*
Lama sekali gadis itu baru kembali, dengan Coca Cola di tangannya.
Aku mulai kepanasan. Duduk di bawah matahari membuat otakku serasa berkabut.
Hal terakhir yang ingin kuperbuat adalah berpikir.
“Menurutmu,” ucapnya, mengangkat kembali pembicaraan semula.
“Kalau kamu jatuh cinta dengan seorang gadis dan ternyata dia punya enam jari,
bagaimana reaksimu?”
“Menjualnya ke sirkus,” jawabku.
“Serius?”
“Tidak, tentu saja tidak,” sanggahku. “Aku becanda. Kukira
aku tidak bakal terganggu.”
“Sekalipun anak-anakmu mungkin saja mewarisinya?”
Aku memikirkannya sejenak.
“Tidak, sepertinya aku betulan tidak bakal terganggu. Apa
salahnya punya jari tambahan?”
“Bagaimana kalau dia punya empat payudara?”
Aku memikir-mikirkannya juga.
“Entahlah.”
Empat payudara? Pembicaraan semacam ini bisa berlangsung
selamanya. Kuputuskan untuk mengganti topik.
“Berapa usiamu?” tanyaku.
“Enam belas,” jawabnya. “Belum lama ini aku berulang tahun.
Kelas satu SMA.”
“Sudah lama tidak sekolah?”
“Kakiku sakit kalau aku banyak berjalan. Dan ada bekas luka
ini di dekat mataku. Sekolahku sangat ketat. Mereka mungkin bakal mulai
mempersoalkanku kalau mereka tahu aku jatuh dari motor. Jadi aku berhenti
dengan alasan ‘sakit’. Aku bisa cuti dulu setahun. Aku tidak buru-buru ingin
naik kelas.”
“Ya, kurasa tidak,” ucapku.
“Omong-omong, yang tadi kamu katakan itu, kalau kamu tidak
berkeberatan menikahi gadis yang jarinya enam tapi tidak kalau payudaranya
empat….”
“Aku tidak bilang begitu. Aku bilang entahlah.”
“Kok entahlah?”
“Entahlah—sulit membayangkannya.”
“Kamu bisa membayangkan orang yang jarinya enam?”
“Tentu, kurasa bisa.”
“Jadi kenapa tidak dengan empat payudara? Apa bedanya?”
Aku memikirkannya lagi sejenak, tapi tidak mendapat
jawabannya.
“Aku terlalu banyak tanya, ya?”
“Menurut orang lain begitu, ya?”
“Yah, kadang-kadang.”
Aku berpaling ke arah jalur kucing lagi. Apa gerangan yang
kuperbuat di sini? Tidak satupun kucing menampakkan diri sejauh ini. Kedua
tanganku masih terlipat di dada. Kupejamkan mata selama kira-kira tiga puluh
detik. Bisa kurasakan keringat menetes di beberapa bagian tubuhku. Matahari
tercurah ke arahku dengan teriknya yang terasa aneh. Kapanpun gadis itu
menggerakkan gelasnya, denting es di dalamnya terdengar seperti lonceng sapi.
“Tidurlah kalau kepingin,” bisiknya. “Aku akan membangunkanmu
kalau ada kucing yang muncul.”
Dengan mata terpejam, kuanggukkan kepala tanpa suara.
Suasana pun hening. Tidak ada suara apapun. Si merpati sudah
lama pergi. Aku masih terpikir soal wanita di telepon tadi. Benarkah aku
mengenalnya? Tidak ada sedikitpun kesan familier dalam suaranya atau caranya
berbicara. Namun ia pastinya mengenalku. Aku seakan melihat lukisan De Chirico:
bayang panjang seorang wanita melintasi jalanan yang lengang dan merenggang ke
arahku, namun ia sendiri berada di sebuah tempat yang jauhnya lepas dari batas
kesadaranku. Sebuah lonceng terus berdentang di dekat telingaku.
“Kamu tidur?” tanya gadis itu, suaranya begitu kecil hingga
aku tidak yakin memang mendengarnya.
“TIdak, aku tidak tidur,” sahutku.
“Boleh aku mendekat? Sepertinya… akan lebih enak kalau
suaraku pelan saja.”
“Tidak apa-apa,” ucapku, masih memejamkan mata.
Ia menggeser kursinya hingga menubruk kursiku dan suara
kayunya yang kering berkeletak. Aneh, suara gadis itu kedengarannya lain sama
sekali, tergantung pada terbuka atau terpejamnya mataku.
“Boleh aku bicara? Aku akan tetap tenang, dan kamu tidak
perlu menanggapinya. Boleh saja kalau mau tidur. Aku tidak keberatan.”
“Baiklah,”ucapku.
“Waktu orang meninggal, mayatnya didandani dengan sangat
rapi.”
Mulutnya dekat dengan telingaku, kata-katanya memasukiku
melalui napasnya yang hangat dan lembap. “Terus?” tanyaku.
Ia menaruh jarinya di bibirku seakan hendak menyegelnya.
“Tidak boleh tanya,” ucapnya. “Dan jangan buka mataku. Oke?” Anggukanku sepelan
suaranya.
Jarinya diturunkan dari bibir ke pergelangan tanganku. “Kalau
saja aku punya pisau bedah. Aku akan menyayatnya dan melihat ada apa di
dalamnya. Bukan mayatnya… tapi bungkal kematiannya. Aku yakin pasti ada yang
seperti itu. Bentuknya bulat dan seperti spons, seperti softball, dengan intinya yang keras dan kecil berupa saraf mati.
Aku ingin mengeluarkannya dari orang yang sudah mati itu dan menyayatnya dan
melihat bagian dalamnya. Aku selalu penasaran seperti apa itu. Mungkin keras
seluruhnya, seperti pasta gigi yang mengering di bagian dalam bungkusnya.
Begitulah, iya kan? Jangan, jangan menjawab. Benda itu kenyal di luarnya, dan
semakin kita melihat ke dalamnya, semakin keras. Aku ingin membelah kulitnya
sampai terbuka dan mengeluarkan benda yang kenyal itu, mengambilnya dengan
pisau bedah dan spatula, dan semakin dekat kita ke intinya, semakin keras benda
itu, sampai kita memperoleh intinya yang kecil. Keciiil sekali, seperti bola
yang kecil, dan sangat keras. Pasti seperti itu, iya kan?”
Ia mendeham beberapa kali.
“Itu saja yang kupikirkan akhir-akhir ini. Pasti gara-gara
waktu kosongku terlalu banyak. Kalau kita tidak ada kerjaan, pikiran kita jadi
ke mana-mana—sampai-sampai kita sulit mengikuti sampai ke ujungnya.”
Ia mengangkat jarinya dari pergelangan tanganku dan menghabiskan
sisa kolanya. Aku tahu gelasnya kosong dari suara esnya.
“Jangan khawatirkan kucingnya—aku sedang mengawasinya. Aku
akan memberitahumu kalau Noboru Wataya muncul. Merem saja terus. Aku yakin
Noboru Wataya sedang berkeliaran di sekitar sini. Dia akan ke sini beberapa
saat lagi. Dia sedang menuju kemari. Aku tahu dia sedang kemari—melintasi
rumput, kolong pagar, berhenti untuk mengendusi bunga-bunga di sepanjang jalan,
pelan-pelan Noboru Wataya mendekat. Bayangkan saja seperti itu, bayangkan dia
dalam pikiranmu.”
Aku mencoba membayangkan kucing itu, tapi yang kuperoleh
hanya gambaran samar yang dilatari cahaya terang. Cahaya matahari menerobos kelopak
mataku, mengacau dan membuyarkan kegelapan benakku, aku jadi sulit memunculkan
bayangan kucing itu secara jelas. Yang terbayang olehku malah sebuah potret
yang gagal, sebuah gambar yang rusak dan janggal, bagian-bagian tertentu dari
padanya mendekati yang asli namun bagian-bagian yang paling penting justru
hilang. Aku bahkan tidak bisa mengingat pembawaan kucing itu saat berjalan.
Gadis itu menaruh jarinya di pergelangan tanganku lagi. Ujung
jarinya menggambar sebuah diagram aneh yang bentuknya tidak jelas. Semacam
kegelapan baru—yang coraknya lain dari kegelapan yang kualami sebelumnya sampai
saat itu—mulai merasuk ke dalam kesadaranku, seakan-akan menanggapinya. Mungkin
saja aku tertidur. Aku tidak ingin tertidur, tapi aku tidak bisa menahannya.
Tubuhku serasa seperti mayat—mayat seseorang—terbenam dalam kursi kanvas.
Dalam kegelapan, aku melihat keempat kaki Noboru Wataya,
empat kaki cokelat berdiam di atas cakar lembut dengan bantalan gembung
menyerupai karet, empat kaki yang tanpa suara menapaki bumi di suatu tempat.
Tapi di mana?
“Sepuluh menit saja cukup,” kata wanita di telepon tadi.
Tidak, ia pasti salah. Kadang sepuluh menit bukanlah sepuluh menit. Waktu dapat
memanjang dan memendek. Aku mengetahuinya dengan pasti.
*
Ketika terbangun, aku sendirian. Gadis itu sudah tidak ada di
kursinya, yang masih bersentuhan dengan kursi yang kududuki. Handuk, rokok, dan
majalahnya masih ada, tapi gelas dan boom
box-nya tidak ada.
Matahari mulai terbenam di barat. Bayangan ranting pohon ek
merangkak di lututku. Jam tanganku menunjukkan pukul empat seperempat. Aku
menegakkan tubuhku dan mengedarkan pandangan. Halaman berumput yang lapang,
kolam yang mengering, pagar, patung burung, tanaman hias, antena TV. Masih
tidak ada tanda-tanda keberadaan kucing itu. Ataupun gadis itu.
Sepintas kulihat jalur kucing dan menanti gadis itu muncul
kembali. Sepuluh menit berlalu, baik si kucing maupun gadis itu tidak kunjung
tampak. Tidak ada yang bergerak. Aku merasa diriku menua dalam sekejap selagi
tertidur tadi.
Aku bangkit dan memandangi rumah itu, tidak tampak adanya
tanda-tanda kehadiran manusia. Jendelanya memantulkan sorot matahari dari
barat. Aku menyerah menunggu terus dan melintasi rerumputan menuju gang,
kembali ke rumah. Aku belum menemukan kucing itu, tapi aku sudah berusaha
semampunya.
*
Di rumah, aku memasukkan cucian dan menyiapkan makan malam
sederhana. Telepon berdering dua belas kali pada pukul setengah enam, tapi aku
tidak mengangkatnya. Bahkan setelah berhenti, suara deringnya itu masih menyisa
dalam temaramnya ruangan bagaikan debu melayang di udara. Dengan ujung jarumnya
yang kaku, jam di meja berdetak pada permukaannya yang transparan dan
mengambang dalam masa.
Mengapa tidak menulis puisi tentang burung mainan saja?
Gagasan itu menyambarku, tapi tidak sekalian dengan baris pertamanya. Bagaimana
mungkin ada remaja putri yang menyukai puisi tentang burung mainan?
*
Kumiko pulang pada pukul setengah delapan. Belakangan ini
pulangnya semakin telat saja. Sudah biasa baginya baru pulang setelah pukul
delapan, dan kadang bahkan setelah pukul sepuluh. Sejak aku di rumah saja
menyiapkan makan malam, ia tidak lagi harus pulang buru-buru. Bagaimanapun
juga, mereka kekurangan tenaga, dan belakangan ada koleganya yang sakit.
“Sori,” katanya. “Pekerjaannya tidak tuntas-tuntas nih, dan
si anak yang kerja paruh-waktu itu tidak becus kerjanya.”
Aku pergi ke dapur dan memasak: ikan tumis mentega, selada,
dan sup miso. Kumiko duduk di kursi dapur dan menyantaikan diri.
“Kamu ke mana jam setengah enam tadi?” tanyanya. “Aku mencoba
menelepon mau bilang pulangnya bakal telat.”
“Menteganya habis, jadi aku ke warung,” dustaku.
“Sudah ke bank?”
“Sudah dong.”
“Kucingnya?”
“Belum ketemu. Tadi aku ke rumah kosong itu, seperti katamu,
tapi tidak ada jejaknya. Taruhan, dia perginya lebih jauh lagi.”
Ia diam saja.
Setelah mandi seusai makan malam, kulihat Kumiko duduk di
ruang tengah tanpa menyalakan lampu. Dengan mengenakan kaus kelabu dan duduk
membungkuk dalam gelap begitu, ia terlihat seperti koper yang ditelantarkan di
tempat yang tidak semestinya.
Sembari mengeringkan rambut dengan handuk, aku duduk di sofa di
seberang Kumiko.
Dengan suara yang hampir tidak dapat kudengar, ia berkata,
“Aku yakin kucing itu sudah mati.”
“Jangan konyol,” ujarku. “Aku yakin dia sedang
bersenang-senang di suatu tempat. Lalu dia akan merasa lapar dan segera pulang.
Dulu juga pernah seperti itu, ingat? Waktu kita tinggal di Koenji….”
“Kali ini lain,” tukasnya. “Kali ini kamu salah. Aku tahu.
Kucing itu mati. Membusuk di rumput-rumput. Apa kamu mencari sampai ke
rumput-rumput di rumah itu?”
“Tidak sih. Rumah itu boleh jadi kosong, tapi kan tetap ada
yang punya. Aku tidak bisa begitu saja masuk ke sana.”
“Jadi di sebelah mana tepatnya
kamu mencari kucing itu? Taruhan, kamu sama sekali tidak mencarinya. Makanya
tidak ketemu. “
Aku mendesah dan menggosok lagi rambutku dengan handuk. Aku
hendak bicara lagi tapi tidak jadi begitu kusadari Kumiko sedang menangis.
Sulit dimengerti: Kumiko menyayangi kucing itu. Kucing itu sudah bersama kami
tidak lama setelah pernikahan kami. Kulempar handuk ke keranjang kamar mandi
dan pergi ke dapur untuk mengambil bir dingin. Betapa tololnya hari ini: Hari
yang tolol pada bulan yang tolol pada tahun yang tolol.
Noboru Wataya, di mana kamu? Adakah si burung mainan lupa memutar pegasmu?
Kata-kata itu timbul dalam benakku bagai baris-baris puisi:
Noboru Wataya,
Di mana kamu?
Adakah si burung mainan
Lupa memutar pegasmu?
Selagi aku menghabiskan birku, telepon mulai berdering lagi.
“Kamu mau angkat tidak?” seruku pada gelapnya ruang tengah.
“Tidak mau,” sahutnya. “Kamu saja.”
“Aku juga tidak mau.”
Telepon itu terus berdering, mengacau debu yang
melayang-layang dalam gelap. Tidak satupun dari kami berkata-kata. Kuminum
birku, dan Kumiko terus menangis tanpa suara. Kuhitung deringnya sampai dua
puluh kali lalu berhenti. Tidak ada gunanya menghitung terus.[]
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar