Usiaku empat belas tahun sewaktu
Abuelita[1] meminta
bantuanku. Dan sepertinya memang sudah sepantasnya. Abuelita yang
menyembuhkanku dari demam tinggi dengan meletakkan, melepaskan, dan mengganti
irisan kentang di pelipisku. Ia juga yang menanganiku sewaktu aku mendapat
cambukan berkali-kali, patah lengan akibat nekat melompat dari gudang perkakas
milik Tio, mengalami pubertas, dan berbohong untuk pertama kalinya. Sungguh,
kataku pada Amá, memang sudah sepantasnya.
Bukan berarti aku ini cucu kesayangannya
atau sesuatunya yang istimewa. Aku bahkan tidak cantik atau baik hati seperti
kakak-kakakku, dan aku tidak pandai mengerjakan hal yang kecewek-cewekkan
seperti mereka. Tanganku terlalu besar untuk merajut atau menyulam, dan selalu
saja jariku tertusuk atau berkali-kali benangku menyimpul dengan sendirinya
sementara kakak-kakakku menertawakanku dan menyebutku si tangan sapi dengan
suara mereka yang imut-imut dan bening. Jadi akupun mulai menyimpan kerikil di
kaus kakiku dan menimpuk kakak-kakakku atau siapa saja yang menyebutku si
tangan sapi. Pernah, sewaktu kami semua sedang duduk-duduk di kamar, aku
menyambit dahi Teresa, tepat di atas alisnya dan ia pun lari pada Amá, mulutnya
terbuka, tangannya menutupi mata, sementara darah merembes di sela-sela
jarinya. Sejak itu aku biasa dicambuki.
Aku juga bukan anak yang punya rasa
hormat. Sikapku bahkan sudah keterlaluan dengan menyangsikan keampuhan irisan
kentang Abuelita, irisan yang menurutnya dapat menyerap demamku. “Kamu masih
hidup, toh?” Abuelita balik menyentak, matanya yang kelabu pucat menyorot
padaku dan memupuskan kecurigaanku. Menyesal karena telah melontarkan
pertanyaan yang seharusnya kurahasiakan saja, aku tidak berani melihat matanya
itu. Tanganku mulai membengkak, mengembang bagai hidung seorang pendusta lalu
lunglai seakan-akan beratnya berkurang. Abuelita membuat balsam dari sayap
ngengat yang dikeringkan dan Vicks lalu menggosokkannya ke tanganku,
mengembalikannya ke bentuk semula dan rasanya sangat aneh. Tulangku seperti
meleleh. Mataku yang terpejam seakan ditembus sinar matahari. Setelah kejadian
itu, aku tidak keberatan membantu Abuelita, jadi Amá selalu menyuruhku ke
tempatnya lagi.
Siang-siang, Amá akan mengikat
rambutnya, menyiapkan sweter dan sepatuku, lalu menyuruhku pergi ke tempat Mama
Luna. Aku tahu, ini untuk mencegah terjadinya perkelahian dan cambukan. Aku
akan melepaskan satu tembakan telak terakhir ke lengan Marisela dan melompat
dari rumah, gerdum pintu kasa meredam jeritan marahnya, dan dengan senang hati
aku akan pergi membantu Abuelita menanam tumbuh-tumbuhan liarnya seperti
bakung, melati, buntut tikus, ketumbar, dan mentol di kaleng-kaleng kopi.
Abuelita akan menungguku di puncak anak tangga serambinya sambil memegang paku,
palu, dan kaleng-kaleng kopi. Dan meskipun kami jarang mengobrol, jarang
menengok satu sama lain selagi memindah-mindahkan akar, aku selalu merasa mata
kelabunya terarah padaku. Itu membuatku merasa, anehnya, aman dan terlindungi.
Seperti yang seharusnya kita rasakan terhadap Tuhan.
Di serambi rumah Abuelita, aku akan
membuat lubang di dasar kaleng-kaleng kopi dengan memukul-mukulkan palu pada
paku. Setelah selesai, tugasku adalah mengisi kaleng-kaleng kopi
itu dengan lempung merah yang diambil dari bawah semak-semak tumbuhan mawar
Abuelita, memadatkannya pelan-pelan, lalu membuat lubang yang sempurna,
seukuran empat jari, untuk tempat bersarangnya biji alpukat yang telah
berkecambah, atau ubi jalar yang akarnya telah ditumbuhkan Abuelita di toples mayones
dengan menggunakan tusuk gigi dan air, atau chayotes[2] berduri yang
tumbuhannya merambat, berpilin dan meliliti sekujur tiang serambinya, menjalar
ke atap, naik dan mengelilingi atap, dan turun melewati sisi lainnya, membuat
rumah batanya yang kecil tampak seperti dalam buaian tanaman rambat yang
menumbuhkan labu sebesar pir yang siap dipetik, siap dikukus dengan bawang,
keju, dan mentega. Akar akan keluar dari lubang di kaleng-kaleng kopi yang
sudah berkarat itu dan mencari tempat yang cocok untuk tumbuh. Lalu aku akan
menyiram semaian-semaian itu dengan air.
Tapi kali ini bukan membantu yang
seperti itu, kata Amá, sebab Abuelita sedang sekarat. Setelah memeriksa matanya
yang kelabu, lalu matanya yang cokelat, dokter bilang hidupnya tinggal beberapa
hari saja. Dan memang sudah sepantasnya juga tangan yang telah dilepuhkan dan
ditempanya ini dapat berguna untuk menggosok tubuhnya yang ringkih itu dengan
alkohol dan mariyuana, menggosok lengan dan kakinya, menghadapkan wajahnya ke
jendela supaya ia dapat melihat tanaman kembang meraknya mekar atau menghirup
aroma cengkeh di udara. Aku mengelap wajahnya sering-sering dan menggenggam
tangannya berjam-jam. Rambut kelabunya yang mengikal menjuntai di kasur. Aku
tidak ingat sejak kapan ia mengelabang rambut panjangnya itu. Mulutnya kosong,
dan sementara tertidur kelopak matanya tidak pernah menutup sepenuhnya. Dari
dekat, terlihat mata kelabunya itu menyorot ke luar jendela, memandang
lekat-lekat seakan hendak mengenang segala hal. Aku tidak pernah mengecupnya.
Kubiarkan jendela terbuka sementara aku pergi ke warung.
Ada sebuah kapel di seberang jalan dari
warungnya Jay. Aku tidak pernah tahu apa nama jemaatnya, tapi aku masuk saja seperti
biasa untuk mencari lilin. Karena lilinnya tidak ada, aku pun duduk di salah
satu bangku. Setelah membersihkan kuku jariku, aku mendongak ke arah
langit-langit yang tinggi. Aku sudah lupa betapa luasnya tempat ini, sejuknya
pilar-pilar pualamnya, dan dinginnya patung-patungnya yang bertatapan hampa.
Aku sendirian. Aku ingat sebabnya aku tidak pernah kembali ke sini.
Itu salah satu keluhan terbesar Apá. Ia
akan memukulkan tangannya ke meja, sampai mengguncang wadah gula atau
menumpahkan secangkir kopi, dan berteriak kalau aku tidak pergi ke Misa tiap
Minggu untuk menyelamatkan jiwaku yang amat berdosa ini, maka aku tidak boleh
lagi keluar rumah, titik. Punto final[3]. Ia akan
merenggut lenganku dan menancapkan kukunya untuk memastikan kalau aku memahami
pentingnya katekismus. Apa sudah jelas? Lalu ia mengarahkan amarahnya pada Amá
karena tidak becus mendidik putri-putrinya sehingga mereka jadi kurang ajar dan
seakan-akan tidak beriman. Kakak-kakakku akan merenggutku ke tepi dan mengancam
kalau aku tidak pergi ke Misa saat ini juga, mereka semua yang akan menendangku
keluar. Kenapa aku begitu egois? Kamu tidak lihat apa akibatnya pada Amá, dasar
idiot? Maka akupun membasuh kakiku dan memasukkannya ke dalam sepatu Paskah
hitamku yang mengilap berkat digosok dengan Vaseline, mengambil buku doa dan
kerudung, lalu melambaikan tangan pada Amá.
Aku akan berjalan pelan-pelan menuruni
Lorena menuju First menuju Evergreen, sambil menghitung retakan pada semen. Di
Evergreen aku akan berbelok ke kiri dan berjalan menuju rumah Abuelita. Aku
menyukai serambinya sebab dinaungi oleh tumbuhan rambat dari chayotes, dan aku bisa memandangi
orang-orang dan lalu lintas di Evergreen tanpa terlihat. Aku akan melompati
anak tangga pada serambi, mengetuki pintu kasa sembari membersihkan kakiku dan
memanggil Abuelita? mi Abuelita?
Sewaktu membuka pintu dan melongokkan kepalaku, terhirup olehku aroma sengit
cabai di placa[4]. Begitu aku
memasuki sala[5], ia akan
menyambutku dari arah dapur, sambil tangannya meremas-remas celemeknya. Aku
akan duduk di ujung meja supaya tidak menghalangi jalannya. Cabainya membuat
mataku berair. Apa aku menangis? Tidak, Mama Luna, aku tidak menangis kok. Aku
tidak mau pergi ke Misa, tapi entah kenapa mataku berair sampai
menetes-netes di taplak meja seperti lilin yang meleleh. Abuelita mengangkat
cabai bakar dari api dan memercikinya dengan air sampai kulitnya mulai
terlepas. Ia menaruhnya di depanku, lalu beralih mengecek menudo[6].
Aku mengulitinya dan menaruh cabai tipis berwarna hijau dan kuning yang tampak
lemas itu ke dalam molcajete[7] dan mulai
melumatkan dan memulas dan melumatkan isi tomat, butiran bawang putih, cabai
tolol yang membikinku menangis, melumatkan semuanya sampai menjadi cairan
dengan tangan sapiku. Dengan sendok kayu, aku mengeriknya keras-keras untuk
memusnahkan rasa bersalah, dan air mataku pun hilang. Kutaruh mangkuk berisi
bumbu halus itu di samping jambangan yang memuat mawar segar. Abuelita
menyentuh tanganku dan menunjuk semangkuk menudo
yang mengepul di depanku. Aku menyendokkan bumbu halus itu ke dalam menudo dan menggiling tortila jagung
tipis dengan telapak tanganku. Selagi aku makan, angin Minggu yang sejuk
sepoi-sepoi memasuki dapur dan dengan anggunnya sehelai kelopak mawar mendarat
di meja.
Kutinggalkan kapel tanpa berdoa lalu
berjalan ke warungnya Jay. Sering kali tidak banyak yang bisa dibeli dari
warung itu. Tomatnya selalu lembek dan sup kalengnya sudah berkarat.
Kotak-kotak serealnya berdebu. Aku mengambil yang kuperlukan saja: alkohol
gosok, lima kaleng kaldu ayam, dan sebotol besar cairan pembersih. Awalnya Jay
kesal karena kukira aku lupa membawa uang. Tapi rupanya semuanya ada di kantong
belakangku.
Begitu kembali dari warung aku mendengar
Amá menangis di dapur Abuelita. Ia mendongak padaku dengan mata bengkak.
Kutaruh kantong belanjaan di meja dan mulai menata kaleng-kaleng sup. Amá
tersedu diam-diam. Aku tidak pernah mengecupnya. Sejenak kemudian, aku menepuk
punggungnya supaya ia merasa nyaman. Akhirnya: “¿Y mi Amá?[8]” tanyanya sambil berbisik, lalu tersengguk lagi dan menangis di celemeknya.
Kemarin Abuelita terjatuh dua kali dari
tempat tidur, kataku, sambil menyadari kalau aku seharusnya tidak mengatakannya
dan heran kenapa aku ingin mengatakannya sebab akibatnya Amá menangis lebih
kencang. Kurasa aku jadi marah dan capek karena pertengkaran, pukulan, dan doa-doa
yang tidak terjawab hingga tanganku terkulai tidak berdaya. Amá menatapku lagi
dengan kalut dan gusar, matanya sarat kepedihan. Aku pergi ke luar dan duduk di
ayunan pada serambi dan mengamati orang-orang berlalu lalang. Aku terus saja
duduk sampai ia pergi. Aku tertidur sebentar sementara mengulang-ulang kata
yang kutujukan pada diriku sendiri seperti doa rosario: ketika kamu berhenti
memberi ketika kamu mulai memberi ketika… dan ketika tanganku terjatuh dari
pangkuan, aku terbangun. Matahari sedang terbenam, sinarnya berwarna jingga,
dan kurasa sudah waktunya Abuelita makan.
Tibalah waktunya matahari merencah.
Kira-kira pada waktu suasana berubah, tak terelakkan lagi dalam peredaran hari,
pergantian dari satu warna ke warna lain, dari jam ke menit ke detik ketika
matahari akhirnya takluk, akhirnya tenggelam dalam kesadaran bahwa dirinya
dengan segala kekuatannya itu tidak mampu menyembuhkan ataupun membakar, mengada
selamanya, tibalah sorot di mana matahari berjumpa bumi, letupan terakhir dari
amarahnya yang terbakar dan berwarna jingga kemerahan yang mengingatkan bahwa
meskipun segala akhir itu tak terelakkan lagi, akan ada kebangkitan kembali,
dan begitu waktunya tiba, tepat ketika aku menyalakan lampu dapur dan hendak
membuka kaleng sup untuk Abuelita, ia mungkin telah pergi untuk selamanya.
Kamarnya beraroma cairan pembersih dan
muntahan. Abuelita telah membuang sisa-sisa pencernaan dari perutnya yang
digerogoti kanker. Ia berpaling ke arah jendela dan berusaha berkata-kata,
namun mulutnya terbuka saja tanpa suara. Aku mendengarmu, Abuelita, kataku,
sambil mengusap pipinya, aku mendengarmu. Aku membukai jendela-jendela rumah dan
membiarkan supnya membara dan meluap di kompor. Kumatikan kompor itu dan
menuang supnya ke bak cuci piring. Aku mengeluarkan baskom kaleng dari kabinet,
mengisinya dengan air suam-suam kuku dan membawanya dengan hati-hati ke kamar.
Aku menuju lemari seprai dan mengambil beberapa handuk putih. Dengan kekudusan
seorang pendeta yang sedang menyiapkan jubah gerejanya, aku membentangkan
handuk itu satu per satu ke pundakku. Aku mengangkat seprai dan selimut dari
kasur dan melepaskan gaun tidur flanel Abuelita yang tebal. Aku mengelap
wajahnya yang kebingungan, meregangkan keriput-keriputnya, membersihkan
gundukan di lehernya, mengelap bahu dan payudaranya. Lalu aku mengganti airnya.
Aku kembali untuk mengelap lipatan perutnya yang bergaris-garis putih tanda
peregangan, rambut kemaluannya yang jarang-jarang, dan pahanya yang kendor.
Kubersihkan daki di sela-sela jari kakinya dan menyadari adanya tanda lahir
pada lipatan bokongnya. Bekas luka yang tipis pada punggungnya, yang seperti
garis-garis pada telapak tangannya, menyadarkanku betapa sedikitnya yang
kuketahui tentang Abuelita. Kututupi tubuhnya itu dengan selimut tipis dan pergi
ke kamar mandi. Aku mencuci kedua tanganku, menyalakan keran bak mandi, dan
mengamati air mengalir dengan derasnya dan mengepulkan uap. Ketika baknya sudah
penuh, aku mematikan air dan melepaskan pakaianku. Lalu, aku kembali pada
Abuelita.
Ia tidak seberat yang kukira. Sewaktu
aku mengangkatnya dengan lenganku, tubuhnya terkulai membentuk huruf V. Sekalipun
begitu, kakiku terasa letih, gemetar, dan aku merasa jarak antara kamar tidur
dan kamar mandi berkilometer-kilometer dan bertahun-tahun jauhnya. Amá, di mana
dirimu?
Aku masuk ke bak mandi dengan
melangkahkan satu kaki terlebih dulu, baru yang satunya lagi. Pelan-pelan
kutekuk lututku sewaktu turun ke dalam air supaya panasnya tidak membakar kulit
Abuelita. Iya, iya, Abuelita, kataku, sambil menimangnya, menegakkan posisinya
sementara kami turun ke dalam air, aku mendengarmu. Rambutnya menjuntai dan
mengurai di air bagaikan sayap elang. Air dalam bak meluap dan mencurah ke
ubin. Lalu bermunculanlah ngengat-ngengat. Hewan-hewan kecil berwarna kelabu yang
datang dari jiwanya dan keluar melalui mulutnya itu meliuk-liuk menuju cahaya,
mengitari redupnya bohlam kamar mandi. Mati itu rasanya sepi. Aku ingin pergi
ke tempat ngengat-ngengat itu berada, tinggal bersama Abuelita dan menanam chayotes yang tumbuhannya akan merayapi
jemarinya hingga menembus awan. Aku ingin merebahkan kepalaku di dadanya
sementara dirinya membelai rambutku, menceritakan padaku tentang ngengat-ngengat
yang bersemayam dalam jiwa dan pelan-pelan menggerogoti nyawa. Aku ingin
kembali pada air dalam rahim bersamanya supaya kami tidak merasa sendirian
lagi. Aku ingin. Aku ingin Amáku. Aku menyeka helai-helai rambut di wajahnya
dan menyangga kepalanya yang kecil dan ringan itu dengan bagian bawah leherku.
Kamar mandi itu dipenuhi oleh ngengat, dan untuk pertama kalinya sejak entah
kapan aku menangis hingga mengguncang tubuh kami berdua, menangis karenanya,
karena diriku, karena Amá, oleh sedu sedan yang timbul dari dalamnya kesedihan,
derita akibat merasa terlahir secara tidak utuh, tersedu-sedan sampai akhirnya
sedu itu berdesir membentuk lingkaran demi lingkaran pilu dan lega. Iya, iya,
kataku pada Abuelita, hingga tubuh kami terguncang pelan, iya, iya.[]
[1] Nenek dalam bahasa Spanyol. Kata-kata lainnya dalam bahasa Spanyol sehubungan dengan
anggota keluarga pada cerpen ini yaitu Tio,
Paman, Amá, Ibu, dan Apá, Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar