Mr. Martin membeli satu pak rokok pada
Senin malam di toko paling ramai di Broadway. Pada waktu itu sedang ada
pertunjukan teater dan ada sekitar tujuh-delapan orang yang sedang membeli
rokok. Karyawannya bahkan tidak menatap Mr. Martin, yang menaruh pak itu di
dalam kantong mantelnya dan pergi. Sekiranya ada staf F & S yang melihatnya
membeli rokok, mereka akan kaget, sebab biasanya Mr. Martin tidak merokok, dan
memang tidak pernah. Tidak ada yang pernah melihatnya merokok.
Saat itu persis seminggu sejak Mr.
Martin memutuskan untuk menyingkirkan Mrs. Ulgine Barrows. Ia menyebutnya
“menghapus” Mrs. Barrows. Ia suka dengan istilah tersebut sebab tidak
menyiratkan sesuatu pun selain memperbaiki suatu kesalahan—dalam hal ini ialah
kesalahan Mr. Fitweiler. Mr. Martin telah menghabiskan setiap malam selama
seminggu itu untuk menyusun rencananya dan mengkajinya. Sekarang sekembalinya
ke rumah ia meninjaunya lagi. Ratusan kali sudah ia merasa gusar karena tidak
dapat memperkirakan usahanya itu secara terperinci. Rencana yang disusunnya itu
terasa serampangan dan nekat, risikonya sangat besar. Bisa saja terjadi
kesalahan. Dan justru di situlah letak kecerdikannya. Tidak seorang pun yang
akan melihat adanya peran yang dimainkan Erwin Martin dengan cermat, kepala
sebuah departemen di F & S, yang pernah dibicarakan oleh Mr. Fitweiler
sebagai demikian, “Orang bisa saja berbuat kesalahan, tapi Martin tidak
pernah.” Tidak seorang pun yang akan mendapati perannya, kecuali kalau ia
tertangkap basah.
Sembari duduk-duduk di ruangannya dan
meminum segelas susu, Mr. Martin mengingat-ingat persoalannya dengan Mrs.
Ulgine Barrows, sebagaimana yang diperbuatnya setiap malam selama tujuh malam
itu. Dimulai dengan mengingat awalnya. Suara perempuan itu seperti bebek; dan
suara yang mengerikan ini beserta tawanya yang membahana untuk pertama kalinya
menistakan koridor F & S pada 7 Maret 1941 (Mr. Martin pandai mengingat
tanggal). Roberts tua memperkenalkannya sebagai penasihat khusus yang baru
ditunjuk oleh pemimpin perusahaan itu, Mr. Fitweiler. Serta-merta Mr. Martin
terkejut dibuatnya, namun ia tidak menampakkannya. Ia menyalami perempuan itu
dengan tangannya yang kering, memandangnya dengan perhatian, dan tersenyum
tipis.
“Loh,” ucap wanita itu sewaktu melihat
berkas-berkas di mejanya. “Anda ini sedang mengangkat gerobak dari comberan,
apa?”
Sementara mengingat kejadian itu,
sembari meminum susunya, Mr. Martin menggerakkan sedikit tubuhnya dengan rasa
tidak suka. Ia terus berusaha menganggap kekejian wanita itu dalam posisinya
selaku penasihat khusus, alih-alih kekeliruannya secara pribadi. Ternyata sulit
menganggapnya demikian, kendati ia menyadari sebaiknya seperti itu. Keburukan
wanita itu sebagai seorang wanita terus saja kembali dalam pikirannya. Sekarang
hampir dua tahun sudah wanita itu membuatnya cemas. Di koridor, di mana saja,
bahkan di kantornya sendiri, dikuasai wanita itu. Lalu bagaikan kuda di
pertunjukan, selalu saja wanita itu menyerukan pertanyaan-pertanyaan konyol
kepadanya. “Anda ini sedang mengangkat gerobak dari comberan, apa? Anda ini
sedang menyobeki kacang? Anda ini digaji karena tidak ada orang lain yang lebih
cakap, ya? Anda ini yang punya kuasa, apa?”
Joey lanjut menjelaskan satu-dua dari
padanya. “Menyobeki kacang” artinya marah-marah. “Yang punya kuasa” artinya
duduk-duduk saja dengan nyaman.
Mr. Martin berusaha melepaskan diri dari
semua itu. Ini sudah keterlaluan, nyaris saja membuatnya gila, tapi saking
tegarnya ia tidak sampai terpikir untuk membunuh karena hal yang begitu
kekanak-kanakkan. Untung saja, pikirnya, sementara rencana pentingnya terhadap
Mrs. Barrows terus berlanjut, selama ini ia dapat menahannya dengan baik. Ia
selalu menampilkan sikap tenang lagi santun. “Ah, saya malah mengira Anda
menyukai wanita itu,” pernah Miss Paird berkata begitu padanya. Ia tersenyum
saja.
Mr. Martin lanjut memikirkan rencananya
itu. Mrs. Ulgine Barrows terus-terusan berupaya menghancurkan efisiensi dan
sistem di F & S. Perlu diingat soal kedatangannya dan pencapaiannya pada
kekuasaan. Mr. Martin mendengar ceritanya dari Miss Paird, yang sepertinya
selalu bisa mendapatkan keterangan. Menurut ceritanya, Mrs. Barrows bertemu Mr.
Fitweiler di suatu pesta, dan wanita itu menyelamatkannya dari seorang pemabuk
berbadan kuat yang salah mengenali pimpinan F & S itu sebagai pelatih
futbal Middle Western. Wanita itu membawanya ke tempat duduk dan entah
bagaimana memengaruhinya. Seketika lelaki tua itu memutuskan bahwa wanita ini
memiliki kualitas yang sangat luar biasa, mampu mengeluarkan segi-segi terbaik
dari dirinya maupun perusahaan. Seminggu kemudian ia mengenalkan wanita itu di F
& S selaku penasihat khususnya. Sejak hari itu kekacauan dimulai. Setelah
Miss Tyson, Mr. Brundage, dan Mr. Barlett diberhentikan dan Mr. Munson pula
angkat topi dan kaki, menyusul kemudian surat pengunduran dirinya, Roberts tua
menjadi cukup bernyali untuk berbicara pada Mr. Fitweiler. Ia mengatakan bahwa
departemennya Mr. Munson sedang “agak kerepotan” dan apa mereka tidak sebaiknya
kembali saja pada sistem yang lama? Dengan tegas Mr. Fitweiler menolak. Ia
teramat yakin pada gagasan-gagasan Mrs. Barrows.
“Kita mesti menunggu sebentar, sebentar
saja,” ucapnya. Mr. Roberts pun menyerah. Mr. Martin mengingat dengan rinci
segala perubahan yang dibuat Mrs. Barrows. Wanita itu memulainya dengan
mengubah hal yang kecil-kecil, namun sekarang ia mencoba untuk menghancurkan
seluruh perusahaan.
Ingatan Mr. Martin beralih pada suatu
Senin petang, 2 November 1942—baru seminggu yang lalu. Pada hari itu, pukul
tiga sore, Mrs. Barrows menyerang kantornya. “Bodoh!” serunya. “Anda ini digaji
karena tidak ada orang yang lebih baik, apa?” Mr. Martin menatap wanita itu
dari balik kap matanya yang berwarna hijau, tidak berkata apa-apa. Wanita itu
mulai berkeliling-keliling kantornya, mengawasi semuanya dengan matanya yang besar.
“Apa semua lemari dan laci ini benar-benar diperlukan?” desaknya tiba-tiba.
“Semuanya diperlukan menurut sistem F
& S.”
Wanita itu berseru padanya. “Huh, jangan
cari gara-gara, ya!” dan menuju pintu. Dari situ dilontarkannya, “Tapi
barang-barang di sini memang banyak yang tidak ada gunanya!”
Mr. Martin tidak ragu lagi kesulitan
sedang terarah pada departemennya sendiri yang amat dikasihinya. Wanita itu
akan segera mendatangkan angin ribut. Memang itu belum terjadi; ia belum
menerima surat berwarna biru dari Mr. Fitweiler yang memuat instruksi-instruksi
konyol yang berasal dari wanita menyeramkan itu. Namun Mr. Martin benar-benar
yakin surat itu akan tiba. Ia mesti bertindak secepatnya. Seminggu yang
berharga telah berlalu. Di ruang tengahnya itu Mr. Martin bangkit sembari
memegangi gelas susu. Telah dicapainya suatu keputusan. Wanita itu salah dan
mesti dihapuskan.
Keesokan harinya Mr. Martin menjalankan
kebiasaannya dengan sewajarnya. Ia mengelap kacamatanya lebih sering daripada
biasanya, dan menajamkan lagi pensilnya yang sudah tajam, namun tidak sekalipun
Miss Paird memerhatikannya. Sekali saja ia bersitatap dengan Mrs. Barrows,
sewaktu wanita itu berjalan melewatinya di koridor dan berseru “Hai!” Pukul
setengah enam ia berjalan pulang, seperti biasanya, dan meminum segelas susu,
seperti biasanya. Ia tidak pernah meneguk minuman apa pun yang lebih keras
selama hidupnya. Bertahun-tahun lalu mendiang Sam Schlosser, S-nya F & S,
memuji Mr. Martin pada rapat staf sebab ia tidak pernah minum-minum. “Karyawan
kami yang paling efisien tidak pernah minum-minum ataupun merokok,” ucapnya.
“Hasilnya bisa dilihat oleh siapa saja.” Mr. Fitweiler yang duduk di dekatnya
tampak menyetujui.
Mr. Martin mengenang hari yang indah itu
sementara menyeberang menuju Schrafft di Fifth Avenue dekat Forty-Sixth Street.
Ia sampai di sana, seperti biasanya, pada pukul delapan. Ia menyelesaikan makan
malam dan korannya pada pukul sembilan kurang seperempat, seperti biasanya.
Kebiasaannya pula berjalan-jalan setelah makan malam. Kali ini ia menyusuri
Fifth Avenue dengan terburu-buru. Tangannya terasa lembap dan hangat, wajahnya
dingin. Ia memindahkan rokok di mantelnya ke kantong yang lebih dalam. Ia
berpikir-pikir, seperti biasanya, apabila rokok itu malah tidak menampakkan kegelisahan yang tidak ada
artinya. Mereknya Camel, sementara Mrs. Barrows hanya mengisap Luckies.
Terpikir olehnya untuk mengisap Camel sedikit saja (setelah “penghapusan” itu),
lalu menaruhnya di asbak sementara memegang Luckies kepunyaan wanita itu, dan
dengan begitu orang-orang akan terheran-heran. Barangkali itu bukan gagasan
yang baik. Akan memakan waktu saja. Malah kemungkinan ia akan terbatuk-batuk
kencang akibat asapnya.
Mr. Martin belum pernah melihat rumah di
West Twelft Street tempat Mrs. Barrows tinggal, tapi ia dapat membayangkannya
dengan jelas. Untungnya wanita itu pernah menyombongkan tentang flatnya yang
nyaman di bangunan yang teramat elok pada orang-orang. Tidak akan ada penjaga
pintu ataupun orang lainnya di sebelah luar. Yang ada cuma para penghuni di
lantai dua dan tiga.
Sementara berjalan-jalan, Mr. Martin
menyadari bahwa dirinya akan sampai di sana sebelum pukul setengah sepuluh. Ia
terpikir untuk berjalan ke utara dari Schrafft di Fifth Avenue sampai ke suatu
tempat yang mana dari situ akan dicapainya rumah itu pada pukul sepuluh. Pada
waktu tersebut kecil kemungkinan orang akan keluar-masuk bangunan. Namun ia
ingin supaya tidak kelihatan sengaja, sementara kalau begitu ia akan kelihatan
sengaja, maka gagasan itu tidak jadi dilakukannya. Mustahil memperkirakan kapan
orang akan keluar-masuk rumah, bagaimanapun juga. Risikonya besar pada waktu
kapanpun juga. Kalau sampai ia bertemu dengan siapa saja, maka ia benar-benar
harus menunda rencana menghapus Ulgine Barrows itu hingga selama-lamanya.
Begitu juga kalau sedang ada orang lain di flat wanita itu. Kalau demikian ia
akan berdalih dirinya kebetulan sedang lewat, melihat rumah wanita itu yang
tampaknya sangat menarik dan terpikir untuk mampir.
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat
delapan belas menit saat Mr. Martin kembali ke Twelfth Street. Ia berpapasan
dengan seorang lelaki, dan ada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang
mengobrol. Tidak ada seorang pun dalam jarak 50 meter saat ia menghampiri rumah
itu, yang terletak di tengah-tengah blok yang jalannya menurun. Tergesa-gesa ia
menaiki anak tangga dan jalan masuk yang sempit itu, lalu memencet bel di bawah
kartu bertuliskan, “Mrs. Ulgine Barrows”. Begitu kuncinya terbuka, ia berjengit
ke arah pintu. Cepat-cepat ia masuk, sembari menutup pintu di belakangnya. Di
ruang depan menempel sebuah lampu yang cahayanya terasa begitu terang. Tidak
ada siapa pun di tangga, yang menanjak di depannya di sepanjang dinding sebelah
kiri. Di ujung sisi kanan ruangan sebuah pintu terbuka. Cepat-cepat ia menuju
ke sana dengan berjingkat-jingkat.
“Demi Tuhan, siapa ini yang datang!”
seru Mrs. Barrows. Tawanya yang kencang terdengar seperti letusan pistol.
Buru-buru ia menerobos wanita itu seperti tengah bermain futbal, hingga wanita
itu tertubruk.
“Hei, jangan dorong-dorong!” ujar wanita
itu, seraya menutup pintu di belakang mereka. Mereka sedang berada di ruang
tengah, yang bagi Mr. Martin kelihatannya seperti diterangi ratusan lampu.
“Ada masalah apa sih?” tanya wanita itu.
“Kok gelisah sekali?”
Ia menyadari dirinya tidak kuasa
berkata-kata. Jantungnya meloncat-loncat sampai ke tenggorokannya. “Saya—ya,”
akhirnya ada juga yang dikeluarkannya. Wanita itu mengoceh dan tertawa
sementara membantu melepaskan mantel. “Tidak, tidak usah,” ujarnya. “Saya taruh
saja di sini.” Ia melepaskan sendiri mantelnya dan menaruhnya di kursi di dekat
pintu.
“Topi dan sarung tangannya juga dong,”
kata wanita itu. “Anda kan sedang berada di rumah wanita.” Ia pun meletakkan
topinya di atas mantelnya. Mrs. Barrows tampak lebih besar daripada yang ia
bayangkan sebelumnya. Ia tetap mengenakan sarung tangannya.
“Saya sedang lewat,” ucapnya. Saya
mengenali rumah ini—ada orang lainnya di sini?” Wanita itu tertawa lebih
kencang daripada biasanya. “Tidak,” ujarnya, “kita berdua saja. Anda kok pucat
sekali seperti serbet, lucunya. Habis ada
kejadian apa sih? Saya bikinkan minuman, ya?” Ia menuju pintu di seberang
ruangan. “Eh, tapi kan Anda tidak minum, ya?” Ia berbalik dengan raut geli.
Mr. Martin menenangkan diri. “Wiski
tidak apa-apa,” ia mendengar dirinya sendiri berkata. Ia bisa mendengar tawa
wanita itu di dapur.
Cepat-cepat Mr. Martin mengamati
seantero ruang tengah untuk mencari benda yang bisa dijadikan senjata. Ia harus
dapat menemukannya di ruangan itu. Dilihatnya ada tongkat besi penyodok perapian
dan di pojok ada benda serupa potongan kayu yang tampaknya berat. Keduanya
tidak bisa digunakan. Tidak bisa begitu caranya. Ia pun mulai berjalan
keliling-keliling ruangan. Ia hampiri sebuah meja. Di situ terletak sebuah
pisau pembuka surat dari logam dengan pegangan yang berukir. Cukup tajam tidak,
ya? Ia menjangkaunya dan menyenggol sebuah bejana kecil dari kuningan. Perangko
berjatuhan dari dalamnya dan benda itu pun jatuh ke lantai dengan suara keras.
“Hei!” seru Mrs. Barrows dari dapur,
“Anda ini sedang menyobeki kacang, apa?” Mr. Martin menyahut dengan tawa
ganjil. Seraya menjumput pisau itu ia
mencobakan ujungnya pada pergelangan tangan kirinya. Pisau itu tidak tajam.
Tidak akan berhasil.
Begitu Mrs. Barrows kembali dengan
membawa dua gelas minuman, Mr. Martin yang tengah berdiri dengan sarung tangan
terpasang menyadari kejanggalan yang telah diperbuatnya. Di kantongnya ada
rokok, minuman telah disiapkan untuknya—betapa ganjilnya. Bahkan lebih dari
itu, ini mustahil. Dari lubuk pikirannya muncullah sebuah ide.
“Ya Tuhan, copot dong sarung tangannya,”
kata Mrs. Barrows.
“Saya selalu memakainya di rumah,” sahut
Mr. Martin. Idenya mulai mengembang, aneh sekaligus hebat sekali. Wanita itu
pun meletakkan gelas di meja dan duduk. “Ke sini kau, orang kecil aneh,”
ujarnya.
Mr. Martin mendekat dan duduk di
sampingnya. Sulit baginya mengeluarkan rokok Camel dari bungkusnya, namun ia
berusaha. Wanita itu memegangkan mancis untuknya seraya tertawa. “Nah,” ucap
wanita itu sambil menyerahkan minuman untuknya, “ini mengherankan sekali. Anda
memegang minuman dan rokok!”
Mr. Martin pun merokok, gayanya tidak
begitu canggung, dan mengambil minumannya. “Dari dulu saya minum-minum dan
merokok,” ucapnya. Ia menaruh kembali gelasnya mengenai gelas wanita itu.
“Turunkan saja si tua tolol itu, Fitweiler,” semburnya dan minum lagi. Betapa
mengerikan rasanya minuman itu, namun ia menjaga rautnya tetap datar.
“Yang benar saja, Mr. Martin,” tukas
wanita itu. Suara dan sikapnya berubah. “Anda menghina pimpinan kita.” Kini
Mrs. Barrows menjelma sepenuhnya penasihat khusus bagi sang pimpinan.
“Saya berencana untuk meledakkan si tua
tolol itu sampai membumbung lebih tinggi daripada neraka,” ujar Mr. Martin.
Minumannya tinggal sedikit, dan efeknya tidak begitu terasa. Tidak bisa dijadikan
alasannya mengutarakan perkataan itu. Mesti ada alasan yang lain.
“Memangnya apa untungnya buat Anda?”
tanya Mrs. Barrows dingin.
“Ya,” sahut Mr. Martin. “Saya akan
mengambil banyak keuntungan sebelum menyingkirkan si tua tolol itu.”
“Mr. Martin!” seru wanita itu seraya
menjejakkan kedua kakinya. “Sudah cukup. Anda harus pergi sekarang juga.”
Mr. Martin meneguk lagi minumannya. Ia
menaruh rokoknya di asbak dan meletakkan bungkusnya di meja. Barulah ia
bangkit. Wanita itu tegak memandanginya dengan gusar. Ia berjalan menjauh dan
mengambil topi serta mantelnya. “Jangan bilang siapa-siapa,” imbuhnya seraya
menempelkan jari ke bibirnya.
Mrs. Barrows hanya bisa menanggapinya
dengan, “Yang benar saja!” Tangan Mr. Martin meraih pegangan pintu. “Sayalah
yang punya kuasa,” ucapnya. Ia menjulurkan lidahnya pada wanita itu dan pergi.
Tidak seorang pun melihatnya berlalu.
Mr. Martin menuju flatnya dengan
berjalan kaki sementara waktu masih jauh dari pukul sebelas. Tidak seorang pun
yang melihatnya pulang. Ia minum dua gelas susu setelah menggosok giginya, dan
merasa amat tenteram. Bukan karena mabuk, sebab ia tidaklah mabuk. Bagaimanapun
juga, berjalan kaki telah mengenyahkan efek dari wiski yang diminumnya. Ia pun
naik ke tempat tidur dan membaca sebentar. Sebelum tengah malam ia sudah
terlelap.
Keesokan harinya Mr. Martin sampai di
kantor pada pukul setengah sembilan, seperti biasanya. Pukul sembilan kurang
seperempat, Ulgine Barrows, yang biasanya belum tiba hingga pukul sepuluh,
memasuki kantornya. “Saya laporkan Anda pada Mr. Fitweiler sekarang!” serunya.
“Kalau ia menyerahkan Anda ke polisi, Anda memang pantas mendapatkannya!”
Mr. Martin tampak kaget. “Maaf, Anda
bilang apa?” tanyanya. Mrs. Barrows menjerit dan mengangkat kaki dari ruangan
itu, membikin Miss Paird dan Joey Hart terheran-heran.
“Kali ini ada masalah apa si setan tua
itu?” tanya Miss Paird.
“Entahlah,” ujar Mr. Martin seraya
melanjutkan pekerjaannya. Kedua orang itu menatapnya kemudian pada satu sama lain.
Miss Paird bangkit dan keluar. Pelan-pelan ia berjalan melewati pintu kantor
Mr. Fitweiler yang tertutup. Mrs. Barrows sedang berteriak-teriak di dalam
sana, namun Miss Paird tidak dapat mendengar yang dikatakan wanita itu. Ia pun
kembali ke mejanya.
Tigaperempat jam kemudian, Mrs. Barrows
meninggalkan kantor pimpinan dan masuk ke ruangannya sendiri sambil menutup
pintunya. Tidak sampai setengah jam kemudian Mr. Fitweiler memanggil Mr.
Martin.
Kepala departemen yang rapi, tenang, dan
penuh perhatian itu pun muncul di hadapan lelaki tua itu. Mr. Fitweiler
kelihatan pucat dan gelisah. Ia mencopot kacamatanya dan memutar-mutarnya, lalu
mendeham pelan.
“Martin,” ucapnya. “Anda sudah bekerja
di sini lebih dari dua puluh tahun.”
“Dua puluh dua tahun, Pak,” ujar Mr.
Martin.
“Selama itu,” lanjut sang pimpinan,
“kinerja Anda dan—eh—sikap Anda sempurna.”
“Saya rasa demikian, Pak,” ucap Mr.
Martin.
“Saya tahu, Martin,” ujar Mr. Fitweiler,
“Anda tidak pernah minum-minum ataupun merokok.”
“Benar, Pak,” kata Mr. Martin.
“Ah, ya.” Mr. Fitweiler mengusap-usap
gelasnya. “Mungkin Anda bisa menjelaskan perbuatan Anda sepulang dari kantor
kemarin, Martin,” ucapnya.
Sejenak Mr. Martin tampak kebingungan.
“Tentu, Pak,” ujarnya. “Saya pulang berjalan kaki. Lalu saya makan malam di
Schrafft. Setelahnya saya pulang lagi. Saya lekas naik ke tempat tidur, Pak,
dan membaca sebentar. Sebelum pukul sebelas saya sudah tidur.”
“Ah, ya,” ucap Mr. Fitweiler lagi.
Sejenak ia terdiam, mencari-cari kata yang tepat untuk disampaikan pada kepala
departemen tersebut. “Mrs. Barrows,” akhirnya ia berkata, “Mrs. Barrows telah
bekerja keras, Martin, sangat keras. Saya menyesal kesehatannya sampai
terganggu. Akibatnya ia meyakini orang-orang sedang berusaha membuatnya
jengkel, dan pikiran-pikirannya itu sangatlah buruk.”
“Saya turut bersimpati, Pak.”
“Mrs. Barrows pikir,” lanjut Mr.
Fitweiler, “Anda mengunjunginya semalam dan bersikap—tidak sepantasnya.” Ia
mengangkat tangannya agar Mr. Martin meredakan luapan rasa tersinggungnya.
“Wajar bagi pengidap penyakit ini,” ujar Mr. Fitweiler, “menyalahkan orang yang
paling tidak ada cacatnya sebagai sumber masalahnya. Hanya dokter yang mampu
memahami persoalan ini, Martin. Baru saja saya menelepon Dokter Fitch. Ia tidak
bisa mengambil keputusan seketika, tentu saja, tapi keterangannya cukup
membuktikan dugaan saya. Pikiran wanita itu sudah tidak beres. Begitu Mrs.
Barrows mengakhiri—eh—ceritanya pada saya pagi ini, saya menyarankannya untuk
mendatangi Dokter Fitch, sebab saya langsung menduga keadaannya
mengkhawatirkan. Dia jadi, maaf, saya mesti mengatakannya, sangat marah, dan
menuntut—eh—meminta saya agar menanyakan penjelasannya pada Anda. Anda mungkin
belum tahu, Mr. Martin, tapi Mrs. Barrows telah berencana untuk merombak
besar-besaran departemen Anda—kalau saya setuju, tentunya, kalau saya setuju.
Akibatnya ia jadi sering memikirkan Anda—tapi sekali lagi, itu urusannya Dokter
Fitch, bukan kita. Jadi, Martin, saya rasa Mrs. Barrows sudah tidak dapat
bekerja lagi di sini.”
“Sangat disayangkan, Pak,” ujar Mr.
Martin.
Saat itu juga pintu kantor terbuka
seakan ada gas yang meledak, dan Mrs. Barrows melesat melaluinya. “Apa si tikus
kecil itu bilang dia tidak melakukannya?” ia menjerit. “Dia tidak boleh
mangkir!”
Mr. Martin bangkit dan perlahan bergeser
ke samping kursi Mr. Fitweiler.
“Anda minum-minum dan merokok di rumah
saya,” seru wanita itu pada Mr. Martin, “dan Anda tahu itu! Anda sebut Mr.
Fitweiler si tua tolol dan Anda bilang akan meledakkannya!” Ia berhenti untuk mengambil
napas. Sorot pada matanya yang besar itu berubah. “Kalau saja Anda ini bukan
pria kecil yang biasa-biasa saja,” ucapnya. “Saya rasa Anda telah merencanakan
semuanya. Menjulurkan lidah Anda, mengatakan Anda ini yang punya kuasa, sebab
Anda pikir tidak akan ada yang mempercayai saya kalau saya menyampaikannya! Ya
Tuhan, benar-benar terlalu sempurna!” Ia menjerit kencang-kencang dan kembali
naik pitam. Ditatapnya Mr. Fitweiler. “Tidakkah Anda menyadari dia sudah
mengerjai kita, dasar tua tolol! Tidakkah Anda menyadari permainannya?”
Namun diam-diam Mr. Fitweiler telah
memenceti semua tombol di bawah permukaan mejanya, dan para karyawan F & S
mulai memenuhi ruangan.
“Stockton,” ucap Mr. Fitweiler. “Anda
dan Fishbein antar Mrs. Barrows pulang. Mrs. Powell, Anda ikut bersama mereka.”
Stockton, yang sewaktu SMA pernah
bermain futbal, menghadang Mrs. Barrows sewaktu wanita itu menyerbu Mr. Martin.
Bersama Fishbein ia memaksa wanita itu keluar menuju koridor, sembari
dikerumuni oleh para juru ketik dan pesuruh. Wanita itu terus merutuki Mr.
Martin. Keriuhannya akhirnya mereda juga di ujung jalan.
“Saya sungguh menyesali kejadian ini,”
ucap Mr. Fitweiler. “Mudah-mudahan Anda tidak memusingkannya, Martin.”
“Baik, Pak,” ujar Mr. Martin, dan
berjalan menuju pintu. “Saya tidak akan memusingkannya.” Ia pun keluar dan
menutup pintu. Ia melangkah dengan ringan dan lincahnya di koridor. Begitu
memasuki departemennya, ia melambatkan lajunya hingga seperti biasanya, dan
dengan tenang berjalan menuju berkas-berkasnya, sembari memasang raut yang
sangat serius.[]
JAMES THURBER (1894-1961)
adalah humoris yang lahir di Ohio. Dalam cerpen-cerpennya, orang-orang aneh
yang menjadi korban takdir mengalami berbagai gangguan yang ganjil. Dalam “The
Catbird Seat”, seorang wanita mulai bekerja di sebuah kantor dan mengakibatkan
perubahan-perubahan yang memberatkan. Kegiatannya yang tidak disenangi itu
akhirnya dapat dihentikan dengan serangkaian tipu daya.
Cerpen
yang aslinya berjudul "The Catbird Seat" karangan James Thurber ini pertama kali dipublikasikan di The New Yorker,
14 November 1942, diterjemahkan dari
versi yang sudah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D., dalam British
and American Short Stories (Longman,
Green and Co Ltd, 1969).
2 komentar:
Hehehe, smart Mr. Martin, smart :)
Saya suka dgan karakter mr. Martin yg benar2 tahu cara memanfaatkan kepercayaan org2 disekitarnya dan membuatnya menjadi senjata yang ampuh untuk menyingkirkan orang yang tidak disukainya. Caranya seperti membunuh tanpa membunuh, :)
Keren lah cerpen ini mba DYH, pada bagian awal saya mulai terpancing untuk tidak melanjutkan membaca, namun cepat2 narasi penulis membuat saya penasaran untuk lanjut lagi. Terjemahan mba DYH juga mantap dan tidak membuat saya bingung :)
Sekian mba dyh,
Salam olahraga (y)
Wah, syukur kalau enggak bingung dengan terjemahannya, hehe. Maklum, saya sedang belajar. Terima kasih, ya, Naen, sudah mau mampir kemari dan mengapresiasi terjemahan cerita ini ^^
Iya, Naen, barangkali dari karakterisasi Mr. Martin kita bisa belajar untuk menampilkan kepribadian yang baik secara konsisten, sehingga apa pun yang kita perbuat orang akan percaya saja, hahaha. Saya kira, cerpen ini sekaligus menunjukkan sisi lain dari kepribadian Mr. Martin yang suka kenyamanan dan kemapanan, sehingga terhadap perubahan--seperti yang digagas Mrs. Barrows--ia jadi gelisah. Tapi kepribadian Mrs. Barrows sendiri memang unik sih.
Posting Komentar