Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

20150609

Yang Punya Kuasa (James Thurber, 1942)

Mr. Martin membeli satu pak rokok pada Senin malam di toko paling ramai di Broadway. Pada waktu itu sedang ada pertunjukan teater dan ada sekitar tujuh-delapan orang yang sedang membeli rokok. Karyawannya bahkan tidak menatap Mr. Martin, yang menaruh pak itu di dalam kantong mantelnya dan pergi. Sekiranya ada staf F & S yang melihatnya membeli rokok, mereka akan kaget, sebab biasanya Mr. Martin tidak merokok, dan memang tidak pernah. Tidak ada yang pernah melihatnya merokok.

Saat itu persis seminggu sejak Mr. Martin memutuskan untuk menyingkirkan Mrs. Ulgine Barrows. Ia menyebutnya “menghapus” Mrs. Barrows. Ia suka dengan istilah tersebut sebab tidak menyiratkan sesuatu pun selain memperbaiki suatu kesalahan—dalam hal ini ialah kesalahan Mr. Fitweiler. Mr. Martin telah menghabiskan setiap malam selama seminggu itu untuk menyusun rencananya dan mengkajinya. Sekarang sekembalinya ke rumah ia meninjaunya lagi. Ratusan kali sudah ia merasa gusar karena tidak dapat memperkirakan usahanya itu secara terperinci. Rencana yang disusunnya itu terasa serampangan dan nekat, risikonya sangat besar. Bisa saja terjadi kesalahan. Dan justru di situlah letak kecerdikannya. Tidak seorang pun yang akan melihat adanya peran yang dimainkan Erwin Martin dengan cermat, kepala sebuah departemen di F & S, yang pernah dibicarakan oleh Mr. Fitweiler sebagai demikian, “Orang bisa saja berbuat kesalahan, tapi Martin tidak pernah.” Tidak seorang pun yang akan mendapati perannya, kecuali kalau ia tertangkap basah.

Sembari duduk-duduk di ruangannya dan meminum segelas susu, Mr. Martin mengingat-ingat persoalannya dengan Mrs. Ulgine Barrows, sebagaimana yang diperbuatnya setiap malam selama tujuh malam itu. Dimulai dengan mengingat awalnya. Suara perempuan itu seperti bebek; dan suara yang mengerikan ini beserta tawanya yang membahana untuk pertama kalinya menistakan koridor F & S pada 7 Maret 1941 (Mr. Martin pandai mengingat tanggal). Roberts tua memperkenalkannya sebagai penasihat khusus yang baru ditunjuk oleh pemimpin perusahaan itu, Mr. Fitweiler. Serta-merta Mr. Martin terkejut dibuatnya, namun ia tidak menampakkannya. Ia menyalami perempuan itu dengan tangannya yang kering, memandangnya dengan perhatian, dan tersenyum tipis.

“Loh,” ucap wanita itu sewaktu melihat berkas-berkas di mejanya. “Anda ini sedang mengangkat gerobak dari comberan, apa?”

Sementara mengingat kejadian itu, sembari meminum susunya, Mr. Martin menggerakkan sedikit tubuhnya dengan rasa tidak suka. Ia terus berusaha menganggap kekejian wanita itu dalam posisinya selaku penasihat khusus, alih-alih kekeliruannya secara pribadi. Ternyata sulit menganggapnya demikian, kendati ia menyadari sebaiknya seperti itu. Keburukan wanita itu sebagai seorang wanita terus saja kembali dalam pikirannya. Sekarang hampir dua tahun sudah wanita itu membuatnya cemas. Di koridor, di mana saja, bahkan di kantornya sendiri, dikuasai wanita itu. Lalu bagaikan kuda di pertunjukan, selalu saja wanita itu menyerukan pertanyaan-pertanyaan konyol kepadanya. “Anda ini sedang mengangkat gerobak dari comberan, apa? Anda ini sedang menyobeki kacang? Anda ini digaji karena tidak ada orang lain yang lebih cakap, ya? Anda ini yang punya kuasa, apa?”

Joey Hart, salah seorang pembantu Mr. Martin, menjelaskan arti omongan kosong itu. “Dia pasti penggemar Dodger[1],” katanya. “Red Barber[2] membawakan program-program Dodger lewat radio, dan dia menggunakan ungkapan-ungkapan itu—dia mempelajarinya di Selatan sana.”

Joey lanjut menjelaskan satu-dua dari padanya. “Menyobeki kacang” artinya marah-marah. “Yang punya kuasa” artinya duduk-duduk saja dengan nyaman.

Mr. Martin berusaha melepaskan diri dari semua itu. Ini sudah keterlaluan, nyaris saja membuatnya gila, tapi saking tegarnya ia tidak sampai terpikir untuk membunuh karena hal yang begitu kekanak-kanakkan. Untung saja, pikirnya, sementara rencana pentingnya terhadap Mrs. Barrows terus berlanjut, selama ini ia dapat menahannya dengan baik. Ia selalu menampilkan sikap tenang lagi santun. “Ah, saya malah mengira Anda menyukai wanita itu,” pernah Miss Paird berkata begitu padanya. Ia tersenyum saja.

Mr. Martin lanjut memikirkan rencananya itu. Mrs. Ulgine Barrows terus-terusan berupaya menghancurkan efisiensi dan sistem di F & S. Perlu diingat soal kedatangannya dan pencapaiannya pada kekuasaan. Mr. Martin mendengar ceritanya dari Miss Paird, yang sepertinya selalu bisa mendapatkan keterangan. Menurut ceritanya, Mrs. Barrows bertemu Mr. Fitweiler di suatu pesta, dan wanita itu menyelamatkannya dari seorang pemabuk berbadan kuat yang salah mengenali pimpinan F & S itu sebagai pelatih futbal Middle Western. Wanita itu membawanya ke tempat duduk dan entah bagaimana memengaruhinya. Seketika lelaki tua itu memutuskan bahwa wanita ini memiliki kualitas yang sangat luar biasa, mampu mengeluarkan segi-segi terbaik dari dirinya maupun perusahaan. Seminggu kemudian ia mengenalkan wanita itu di F & S selaku penasihat khususnya. Sejak hari itu kekacauan dimulai. Setelah Miss Tyson, Mr. Brundage, dan Mr. Barlett diberhentikan dan Mr. Munson pula angkat topi dan kaki, menyusul kemudian surat pengunduran dirinya, Roberts tua menjadi cukup bernyali untuk berbicara pada Mr. Fitweiler. Ia mengatakan bahwa departemennya Mr. Munson sedang “agak kerepotan” dan apa mereka tidak sebaiknya kembali saja pada sistem yang lama? Dengan tegas Mr. Fitweiler menolak. Ia teramat yakin pada gagasan-gagasan Mrs. Barrows.

“Kita mesti menunggu sebentar, sebentar saja,” ucapnya. Mr. Roberts pun menyerah. Mr. Martin mengingat dengan rinci segala perubahan yang dibuat Mrs. Barrows. Wanita itu memulainya dengan mengubah hal yang kecil-kecil, namun sekarang ia mencoba untuk menghancurkan seluruh perusahaan.

Ingatan Mr. Martin beralih pada suatu Senin petang, 2 November 1942—baru seminggu yang lalu. Pada hari itu, pukul tiga sore, Mrs. Barrows menyerang kantornya. “Bodoh!” serunya. “Anda ini digaji karena tidak ada orang yang lebih baik, apa?” Mr. Martin menatap wanita itu dari balik kap matanya yang berwarna hijau, tidak berkata apa-apa. Wanita itu mulai berkeliling-keliling kantornya, mengawasi semuanya dengan matanya yang besar. “Apa semua lemari dan laci ini benar-benar diperlukan?” desaknya tiba-tiba.

“Semuanya diperlukan menurut sistem F & S.”

Wanita itu berseru padanya. “Huh, jangan cari gara-gara, ya!” dan menuju pintu. Dari situ dilontarkannya, “Tapi barang-barang di sini memang banyak yang tidak ada gunanya!”

Mr. Martin tidak ragu lagi kesulitan sedang terarah pada departemennya sendiri yang amat dikasihinya. Wanita itu akan segera mendatangkan angin ribut. Memang itu belum terjadi; ia belum menerima surat berwarna biru dari Mr. Fitweiler yang memuat instruksi-instruksi konyol yang berasal dari wanita menyeramkan itu. Namun Mr. Martin benar-benar yakin surat itu akan tiba. Ia mesti bertindak secepatnya. Seminggu yang berharga telah berlalu. Di ruang tengahnya itu Mr. Martin bangkit sembari memegangi gelas susu. Telah dicapainya suatu keputusan. Wanita itu salah dan mesti dihapuskan.



Keesokan harinya Mr. Martin menjalankan kebiasaannya dengan sewajarnya. Ia mengelap kacamatanya lebih sering daripada biasanya, dan menajamkan lagi pensilnya yang sudah tajam, namun tidak sekalipun Miss Paird memerhatikannya. Sekali saja ia bersitatap dengan Mrs. Barrows, sewaktu wanita itu berjalan melewatinya di koridor dan berseru “Hai!” Pukul setengah enam ia berjalan pulang, seperti biasanya, dan meminum segelas susu, seperti biasanya. Ia tidak pernah meneguk minuman apa pun yang lebih keras selama hidupnya. Bertahun-tahun lalu mendiang Sam Schlosser, S-nya F & S, memuji Mr. Martin pada rapat staf sebab ia tidak pernah minum-minum. “Karyawan kami yang paling efisien tidak pernah minum-minum ataupun merokok,” ucapnya. “Hasilnya bisa dilihat oleh siapa saja.” Mr. Fitweiler yang duduk di dekatnya tampak menyetujui.

Mr. Martin mengenang hari yang indah itu sementara menyeberang menuju Schrafft di Fifth Avenue dekat Forty-Sixth Street. Ia sampai di sana, seperti biasanya, pada pukul delapan. Ia menyelesaikan makan malam dan korannya pada pukul sembilan kurang seperempat, seperti biasanya. Kebiasaannya pula berjalan-jalan setelah makan malam. Kali ini ia menyusuri Fifth Avenue dengan terburu-buru. Tangannya terasa lembap dan hangat, wajahnya dingin. Ia memindahkan rokok di mantelnya ke kantong yang lebih dalam. Ia berpikir-pikir, seperti biasanya, apabila rokok itu malah  tidak menampakkan kegelisahan yang tidak ada artinya. Mereknya Camel, sementara Mrs. Barrows hanya mengisap Luckies. Terpikir olehnya untuk mengisap Camel sedikit saja (setelah “penghapusan” itu), lalu menaruhnya di asbak sementara memegang Luckies kepunyaan wanita itu, dan dengan begitu orang-orang akan terheran-heran. Barangkali itu bukan gagasan yang baik. Akan memakan waktu saja. Malah kemungkinan ia akan terbatuk-batuk kencang akibat asapnya.

Mr. Martin belum pernah melihat rumah di West Twelft Street tempat Mrs. Barrows tinggal, tapi ia dapat membayangkannya dengan jelas. Untungnya wanita itu pernah menyombongkan tentang flatnya yang nyaman di bangunan yang teramat elok pada orang-orang. Tidak akan ada penjaga pintu ataupun orang lainnya di sebelah luar. Yang ada cuma para penghuni di lantai dua dan tiga.

Sementara berjalan-jalan, Mr. Martin menyadari bahwa dirinya akan sampai di sana sebelum pukul setengah sepuluh. Ia terpikir untuk berjalan ke utara dari Schrafft di Fifth Avenue sampai ke suatu tempat yang mana dari situ akan dicapainya rumah itu pada pukul sepuluh. Pada waktu tersebut kecil kemungkinan orang akan keluar-masuk bangunan. Namun ia ingin supaya tidak kelihatan sengaja, sementara kalau begitu ia akan kelihatan sengaja, maka gagasan itu tidak jadi dilakukannya. Mustahil memperkirakan kapan orang akan keluar-masuk rumah, bagaimanapun juga. Risikonya besar pada waktu kapanpun juga. Kalau sampai ia bertemu dengan siapa saja, maka ia benar-benar harus menunda rencana menghapus Ulgine Barrows itu hingga selama-lamanya. Begitu juga kalau sedang ada orang lain di flat wanita itu. Kalau demikian ia akan berdalih dirinya kebetulan sedang lewat, melihat rumah wanita itu yang tampaknya sangat menarik dan terpikir untuk mampir.

Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat delapan belas menit saat Mr. Martin kembali ke Twelfth Street. Ia berpapasan dengan seorang lelaki, dan ada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang mengobrol. Tidak ada seorang pun dalam jarak 50 meter saat ia menghampiri rumah itu, yang terletak di tengah-tengah blok yang jalannya menurun. Tergesa-gesa ia menaiki anak tangga dan jalan masuk yang sempit itu, lalu memencet bel di bawah kartu bertuliskan, “Mrs. Ulgine Barrows”. Begitu kuncinya terbuka, ia berjengit ke arah pintu. Cepat-cepat ia masuk, sembari menutup pintu di belakangnya. Di ruang depan menempel sebuah lampu yang cahayanya terasa begitu terang. Tidak ada siapa pun di tangga, yang menanjak di depannya di sepanjang dinding sebelah kiri. Di ujung sisi kanan ruangan sebuah pintu terbuka. Cepat-cepat ia menuju ke sana dengan berjingkat-jingkat.

“Demi Tuhan, siapa ini yang datang!” seru Mrs. Barrows. Tawanya yang kencang terdengar seperti letusan pistol. Buru-buru ia menerobos wanita itu seperti tengah bermain futbal, hingga wanita itu tertubruk.

“Hei, jangan dorong-dorong!” ujar wanita itu, seraya menutup pintu di belakang mereka. Mereka sedang berada di ruang tengah, yang bagi Mr. Martin kelihatannya seperti diterangi ratusan lampu.

“Ada masalah apa sih?” tanya wanita itu. “Kok gelisah sekali?”

Ia menyadari dirinya tidak kuasa berkata-kata. Jantungnya meloncat-loncat sampai ke tenggorokannya. “Saya—ya,” akhirnya ada juga yang dikeluarkannya. Wanita itu mengoceh dan tertawa sementara membantu melepaskan mantel. “Tidak, tidak usah,” ujarnya. “Saya taruh saja di sini.” Ia melepaskan sendiri mantelnya dan menaruhnya di kursi di dekat pintu.

“Topi dan sarung tangannya juga dong,” kata wanita itu. “Anda kan sedang berada di rumah wanita.” Ia pun meletakkan topinya di atas mantelnya. Mrs. Barrows tampak lebih besar daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Ia tetap mengenakan sarung tangannya.

“Saya sedang lewat,” ucapnya. Saya mengenali rumah ini—ada orang lainnya di sini?” Wanita itu tertawa lebih kencang daripada biasanya. “Tidak,” ujarnya, “kita berdua saja. Anda kok pucat sekali seperti serbet, lucunya. Habis ada kejadian apa sih? Saya bikinkan minuman, ya?” Ia menuju pintu di seberang ruangan. “Eh, tapi kan Anda tidak minum, ya?” Ia berbalik dengan raut geli.

Mr. Martin menenangkan diri. “Wiski tidak apa-apa,” ia mendengar dirinya sendiri berkata. Ia bisa mendengar tawa wanita itu di dapur.

Cepat-cepat Mr. Martin mengamati seantero ruang tengah untuk mencari benda yang bisa dijadikan senjata. Ia harus dapat menemukannya di ruangan itu. Dilihatnya ada tongkat besi penyodok perapian dan di pojok ada benda serupa potongan kayu yang tampaknya berat. Keduanya tidak bisa digunakan. Tidak bisa begitu caranya. Ia pun mulai berjalan keliling-keliling ruangan. Ia hampiri sebuah meja. Di situ terletak sebuah pisau pembuka surat dari logam dengan pegangan yang berukir. Cukup tajam tidak, ya? Ia menjangkaunya dan menyenggol sebuah bejana kecil dari kuningan. Perangko berjatuhan dari dalamnya dan benda itu pun jatuh ke lantai dengan suara keras.

“Hei!” seru Mrs. Barrows dari dapur, “Anda ini sedang menyobeki kacang, apa?” Mr. Martin menyahut dengan tawa ganjil.  Seraya menjumput pisau itu ia mencobakan ujungnya pada pergelangan tangan kirinya. Pisau itu tidak tajam. Tidak akan berhasil.



Begitu Mrs. Barrows kembali dengan membawa dua gelas minuman, Mr. Martin yang tengah berdiri dengan sarung tangan terpasang menyadari kejanggalan yang telah diperbuatnya. Di kantongnya ada rokok, minuman telah disiapkan untuknya—betapa ganjilnya. Bahkan lebih dari itu, ini mustahil. Dari lubuk pikirannya muncullah sebuah ide.

“Ya Tuhan, copot dong sarung tangannya,” kata Mrs. Barrows.

“Saya selalu memakainya di rumah,” sahut Mr. Martin. Idenya mulai mengembang, aneh sekaligus hebat sekali. Wanita itu pun meletakkan gelas di meja dan duduk. “Ke sini kau, orang kecil aneh,” ujarnya.

Mr. Martin mendekat dan duduk di sampingnya. Sulit baginya mengeluarkan rokok Camel dari bungkusnya, namun ia berusaha. Wanita itu memegangkan mancis untuknya seraya tertawa. “Nah,” ucap wanita itu sambil menyerahkan minuman untuknya, “ini mengherankan sekali. Anda memegang minuman dan rokok!”

Mr. Martin pun merokok, gayanya tidak begitu canggung, dan mengambil minumannya. “Dari dulu saya minum-minum dan merokok,” ucapnya. Ia menaruh kembali gelasnya mengenai gelas wanita itu. “Turunkan saja si tua tolol itu, Fitweiler,” semburnya dan minum lagi. Betapa mengerikan rasanya minuman itu, namun ia menjaga rautnya tetap datar.

“Yang benar saja, Mr. Martin,” tukas wanita itu. Suara dan sikapnya berubah. “Anda menghina pimpinan kita.” Kini Mrs. Barrows menjelma sepenuhnya penasihat khusus bagi sang pimpinan.

“Saya berencana untuk meledakkan si tua tolol itu sampai membumbung lebih tinggi daripada neraka,” ujar Mr. Martin. Minumannya tinggal sedikit, dan efeknya tidak begitu terasa. Tidak bisa dijadikan alasannya mengutarakan perkataan itu. Mesti ada alasan yang lain.

“Memangnya apa untungnya buat Anda?” tanya Mrs. Barrows dingin.

“Ya,” sahut Mr. Martin. “Saya akan mengambil banyak keuntungan sebelum menyingkirkan si tua tolol itu.”

“Mr. Martin!” seru wanita itu seraya menjejakkan kedua kakinya. “Sudah cukup. Anda harus pergi sekarang juga.”

Mr. Martin meneguk lagi minumannya. Ia menaruh rokoknya di asbak dan meletakkan bungkusnya di meja. Barulah ia bangkit. Wanita itu tegak memandanginya dengan gusar. Ia berjalan menjauh dan mengambil topi serta mantelnya. “Jangan bilang siapa-siapa,” imbuhnya seraya menempelkan jari ke bibirnya.

Mrs. Barrows hanya bisa menanggapinya dengan, “Yang benar saja!” Tangan Mr. Martin meraih pegangan pintu. “Sayalah yang punya kuasa,” ucapnya. Ia menjulurkan lidahnya pada wanita itu dan pergi. Tidak seorang pun melihatnya berlalu.

Mr. Martin menuju flatnya dengan berjalan kaki sementara waktu masih jauh dari pukul sebelas. Tidak seorang pun yang melihatnya pulang. Ia minum dua gelas susu setelah menggosok giginya, dan merasa amat tenteram. Bukan karena mabuk, sebab ia tidaklah mabuk. Bagaimanapun juga, berjalan kaki telah mengenyahkan efek dari wiski yang diminumnya. Ia pun naik ke tempat tidur dan membaca sebentar. Sebelum tengah malam ia sudah terlelap.



Keesokan harinya Mr. Martin sampai di kantor pada pukul setengah sembilan, seperti biasanya. Pukul sembilan kurang seperempat, Ulgine Barrows, yang biasanya belum tiba hingga pukul sepuluh, memasuki kantornya. “Saya laporkan Anda pada Mr. Fitweiler sekarang!” serunya. “Kalau ia menyerahkan Anda ke polisi, Anda memang pantas mendapatkannya!”

Mr. Martin tampak kaget. “Maaf, Anda bilang apa?” tanyanya. Mrs. Barrows menjerit dan mengangkat kaki dari ruangan itu, membikin Miss Paird dan Joey Hart terheran-heran.

“Kali ini ada masalah apa si setan tua itu?” tanya Miss Paird.

“Entahlah,” ujar Mr. Martin seraya melanjutkan pekerjaannya. Kedua orang itu menatapnya kemudian pada satu sama lain. Miss Paird bangkit dan keluar. Pelan-pelan ia berjalan melewati pintu kantor Mr. Fitweiler yang tertutup. Mrs. Barrows sedang berteriak-teriak di dalam sana, namun Miss Paird tidak dapat mendengar yang dikatakan wanita itu. Ia pun kembali ke mejanya.

Tigaperempat jam kemudian, Mrs. Barrows meninggalkan kantor pimpinan dan masuk ke ruangannya sendiri sambil menutup pintunya. Tidak sampai setengah jam kemudian Mr. Fitweiler memanggil Mr. Martin.

Kepala departemen yang rapi, tenang, dan penuh perhatian itu pun muncul di hadapan lelaki tua itu. Mr. Fitweiler kelihatan pucat dan gelisah. Ia mencopot kacamatanya dan memutar-mutarnya, lalu mendeham pelan.

“Martin,” ucapnya. “Anda sudah bekerja di sini lebih dari dua puluh tahun.”

“Dua puluh dua tahun, Pak,” ujar Mr. Martin.

“Selama itu,” lanjut sang pimpinan, “kinerja Anda dan—eh—sikap Anda sempurna.”

“Saya rasa demikian, Pak,” ucap Mr. Martin.

“Saya tahu, Martin,” ujar Mr. Fitweiler, “Anda tidak pernah minum-minum ataupun merokok.”

“Benar, Pak,” kata Mr. Martin.

“Ah, ya.” Mr. Fitweiler mengusap-usap gelasnya. “Mungkin Anda bisa menjelaskan perbuatan Anda sepulang dari kantor kemarin, Martin,” ucapnya.

Sejenak Mr. Martin tampak kebingungan. “Tentu, Pak,” ujarnya. “Saya pulang berjalan kaki. Lalu saya makan malam di Schrafft. Setelahnya saya pulang lagi. Saya lekas naik ke tempat tidur, Pak, dan membaca sebentar. Sebelum pukul sebelas saya sudah tidur.”

“Ah, ya,” ucap Mr. Fitweiler lagi. Sejenak ia terdiam, mencari-cari kata yang tepat untuk disampaikan pada kepala departemen tersebut. “Mrs. Barrows,” akhirnya ia berkata, “Mrs. Barrows telah bekerja keras, Martin, sangat keras. Saya menyesal kesehatannya sampai terganggu. Akibatnya ia meyakini orang-orang sedang berusaha membuatnya jengkel, dan pikiran-pikirannya itu sangatlah buruk.”

“Saya turut bersimpati, Pak.”

“Mrs. Barrows pikir,” lanjut Mr. Fitweiler, “Anda mengunjunginya semalam dan bersikap—tidak sepantasnya.” Ia mengangkat tangannya agar Mr. Martin meredakan luapan rasa tersinggungnya. “Wajar bagi pengidap penyakit ini,” ujar Mr. Fitweiler, “menyalahkan orang yang paling tidak ada cacatnya sebagai sumber masalahnya. Hanya dokter yang mampu memahami persoalan ini, Martin. Baru saja saya menelepon Dokter Fitch. Ia tidak bisa mengambil keputusan seketika, tentu saja, tapi keterangannya cukup membuktikan dugaan saya. Pikiran wanita itu sudah tidak beres. Begitu Mrs. Barrows mengakhiri—eh—ceritanya pada saya pagi ini, saya menyarankannya untuk mendatangi Dokter Fitch, sebab saya langsung menduga keadaannya mengkhawatirkan. Dia jadi, maaf, saya mesti mengatakannya, sangat marah, dan menuntut—eh—meminta saya agar menanyakan penjelasannya pada Anda. Anda mungkin belum tahu, Mr. Martin, tapi Mrs. Barrows telah berencana untuk merombak besar-besaran departemen Anda—kalau saya setuju, tentunya, kalau saya setuju. Akibatnya ia jadi sering memikirkan Anda—tapi sekali lagi, itu urusannya Dokter Fitch, bukan kita. Jadi, Martin, saya rasa Mrs. Barrows sudah tidak dapat bekerja lagi di sini.”

“Sangat disayangkan, Pak,” ujar Mr. Martin.

Saat itu juga pintu kantor terbuka seakan ada gas yang meledak, dan Mrs. Barrows melesat melaluinya. “Apa si tikus kecil itu bilang dia tidak melakukannya?” ia menjerit. “Dia tidak boleh mangkir!”

Mr. Martin bangkit dan perlahan bergeser ke samping kursi Mr. Fitweiler.

“Anda minum-minum dan merokok di rumah saya,” seru wanita itu pada Mr. Martin, “dan Anda tahu itu! Anda sebut Mr. Fitweiler si tua tolol dan Anda bilang akan meledakkannya!” Ia berhenti untuk mengambil napas. Sorot pada matanya yang besar itu berubah. “Kalau saja Anda ini bukan pria kecil yang biasa-biasa saja,” ucapnya. “Saya rasa Anda telah merencanakan semuanya. Menjulurkan lidah Anda, mengatakan Anda ini yang punya kuasa, sebab Anda pikir tidak akan ada yang mempercayai saya kalau saya menyampaikannya! Ya Tuhan, benar-benar terlalu sempurna!” Ia menjerit kencang-kencang dan kembali naik pitam. Ditatapnya Mr. Fitweiler. “Tidakkah Anda menyadari dia sudah mengerjai kita, dasar tua tolol! Tidakkah Anda menyadari permainannya?”

Namun diam-diam Mr. Fitweiler telah memenceti semua tombol di bawah permukaan mejanya, dan para karyawan F & S mulai memenuhi ruangan.

“Stockton,” ucap Mr. Fitweiler. “Anda dan Fishbein antar Mrs. Barrows pulang. Mrs. Powell, Anda ikut bersama mereka.”

Stockton, yang sewaktu SMA pernah bermain futbal, menghadang Mrs. Barrows sewaktu wanita itu menyerbu Mr. Martin. Bersama Fishbein ia memaksa wanita itu keluar menuju koridor, sembari dikerumuni oleh para juru ketik dan pesuruh. Wanita itu terus merutuki Mr. Martin. Keriuhannya akhirnya mereda juga di ujung jalan.

“Saya sungguh menyesali kejadian ini,” ucap Mr. Fitweiler. “Mudah-mudahan Anda tidak memusingkannya, Martin.”

“Baik, Pak,” ujar Mr. Martin, dan berjalan menuju pintu. “Saya tidak akan memusingkannya.” Ia pun keluar dan menutup pintu. Ia melangkah dengan ringan dan lincahnya di koridor. Begitu memasuki departemennya, ia melambatkan lajunya hingga seperti biasanya, dan dengan tenang berjalan menuju berkas-berkasnya, sembari memasang raut yang sangat serius.[]



JAMES THURBER (1894-1961) adalah humoris yang lahir di Ohio. Dalam cerpen-cerpennya, orang-orang aneh yang menjadi korban takdir mengalami berbagai gangguan yang ganjil. Dalam “The Catbird Seat”, seorang wanita mulai bekerja di sebuah kantor dan mengakibatkan perubahan-perubahan yang memberatkan. Kegiatannya yang tidak disenangi itu akhirnya dapat dihentikan dengan serangkaian tipu daya.



Cerpen yang aslinya berjudul "The Catbird Seat" karangan James Thurber ini pertama kali dipublikasikan di The New Yorker, 14 November 1942, diterjemahkan dari versi yang sudah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D., dalam British and American Short Stories (Longman, Green and Co Ltd, 1969).



[1] Tim bisbol di Amerika Serikat
[2] (1908-1922) – Komentator pertandingan olahraga di Amerika Serikat, terutama bisbol

2 komentar:

iznaen mengatakan...

Hehehe, smart Mr. Martin, smart :)
Saya suka dgan karakter mr. Martin yg benar2 tahu cara memanfaatkan kepercayaan org2 disekitarnya dan membuatnya menjadi senjata yang ampuh untuk menyingkirkan orang yang tidak disukainya. Caranya seperti membunuh tanpa membunuh, :)
Keren lah cerpen ini mba DYH, pada bagian awal saya mulai terpancing untuk tidak melanjutkan membaca, namun cepat2 narasi penulis membuat saya penasaran untuk lanjut lagi. Terjemahan mba DYH juga mantap dan tidak membuat saya bingung :)
Sekian mba dyh,
Salam olahraga (y)

diyday mengatakan...

Wah, syukur kalau enggak bingung dengan terjemahannya, hehe. Maklum, saya sedang belajar. Terima kasih, ya, Naen, sudah mau mampir kemari dan mengapresiasi terjemahan cerita ini ^^

Iya, Naen, barangkali dari karakterisasi Mr. Martin kita bisa belajar untuk menampilkan kepribadian yang baik secara konsisten, sehingga apa pun yang kita perbuat orang akan percaya saja, hahaha. Saya kira, cerpen ini sekaligus menunjukkan sisi lain dari kepribadian Mr. Martin yang suka kenyamanan dan kemapanan, sehingga terhadap perubahan--seperti yang digagas Mrs. Barrows--ia jadi gelisah. Tapi kepribadian Mrs. Barrows sendiri memang unik sih.