3
Topi Malta Kano
*
Sherbet Tone,
Allen Ginsberg, dan Prajurit Perang
Salib
Aku sedang menyiapkan makan siang ketika
telepon berdering lagi. Aku telah mengiris dua lembar roti, mengolesnya dengan
mentega dan mostar, mengisinya dengan irisan tomat dan keju, menata semuanya di
talenan, dan baru saja akan memotongnya jadi dua sewaktu telepon mulai
berdering.
Aku membiarkan telepon itu berdering
tiga kali dan memotong roti isinya jadi dua. Lalu aku memindahkannya ke piring,
menyeka pisau, dan menaruhnya di laci perabotan, sebelum menuang secangkir kopi
yang telah kuhangatkan untuk kuminum sendiri.
Telepon masih saja berdering. Mungkin
ada lima belas kali. Aku menyerah dan mengangkatnya. Aku lebih suka tidak
menjawabnya, tapi mungkin saja itu Kumiko.
“Halo,” suara seorang wanita yang tidak
pernah kudengar sebelumnya. Bukan suara Kumiko ataupun wanita asing yang
meneleponku kapan itu sewaktu aku sedang memasak spageti. “Apa saya sedang
berbicara dengan Bapak Toru Okada?” ucap suara itu, seakan-akan yang empunya
sedang membacakan sebuah teks.
“Benar,” sahutku.
“Suaminya Kumiko Okada?”
“Benar,” jawabku. “Kumiko Okada itu
istri saya.”
“Dan apa kakaknya Nyonya Okada itu
bernama Noboru Wataya?”
“Benar lagi,” ujarku, dengan penguasaan
diri yang mengagumkan. “Noboru Wayata itu kakaknya istri saya.”
“Pak, nama saya Malta Kano.”
Aku menunggunya melanjutkan. Karena
tahu-tahu kakaknya Kumiko disebut, aku jadi waspada. Dengan ujung tumpul pensil
yang tergeletak di sisi telepon, aku menggaruk-garuk tengkukku. Lima detik atau
lebih dari itu berlalu, wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada suara
apapun terdengar dari gagang telepon, seakan-akan wanita itu menutupi bagian
mulut teleponnya dengan tangan dan sedang berbicara pada orang lain di
dekatnya.
“Halo,” ucapku, mulai gelisah.
“Mohon maaf, ya, Pak,” cetus wanita itu.
“Soal itu, kalau boleh saya telepon lagi nanti.”
“Hei, tunggu dulu,” ujarku. “Ini—“
Saat itu juga, sambungan terputus.
Kupandangi gagang telepon, lalu menempelkannya ke telinga lagi. Tak diragukan
lagi: wanita itu sudah menutup teleponnya.
Dengan perasaan tidak puas, aku kembali
ke meja dapur, meminum kopi, dan menyantap roti. Sampai saat telepon itu
berdering, aku sedang memikirkan sesuatu, tapi kini aku tidak bisa
mengingatnya. Pisau di tanganku terhenti dalam posisi seimbang sewaktu hendak
memotong roti jadi dua, pastinya aku sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang
penting. Sesuatu yang tidak berhasil kuingat sejak sangat lama. Ingatan itu
terlintas saat aku sedang akan memotong rotiku, tapi sekarang menghilang.
Sambil mengunyah roti, aku berusaha keras mengingatnya lagi. Tapi tidak muncul
juga. Ingatan itu telah kembali ke wilayah gelap dalam benakku, tempatnya
tinggal hingga saat itu.
*
Aku sudah selesai makan dan sedang
membersihkan perabotan sewaktu telepon berdering lagi. Kali ini aku langsung
mengangkatnya.
Lagi-lagi kudengar seorang wanita
mengucapkan “Halo”, namun kali ini Kumiko.
“Apa kabar?” tanyanya. “Sudah makan
siang?”
“Yap. Kamu sudah makan apa?”
“Belum,” ucapnya. “Sibuk banget. Mungkin
nanti aku akan beli roti isi. Kalau kamu makan apa?”
Kuceritakan tentang roti isi buatanku.
“Begitu,” tanggapnya, tanpa menyiratkan
rasa iri. “Oh, omong-omong, aku lupa memberitahumu tadi pagi. Kamu akan
ditelepon oleh Bu Kano.”
“Dia sudah menelepon,” ujarku. “Beberapa
menit lalu. Dia cuma menyebutkan nama kita—namaku, namamu, dan nama kakakmu—dan
memutus teleponnya. Tidak bilang sama sekali maksudnya apa. Memangnya soal apa
sih?”
“Dia memutus teleponnya?”
“Dia bilang mau telepon lagi.”
“Yah, kalau dia sudah telepon lagi, aku
ingin kamu lakukan apapun yang dia minta. Ini penting sekali. Kurasa kamu harus
bertemu dengannya.”
“Kapan? Hari ini?”
“Ada masalah? Apa kamu ada rencana lain?
Apa kamu ada perlu dengan orang lain?”
“Tidak. Tidak ada rencana.” Tidak
kemarin, tidak hari ini, tidak besok, tidak ada rencana sama sekali. “Tapi
siapa Kano ini? Dan apa urusannya denganku? Aku ingin tahu dulu sebelum dia
menelepon lagi. Kalau ini soal pekerjaan untukku yang berhubungan dengan
kakakmu, lupakan saja. Aku tidak ingin ada urusan apapun dengan kakakmu itu.
Mengerti, kan.”
“Bukan, ini bukan soal pekerjaan,”
ujarnya, dengan nada jengkel. “Ini soal kucing.”
“Kucing?”
“Oh, sori, aku harus pergi nih. Ada yang
menungguku. Semestinya aku tidak menelepon. Seperti yang sudah kubilang, makan
siang saja aku tidak sempat. Tidak apa-apa, ya, kututup teleponnya? Nanti aku
telepon lagi secepatnya kalau sudah lowong.”
“Begini, aku tahu sibuknya dirimu, tapi
sempatkan untukku sebentar. Aku ingin tahu ada apa sebetulnya. Ada apa dengan
kucingnya? Apa si Kano ini—“
“Lakukan saja yang dia bilang, tolong,
ya? Mengerti, kan? Ini urusan serius. Aku ingin kamu di rumah saja dan tunggu
dia telepon. Sudah dulu, ya.”
Dan pergilah ia.
*
Ketika telepon berdering pada pukul
setengah tiga, aku sedang tidur di sofa. Awalnya kukira yang kudengar itu
beker. Aku menggapai-gapai untuk menekan tombolnya, tapi bekernya kok tidak
ada. Ternyata aku bukan sedang berada di tempat tidur melainkan di sofa, dan
saat itu bukan pagi melainkan siang. Aku pun bangun dan menuju telepon.
“Halo,” jawabku.
“Halo,” suara seorang wanita. Wanita
yang menelepon tadi pagi. “Pak Toru Okada?”
“Ya, saya. Toru Okada.”
“Pak, nama saya Malta Kano,” ucapnya.
“Yang tadi menelepon.”
“Benar. Maaf kalau tadi saya tidak
sopan. Tapi saya perlu tahu, Pak Okada, apa ada kemungkinan Anda luang sore
ini?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Yah, soal itu, saya tahu ini sangat
mendadak, tapi apa menurut Anda ada kemungkinan kita bisa bertemu?”
“Kapan? Hari ini? Sekarang?”
“Ya.”
Kutengok jam tanganku. Bukannya aku
benar-benar perlu—aku baru saja menengoknya tiga puluh detik lalu—tapi untuk
memastikan saja. Dan saat itu masih pukul setengah tiga.
“Bakal lama tidak, ya?” tanyaku.
“Tidak lama amat, saya kira. Meski
begitu, bisa saja saya meleset. Saat ini saya sulit mengatakan yang
setepat-tepatnya. Maaf, ya, Pak.”
Berapapun lamanya pertemuan itu, tidak
ada pilihan lagi. Kumiko sudah menyuruhku untuk berbuat apapun yang dikatakan
wanita itu: ini urusan serius. Kalau ia bilang ini urusan serius, maka
begitulah adanya, dan lebih baik aku menurut saja.
“Begitu, ya,” sahutku. “Di mana kita
akan bertemu?”
“Apa Anda tahu Hotel Pasifik, di
seberang Stasiun Shinagawa?”
“Saya tahu.”
“Ada restoran kecil di lantai satu. Saya
akan menunggu Anda di sana pukul empat. Kalau Anda setuju, Pak.”
“Baik,” ucapku.
“Saya berusia tiga puluh satu tahun, dan
akan mengenakan topi vinil warna merah.”
“Begitu,” ucapku. “Saya yakin akan dapat
mengenali Anda.”
“Kalau boleh, Pak Okada, saya ingin tahu
apa Anda berkenan memberi tahu saya mengenai ciri khas penampilan Anda.”
Kucoba memikirkan “ciri khas penampilan”
yang mungkin kumiliki. Apa aku memang punya?
“Usia saya tiga puluh tahun, tinggi saya
sekitar 177 senti, berat 70 kilogram, rambut pendek, tidak pakai kacamata.”
Sewaktu mengatakannya terpikir olehku kalau itu hampir tidak bisa disebut
sebagai ciri khas penampilan. Bisa saja ada lima puluh orang yang seperti itu
di restoran Hotel Pasifik. Aku sudah pernah ke sana, dan tempatnya luas. Ia
perlu ciri yang gampang dikenali. Tapi aku tidak terpikir apapun. Bukannya aku
sama sekali tidak punya ciri khas. Aku punya kopi album Sketches of Spain-nya Miles Davis yang ditandatangani. Tekanan
darahku rendah: normalnya 47, dan tidak sampai lebih dari 70 kalaupun sedang
demam tinggi. Aku menganggur. Aku hafal nama semua saudaranya Karamazov. Tapi
tidak satupun dari ciri khas itu yang terkait dengan penampilan.
“Kira-kira Anda mau mengenakan baju
apa?” tanyanya.
“Belum tahu,” ujarku. “Saya belum
memutuskan. Ini mendadak sekali.”
“Kalau begitu, tolong pakai dasi
polkadot saja, ya, Pak,” ucapnya dengan nada tegas. “Kira-kira dasi polkadotnya
ada, Pak?”
“Sepertinya ada,” kataku. Aku punya dasi
berwarna biru laut dengan bintik-bintik kecil sekali berwarna susu. Kumiko yang
menghadiahkannya untukku pada hari ulang tahunku bertahun-tahun lalu.
“Kalau begitu, tolong dipakai, ya, Pak,”
ucapnya. “Terima kasih sudah berkenan menemui saya pukul empat.” Dan ia pun
menutup teleponnya.
*
Kubuka lemari pakaian dan kucari dasi
polkadotku. Kelihatannya di rak tempat dasi tidak ada. Kucari di semua laci.
Kucari di semua kotak penyimpanan pakaian di lemari dinding. Dasi polkadotnya
tidak ada. Tidak mungkin dasi itu ada di rumah kami tanpa bisa kutemukan.
Kumiko itu perfeksionis kalau menyangkut urusan menata pakaian kami, dasiku
tidak mungkin ada di tempat selain tempat penyimpanannya yang biasa. Dan
sebenarnya, aku mendapati semuanya—baik pakaian Kumiko maupun pakaianku—tertata
pada tempatnya. Kemeja-kemejaku terlipat dengan rapi di laci yang semestinya.
Sweterku berada di kotak yang penuh dengan kamper sampai-sampai mataku terasa
perih begitu penutupnya dibuka. Ada satu kotak berisi pakaian yang dikenakannya
semasa SMA: seragam berwarna biru laut, gaun pendek berbunga-bunga, terpelihara
bagaikan foto dalam album lama. Buat apa sih menyimpan barang-barang ini?
Mungkin ia hanya belum menemukan kesempatan yang pas untuk membuangnya. Atau
mungkin ia sedang berencana untuk mengirimnya ke Bangladesh. Atau
menyumbangkannya kelak sebagai peninggalan kebudayaan. Bagaimanapun juga, dasi
polkadotku tidak ada di mana-mana.
Sambil memegang pintu lemari pakaian,
kucoba-coba mengingat kali terakhir kukenakan dasi itu. Itu dasi yang agak
bergaya, menurut cita rasa yang baik sekali, namun sedikit berlebihan untuk
dikenakan di kantor. Kalau aku memakainya ke kantor, orang akan terus
membicarakannya pada jam istirahat, memuji warnanya atau tampilannya yang
mencolok. Yang sekaligus menjadi semacam peringatan. Di firma tempatku bekerja
dulu, tidak baik kalau dipuji karena pilihan dasi. Jadi aku tidak pernah
memakainya ke sana. Lebih baik aku mengenakannya untuk acara-acara yang
sifatnya pribadi—atau agak formal: konser, makan malam di restoran bagus,
sewaktu Kumiko ingin kami “berpakaian yang pantas” (bukan berarti ada banyak
sekali acara yang semacam itu). Dasi itu cocok dengan setelanku yang warnanya
biru laut, dan ia sangat menyukainya. Sungguhpun begitu, aku tidak bisa
mengingat kapan terakhir kali aku memakainya.
Kuteliti lagi isi lemari pakaian dan
menyerah. Karena satu dan lain hal, dasi polkadot itu sudah hilang. Oh,
baiklah. Kukenakan setelan warna biru lautku dengan kemeja biru dan dasi bergaris-garis.
Rasanya tidak ada yang perlu begitu dikhawatirkan. Mungkin ia tidak bisa
mengenaliku, tapi aku tinggal mencari wanita berusia tiga puluhan tahun yang
mengenakan topi vinil warna merah.
Setelah berpakaian untuk pergi ke luar,
aku duduk di sofa sambil memandangi dinding. Sudah lama sekali sejak terakhir
kali kukenakan setelan ini. Biasanya, setelan yang dirancang untuk tiga musim
ini akan terasa agak berat kalau dikenakan pada waktu sekarang ini, namun pada
hari itu sedang hujan, dan udara terasa dingin. Setelan ini juga yang kukenakan
pada hari terakhirku bekerja (pada bulan April). Mendadak terpikir olehku kalau
mungkin saja ada sesuatu di dalam sakunya. Di saku bagian dada aku menemukan
secarik kuitansi bertanggal musim gugur lalu. Kuitansi itu semacam tanda terima
pembayaran taksi, yang harusnya bisa dimintakan gantinya pada kantor. Meski begitu,
sekarang sudah terlambat. Aku menggumpalkannya dan melemparnya ke keranjang
sampah.
Aku belum mengenakan setelan ini lagi
sejak mengundurkan diri, dua bulan yang lalu. Rasanya berat dan kaku, dan
sepertinya tidak pas dengan bentuk tubuhku. Aku pun berdiri dan mengitari
ruangan, berhenti di depan cermin untuk menaikkan lengan dan ekornya supaya
terasa lebih pas. Aku mengulurkan lengan sambil menarik napas dalam-dalam, dan
menekuknya di pinggang, mengecek kalau-kalau bentuk fisikku sudah berubah dalam
dua bulan ini. Aku duduk di sofa lagi, tapi aku masih merasa tidak nyaman.
Sampai musim semi tahun ini, setiap hari
aku pergi-pulang bekerja dengan mengenakan setelan tanpa pernah merasakannya
aneh. Firma tempatku dulu bekerja menerapkan aturan berpakaian yang agak ketat,
bahkan pegawai rendahan macam diriku pun diharuskan mengenakan setelan. Aku
tidak pernah memikirkannya.
Bagaimanapun juga, sekarang ini cuma
duduk-duduk di sofa sambil mengenakan setelan begini terasa bagai aksi tak
bermoral, seperti memalsukan riwayat hidup atau berjalan-jalan dengan
penampilan ala perempuan. Merasa amat bersalah, aku jadi makin sulit bernapas.
Aku beranjak ke ruang depan,
mengeluarkan sepatu cokelatku dari rak, dan menyodok bagian dalamnya dengan
alat pembersih sepatu. Selapis debu tipis melekati sepatu itu.
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar