang asing yang melintas terlalu dekat dengan rumah dan pekarangan mereka,
jadi tidak lama kemudian salah satu ujung jalan itu ditutup—atau, agaknya,
disekat—dengan pagar biasa. Lalu salah seorang pemukim ingin memperluas
halamannya dan menutup ujung lain gang tersebut dengan dinding batako
sepenuhnya. Seakan tidak mau kalah, pagar berkawat duri didirikan di ujung
satunya, bahkan anjingpun tidak dapat melaluinya. Tidak ada satupun tetangga
yang komplain, sebab tidak ada satupun dari mereka yang menggunakan gang itu
sebagai jalan, dan mereka senang-senang saja punya perlindungan ekstra dari
aksi kriminal. Hasilnya, gang itu tinggal semacam kanal yang telantar, tidak
terpakai, tidak lebih dari kawasan penyangga di antara dua baris rumah-rumah.
Laba-laba menyebarkan jejaringnya yang lengket di mana-mana.
Kenapa Kumiko pergi ke tempat seperti itu? Aku sendiri tidak
lebih dari dua kali pernah turun ke sana, dan Kumiko kan takut dengan
laba-laba. Ah, masabodoh—kalau Kumiko bilang aku mesti pergi ke gang dan
mencari kucing itu, maka aku akan melaksanakannya. Yang terjadi nanti biarlah
kupikirkan nanti saja. Berjalan-jalan di luar begini jauh lebih baik ketimbang
duduk saja di rumah menunggu telepon berdering.
Terik sinar matahari pada awal musim panas memerciki
permukaan gang dengan bayang gelap ranting-ranting yang terentang di atas.
Tanpa adanya angin yang menggerakkan ranting-ranting itu, bayangannya terlihat
seperti noktah permanen, ditakdirkan untuk tercetak selama-lamanya di aspal
jalan. Sepertinya tidak ada suara apapun yang dapat menembus ke tempat ini. Hampir
dapat kudengar napas helaian rumput yang tersiram oleh cahaya matahari.
Beberapa awan kecil melayang di langit, bentuknya rapi dan bersih, seperti awan
pada ukiran dari abad pertengahan. Semuanya tampak olehku dengan begitu
jelasnya sampai-sampai tubuhku sendiri terasa goyah, tidak berbentuk, dan
mencair… dan panas!
Aku mengenakan kaus, celana katun tipis, dan sepatu tenis.
Tapi berjalan di bawah matahari musim panas membuatku dapat merasakan selapis
tipis keringat di bawah lenganku dan di ceruk dadaku. Kaus dan celana ini
asalnya dari kotak berisi pakaian musim panas hingga aku mengeluarkannya pagi
ini. Aroma tajam kamper menusuk lubang hidungku.
Barisan rumah di sisi gang terbagi menjadi dua kategori yang
berbeda: rumah-rumah yang lebih tua dan rumah-rumah yang dibangun belakangan.
Kelompok rumah yang lebih baru ukurannya lebih kecil, dengan halaman yang lebih
kecil pula yang sepadan. Tiang jemuran mereka sering kali dipancangkan di area
gang, sehingga sesekali aku mesti menyusup melewati gantungan handuk, lap , dan
pakaian dalam. Dari tembok belakang beberapa rumah terdengar suara televisi dan
toilet sedang disiram, juga tercium aroma kari sedang dimasak.
Sebaliknya, hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan pada
rumah-rumah yang lebih tua. Rumah-rumah itu dibatasi oleh semak-semak dan pagar
tanaman yang ditata dengan baik, melalui sela-selanya sepintas kudapati
taman-taman yang terawat. Di pojok salah satu taman ada sebatang pohon Natal
berwarna cokelat yang usang dan layu. Taman lainnya telah menjadi lahan
pembuangan segala mainan yang diketahui manusia, jelas-jelas peninggalan dari
masa kecil beberapa generasi. Ada sepeda roda tiga, cincin lontar, pedang
plastik, bola karet, boneka kura-kura, dan pemukul bisbol kecil. Di satu taman
ada tiang basket, dan di taman lainnya ada beberapa kursi mengelilingi sebuah
meja keramik. Kursi-kursi berwarna putih itu dilekati kotoran, seakan sudah
tidak digunakan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bagian atas meja
dilapisi helai-helai kelopak magnolia ungu muda, takluk oleh hujan.
Aku dapat melihat dengan jelas ruang keluarga di salah satu
rumah-rumah itu melalui pintu belakang yang terbuat dari aluminium. Di ruangan
itu ada beberapa kursi dan sofa dari kulit yang senada, sebuah TV besar, sebuah
bufet (di atasnya ada akuarium ikan tropis dan dua benda semacam piala), dan lampu
hias berdiri. Ruangan itu tampak seperti latar untuk tayangan drama di TV. Ada
sebuah rumah anjing yang sangat besar menempati lahan yang luas di taman
lainnya, namun tidak ada tanda keberadaan si anjing, dan pintu rumah itu
terbuka. Kasa pintunya menonjol ke luar seakan ada yang bersandar di situ
berbulan-bulan lamanya.
Rumah kosong yang dimaksud Kumiko terletak tepat di samping
rumah dengan rumah-anjing besar. Dengan memandang sepintas saja aku tahu rumah
itu kosong—dan sudah cukup lama. Rumah itu bertingkat dua yang kelihatannya
agak baru, namun daun penutup jendelanya menampakkan tanda-tanda pelapukan yang
parah, dan susuran tangga di sebelah luar jendela lantai dua dilekati karat.
Ada taman kecil di rumah itu, yang, sudah pasti, tempat terdapatnya sebuah
patung burung dari batu. Patung itu beralas setinggi dada dan dikelilingi
rerumputan yang tumbuh rimbun. Batang-batang pakis yang jangkung keemasan
hampir menyentuh kaki burung itu. Aku tidak tahu jenis apa burung itu pastinya.
Sayapnya terbentang seakan-akan ingin kabur dari tempat yang tidak menyenangkan
ini secepat mungkin. Selain patung itu, tidak ada hiasan lainnya lagi di taman
itu. Ada tumpukan kursi dari plastik yang sudah usang di belakang rumah, dan di
sebelah ada semak azalea memamerkan bunga-bunganya yang merah terang, warnanya
itu terasa aneh dan tidak asli. Selebihnya rumput liar.
Sejenak aku bersandar pada pagar berantai yang ada di situ,
memenungkan taman itu. Taman itu semestinya surga bagi para kucing, tapi
sekarang ini tidak ada tanda-tanda adanya kucing di sini. Pemandangan itu
diiringi cuitan monoton seekor merpati yang bertengger pada antena TV di atap.
Bayangan patung burung berpencar ke semak belukar di sekitarnya.
Kuambil permen lemon dari saku, membuka bungkusnya, dan melontarnya
ke mulut. Aku mengajukan pengunduran diri dari firma sebagai kesempatan untuk
berhenti merokok, tapi kini satu pak permen lemon selalu ada bersamaku. Kumiko
bilang aku kecanduan dan memperingatkan kalau mulutku akan segera dipenuhi
lubang gigi, tapi aku tidak bisa tanpa permen lemon. Sementara aku berdiri di
sana dan mengamati taman itu, merpati di antena TV terus berdekut, seperti
karyawan yang tengah membubuhkan nomor pada berkas-berkas tagihan. Entah berapa
lama aku tetap di sana sambil bersandar pada pagar, tapi aku ingat menjatuhkan
permen lemonku yang setengah lumer ke tanah selagi mulutku dipenuhi manisnya
yang lengket. Baru saja aku mengalihkan tatapanku ke bayangan patung burung,
sewaktu aku merasakan adanya orang yang memanggilku dari belakang.
Aku berpaling, dan melihat seorang gadis berdiri di taman di
sisi lain gang. Tubuhnya mungil. Rambutnya dikuncir tinggi ke belakang. Ia
mengenakan kacamata hitam berbingkai kuning, dan kaus biru cerah tanpa lengan.
Musim penghujan baru saja berakhir, tapi ia sudah mencoba menggelapkan
lengannya yang ramping. Satu tangannya melesak ke dalam saku celana pendeknya.
Tangannya yang lain bersandar pada lawang bambu setinggi pinggang, yang tidak
akan akan cukup kuat menahannya. Jarak kami hanya sekitar satu meter—mungkin
lebih.
“Panas,” katanya padaku.
“Yah, benar,” ujarku.
Setelah pertukaran pendapat yang singkat ini, ia bergeming
memandangiku.
Lalu ia mengeluarkan sekotak rokok merek Hope dari saku
celananya, menarik sebatang, dan menaruhnya di sela bibir. Mulutnya kecil.
Bibir atasnya agak naik. Ia menggeret korek api dan menyalakan rokoknya. Selagi
kepalanya teleng ke satu sisi, rambutnya tersibak hingga tampak bentuk
telinganya yang indah, lembut seakan baru diciptakan, tepiannya bercahaya dan berambut
halus.
Ia membuang korek apinya dan mengembuskan asap melalui
bibirnya yang mengerut. Lalu ia memandangku seakan sudah lupa kalau aku ada di
situ. Aku tidak bisa melihat matanya melalui lensa kacamatanya yang gelap dan
memantulkan cahaya itu.
“Tinggal di sekitar sini?” tanyanya.
“He-eh.” Aku ingin bergerak ke arah rumahku, namun rupanya
supaya bisa sampai ke sini tadi aku melewati jalur yang sangat berlika-liku
sampai-sampai aku tidak tahu lagi arah tepatnya ke rumahku. Akhirnya aku asal
saja mengambil jalan.
“Aku sedang mencari kucingku,” jelasku, sambil mengusapkan
telapak tanganku yang berkeringat ke celana. “Sudah seminggu dia menghilang.
Ada yang melihatnya di sekitar sini.”
“Kucingnya seperti apa?”
“Kucing jantan bongsor. Belang-belang cokelat. Ujung ekornya
agak bengkok.”
“Namanya?”
“Noboru. Noboru Wataya.”
“Bukan, bukan namamu. Nama kucingnya.”
“Memang itu nama
kucingnya.”
“Oh! Keren banget!”
“Yah, sebenarnya, itu nama saudara iparku. Kucing itu agak
mengingatkan kami padanya. Kami menamai kucing itu dengan namanya buat iseng
saja.”
“Kok bisa kucing itu mengingatkanmu padanya?”
“Entahlah. Kelihatannya saja. Caranya bersuara. Dan
tatapannya yang kosong begini.”
Untuk pertama kalinya ia tersenyum, penampilannya jadi
terlihat lebih seperti anak-anak ketimbang semula. Usianya mungkin tidak lebih
dari lima belas atau enam belas. Bibirnya menyungging sedikit, melengkung ke
sudut yang jangal. Rasa-rasanya aku mendengar suara “Sentuhlah aku”—suara
wanita di telepon tadi. Kusapu keringat di dahi dengan punggung tanganku.
“Kucing belang-belang cokelat yang ekornya bengkok,” kata
gadis itu. “Apa dia pakai kalung atau semacam itu?”
“Kalung kutu warna hitam.”
Ia bergeming sambil berpikir-pikir selama sepuluh atau lima
belas menit, tangannya masih bersandar pada lawang. Lalu ia menjatuhkan puntung
rokoknya dan meremukkannya dengan sandal.
“Mungkin aku pernah lihat kucing seperti itu,” ucapnya.
“Entah seperti apa ekornya, tapi kucing itu cokelat dan seperti macan, besar,
dan sepertinya ada kalungnya.”
“Kapan kamu pernah melihatnya?”
“Kapan aku pernah melihatnya?
Hmm. Sekitar tiga atau empat hari lalu. Halaman kami ini seperti jalan raya
buat kucing-kucing perumahan sini. Mereka semua memintas ke sini dari rumahnya
Takitani ke rumahnya Miyawaki.”
Ia menunjuk ke arah rumah kosong, tempat burung dari batu itu
masih membentangkan sayapnya, tanaman hiasnya yang jangkung masih diterpa
matahari awal musim panas, dan si merpati terus berdekut di atas antena TV.
“Aku punya usul,” ucapnya. “Kenapa tidak menunggu di sini
saja? Toh kucing-kucing lewat sini kalau mau ke rumahnya Miyawaki. Dan orang
bakal panggil polisi kalau melihatmu berkeliaran begitu. Ini bukan yang pertama
kalinya.”
Aku ragu.
“Jangan khawatir,” imbuhnya. “Aku sendirian saja di sini.
Kita berdua bisa duduk sambil berjemur dan menunggu kucing itu muncul. Aku akan
membantumu. Penglihatanku normal kok.”
Aku melihat jam tanganku. Pukul dua lewat dua puluh enam.
Yang mesti kukerjakan hari ini sebelum gelap adalah mengambil cucian dan
menyelesaikan urusan makan malam.
Aku melewati lawang dan mengikuti gadis itu ke halaman. Kaki
kanannya agak terseret-seret. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh
padaku.
“Aku terjatuh dari belakang sepeda motor,” ucapnya, seakan
itu bukan persoalan penting.
Sebatang pohon ek yang besar tegak di bagian halaman yang
rumputnya terpangkas habis. Di bawah pohon itu ada dua kursi geladak berbahan
kanvas, handuk pantai berwarna biru tersampir pada salah satunya. Pada kursi
lainnya terdapat sekotak rokok Hope reguler yang masih baru, asbak dan
pemantik, sebuah majalah, dan sebuah boom
box yang sangat besar. Boom box
itu memperdengarkan musik rok cadas dalam volume rendah. Gadis itu mematikan
musiknya dan menyingkirkan segala barang dari kursi itu untukku, menjatuhkannya
begitu saja ke rumput. Dari kursi itu, aku bisa memandang ke arah halaman rumah
kosong, patung burung, tanaman hias, dan pagar berantai. Mungkin saja gadis itu
sudah mengamatiku selama aku berada di sana.
Halaman rumah ini sangat luas, ada area melandai yang lebar
dan diisi serumpun pepohonan. Di samping kursi geladak ada kolam bertepi beton
yang agak besar, dasarnya yang kosong terpapar oleh sinar matahari. Melihat
warnanya yang kehijauan, kolam itu sudah cukup lama tidak diisi air. Kami duduk
membelakangi rumah, yang dapat terlihat melalui sela-sela pepohonan.
Bangunan rumah itu tidak besar ataupun mewah. Halamannya saja
yang memberi kesan luas, dan terawat dengan baik.
“Halamannya besar, ya,” kataku, sambil melihat-lihat. “Pasti
repot mengurusnya.”
“Pastinya.”
“Sewaktu masih anak-anak, aku pernah bekerja di perusahaan
pemotong rumput.”
“Oh?” Jelas ia tidak tertarik pada rerumputan.
“Kamu selalu sendirian di rumah?” tanyaku.
“Yah. Selalu. Kecuali waktu ada pembantu pada pagi dan sore.
Sepanjang siang ya aku saja. Sendirian. Mau minum yang dingin-dingin? Ada bir.”
“Tidak, terima kasih.”
“Serius? Jangan malu-malu.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Kamu tidak ke sekolah?”
“Kamu tidak kerja?”
“Tidak ada kerjaan.”
“Kehilangan pekerjaan?”
“Begitulah. Aku berhenti beberapa minggu lalu.”
“Kerjanya apa?”
“Pesuruh pengacara. Aku pergi ke kantor-kantor pemerintahan
untuk mengambil dokumen-dokumen, mengurutkannya, memeriksa preseden legal,
menangani prosedur pengadilan—yang semacam itu.”
“Tapi kamu berhenti.”
“Yah.”
“Istrimu kerja?”
“Iya.”
Merpati di seberang sana mestilah sudah berhenti berdekut dan
menghilang entah ke mana. Mendadak aku menyadari adanya keheningan yang pekat
di sekitar kami.
“Tepat di seberang sana kucing-kucing suka melintas,”
ucapnya, menunjuk ke arah yang jauh pada rerumputan. “Lihat tempat pembakaran
sampah di halaman Takitani? Di situ mereka muncul di bawah pagar, memintas
rumput, dan keluar lewat bawah gerbang ke arah halaman di seberang. Mereka
selalu melalui rute yang persis sama.”
Ia mengangkat kacamata hitamnya ke dahi, mengerling ke
halaman, dan menurunkan kacamatanya lagi, sambil mengembuskan segumpal asap.
Sempat aku melihat ada luka sepanjang dua inci di dekat mata kirinya—luka yang
kemungkinan akan membekas seumur hidupnya. Mungkin kacamata hitam itu
dikenakannya untuk menyembunyikan luka. Wajah gadis itu tidak begitu cantik,
tapi ada yang menarik dari padanya, barangkali karena matanya yang lincah atau
bentuk bibirnya yang unik.
“Kamu tahu tentang keluarga Miyawaki?” tanyanya.
“Tidak sama sekali,” ujarku.
“Mereka yang dulu menempati rumah kosong itu. Keluarga yang
sangat sopan. Mereka punya dua anak perempuan, dua-duanya di sekolah swasta.
Pak Miyawaki punya beberapa restoran keluarga.”
“Kenapa mereka pergi?”
“Mungkin karena utang. Sepertinya mereka kabur—mengosongkan
rumahnya begitu saja dalam semalam. Sekitar setahun lalu, kira-kira. Membiarkan
tempat itu lapuk dan jadi peternakan kucing. Ibuku suka mengeluhkannya.”
“Apa di sana kucingnya banyak sekali?” Dengan rokok di
bibirnya, gadis itu menerawang ke arah langit. “Segala macam kucing. Ada yang
kehilangan rambutnya, ada yang matanya cuma satu… dan di tempat matanya yang
satu lagi, ada gumpalan daging mentah. Iyuh.” Aku mengangguk.
“Aku punya saudara yang di masing-masing tangannya ada enam
jari. Dia cuma sedikit lebih tua daripadaku. Jari tambahannya ada di samping
kelingkingnya, seperti bayi jari. Dia tahu caranya supaya jari itu terlipat
terus, jadi orang sering tidak menyadarinya. Dia cantik sekali.” Aku mengangguk
lagi.
“Menurutmu itu ada dalam keluarga? Apa sebutannya… bagian
dari hubungan darah?”
“Aku tidak tahu banyak soal keturunan.”
Ia berhenti berbicara. Aku mengisap permen lemon dan
memandang tajam jalurnya kucing itu. Sejauh ini tidak ada satupun kucing yang
menampakkan diri.
“Yakin tidak mau minum apa-apa?” tanyanya. “Aku mau ambil
Coca Cola.”
Aku bilang aku tidak ingin minum.
Ia meninggalkan kursi geladaknya dan menghilang di balik
pepohonan sembari agak menyeret kakinya yang sakit. Aku memungut majalahnya
dari rumput dan membukai halamannya. Aku sangat terkejut, majalah itu ternyata
untuk pria dewasa, majalah bulanan yang dicetak pada kertas mengilap. Di
halaman yang terlipat ada gambar wanita mengenakan celana dalam tipis yang
memperlihatkan belahan dan rambut kemaluannya. Ia duduk di bangku tanpa
sandaran. Pahanya terbuka lebar dalam sudut yang janggal. Sambil mendesah,
kutaruh lagi majalah itu, melipat kedua tanganku di depan dada, dan kembali
memerhatikan jalurnya kucing.
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar