Ketika melihat
ayahnya Sumire, Miu terkelu. Sumire dapat mendengar helaan napasnya. Seperti
tirai beledu yang ditarik ke sisi pada pagi yang damai sehingga sinar matahari
dapat menerobos dan membangunkan orang yang amat kita kasihi. Mungkin
seharusnya aku membeli kacamata opera, pikir Sumire. Namun ia sudah terbiasa
dengan reaksi dramatis yang ditimbulkan oleh paras ayahnya pada
orang-orang—khususnya wanita paruh baya. Apakah gerangan keindahan itu?
Kualitas apa yang dikandungnya? Sumire tidak pernah mengerti. Namun tidak
pernah ada yang memberinya jawaban. Yang ada hanyalah efek yang begitu-begitu
saja.
“Bagaimana rasanya punya ayah yang ganteng?”
tanya Miu. “Penasaran saja.”
Sumire mendesah—orang begitu mudah ditebak.
“Tidak bisa dibilang menyenangkan sih. Semua orang pikirannya sama: Lelaki itu
tampan sekali. Sangat menonjol. Tapi anak perempuannya tidak begitu enak
dilihat, ya? Pasti itu yang dimaksud dengan atavisme, pikir mereka.”
Miu berpaling pada Sumire, meraih dagunya dengan
amat lembut, dan mengamati wajahnya, seakan sedang mengagumi lukisan di galeri
seni.
“Kalau kamu selalu merasa begitu sampai sekarang,
kamu salah,” ucapnya. “Kamu cantik. Betul-betul mirip dengan ayahmu.” Tangannya
terulur dan, tanpa sengaja, menyentuh pelan tangan Sumire yang rebah di meja.
“Kamu tidak menyadari betapa cantiknya dirimu.”
Wajah Sumire bersemu. Jantungnya melonjak-lonjak
seliar kuda gila di jembatan kayu.
Setelahnya Sumire dan Miu larut dalam obrolan di
antara mereka berdua saja. Resepsinya meriah, dengan bermacam-macam pidato
sehabis makan malam sebagaimana lazimnya (pastinya termasuk dari ayahnya
Sumire), dan hidangannya juga cukup enak. Namun itu tidak sedikitpun membekas
dalam ingatan Sumire. Apakah hidangan utamanya berupa daging? Atau ikan? Apakah
ia menggunakan pisau dan garpu dan menjaga sikapnya? Atau makan langsung dengan
tangan dan menjilati piringnya? Sumire tidak ingat.
Keduanya mengobrol soal musik. Sumire penggemar
berat musik klasik dan sejak kecil suka mengais-ngais koleksi rekaman milik
ayahnya. Seleranya mirip dengan Miu, dan mengalirlah. Mereka menyukai musik
yang dimainkan dengan piano dan yakin Sonata Beethoven No. 32 adalah puncak sesungguhnya
dalam sejarah musik. Dan pertunjukan yang tidak ada bandingannya atas sonata
tersebut, yang dibawakan oleh Wilhelm Backhaus untuk label rekaman Decca,
menetapkan standar yang interpretatif. Betapa riang, bersemangat, dan
menggairahkannya musik itu!
Rekaman
tunggal Vladimir Horowitz atas Chopin, terutama bagian scherzo-nya, mendebarkan, ya? Penampilan Friedich Gulda atas preludenya
Debussy lucu dan riang. Griegnya Gieseking enak dinikmati dari awal sampai
akhir. Prokofievnya Sviatoslav Richter patut didengarkan
berulang-ulang—interpretasinya pas sekali dalam menangkap gejolak suasana hati
yang berubah-ubah. Dan sonata Mozartnya Wanda Landowska—begitu hangat dan
lembut sampai-sampai sulit dimengerti kenapa mereka tidak mendapat sambutan
yang lebih meriah.
“Apa kegiatanmu sekarang ini?” tanya Miu, seusai
obrolan mereka tentang musik.
Aku putus kuliah, jelas Sumire, dan aku bekerja
sambilan sementara menulis novelku. Novel apa yang kamu tulis? tanya Miu. Sulit
dijelaskan, jawab Sumire. Yah, kata Miu, kalau begitu kamu sukanya baca novel
apa? Kalau kusebutkan semua, kita akan berada di sini selamanya, ujar Sumire.
Belakangan ini aku membaca Jack Kerouac. Dan di
bagian inilah Sputnik muncul dalam obrolan mereka.
Selain fiksi ringan yang dibacanya untuk merintang waktu, Miu hampir tidak pernah menyentuh novel. “Sulit untuk tidak
menganggapnya karangan belaka,” jelasnya, “jadi aku tidak bisa berempati pada
tokoh-tokoh di dalamnya. Selalu begitu.” Karena itulah bacaannya sebatas
buku-buku yang membicarakan kenyataan sebagaimana adanya. Kebanyakan adalah
buku-buku yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Apa pekerjaanmu? tanya Sumire.
“Seringnya berhubungan dengan negara-negara
asing,” jawab Miu. “Tiga belas tahun yang lalu, aku mengambil alih perusahaan
ayahku, sebabnya aku anak yang paling tua. Selama itu aku belajar untuk menjadi
pianis, tapi ayahku meninggal akibat kanker, ibuku fisiknya lemah dan juga
tidak lancar berbicara dalam bahasa Jepang. Adik laki-lakiku masih sekolah,
jadi kami memutuskan, untuk sementara waktu aku yang mengurus perusahaan. Ada
banyak kerabat yang mata pencahariannya bergantung pada perusahaan kami, jadi
aku tidak bisa membiarkannya terbengkalai.”
Ia berhenti sebentar sambil menarik napas
panjang.
“Perusahaan ayahku awalnya mengimpor bahan
tekstil dan tumbuh-tumbuhan obat dari Korea. Tapi sekarang berurusan juga
dengan bermacam-macam barang. Bahkan komponen komputer. Resminya aku masih
tercatat sebagai kepala perusahaan, tapi suami dan adikku sudah mengambil alih
jadi aku tidak perlu sering-sering ke kantor lagi. Lagipula aku sudah punya
bisnis sendiri.”
“Bisnis apa?”
“Sebagian besarnya mengimpor anggur. Sesekali aku
mengadakan konser juga. Aku bepergian ke Eropa agak sering, soalnya bisnis
semacam ini bergantung pada koneksi pribadi. Itulah sebabnya aku mampu
sendirian bersaing dengan perusahaan-perusahaan top. Tapi membina jaringan
begitu butuh banyak waktu dan energi. Begitulah kira-kira, kurasa….” Ia
memandang seolah-olah baru teringat akan sesuatu. “Omong-omong, kamu bisa
berbicara dalam bahasa Inggris?
“Berbicara dalam bahasa Inggris bukan keahlianku,
tapi kira-kira lumayanlah. Biarpun aku suka membaca dalam bahasa Inggris.”
“Bisa mengoperasikan komputer?”
“Tidak juga, tapi aku biasa menggunakan mesin
pengolah kata, jadi aku yakin bisa belajar.”
“Kalau menyetir?”
Sumire menggelengkan kepala. Sewaktu baru masuk
kuliah, ia pernah mencoba memundurkan Volvo estate
milik ayahnya ke garasi dan menabrakkan pintunya pada pilar. Sejak itu ia
hampir tidak pernah mengemudi.
“Baiklah—bisakah kamu menjelaskan, kurang
lebihnya dalam 200 kata, bedanya tanda dan lambang?”
Sumire mengangkat serbet dari pangkuan, sekilas
menyeka mulut, dan menaruhnya kembali. Apa maksudnya wanita ini? “Tanda dan
lambang?”
“Tidak ada maksud apa-apa. Perumpamaan saja.”
Lagi-lagi Sumire menggelengkan kepala. “Tidak
tahu.”
Miu tersenyum. “Kalau kamu berkenan, aku ingin
tahu keterampilan apa saja yang kamu miliki. Yang kamu paling bisa. Selain
membaca banyak novel dan mendengarkan musik.”
Dalam diam Sumire meletakkan pisau dan garpu yang
dipegangnya ke piring, memandangi ruang kosong pada meja, dan memikirkan
pertanyaan itu.
“Ketimbang apa saja yang aku bisa, akan lebih
cepat kalau menyebutkan apa saja yang aku tidak
bisa. Aku tidak bisa masak atau membersihkan rumah. Kamarku berantakan, dan
aku selalu kehilangan barang. Aku suka musik, tapi aku tidak bisa menyanyi. Aku
orangnya kikuk dan hampir tidak bisa menjahit. Aku paling buruk dalam
menentukan arah, dan kadang tidak bisa membedakan mana yang kanan dan kiri.
Kalau marah, aku suka merusakkan barang. Piring dan pensil, beker. Nantinya aku
menyesalinya, tapi pada waktu itu aku tidak bisa mengendalikan diri. Aku tidak
punya simpanan di bank. Entah kenapa aku ini pemalu, dan hampir tidak punya
teman mengobrol.”
Sumire mengambil napas cepat-cepat lalu
melanjutkan sedikit-sedikit.
“Bagaimanapun juga, aku bisa mengetik dengan
sangat cepat. Aku tidak begitu atletis, tapi selain gondongan, aku tidak pernah
sakit seharipun seumur hidupku. Aku selalu tepat waktu, tidak pernah telat
memenuhi janji. Aku bisa makan apa saja. Aku tidak pernah menonton TV. Dan meskipun
aku ini pembual yang konyol, tapi aku hampir tidak pernah mencari-cari alasan.
Sekitar sebulan sekali bahuku terasa sangat kaku sampai-sampai aku tidak bisa
tidur, tapi selebihnya tidurku nyenyak sekali. Masa haidku singkat saja. Gigiku
tidak ada yang berlubang. Dan bahasa Spanyolku oke.”
Miu menatap. “Kamu bisa bahasa Spanyol?”
Sewaktu SMA, Sumire tinggal selama sebulan di
rumah pamannya, seorang pengusaha yang ditempatkan di Mexico City. Ia memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk mempelajari bahasa Spanyol secara intensif. Selain
itu, di kampus ia mengambil kuliah bahasa Spanyol.
Miu memegang tangkai gelas anggurnya dengan dua
jari, dengan enteng memutar-mutarnya seakan memutar sekrup pada mesin. “Bagaimana
kalau kamu bekerja di tempatku sementara waktu?”
“Kerja?” Tidak yakin akan tanggapan yang tepat
dalam situasi ini, Sumire memasang tampang masamnya seperti biasa. “Aku tidak
pernah punya pekerjaan sungguhan seumur hidupku. Aku bahkan tidak yakin caranya
menjawab telepon dengan benar. Aku berusaha tidak naik kereta sebelum jam
sepuluh pagi. Dan, aku yakin kau sudah maklum dari mengobrol denganku, cara
bicaraku kurang sopan.”
“Tidak ada yang jadi masalah,” kata Miu enteng.
“Omong-omong, kamu ada waktu besok, sekitar siang?”
Refleks Sumire mengangguk. Ia bahkan tidak perlu
memikirkannya. Bagaimanapun juga, waktu luang adalah asetnya yang utama.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan siang
bareng? Aku akan memesan tempat yang tenang di restoran yang dekat,” ucap Miu.
Ia mengangkat gelas baru berisi anggur merah yang dituangkan pelayan untuknya,
mengamatinya dengan saksama, menghirup aromanya, lalu dengan anteng
menyesapnya. Seluruh rangkaian gerakannya menampakkan keluwesan alamiah dari
kadensa singkat hasil latihan seorang pianis selama bertahun-tahun.
“Kita bicarakan rinciannya nanti. Hari ini aku
ingin bersenang-senang dulu. Kamu tahu, aku tidak yakin ini asalnya dari mana,
tapi Bordeaux ini enak juga.”
Sumire mengendurkan raut wajahnya dan bertanya
terus terang pada Miu: “Tapi kau baru saja bertemu denganku. Kau hampir tidak
mengenalku sedikitpun.”
“Itu benar. Mungkin tidak,” Miu mengakui.
“Jadi kenapa kau pikir aku mungkin bisa
membantumu?”
Miu mengocok anggur dalam gelasnya. “Aku selalu
menilai orang dari wajahnya,” katanya. “Artinya aku suka wajahmu,
penampilanmu.”
Sumire merasa udara di sekitarnya
sekonyong-konyong menjadi berat. Di balik gaunnya puting susunya mengeras.
Serta-merta ia menjangkau segelas air dan meneguknya. Dengan sigap pelayan yang
awas berjalan pelan ke sisinya dan mengisi gelas yang kosong dengan air es.
Dalam pikiran Sumire yang kacau, denting es batu terdengar seperti raungan
perampok yang bersembunyi dalam gua.
Aku
pasti jatuh cinta pada wanita ini, ia menyadarinya sembari terkejut. Tidak
salah lagi. Es itu dingin; mawar itu merah. Aku jatuh cinta.
Dan cinta ini akan melarikanku entah ke mana.
Arusnya terlalu dahsyat; aku tak bisa ke mana-mana. Mungkin saja itu tempat
yang istimewa, suatu tempat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mungkin saja ada
bahaya yang mengintai, sesuatu yang bisa melukaiku dalam-dalam, mematikan. Mungkin
saja pada akhirnya aku akan kehilangan segalanya. Tapi tak ada jalan kembali.
Aku hanyut saja dalam alirannya. Sekalipun itu berarti aku akan tertelan,
lenyap selamanya.
Penggalan dari novel Sputnik Sweetheart karya Haruki Murakami (1999), edisi bahasa Inggris oleh Philip Gabriel (2001)