Sewaktu
Sumire dan Miu duduk satu meja di resepsi pernikahan, mereka melakukan apa yang
setiap orang di dunia lakukan dalam situasi semacam itu, yaitu, memperkenalkan
diri masing-masing. Sumire membenci namanya sendiri dan berusaha
menyembunyikannya kapanpun bisa. Namun ketika ada yang menanyakan nama kita,
satu-satunya perbuatan yang sopan untuk dilakukan adalah memberitahukannya.
Menurut sang ayah, ibunya lah yang memilihkan
nama Sumire. Perempuan itu menyukai lagu Mozart yang judulnya demikian dan
telah memutuskan sedari lama bahwa jika ia punya anak perempuan maka itulah
namanya. Pada rak rekaman di ruang keluarga mereka, ada rekaman lagu-lagu
Mozart. Tidak diragukan lagi itulah yang didengarkan oleh ibunya. Sewaktu masih
kecil, dengan hati-hati Sumire meletakkan piringan hitam yang berat itu pada
alat pemutarnya dan mendengarkan lagu tersebut terus-menerus. Elisabeth
Schwarzkopf yang menjadi pemain solo, Waiter Gieseking pada piano. Sumire tidak
mengerti liriknya, namun dari melodinya yang anggun, ia merasa yakin lagu itu
menyanjung keindahan bunga violet yang sedang bermekaran di padang. Sumire
menyukainya.
Meskipun begitu, sewaktu SMP ia menemukan
terjemahan lagu itu dalam bahasa Jepang di perpustakaan sekolah dan terkejut.
Liriknya mengisahkan tentang gadis gembala yang tidak berperasaan
menginjak-injak bunga violet mungil malang di padang. Gadis itu bahkan tidak
menyadari kalau dirinya membuat bunga-bunga itu jadi rata. Lirik tersebut
berdasarkan puisi Goethe, dan sama sekali tidak ada yang menyenangkan dari
padanya, tidak ada pelajaran yang bisa diambil.
“Bisa-bisanya
ibuku memberi nama dari lagu yang mengerikan begitu?” ucap Sumire sambil
cemberut.
Miu menata sudut-sudut serbet di pangkuannya,
tersenyum hambar, dan menatap Sumire. Matanya begitu hitam. Berbagai warna
bercampur di sana, namun tampak jernih dan cerah.
“Menurutmu lagunya bagus?”
“Ya, lagunya itu sendiri sangat indah.”
“Kalau musiknya bagus, menurutku itu saja sudah
cukup. Lagipula, tidak segala hal di dunia ini dapat menjadi indah, bukan?
Ibumu pasti sangat menyukai lagu itu sampai-sampai tidak terganggu oleh
liriknya. Selain itu, kalau mukamu begitu terus, nanti bisa keriput permanen
lo.”
Sumire pun mengendurkan cemberutnya.
“Mungkin kau benar. Aku merasa kecewa saja.
Maksudku, satu-satunya peninggalan yang nyata dari ibuku hanya nama itu. Selain
diriku, tentunya.”
“Menurutku Sumire nama yang cantik. Aku suka
sekali,” kata Miu. Kepalanya dimiringkan sedikit seakan ia hendak memandang
dari sudut yang berlainan. “Omong-omong, ayahmu hadir di resepsi ini juga?”
Sumire celingukan. Ruangan untuk resepsi itu
luas, namun ayahnya jangkung, sehingga dengan mudahnya ia melihat lelaki itu.
Terpisah oleh dua meja, wajah ayahnya menoleh ke samping, berbincang dengan
seorang pria kecil dan lebih tua yang mengenakan jas. Senyumnya begitu
meyakinkan dan hangat hingga mampu melelehkan gletser. Disinari cahaya dari
kandil, hidungnya yang elok terangkat pelan-pelan, bagaikan batu asahan yang
diukir dengan indah. Sumire sekalipun, yang sudah biasa melihat lelaki itu,
terkesan dengan ketampanannya. Ayahnya benar-benar pantas berada di pertemuan
formal semacam ini. Kehadirannya saja menjadikan suasana ruangan itu terasa
semarak. Ibarat bunga-bunga yang dihimpun dalam vas besar, atau limusin jet
hitam.