5
Kecanduan Permen Lemon
*
Burung yang Tidak Bisa Terbang
dan Sumur yang Tidak
Ada Airnya
Sehabis sarapan, aku bersepeda ke binatu
dekat stasiun. Pemiliknya seorang lelaki kurus berusia empat puluhan akhir. Ada
kerutan yang dalam di dahinya. Ia sedang mendengarkan kaset orkestra Percy
Faith dari boom box yang terletak di
sebuah rak. Mereknya JVC dan ukurannya besar, dengan pengeras suara tambahan
dan setumpuk kaset di sisinya. Orkestra tersebut sedang memainkan “Tara’s
Theme”, bagian alat musik geseknya terdengar amat menggairahkan. Pemiliknya itu
sendiri sedang berada di belakang toko, sambil bersiul mengiringi musik
sementara menyetrika sehelai pakaian. Gerakannya tangkas dan bersemangat. Aku
mendekati meja pajangan dan meminta maaf dengan sepatutnya bahwa akhir tahun
lalu aku membawa sebuah dasi dan lupa mengambilnya. Dalam dunia kecilnya yang
damai pada pukul setengah sepuluh pagi, pemberitahuan itu pasti menyerupai
kedatangan seorang kurir pesan yang membawa kabar buruk dalam lakon tragedi
Yunani.
“Tiketnya juga tidak ada, ya,” ucapnya,
yang entah kenapa terdengar tidak ramah. Bicaranya tidak tertuju padaku, melainkan
pada kalender di dinding dekat meja pajangan. Gambar pada bulan Juni
menampilkan pegunungan Alpen—lembah yang hijau, sapi-sapi merumput, awan putih
bertepi tajam melayang di atas Mont Blanc, atau Materhorn, atau sesuatunya.
Lalu ia menatapku dengan raut yang kurang lebih menyatakan, Kalau kamu mau
melupakan barang sialan itu, sebaiknya kamu melupakannya sedari dulu!
Tatapannya menyentak dan penuh perasaan.
“Akhir tahun, ya? Sulit juga. Sudah
lebih dari setengah tahun yang lalu lo. Baiklah, saya coba cari, tapi jangan
harap pasti ketemu, ya.”
Ia mematikan setrikanya, meletakkannya
pada papan setrika, dan, sembari bersiul mengiringi lagu utama dari film A Summer Place, mulai menggeledahi rak
di ruang belakang.
Sewaktu SMA, aku pernah menonton A Summer Place bersama pacarku. Film itu
dibintangi oleh Troy Donahue dan Sandra Dee. Kami menontonnya sekalian dengan
film Follows the Boys yang dibintangi
Connie Francies di bioskop yang khusus memutar film lawas. Seingatku filmnya
jelek, tapi mendengar musiknya sekarang ini di sebuah binatu, tiga belas tahun
setelahnya, yang teringat olehku tentang masa itu hanya yang indah-indah saja.
“Dasi polkadot biru bukan?” tanya si
pemilik binatu. “Punya Okada?”
“Iya, yang itu,” kataku.
“Anda beruntung.”
*
Begitu sampai di rumah, aku segera
menelepon Kumiko di tempat kerjanya. “Dasinya ada,” kataku.
“Luar biasa,” sahutnya. “Baguslah!”
Suaranya terdengar dibuat-buat, seperti
sedang memuji anak yang hasil ulangannya bagus. Aku jadi merasa risau.
Seharusnya aku meneleponnya saat istirahat makan siang saja.
“Syukurlah,” ucapnya. “Tapi lagi ada
urusan nih. Maaf, ya. Bisa telepon lagi nanti siang?”
“Baiklah,” ujarku.
Setelah menutup telepon, aku ke beranda
membawa koran pagi. Seperti biasanya, aku bertelungkup sementara iklan lowongan
kerja terbentang lebar-lebar di depanku, aku membacanya dari ujung ke ujung
tanpa berhenti. Kolom-kolom itu dipenuhi dengan kode dan keterangan yang tidak
dapat kupahami. Betapa beragamnya pekerjaan yang ada di dunia ini,
masing-masingnya ditempatkan dalam deretan yang rapi hingga menyerupai peta
pemakaman yang baru dibangun.
Selazimnya yang terjadi tiap pagi, aku
mendengar suara si burung mainan memutar pegasnya dari suatu puncak pohon entah
di mana. Aku menutup koran, duduk sambil menyandarkan punggung pada tonggak,
dan memandang ke arah taman. Sekonyong-konyong terdengar lagi kicauan parau
burung itu, suaranya semacam keriat-keriut panjang yang datangnya dari puncak
pohon tusam milik tetangga. Aku berusaha melihat melalui cabang-cabang pohon,
tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan burung itu selain kicauannya. Seperti
biasanya. Maka pada hari itu pun pegas dunia berputar.
Menjelang pukul sepuluh, hujan mulai
turun. Hujannya tidak lebat. Malah seperti yang tidak hujan, tetesannya sangat
halus. Tapi kalau dilihat baik-baik, ternyata hujan. Dunia ini terbagi menjadi
dua keadaan, yaitu hujan dan tidak hujan, dan semestinya ada garis pemisah di
antara keduanya. Sejenak aku tetap duduk di beranda, memandangi garis yang
semestinya ada itu.
Apa yang sebaiknya kulakukan sampai
waktu makan siang nanti? Pergi berenang di kolam umum dekat rumah atau ke gang
mencari si kucing? Sambil bersandar pada tonggak beranda, dan memandangi
turunnya hujan di taman, pikiranku bolak-balik di antara dua itu. Kolam.
Kucing.
Kucing yang menang. Malta Kano bilang
kucing itu sudah tidak lagi berada di perumahan kami. Namun pagi itu aku
merasakan dorongan yang tidak terjelaskan untuk keluar dan mencarinya. Mencari
kucing sudah menjadi bagian dalam rutinitasku sehari-hari. Di samping itu,
Kumiko mungkin akan lumayan senang menyadari aku sudah berusaha. Kukenakan jas
hujan. Kuputuskan tidak membawa payung. Kukenakan sepatu tenis dan kutinggalkan
rumah dengan membawa kuncinya serta beberapa butir permen lemon dalam kantong
jasku. Kulintasi halaman, tapi baru saja kuletakkan sebelah tanganku pada
dinding batako, terdengar bunyi telepon. Aku bergeming sambil menajamkan
pendengaranku, tapi aku tidak bisa memastikan apakah itu teleponku atau telepon
tetangga. Begitu meninggalkan rumah, semua telepon terdengar sama saja
bunyinya. Aku pun menyerah dan memanjat dinding.
Bisa kurasakan lembutnya rumput melalui
sol sepatu tenisku yang tipis. Gang itu lebih senyap daripada biasanya. Sesaat
aku bergeming saja sambil menahan napas dan mendengarkan, tapi tidak ada suara
apapun. Telepon itu sudah berhenti berbunyi. Cuitan burung ataupun kebisingan
jalan tidak terdengar olehku. Langit sepenuhnya terpulas oleh kelabu. Pada
suasana seperti ini barangkali awan menyerap suara-suara dari permukaan bumi.
Dan bukan cuma suara. Segala macam hal. Penglihatan, misalnya.
Dengan tangan tersuruk dalam kantong jas
hujan, aku meluncur ke gang sempit itu. Ketika ada tiang-tiang jemuran yang
menganjur ke jalan, aku pun menyisi. Aku melangkah tepat di bawah lis
rumah-rumah lainnya. Cara menyusur gang yang diam-diam begini mengingatkanku
pada kanal yang telantar. Sepatu tenisku memijak rumput tanpa suara sama
sekali. Satu-satunya suara betulan yang kudengar dalam perjalanan singkatku ini
berasal dari radio di salah satu rumah. Radio itu menyiarkan acara
bincang-bincang yang membahas persoalan penelepon. Seorang lelaki paruh baya
mengeluhkan ibu mertuanya pada si pembawa acara. Sepintas-sepintas kudengar
bahwa ibu mertuanya itu berusia enam puluh delapan dan keranjingan pacuan kuda.
Setelah aku melewati rumah itu, suara radio mulai sayup-sayup hingga tidak
terdengar sama sekali, seakan-akan yang berangsur menghilang menjadi ketiadaan
itu bukan saja suara radio itu, tapi juga si pria paruh baya beserta ibu
mertuanya yang terobsesi pada kuda, keduanya pastilah ada di suatu tempat di
dunia ini.
Akhirnya aku sampai juga di rumah kosong
itu. Hening, seperti biasanya.
Dilatari awan kelabu yang menggantung
rendah, dengan pintu badai yang dipaku di lantai dua, kehadiran rumah itu
menyerupai bayangan gelap. Mungkin saja rumah itu dulunya kapal barang yang
sangat besar tersangkut di karang pada suatu malam berbadai dan dibiarkan
membusuk. Kalau bukan karena meningginya rerumputan sejak kunjungan terakhirku,
mungkin saja aku mengira waktu telah berhenti khusus di tempat yang satu ini.
Berkat lamanya hujan yang turun belakangan, bilah-bilah rumput hijau berkilauan,
dan menguarkan aroma liar yang unik pada permukaan yang membenamkan akar mereka
ke dalam bumi. Tepat di tengah lautan rumput itu tegaklah si patung burung,
dalam posisi yang persis sebagaimana yang kulihat sebelumnya. Kedua sayapnya
terbentang, siap untuk lepas landas. Tentu saja burung yang satu ini tidak akan
pernah bisa terbang. Aku tahu itu, dan burung itu juga tahu. Burung itu akan
terus menanti di tempatnya dipajang sampai harinya diangkut dengan gerobak
sampah atau dihancurkan berkeping-keping. Tidak ada kemungkinan lain baginya
untuk meninggalkan taman ini. Satu-satunya yang bergerak hanya seekor kupu-kupu
putih kecil, yang mengepak-ngepakkan sayapnya melintasi rerumputan tertinggal
berminggu-minggu dari musimnya. Gerakannya bimbang, bagaikan seorang pencari
yang lupa apa yang hendak dicarinya. Setelah lima menit berburu tanpa ada
hasilnya, kupu-kupu itu menghilang entah ke mana.
Sambil mengisap permen lemon, aku
bersandar pada pagar berantai dan memandangi taman itu. Tidak ada tanda-tanda
keberadaan si kucing. Tidak ada tanda-tanda kehadiran apapun. Tempat itu
terlihat seperti kolam yang tenang, tersumbat karena ada suatu kekuatan yang
sangat besar menghalangi alirannya yang alami.
Aku merasa ada orang di belakangku dan
cepat-cepat berbalik. Tapi tidak ada siapa-siapa. Yang terlihat hanya pagar di
sisi seberang, dan gerbang kecil pada pagar itu, gerbang tempat gadis itu
pernah berdiri. Namun gerbang itu kini tertutup, dan di halamannya tidak ada
jejak siapa-siapa. Segalanya terasa lembap dan sunyi. Juga ada bebauan: Rumput.
Hujan. Jas hujanku. Permen lemon di balik lidahku yang sudah separuh meleleh.
Segalanya terasa bersamaan dalam sekali tarikan napas yang dalam. Aku berbalik
sekali lagi untuk mengamati keadaan di sekitarku, tapi tidak ada siapa-siapa.
Sambil memasang telinga baik-baik, aku menangkap adanya kepakan baling-baling
helikopter di kejauhan. Ada orang-orang di atas sana, terbang di atas awan.
Tapi suara itu sekalipun menghilang menghilang ditelan kejauhan, dan sunyi pun
kembali meluruh.
Pagar berantai di seputar rumah kosong
itu ada gerbangnya, juga diberi rantai, tidak mengherankan. Aku mencoba-coba
mendorongnya. Gerbang itu terbuka saja dengan mudahnya sehingga rasanya agak
mengecewakan, seakan mendorongku untuk masuk. “Tidak apa-apa,” gerbang itu
seakan berkata. “Masuk saja.” Tidak mesti mengandalkan pengetahuan rinci
tentang hukum yang telah kuperoleh selama delapan tahun lamanya untuk menyadari
kalau ini bisa menjadi masalah yang benar-benar serius. Kalau ada tetangga yang
melihatku di rumah kosong itu dan melaporkanku pada polisi, mereka akan datang
dan menyelidikiku. Aku akan bilang aku sedang mencari kucingku. Kucingku
menghilang, dan aku sedang mencarinya di seputar perumahan. Mereka akan
mendesakku memberitahukan alamat dan pekerjaanku. Aku harus memberi tahu mereka
kalau aku ini pengangguran. Mereka akan menjadi semakin curiga. Mereka mungkin
gelisah soal teroris sayap kiri atau sesuatunya, meyakini bahwa teroris sayap
kiri sedang bergerak di seluruh Tokyo, dengan gudang tersembunyi yang menyimpan
senjata dan bom rakitan. Mereka akan menelepon Kumiko di kantornya untuk
membuktikan ceritaku. Ia bakalan kaget.
Ah, apalah. Aku pun masuk, sambil menarik
gerbang yang lalu menutup di belakangku. Kalau pun nanti ada sesuatu yang
terjadi, biar saja terjadi. Kalau ada sesuatu yang hendak terjadi, ya biar saja.
Aku melintasi taman itu sambil
melihat-lihat. Sepatu tenisku memijak rumput tanpa suara seperti biasanya. Ada
beberapa pohon buah yang tumbuh rendah, nama-namanya aku tidak tahu, dan
sebidang halaman berumput yang lapang. Rerumputan itu tumbuh terlalu rimbun,
menutupi segalanya. Dua dari pepohonan buah itu dirambati tumbuhan markisa
yang jelek, kelihatannya seakan sedang dicekik sampai mati. Deretan asmanthus di sepanjang pagar tampak
putih mengerikan akibat dilapisi telur serangga. Sesaat ada seekor lalat kecil
bandel yang terus berdengung di dekat telingaku.
Seraya melewati si patung batu, aku
menuju tumpukan kursi plastik putih di bawah lis. Kursi yang paling atas kotor,
tapi kursi yang di bawahnya lumayan bersih. Aku menyekanya dengan tanganku dan
mendudukinya. Tidak mungkin ada yang bisa melihatku dari arah gang berkat
lebatnya rumput yang tumbuh liar di antara tempatku dan pagar itu, dan lisnya
meneduhiku dari hujan. Aku pun duduk sambil bersiul dan mengamati taman yang
tengah menadah karunia dari hujan yang merintik lembut. Awalnya aku tidak acuh lagu apa yang
kusiulkan, baru kemudian aku menyadari kalau itu pembukaan dari Thieving Magpie-nya Rossini, lagu yang
sama dengan yang kusiulkan saat ada wanita asing menelepon selagi aku memasak
spageti.
Duduk-duduk di taman begini, tanpa ada
seorang pun di sekitarku, sambil memandangi rerumputan dan si patung burung, dan
menyiulkan sebuah lagu (dengan payahnya), membuatku merasa kembali ke masa
kecil. Aku sedang berada di sebuah tempat rahasia dan tidak terlihat oleh
siapa pun. Perasaanku jadi tenang. Aku merasa seperti sedang melemparkan sebutir
batu—batu yang kecil juga tidak apa—ke arah suatu sasaran. Sepertinya si patung
burung itu sasaran yang pas. Aku menyambitnya cukup keras hingga terdengar
bunyi berdengkang. Sewaktu masih anak-anak, aku sering bermain seperti itu
sendirian. Aku meletakkan sebuah kaleng kosong, mundur, dan melemparinya dengan
batu sampai kaleng itu terisi penuh. Aku bisa melakukannya sampai berjam-jam.
Tapi sekarang ini tidak ada sebutir pun batu di bawahku. Hah, okelah. Tidak ada
tempat yang menyediakan segalanya.
Kaki kuangkat, lutut kutekuk, dan dagu
kutopang dengan tangan. Lalu kupejamkan mata. Masih tidak terdengar suara
apa-apa. Kegelapan di balik kelopak mataku yang tertutup bagaikan langit yang
tersaput oleh awan, tapi warna kelabunya sedikit lebih kelam. Beberapa menit
sekali, ada yang datang dan mengecat warna kelabu itu dengan warna kelabu yang
teksturnya lain dengan sentuhan warna emas, hijau, atau merah. Aku terkesan
dengan beragamnya warna kelabu yang ada. Manusia itu sangat aneh. Tinggal duduk
tenang saja selama sepuluh menit, dan tampaklah ragam warna kelabu yang
menakjubkan ini.
Sambil melihat-lihat berbagai warna
kelabu yang ada dalam pandanganku, aku mulai bersiul lagi, tanpa memikirkan
apa-apa.
“Hei,” tegur seseorang.
Serta-merta aku membuka mata. Aku
mencondongkan badanku ke sisi supaya bisa melihat gerbang di atas permukaan
rerumputan. Gerbangnya terbuka. Terbuka lebar. Ada yang mengikutiku masuk.
Jantungku mulai berdebar.
“Hei,” orang itu berkata lagi. Suara
perempuan. Ia muncul dari balik patung dan mulai menuju ke arahku. Ia gadis
yang waktu itu sedang berjemur di halaman di seberang gang. Ia mengenakan kaus
Adidas biru terang dan celana pendek yang sama dengan waktu itu. Jalannya masih
agak pincang. Yang berbeda dari sebelumnya hanyalah kali ini ia tidak
mengenakan kacamata hitamnya.
“Sedang apa di sini?” tanyanya.
“Mencari kucing,” kataku.
“Yakin? Kok kelihatannya tidak begitu.
Kamu cuma duduk-duduk di sini dan bersiul sambil merem. Bukannya malah sulit
menemukan apapun dengan cara begitu?”
Kurasakan wajahku memerah.
“Tidak masalah sih buatku,” lanjutnya,
“tapi orang yang tidak mengenalmu mungkin akan mengira kamu ini penjahat.” Ia
terdiam. “Kamu bukan penjahat, kan?”
“Sepertinya bukan,” kataku.
Ia mendekatiku dan mencermati tumpukan
kursi halaman, seraya memilih satu yang tidak begitu kotor dan memeriksanya
sekali lagi sebelum meletakkannya di tanah dan mendudukinya.
“Dan siulanmu itu jelek sekali,”
katanya. “Aku tidak tahu musiknya, tapi melodinya itu sama sekali tidak ada.
Kamu bukan homo, kan?”
“Sepertinya bukan,” kataku. “Kenapa?”
“Ada yang bilang homo itu payah sekali
kalau bersiul. Betul tidak sih?”
“Siapa tahu? Itu mungkin cuma omong
kosong.”
“Bagaimanapun juga, aku tidak peduli
sekalipun kamu homo, penjahat, atau apalah. Omong-omong, siapa namamu? Aku
tidak tahu mesti bagaimana menyebutmu.”
“Toru Okada,” jawabku. Ia mengulangi
namaku berkali-kali. “Namanya biasa-biasa saja, ya?” ucapnya.
“Mungkin juga tidak,” kataku. “Menurutku
itu kedengarannya seperti nama duta besar pada masa sebelum perang: Toru Okada.
Mengerti, kan?”
“Apalah artinya itu buatku. Aku benci
sejarah. Aku paling tidak bisa pelajaran itu. Yah, lupakan saja. Ada nama
panggilan? Yang lebih enak disebut daripada Toru Okada?”
Aku tidak ingat dulu pernah punya nama
panggilan. Tidak pernah sekalipun. Kenapa, ya? “Tidak ada,” kataku.
“Tidak ada? ‘Beruang’? Atau ‘Kodok’?”
“Tidak ada tuh.”
“Ya ampun,” ucapnya. “Pikirkan lagi.”
“Burung mainan,” kataku.
“Burung mainan?” tanyanya sambil
menatapku dengan ternganga. “Apa tuh?”
“Itu burung yang pegasnya bisa
diputar,” kataku. “Setiap pagi. Di puncak pohon. Burung itulah yang memutar
pegas dunia. Kreeeet.”
Ia terus saja memandangiku.
Aku mendesah. “Tercetus begitu saja dalam
pikiranku,” kataku. “Dan ada lagi. Burung itu mampir di dekat rumahku setiap
hari dan mulai berbunyi kreeet di pohon
tetangga. Tapi tidak ada yang pernah melihatnya.”
“Menarik juga. Kalau begitu sebutanmu
jadi Pak Burung Mainan. Masih rada susah juga sih bilangnya, tapi mending
daripada Toru Okada.”
“Terima kasih banyak, ya.”
Ia mengangkat kakinya ke kursi dan
menopang dagunya dengan lutut.
“Kalau nama kamu siapa?” tanyaku.
“May Kasahara. May… seperti nama bulan,
Mei.”
“Kamu lahir bulan Mei?”
“Masih perlu tanya lagi, ya? Bisa
bayangkan bingungnya kalau ada orang yang lahirnya bulan Juni dinamai Mei?”
“Kurasa kamu benar,” kataku. “Sepertinya
kamu belum bersekolah lagi?”
“Sudah lama ini aku mengamatimu,”
ucapnya, mengabaikan pertanyaanku. “Dari kamarku. Dengan teropongku. Aku
melihatmu, masuk ke gerbang. Aku punya teropong kecil yang praktis, untuk mengamati
apa saja yang terjadi di gang. Segala macam orang masuk ke sana. Sepertinya
kamu belum tahu, ya. Dan bukan cuma orang. Binatang-binatang juga. Apa yang
kamu lakukan sendirian di sini dari tadi?”
“Menyendiri,” kataku. “Merenungkan masa
lalu. Bersiul.”
May Kasahara menggigiti kuku
jempolnya. “Kamu tuh rada aneh,”
katanya.
“Aku tidak aneh. Orang-orang juga
melakukannnya.”
“Mungkin begitu, tapi mereka kan tidak
melakukannya di rumah tetangga yang kosong. Kamu kan bisa berdiam di halamanmu
sendiri saja kalau kamu cuma mau menyendiri, merenungkan masa lalu, dan
bersiul.”
Dia benar juga.
“Bagaimanapun juga, sepertinya Noboru
Wataya belum pulang, ya?”
Kugelengkan kepala. “Dan sepertinya kamu
belum melihatnya juga?” tanyaku.
“Tidak, dan aku mencari-carinya juga.
Kucing loreng dengan garis-garis cokelat. Ekornya agak bengkok di ujungnya.
Benar, kan?” Dari saku celana pendeknya, ia mengambil
sebungkus rokok merek Hope dan menyalakannya dengan mancis. Setelah beberapa
kepulan, ia menatap lekat ke arahku dan berkata, “Rambutmu agak menipis, ya?”
Serta-merta tanganku bergerak ke
belakang kepala.
“Bukan di situ, tolol,” ucapnya. “Batas
rambutmu yang sebelah depan. Lebih naik daripada semestinya, ya kan?”
“Aku tidak pernah benar-benar memerhatikannya.”
“Kalau aku sih iya,” katanya. “Itulah tandanya kamu bakal botak. Batas
rambutmu mulai naik dan terus naik seperti ini.” Ia meraup segenggam rambutnya
sendiri di bagian depan dan menyorongkan dahinya yang telanjang ke mukaku.
“Sebaiknya kamu berhati-hati.”
Kusentuh batas rambutku. Mungkin ia
benar. Mungkin batas rambutku itu agak mundur. Atau itu cuma bayanganku saja?
Bertambah lagi hal yang mesti kecemaskan.
“Maksudmu bagaimana, ya?” tanyaku.
“Bagaimana caranya berhati-hati?”
“Sepertinya memang tidak mungkin. Tidak
ada yang bisa kamu lakukan. Tidak ada yang bisa mencegah kebotakan. Orang yang
bakal botak ya botak saja. Kalau sudah waktunya, itulah yang terjadi. Mereka
jadi botak. Kamu tidak bisa menghentikannya. Ada yang bilang kamu bisa mencegah
kebotakan dengan perawatan rambut yang tepat. Tapi itu omong kosong. Lihat saja
gelandangan yang tidur di Stasiun Shinjuku. Mereka semua rambutnya lebat
sekali. Menurutmu mereka keramas tiap hari dengan Clinique, Vidal Sassoon, atau
menggosoknya dengan Lotion X? Itu kan yang bakal dibilang para pembuat
kosmetik, untuk mengambil duitmu?”
“Aku yakin kamu benar,” ujarku,
tertarik. “Kok kamu tahu banyak sih soal kebotakan?”
“Aku kan kerja paruh waktu di perusahaan
rambut palsu. Sudah lama. Kamu tahu kan aku tidak sekolah, jadi aku punya banyak
waktu luang. Aku mengerjakan survei dan kuisioner, semacam itulah. Jadi aku
tahu semuanya soal laki-laki yang kehilangan rambutnya. Kepalaku berat dengan
informasi soal itu.”
“Ya ampun,” kataku.
“Tapi kamu tahu tidak,” ucapnya, seraya
menjatuhkan puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya, “di perusahaan tempatku
bekerja, kamu tidak boleh bilang orang itu ‘botak’. Kamu harus mengatakannya
‘pria dengan problem penipisan rambut’. ‘Botak’ itu istilah yang mendiskriminasi.
Pernah aku becanda dan mengusulkan ‘kaum pria yang tertantang oleh kantung
rambutnya’, dan ampun deh, mereka
betul-betul marah! ‘Ini bukan bahan tertawaan, nona muda,’ kata mereka. Mereka
tuh terlaluuu serius. Mengerti, kan? Setiap orang di seluruh dunia terkutuk ini
keterlaluan seriusnya.”
Aku mencomot permen lemonku, memasukkan
satu ke mulutku, dan menawarkan yang lainnya pada May Kasahara. Ia menggelengkan
kepala dan mengeluarkan rokok.
“Coba pikirkan itu, Pak Burung Mainan,” ujarnya, “kamu kan pengangguran. Masih tidak sih?”
“Pastinya.”
“Apa kamu serius soal bekerja?”
“Pastinya.” Begitu kata-kata itu keluar
dari mulutku, aku mulai terpikir seberapa betulnyakah itu. “Sebenarnya aku
tidak begitu pasti,” kataku. “Kurasa aku perlu waktu. Waktu untuk berpikir. Aku
sendiri tidak begitu pasti dengan apa yang kubutuhkan. Sulit menjelaskannya.”
Sambil mengunyah kukunya, May Kasahara
memandangiku sejenak. “Menurutku, Pak Burung Mainan,” ucapnya. “Kenapa
tidak bekerja denganku saja kapan-kapan? Di perusahaan rambut palsu. Bayarannya
tidak besar sih, tapi kerjanya gampang, dan kita boleh menentukan sendiri
waktunya. Bagaimana menurutmu? Jangan lama-lama memikirkannya, lakukan saja.
Supaya rutinitasmu tidak begitu melulu. Barangkali itu bisa membantumu memahami
segalanya.”
Ia benar juga. “Kamu benar juga,”
kataku.
“Bagus!” ujarnya. “Kali berikutnya aku
ke sana, aku akan mampir dan menjemputmu. Nah, tadi kamu bilang rumahmu di
sebelah mana?”
“Hmm, sulit juga. Atau mungkin tidak.
Pokoknya kamu tinggal menyusuri gang ini saja, ikuti semua belokannya. Di
sebelah kiri nanti ada rumah yang di bagian belakangnya ada Honda Civic
diparkir. Di bempernya ada stiker ‘Semoga Ada Damai bagi Semua Orang di Dunia’.
Rumah kami yang di sebelahnya, tapi tidak ada gerbang menuju gang. Adanya cuma
dinding batako, jadi kamu harus memanjatnya. Tingginya kira-kira sedaguku.”
“Jangan khawatir. Dinding setinggi itu
sih aku bisa, tidak masalah.”
“Loh, memangnya kakimu sudah tidak
sakit?”
Ia mengembuskan asap dengan suara yang
agak mendesah dan berkata, “Jangan khawatir. Ini tidak kenapa-kenapa kok. Aku
pincang sewaktu ada orangtuaku saja soalnya aku tidak mau sekolah. Aku cuma
pura-pura. Terus jadi kebiasaan deh. Aku melakukannya sekalipun sedang tidak
ada siapa-siapa, sewaktu di kamarku sendirian saja. Aku ini perfeksionis. Apa
sih itu istilahnya—‘Tipulah dirimu sendiri supaya bisa menipu orang lain’? Tapi
bagaimanapun juga, Pak Burung Mainan, menurutmu, apa kamu ini punya
nyali?”
“Tidak juga sih, tidak.”
“Tidak sama sekali?”
“Tidak, aku bukan orang yang punya
nyali. Tidak ada kemungkinan berubah juga.”
“Kalau rasa penasaran?”
“Rasa penasaran itu lain. Kalau itu aku
punya.”
“Eh, bukannya nyali dan rasa penasaran
itu sama saja, ya?” ujar May Kasahara. “Kalau ada nyali, berarti ada rasa
penasaran, dan kalau ada rasa penasaran, berarti ada nyali. Iya, tidak?”
“Hmm, mungkin memang mirip,” kataku.
“Mungkin kamu benar. Mungkin kadang keduanya saling melengkapi.”
“Misalnya saja, sewaktu kamu menyelinap
ke halaman belakang rumah orang.”
“Yah, seperti itu,” kataku, sambil
membalikkan permen lemon di lidahku. “Sewaktu kita menyelinap ke halaman
belakang rumah orang, sepertinya memang ada nyali sekaligus rasa penasaran.
Rasa penasaran bisa memunculkan nyali kadang-kadang, bahkan bisa menggerakkan.
Tapi biasanya rasa penasaran itu menguap. Nyali pun tidak muncul sampai lama.
Rasa penasaran itu seperti teman seru-seruan yang tidak bisa dipercaya. Rasa
penasaran membuatmu bangkit lalu meninggalkanmu supaya menanggungnya
sendirian—dengan nyali apa pun yang bisa kamu kerahkan.”
Ia memikirkannya baik-baik sesaat.
“Sepertinya begitu. Rasanya bisa dilihat seperti itu.” Ia bangkit dan
membersihkan kotoran yang melekat di bagian belakang celana pendeknya. Lalu ia
menunduk ke arahku. “Hei, Pak Burung Mainan, mau lihat sumur?”
“Sumur?” tanyaku. Sumur?
“Ada sumur kering di sini. Aku
menyukainya. Lumayan. Mau melihatnya?”
*
Kami memintas halaman dan berjalan
memutar ke sisi rumah. Sumur itu bundar, diameternya mungkin 1,5 meter. Papan
tebal yang bentuk dan ukurannya menyesuaikan digunakan untuk menutupi sumur
itu. Sepasang balok beton ditaruh di atas untuk menahannya. Pinggiran sumur itu
tingginya kira-kira satu meter, dan di dekatnya ada sebatang pohon tua yang
seakan menjaganya. Pohon itu pohon buah, tapi aku tidak tahu jenisnya.
Sebagaimana hampir semuanya yang
bersangkutan dengan rumah ini, sumur itu kelihatannya seakan sudah
ditelantarkan sejak lama. Sesuatu padanya terasa seakan sumur itu sepatutnya
disebut sebagai “luapan kekakuan”. Barangkali sewaktu mata dipejamkan, benda
mati akan terasa semakin mati.
Ketika diamati dari dekat, tampak bahwa
sumur itu sebetulnya jauh lebih tua dibandingkan benda-benda lain yang
mengelilinginya. Sumur itu dibuat pada masa yang lain, lama sebelum rumah itu
dibangun. Bahkan tutup kayunya saja antik. Tepian sumur itu dilapisi dengan
beton tebal, mestilah untuk menguatkan struktur yang telah lama dibuat itu.
Pohon di dekatnya tampak jemawa karena sudah berdiri di sana jauh lebih lama daripada
pohon lainnya di sekitar situ.
Aku menurunkan balok beton itu ke tanah
dan mengangkat separuh tutup kayunya. Sambil memegangi tepian sumur, aku
mencondongkan badan dan memandang ke bawah, tapi aku tidak bisa melihat
dasarnya. Jelas ini sumur yang dalam, bagian bawahnya tertelan oleh kegelapan.
Aku mengendus-endus. Baunya agak apak.
“Tidak ada airnya,” kata May Kasahara.
“Sumur yang tidak ada airnya. Burung
yang tidak bisa terbang. Gang yang tidak ada ujungnya. Dan—“
May mencomot segumpal bata dari tanah
dan melemparnya ke dalam sumur. Sebentar kemudian terdengar suara gedebuk
kecil. Lalu sunyi. Suaranya kering sama sekali, garing, seakan dapat diremukkan
dengan tangan.
Aku menegakkan badan dan memandang May Kasahara. “Kok tidak ada
airnya, ya. Apa sumur ini sudah kering? Apa ada yang menimbunnya?”
Ia mengangkat bahu. “Kalau orang
menimbun sumur, bukannya mereka menimbunnya sampai ke atas? Buat apa membiarkan
lubang kering begini. Bisa saja ada orang yang jatuh dan terluka. Bukannya
begitu?”
“Kurasa kamu benar,” kataku. “Barangkali
ada orang yang mengeringkan airnya.”
Mendadak aku teringat pada kata-kata Pak
Honda dulu sekali. “Kalau kamu mesti naik, temukanlah menara paling tinggi, dan
panjatlah sampai puncaknya. Kalau kamu mesti turun, temukanlah sumur terdalam
dan turunlah ke dasarnya.” Jadi sekarang sumurnya sudah ada jikalau aku
membutuhkannya.
Aku mencondongkan badan lagi ke arah
sumur itu dan memandangi kegelapannya, tanpa mengharapkan sesuatu pun. Jadi,
pikirku, di tempat seperti ini, pada siang bolong seperti ini, ada kegelapan
yang sedalam ini. Aku berdeham dan berdeguk. Suaranya memantul dalam kegelapan,
seakan ada orang lainnya yang juga berdeham. Ludahku masih berasa permen lemon.
*
Aku menutup lagi sumur itu dan
mengembalikan balok pada permukaannya. Lalu kutengok jam tangan. Hampir pukul
setengah dua belas. Waktunya menelepon Kumiko pada jam makan siangnya.
“Sepertinya aku pulang saja,” kataku.
May Kasahara agak merengut. “Pergilah,
Pak Burung Mainan,” ujarnya. “Terbanglah ke rumah.”
Sewaktu kami melintasi halaman, si
patung burung masih menyorot langit dengan matanya yang hampa. Langitnya
sendiri masih tersaput oleh awan kelabu yang tidak putus-putus, tapi setidaknya
hujannya sudah berhenti. May Kasahara mencabut segenggam rumput dan melontarnya
ke langit. Karena tidak ada angin yang membawanya, bilah-bilah rumput itu pun jatuh ke
kaki gadis itu.
“Pikirkan waktu yang tersisa antara
sekarang dan waktunya matahari terbenam,” ucapnya tanpa melihatku.
“Benar,” kataku. “Ada banyak waktu.”
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar